Private jet yang membawa Carlos Peron bersama selusin pengawal berbadan tegap mendarat di Bandara Internasional Owen Roberts (ORIA) yang terletak di Grand Cayman. Mereka segera menaiki beberapa taksi bandara menuju resort tempat nona muda Richero menginap. Pesawat sewaan itu tetap terparkir di bandara karena mereka akan langsung kembali ke Kansas City.
"Apa kau yakin, Nona Celia akan menuruti keinginan papanya, Carlos?" tanya George yang duduk di bangku sebelah sopir taksi.
"Hmm ... mustahil. Gadis itu terlalu bengal untuk patuh dijodohkan dengan pria pilihan Mister Arnold. Pokoknya jaga jangan sampai dia kabur. Aku sendiri yang akan memanggulnya di bahu bila dia menolak dan berusaha melarikan diri!" jawab Carlos Peron. Penampilan Celia yang lemah gemulai nan anggun hanya kamuflase dan dia tahu itu karena Celia penggemar olahraga atletik sejak kecil, tubuh gadis itu sangatlah lentur dan lincah.
Empat taksi bercat kuning itu berderet berhenti di depan lobi resort mewah. Pria-pria bertubuh tegap dengan setelan jas hitam necis turun serentak dari mobil. Carlos Peron melangkah paling depan menuju ke meja resepsionis lalu mencopot kaca mata hitamnya. "Hai, Miss. Kami mencari Nona Celia Richero. Bisa Anda beri tahu di kamar nomor berapa dia menginap?" ujarnya dengan penuh karisma.
"Ohh, Nona Celia menginap di kamar nomor 3003. Namun, dia sedang berada di area kolam renang sejak pagi tadi. Mungkin Anda bisa mencarinya ke sana!" jawab resepsionis wanita itu.
"Terima kasih." Carlos menjawab singkat lalu beranjak menuju ke area barat bangunan resort mewah itu. Selusin pengawal mengikutinya sehingga membuat tamu-tamu resort menatap mereka dengan penasaran.
Dengan kaca mata hitam bertenger di atas kepalanya Carlos mengedarkan pandangan mencari-cari Celia. Setelah beberapa menit dia menemukan nona muda cantik itu berbalut bikini motif floral warna pink keluar dari dalam air. Beberapa pengawal menelan ludah menatap betapa moleknya tubuh putri majikan mereka.
"Celia!" panggil Carlos yang sudah seperti paman gadis itu. Dia sudah mengenalnya sejak Celia masih balita.
"Uncle Carlos? Kenapa kamu ada di sini?" sahut Celia curiga. Tangan kanan papanya tak mungkin muncul tanpa alasan di Cayman Island.
Pria jangkung berambut pendek warna cokelat pirang itu mengajak Celia duduk di bangku berjemur yang kosong sembari gadis tersebut mengeringkan badan dengan handuk. "Kulitmu semakin cokelat seperti karamel saja, Celia Sayang. Ehm ... papamu menyuruh untuk menjemput kamu pulang ke rumah!" ujar Carlos Peron.
"Untuk apa? Bukankah aku hanya beban di rumah? Aku tak paham menjalankan bisnis keluarga Richero. Esme sudah mengambil tanggung jawab sebagai penerus papa!" sahut Celia defensif. Dia seenggan itu berkumpul bersama keluarganya.
"Please, Celia. Jangan membuatku harus memaksamu patuh. Ada hal yang jauh lebih penting dibanding mengurusi bisnis keluarga Richero. Papamu ingin kau menikah dengan Harry Livingstone!" bujuk Carlos yang justru membuat Celia semakin defensif.
"No. Apa-apaan ini? Aku tak ingin diatur harus menikah dengan siapa. Pria yang Uncle Carlos sebut namanya pun aku tak mengenalnya. Ini hidupku, jangan ada yang memaksakan takdirku semaunya!" seru Celia dengan tatapan tajam.
Carlos sudah tahu usahanya akan percuma. Dia pun berkata dengan suara pelan, "Tolong ... setidaknya temui dahulu Harry Livingstone. Pilihan papamu pasti bukan pria sembarangan, Celia!"
