"Tapi kita harus pergi kemana?" Rani nampak bingung.
"Sekarang kalian berkemas! Biar nanti saya yang pikirkan," ucap Papanya Fanno.
"Maksud Bapak?" Rani menautkan alisnya.
"Papa saya ingin membantu kalian dari amukan warga." Fanno menjelaskan.
Rani dan Laila kembali berpandangan.
"Baiklah, kami ikuti saran kalian. Terima kasih sebelumnya."
Keduanya tak menunda lagi, segera mempersiapkan beberapa baju dan barang-barang lainnya.
Begitu mereka keluar rumah, warga yang masih berkerumun segera mencemooh. Mengeluarkan kata-kata yang tak pantas di dengar. Rani berusaha untuk tenang dan seakan tidak mendengar ucapan mereka.
Wajah Laila nampak merah menahan amarah. Disaat dia merasa terpuruk, para tetangganya bukannya menguatkan malah sebaliknya. Mereka menambah beban di hati dan cenderung menekan.
Laila dan Rani duduk di jok belakang. Sedangkan Papanya Fanno duduk di samping anaknya yang fokus menyetir.
Rani terus m
Fanno melajukan mobilnya menuju rumah yang mereka tinggali. Ia merasa lega telah berbuat sesuatu untuk membantu keluarga Laila. Setidaknya Aris akan senang mendengar kabar ini."Eum, Papa boleh minta tolong sama kamu Fann?" Papa berucap ragu."Papa ada apa sih, serius amat?" Fanno tersenyum kecil mendengar ucapan Papanya."Papa serius.""Hmm.""Papa tahu kamu dan Aris, kalian ... sahabat dekat .... ""Ya, terus?""Tapi untuk saat ini, kamu bisa 'kan untuk sementara jaga jarak dulu dengan Aris?"Fanno menatap Papanya tidak percaya."Maksud Papa apa? Aris sedang dalam masalah, sudah seharusnya aku ada buat dia, Pa.""Iya, justru itu. Justru karena Aris sedang dalam masalah. Bukannya Papa benci atau bagaimana pada Aris, tapi kamu tahu posisi Papa 'kan. Bahaya kalau ketahuan Papa melindungi dia, bisa-bisa nama baik Papa sebagai pejabat ikut tercemar.""Enggak bisa, Pa. Aku enggak bisa lepas tangan pada Aris. Pa
Sedetik kemudian, Heru tersenyum miring dan terlihat bahagia melihat pemuda tempo hari menghajarnya di rumah sakit."Bagus, akhirnya kamu merasakan dinginnya jeruji besi, anak kecil.""Dasar bajingan!"Aris menegang kuat jeruji besi. Tubuhnya seperti ingin keluar dan menghajar Heru tapi tertahan jeruji."Jangan sok-sokan melawan orang tua. Anak kecil saja sombong banget!" cibir Heru sambil melirik sinis."Orang tua tidak tahu malu!" Emosi Aris semakin tak terkendali. Nafasnya tersengal dan mata menatap tajam ke arah Heru.Tak lama terdengar gelak tawa Heru, sebelum dua orang sipir meraih tangannya dan segera membawa Heru pergi."Huuuhh .... " Terdengar cemoohan dari napi lain dari sel yang dilewati oleh Heru.Namun pria itu nampak biasa saja, seakan kesalahan yang telah ia lakukan itu adalah hal yang wajar.Beberapa temannya memegangi tangan Aris, ada yang mengusap punggungnya juga menepuk pundaknya. Aris sudah bercerita
"Kak Fanno tahu enggak kabar kak Aris?" tanya Laila di seberang telepon."Aris? Kemarin aku ketemu dia di lapas, Aris baik-baik saja ... "Fanno belum selesai berbicara, Lintang langsung merebut ponselnya dan tanpa basa-basi lagi dia berbicara pada Laila."Jadi masih berani nanyain Kak Aris? Enggak tahu malu, ya. Udah bikin aib, bikin Kak Aris masuk penjara karena belain kamu, masih sok-sok-an perhatian lagi.""Lin-tang .... " Laila kaget karena tiba-tiba suara di ujung telepon berubah."Iya. Ini aku, Lintang. Kamu mau ngomong apa, Laila? Mau bela diri? Udah jelas-jelas kamu salah. Karena aib kamu Kak Aris dan juga keluarganya termasuk aku jadi ikut viral. Kalau viral yang bagus-bagus sih, enggak apa-apa. Ini viral kok aib. Enggak banget!" Lintang terus berbicara tanpa jeda. Seakan ingin meluapkan kekesalannya pada Laila."Aku tidak pernah menginginkan jadi korban perkosaan. Tidak juga ingin viral karena aib seperti ini. Siapa sih, yang mau