"Sekali tidak, tetap tidak, Uncle. Maafkan aku. Pulanglah ke Kansas. Aku masih ingin melanjutkan travelling ke Virgin Island setelah dari sini!" balas Celia dengan senyuman tipis sekadarnya.
"George, Peter, bukakan jalan untukku! Gareth, bantu Fabio untuk mengurus proses check out kamar nona muda sekarang juga!" titah Carlos Peron. Dia membuka jasnya untuk dipakaikan ke Celia yang hanya mengenakan bikini two pieces lalu memanggul tubuh ramping itu di bahunya tanpa keraguan menuju ke depan pintu keluar lobi resort.
Celia berteriak-teriak histeris sembari memukuli punggung Carlos, "TURUNKAN AKU! KUPERINTAHKAN, CEPAT TURUNKAN AKU SEKARANG JUGA!"
"Tidak sebelum kita naik ke taksi menuju bandara, Celia!" jawab Carlos dengan seringai lebar. Dia tak mempedulikan pukulan kepalan tangan kecil itu di punggungnya.
George dan Peter membukakan jalan hingga ke taksi. Mereka ikut dengan mobil itu juga. Sedangkan, Fabio Hernandez kalang kabut mengurusi check out mendadak di resepsionis setelah dia melemparkan semua barang milik nona mudanya ke dalam koper. Gareth yang membantunya menyeret koper itu masuk ke lift lalu turun ke lantai lobi.
Rombongan heboh itu segera berangkat menuju ke bandara di Cayman Island. Di perjalanan, Celia mengamuk kepada Carlos. Dia merepet tanpa henti sehingga membuat seisi taksi lelah mendengarkan ocehannya yang pedas.
"Aku benci kamu, Uncle Carlos! Lain kali aku tak akan mempercayaimu. Ini pemaksaan, aku tidak ingin pulang ke rumah!" Serentetan kata makian meluncur lancar dari bibir tipis Celia.
"Cukup, Celia Darling. Nanti kau sakit tenggorokan karena berteriak-teriak terus sedari tadi!" ucap Carlos seraya memijit pelipisnya yang nyeri. Putri majikannya itu sungguh keras kepala.
"Karena aku tak ingin dinikahkan paksa dengan lelaki yang tak kukenal—"
"Kau bisa berkenalan dengan Harry sesampai di Kansas, okay? Nah, kita tiba di bandara. Ayo ... jalan sendiri atau kugendong lagi?" potong Carlos dengan teguh hati tak tergoyahkan oleh rengekan dan protes Celia.
Terpaksa Celia turun dari taksi dan berjalan sendiri dikelilingi selusin pengawal menuju landasan bandara di mana private jet terparkir menunggu mereka. Gadis itu merasa terlalu sulit untuk kabur karena semua barang pribadinya dalam koper dipegang oleh Fabio Hernandez yang pastinya patuh pada perintah Carlos mewakili big boss mereka.
Pesawat itu terbang langsung menuju ke Kansas City. Celia yang merajuk memilih untuk diam selama penerbangan. Dia hanya bereaksi bila pramugari melayani makan dan menyajikan hidangan untuknya. Memang Carlos mengatur demikian, Celia tidak boleh sampai terlantar dan kelaparan atau kehausan.
Sesampainya di tujuan, rombongan itu dijemput oleh mobil dari kediaman Richero. Dengan pasrah Celia ikut mereka dengan wajah mencebik dan bungkam.
"Kau bisa tanyakan langsung ke Mister Arnold mengenai rencana perjodohan itu, Celia. Sepertinya itu sudah menjadi agenda yang pasti dalam waktu dekat!" nasihat Carlos. Dia kasihan juga kepada nona mudanya. Namun, Celia menatapnya tajam tanpa bicara sepatah kata pun.
Setibanya di kediaman Richero, papa Celia sendiri yang menyambut kepulangan putri bungsunya. Arnold Richero merentangkan tangannya untuk memeluk Celia. Sedikit enggan, tetapi gadis itu membalas pelukan papanya.
"Celia Darling, kamu lama sekali berada di Carribean Islands. Papa pikir akan lebih baik kalau kamu berada di sini menemaniku saja. Kebetulan Papa menemukan seorang pemuda yang cocok untukmu. Besok kita bisa menemuinya saat makan malam, bagaimana?" tutur Tuan Arnold sambil mempelajari raut wajah putrinya yang masam.
"Papa, seandainya kami tak menyukai satu sama lain. Bolehkah aku menolak perjodohan ini?" balas Celia tanpa basa-basi. Dadanya dipenuhi rasa amarah yang teredam oleh hormat kepada papanya.
"Lihat saja besok. Dia pemuda tampan yang menyenangkan untuk diajak berbincang, Sayang!" bujuk Tuan Arnold pantang menyerah. Sifat keturunan Richero yang keras kepala memang sudah terkenal dan mendarah daging.
Celia pun mengangguk dengan terpaksa lalu pamit untuk naik ke kamar tidurnya yang telah hampir setahun ditinggalkan. Dia mulai merindukan iklim tropis di Carribean Islands. Kansas sudah memasuki musim gugur di mana dedaunan berwarna merah dan jingga, sebagian daun juga rontok karena meranggas. Dari jendela kamar tidurnya yang dia buka, Celia melayangkan pandangan jauh menjelajah kawasan elit yang didominasi mansion dan town house itu di sekitar Sungai Missouri.
"Aku tak akan mengalah ... bila bukan karena cinta, aku tidak ingin menikah dengan pria mana pun!" ucap Celia sendu. Dia menghela napas dalam-dalam karena teringat bahwa Esmeralda dan Austin tinggal seatap dengannya. Luka itu selama apa pun masih membekas di hatinya.
Suara denting peralatan makan di meja panjang bertaplak putih itu terdengar di sela-sela obrolan yang didominasi para orang tua. Celia yang duduk berseberangan dengan Harry Livingstone nampak cuek dan memilih mengisi perut dengan hidangan lezat di hadapannya.Dengan terang-terangan Harry menatap calon mempelainya dengan penuh minat. Dia pun memberi kode dengan suara berdesis agar Celia memperhatikannya alih-alih terus mengunyah makanan ini dan itu. "Sstt ... Celia, apa besok kita bisa bertemu di cafe? Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi, Sweetheart!" ucapnya."Hmm ... boleh. Jam sepuluh pagi di Riverside Cafe dekat rumahku, apa kau bisa, Harry?" jawab Celia yang ingin tahu sifat asli calon suaminya. Pembicaraan orang tua mereka sepertinya sudah pasti akan terjadi pernikahan kilat beberapa hari ke depan. Itu sedikit membuat Celia tak nyaman. Dia tidak ingin memilih suami seperti membeli kucing dalam karung. "Okay, aku pasti akan menemuimu di sana besok pagi, Celia. Ngomong-ngomong,
"Master Morgan, ini berita yang sangat gawat!" Alfons Boudin berlari masuk tanpa mengetuk pintu kantor bosnya lebih dahulu."Ada apa, Alfons?" tanya Morgan dengan dahi berkerut.Alfons menata napasnya yang tersengal-sengal di kursi seberang Morgan lalu menjawab, "Sir, wanita incaran Anda akan menikah besok di The Catedral of Saint Peter The Apostle!""WHAT?!" Morgan sontak bengong. "Yeah, ini bukan hoaks. Nona Celia Richero akan menikah dengan Harry Livingstone karena dijodohkan oleh papanya, Sir!" tutur Alfons.Morgan menghela napas. Sebenarnya dia ingin mengamuk. Berbulan-bulan dia menunggu Celia kembali ke Kansas. Namun, justru wanita itu akan dipersunting menjadi istri pria lain."Apa Celia setuju dinikahkan dengan pria pilihan papanya?" tanya Morgan tenang sekalipun penasaran. Dia kuatir calon suami Celia tidak menikahi wanita itu karena cinta melainkan terpaksa atau lebih buruknya hanya demi harta.Alfons mengendikkan bahunya, dia hanya mengetahui highlight berita itu dari Matt
"Adikmu sungguh punya nyali, Esme. Dia kabur sebelum berjalan ke altar. Aku penasaran seandainya dulu yang kunikahi bukan kau melainkan Celia. Apakah dia akan kabur dari pernikahan juga?" canda Austin Robertson di perjalanan pulang ke rumah keluarga Richero. Esmeralda mendengkus sinis seraya melirik suaminya yang duduk di bangku belakang mobil bersebelahan dengannya. "Aku malas membicarakan adik yang tak tahu diri dan kontroversial itu. Dia mempermalukan keluarga Richero. Entah siapa pria yang masih mau menikahinya?" sahut kakak tiri Celia dengan dada dipenuhi kebencian."Sepertinya Mama dan papa tak berhasil mendidik Celia. Sungguh disayangkan setelah dewasa kelakuan putri kandungku buruk sekali!" ujar Nyonya Emilia dari bangku depan samping sopir.Sedari dahulu memang mama kandung Celia lebih menyayangi Esmeralda, putri sambungnya. Dia selalu memandang Celia dengan kaca mata negatif seolah-olah anaknya adalah beban keluarga Richero."Biarkan saja Celia melanglang buana berpetualang
"Chef Morgan, tamu spesial kita malam ini ingin bertemu dengan Anda. Bagaimana?" Madeline memberi tahu big bossnya sesuai arahan Chef Eugene Botswa.Melihat big bossnya salah tingkah, Madeline berusaha menahan tawa. Dia tak menyangka Chef Morgan yang menjadi penguasa restoran waralaba tersebar di berbagai negara bagian Amerika Serikat nampak begitu menggemaskan."Ohh, benarkah?" Pria tampan itu menyisir rambut dengan jemari tangannya agar nampak lebih rapi."Anda terlihat mempesona begitu saja, Chef. Jangan kuatir!" ujar Madeline meyakinkan atasannya dengan seringai lebar."Princesstårta siap, Eugene?" seru Chef Morgan seraya menghela napas.Chef yang baru saja menghias bagian luar dari kue berlapis gula krim warna hijau itu menjawab, "Kue Anda siap dihidangkan, Sir!"Jantung Chef Morgan berdetak lebih kencang dari biasanya. Dia berdehem sambil me
"Hai, Celia Sayang. Senang sekali melihatmu kembali ke rumah. Kau makin kurus saja, pasti makanmu tak teratur ya?" sambut Tuan Arnold Richero di teras depan rumahnya. Dia memeluk putri bungsu kesayangannya penuh kerinduan.Celia pun tahu pria dengan rambut beruban yang sedang memeluknya itu yang paling peduli dan menyayanginya. Hanya saja dia waswas akan dijodohkan lagi dengan pria sok baik lainnya seperti Harry Livingstone yang aslinya brengsek."Papa, aku juga kangen padamu. Ayo kita masuk dan mengobrol di ruang keluarga saja. Musim dingin sudah mulai menunjukkan tanda-tanda turun salju pertama tak lama lagi, udara mulai turun suhunya ke nol derajat Celcius!" ajak Celia sembari menggandeng lengan papanya masuk ke dalam rumah."Syukurlah kamu sudah pulang hari ini. Papa akan jauh lebih kuatir bila kamu berada jauh dari keluarga sendirian di luar sana. Celia, tolong dengarkan Papa kali ini. Menikahlah. Ada seorang
"Hentikan pertengkaran kalian!" Suara Tuan Arnold yang penuh wibawa menggelegar di ruang makan. Kakak beradik beda ibu itu harus dilerai.Mark merangkul bahu Celia yang dalam kondisi basah wajahnya oleh wine, sedangkan Austin menenangkan Esmeralda yang menatap kejam ke arah adik tirinya.Emilia pun berkata, "Celia, dengarkan nasihat kakakmu. Mama malu kalau sampai kamu menggoda kakak iparmu agar kembali lagi bersamamu. Dia suami Esme sekarang. Lebih baik segera menikah saja dengan Mark. Kau akan mudah melepaskan masa lalumu bersama Austin!"Mendengar mamanya membela Esmeralda lagi, Celia rasanya tak tahan ingin mengamuk. "Ohh yeah, bela terus anak kesayanganmu itu, Ma. Dia yang menikungku dari belakang. Lantas kini aku seperti orang sakit jiwa obsesif yang berusaha menggoda mantan tunanganku lagi. Maaf saja, kalian salah mengira. Segalanya di antara kami berdua telah usai!""Celia, jaga mulutmu
"Kau ingin mengajakku bercinta atau apa, Morgan?" tanya Celia sembari tertawa ringan menatap sepasang mata biru yang tak berkedip memperhatikan dirinya."Yeah, itu maksudku, Celia. Cara terbaik menghilangkan stres. Aku berjanji akan menggunakan pengaman. Ayolah ikut bersamaku ke penthouse!" bujuk Morgan masih mengungkung tubuh Celia di sofa night club.Para pengawalnya berjaga di sekeliling sofa agar tak ada yang mengganggu kemesraan Morgan dan Celia. Dalam benaknya Celia menilai sosok misterius chef tampan itu, tak wajar seorang chef memiliki banyak pengawal. Untuk apa pria berbadan kekar seperti Morgan dikawal ketat?"Jawab dulu pertanyaanku, Morgan. Kenapa kau dikawal begitu banyak bodyguard seperti ini?" Celia belum terlalu mabuk untuk bercakap-cakap normal.Morgan tak menduga akan ditanyai sesuatu yang akan membuat identitasnya terungkap. Namun, wanita cantik yang berada di bawah badan kekarnya
Aroma pizza yang baru saja dikeluarkan dari panggangan tercium sedap dan membuat air liur menitik. Celia yang sedari tadi menemani Chef Morgan memasak, bertepuk tangan meriah menyambut satu loyang besar pizza terhidang di hadapannya."Wah, sepertinya lezat. Aku tak sabar ingin mencicipinya!" ucap Celia.Morgan memotong-motong pizza dengan pisau lalu menaruhnya di piring sebelum memberikannya ke Celia. "Makan yang banyak ya, Cantik!"Satu gigitan pertama membuat Celia makin penasaran. "Pizza buatanmu berbeda rasanya. Ini enak sekali!""Tentu. Karena aku membuatnya dengan cinta!" jawab Morgan dengan seringai lebar."Gombal sekali! Kalau aku menjadi pacarmu, apa kau akan memasak untukku setiap hari?" tantang Celia."Boleh saja, kamu menemaniku setiap malam di sini. Deal?" Morgan mengulurkan tangan kanannya.Namun, Celia eng
Pesawat lokal yang membawa Morgan, Celia, dan para pengawal mereka mendarat mulus di Bandara Internasional Lombok, Mandalika, Tanak Awu, Nusa Tenggara Barat. Mereka mengagumi betapa indah pulau kecil yang ada di sebelah timur Pulau Bali itu sejak taksi meluncur dari bandara menuju ke resort tepi pantai yang telah direservasi beberapa kamarnya oleh Morgan melalui booking online."Hubby, tidak percuma kita membelokkan rute liburan bulan madu ke mari sebelum ke Vietnam!" ujar Celia sembari melayangkan pandangan ke luar kaca jendela taksi. Pulau Lombok tidak sepadat Bali penduduknya. Masih banyak sekali daerah yang menyerupai hutan rimbun di kanan kiri jalan raya beraspal yang dilalui rombongan itu. Celia menurunkan kaca jendela untuk menghirup udara beraroma pantai yang dibawa angin yang berhembus dari arah garis pantai yang mengelilingi daratan."Yes, Baby Girl. Kuharap kamu akan puas dengan kunjungan kita karena ini khusus untuk menyelam di beberapa Gili. Apa tidak terlalu melelahkan
Esmeralda tahu mantan suaminya menatapnya terus menerus. Akan tetapi, kisah cintanya bersama Austin telah usai dengan ketok palu hakim di pengadilan negara bagian Kansas. Dia menghela napas perlahan-lahan lalu berjalan sesuai antrean pelayat pemakaman Tuan Brian Robertson untuk menaruh setangkai mawar putih ke atas gundukan tanah merah yang masih basah.Dia tak menyangka mantan ayah mertuanya akan pergi secepat ini semenjak perceraiannya dengan Austin. Setelah itu Esmeralda sengaja melangkah menjauhi kerumunan untuk menuju ke area parkir mobil. Karena langit sangat mendung dan aroma tanah begitu menyengat seolah pasti akan segera turun hujan, Dokter Jeffrey mengambil payung untuk mereka berdua di mobilnya.Pergelangan tangan Esmeralda dicekal erat dari belakang oleh seseorang. Dia pun membalik badannya. Sosok familiar yang memang sengaja dia hindari itu memandangi wajahnya dengan alis tebal berkerut."Apa maumu, Mi
Ricky Eston melirik melalui kaca spion tengah mobil, dia mulai cemas karena majikannya memejamkan mata dalam posisi duduk miring di bangku belakang. Tanpa menunda lagi, sopir keluarga Robertson itu menepikan mobil ke trotoar. Dia keluar dan membuka pintu sisi penumpang untuk memeriksa denyut nadi serta napas Tuan Brian.Namun, saat dia tidak menemukan tanda-tanda vital kehidupan pria berusia 65 tahun itu, Rick segera berseru, "Demi Tuhan! Mister Brian sudah tak bernyawa. Damn! Sudahlah tetap kubawa ke rumah sakit saja!" Dia langsung naik lagi ke bangku pengemudi dan menginjak gas dalam-dalam hingga kecepatan mobil melaju tinggi.Sesampainya di rumah sakit, Ricky Eston meminta paramedis memindahkan Tuan Brian Robertson ke brankar untuk dibawa ke poli IGD. Tak perlu waktu lama, Dokter John Karlson segera muncul menemui Rick lagi."Apa Anda keluarga pasien atas nama Mister Brian Robertson?" tanya dokter dengan wajah serius."Saya sopir beliau, Dok. Bagaimana kondisi Mister Brian?" sahut
"Lucas, terima kasih sudah meluangkan waktu menemuiku!" Tuan Arnold Richero berdiri berjabat tangan menyambut calon rekanannya."Ohh ... kau ini. Jangan sungkan. Ada hal penting apa sampai Tuan Besar Richero turun gunung? Bukankah Esme yang menangani perusahaan sekarang?" balas Lucas Stralin, kolega dekat grup Richero. Mereka duduk bersama di sofa sebuah coffeshop exclusive lobi hotel bintang lima di Kansas City. Waitress cantik menyajikan minuman pesanan dua pria berumur itu."Yeah ... urusan perusahaan Richero memang sudah kuserahkan sepenuhnya ke anak-anak. Ini berbeda, aku ingin perusahaanmu menjadi pesaing kuat untuk perusahaan ekspor impor milik keluarga Robertson. Rencananya aku akan menyuntikkan dana jumbo ke perusahaanmu sebagai investor!" terang Tuan Arnold Richero.Lucas Stralin menanggapi penuh semangat, "Wah, dengan senang hati aku akan menerima kucuran modal darimu, Arnold! Perusahaanku memang bersaing dengan perusahaan Robertson yang dijalankan oleh Austin, menantumu—"
"Kate, kau diminta menemui Don Barlow di ruang bunker bawah tanah sekarang!" kurir pembawa pesan itu menemui Katlin Rookie saat jam bebas di penjara wanita. Wanita berkulit putih pucat yang jarang terkena sinar matahari dan berambut pirang kusam agak berantakan itu menjawab sambil tertawa sombong, "Ohh, apa big boss merindukanku?" "Entahlah, jangan berlama-lama!" tukas Julio yang langsung meninggalkan Katlin Rookie. Dia tahu tujuan dari pemanggilan wanita itu, tetapi dia tutup mulut.Katlin berpamitan dengan heboh kepada pengikutnya yang bertambah banyak semenjak dia menghajar Emilia Pilscher sampai babak belur. Sudah lebih dari 24 jam wanita itu belum kembali ke sel tahanannya dan terbaring lemah di pusat kesehatan penjara."Semangat, Kate. Kau pasti berhasil menyingkirkan perempuan lemah itu sehingga Don Barlow memanggilmu kembali untuk melayaninya!" ujar Velice sok tahu."Pastinya ... hanya wanita kuat yang cocok dengan pria yang berkuasa seperti John Barlow!" sahut Katlin dengan
"Don, lapor ... di penjara wanita ada kericuhan. Katlin menganiaya Emilia Pilscher bersama anak buahnya!" ujar Ricardo, tangan kanan John Barlow. Surat dari Zelda telah sampai di tangannya baru saja."Praang!" Gelas kaca dilempar hingga membentur tembok sel penjara pria hingga pecah berkeping-keping."Lantas apa yang terjadi? Katakan selengkapnya, jangan sepotong-sepotong, Bodoh!" teriak John Barlow tak sabar. Dia mencemaskan Emilia karena posisi bangunan penjara pria dan wanita terpisah. Ricardo pun menyeka peluh yang bermunculan di keningnya karena ketakutan menghadapi amarah big bossnya. "Ampun, Don. Saya hanya menerima secarik surat yang dikirim si tua Zelda. Ini silakan Anda baca langsung!" jawabnya sembari menyerahkan kertas kecil berisi tulisan tangan tak rapi seperti cakar ayam ke tangan John.Dengan mata melotot menyeramkan John Barlow membaca tulisan jelek yang mengabarkan bahwa Emilia dikeroyok oleh Katlin bersama enam anak buah wanita itu dan kini dirawat di pusat kesehat
"Jadi kita akan meluncur ke Taman Safari Bali Marine Park, Tanah Lot, Pura Besakih, kemudian lanjut siang nanti ke Kawasan Patung Garuda Wishnu Kencana. Sorenya Mister Morgan meminta diantar ke Pantai Dreamland untuk berselancar ombak!" Bapak Wayan Krishna menjelaskan rute wisata hari ini kepada Celia dan Morgan sembari mengemudi mobil van berisi delapan orang tamu tersebut.Keenam pengawal Morgan masih sigap mengamankan bos dan nyonya bos mereka. Semuanya dalam kondisi sehat meskipun berpindah-pindah negara mengikuti perjalanan bulan madu penuh kenangan indah itu. Hanya di Selandia Baru saja Morgan meminta mereka tidak mengawal ketat saat berada di Canterbury karena memang jarang bertemu orang di kawasan yang masih alami.Perhentian pertama pagi ini di sebuah wahana taman safari yang memelihara berbagai hewan liar dan juga yang terlatih. Celia bersama Morgan sempat melihat pertunjukan burung Kakaktua, memberi makan gajah jinak, dan juga menonton sendratari harimau dengan para talent
Pesawat Qantas yang terbang dari Sydney menuju ke Pulau Bali, Indonesia mendarat mulus di Bandara Ngurah Rai pada sore hari Waktu Indonesia Bagian Tengah. Rombongan Celia-Morgan bersama para pengawal mereka dijemput oleh mobil resmi Melia Resort Nusa Dua Bali.Sopir mobil tersebut orang asli Bali yang bernama Bapak Wayan Krishna. Bahasa Inggrisnya bagus dan ramah menyambut wisatawan asing. Sepanjang perjalanan dia menjelaskan tempat-tempat yang mereka lalui dan juga mempromosikan tempat wisata menarik di Pulau Bali yang mungkin ingin dikunjungi Mister Morgan Bradburry dan Madam Celia Richero-Bradburry."Nah, kita sampai di tujuan, Sir, Madam! Bell boy akan membantu menurunkan barang bawaan rombongan ini. Silakan langsung check-in saja di bagian resepsionis!" kata Bapak Wayan Krisna setelah memasang hand rem mobil."Okay, terima kasih, Mister Wayan Krisna. Kami turun dulu ya!" pamit Morgan sembari menolong Celia turun dar
Pertunjukan balet opera bertajuk Swan Lake yang dipentaskan di panggung Sydney Opera House di malam hari menutup rangkaian traveling bulan madu Morgan dan Celia di negeri kangguru, tepatnya di New South Wales. Siang tadi pasangan mesra itu mengunjungi Bondi Beach yang berpasir putih dan berombak sedang. Morgan mengajari Celia berselancar di atas papan surfing, dia jago menunggangi ombak terutama yang tinggi nan menantang.Tujuan mereka berikutnya adalah Pulau Bali, Indonesia. Morgan sangat bersemangat segera terbang ke sana karena banyak pantai berombak tinggi yang asik untuk berselancar. "Jadi ... besok kita akan meninggalkan Sydney, Celia. Apa kamu yakin tidak ingin menambah waktu liburan di sini?" tanya Morgan sambil merangkul bahu istrinya menyusuri halaman luas di depan Sydney Opera House yang memiliki pemandangan ke arah lautan."Aku mencemaskan molornya durasi bulan madu kita, Morgan. Katamu, kita masih akan ke beberapa negara Asia lainnya, bukan?" jawab Celia seraya menghela