"Kak Fanno?" desis Lintang."Kamu kenal?" tanya yang lain."Kenal dong, sepertinya dia bikin kejutan buat jemput aku," seru Lintang girang, "Dah, semua .... " Lintang melambaikan tangan kepada teman-temannya lalu pergi.Sementara teman-temannya melongo dan nampak kecewa. Pangeran ganteng yang sedari tadi jadi incaran mereka rupanya sedang menunggu Lintang."Kirain lagi nyari cewek, enggak tahunya nungguin si Lintang," salah satunya menggerutu."Itu pacarnya Lintang apa bukan, ya?""Beruntung banget, ya, kalau cowok itu pacarnya Lintang.""Mungkin saja sodaranya.""Sepupunya misalkan.""Ah, semoga saja, ya.""Aku daftar, deh, jadi pacarnya."Riuh suara teman-teman Lintang berkomentar tentang Fanno.Sementara Lintang dengan langkah ringan terus berjalan mendekati Fanno yang kini sudah menyadari kehadiran gadis itu.Pemuda itu berdiri tegak setelah Lintang kian mendekat."Kak Fanno?" sapa
Malam harinya Aji kembali menghubungi Laila tapi beberapa kali dihubungi ponsel anaknya itu tidak aktif. Karena tidak enak hati khawatir ada apa-apa, akhirnya Aji menghubungi ponsel Rani.Wanita 40 tahunan itu merasa heran kenapa malam-malam Aji menghubunginya. Ragu dia menerimanya apalagi tadi siang keduanya sempat terjebak dalam situasi canggung."Ha-lo .... " sapa Rani ragu."Eum, ya, Rani. Aku ... apa Laila sudah tidur?" Pria di ujung telepon juga terdengar gugup."Sepertinya belum, "jawab Rani sambil mendongak ke arah kamar Laila."Aku menghubunginya tapi tidak aktif.""Sebentar." Rani bangkit dan berjalan menuju kamar Laila. Ini masih jam 8, Rani yakin Laila pasti belum tidur.Benar saja, ketika Rani masuk ke kamarnya, gadis itu belum tidur."Ayah kamu telepon, katanya ponselmu tidak aktif." Rani memberikan ponselnya pada Laila lalu pergi."Maaf, Yah, aku lupa isi baterai," kata Laila pada Ayahnya begitu pons
"Kiriman dari siapa?" tanya Rani ketika melihat Laila membawa dua kantong plastik.Karena terlihat kerepotan, Rani berdiri dan mengambil alih bawaan dari tangan Laila."Di luar masih ada satu dus lagi Bun," katanya sambil memberi isyarat dengan kepalanya."Biar nanti Bunda yang ambil. Kamu duduk saja!"Setelah meletakkan dua kantong plastik besar itu, Rani bergegas keluar. Benar saja disana ada satu buah dus berukuran sedang. Yang ternyata cukup berat.Susah payah Rani membawanya ke dalam rumah. Setelah itu dia menghempaskan tubuhnya ke atas sofa."Isinya apa, sih? Berat banget." Rani mengatur nafasnya yang tersengal."Buka aja, Bun!" Laila tersenyum lucu melihat Bundanya kecapean seperti itu.Meskipun masih cape, tapi Rani memaksakannya diri untuk bangkit karena di dorong oleh rasa penasarannya. Tangannya cekatan membuka tali dan selotip yang menutup kardus tersebut."Beras? Minyak? Ini dari siapa, Nak? Apa bantuan dari
curkan Gosip Miring"Berita itu sudah menyebar, bukan tidak mungkin rumah ini akan menjadi sorotan." Rani terlihat khawatir."Bunda tenang dulu, ya. Jangan panik, aku mau hubungi ayah dulu." Laila mengusap tangan Rani untuk menenangkan.Kemudian ia meraih ponselnya dan segera menghubungi Aji."Ya, ada apa, Laila?""Ayah sudah baca berita hari ini?""Berita tentang apa? Ayah belum cek ponsel pagi ini.""Tentang Ayah dan Bunda.""Apa?! Tentang Ayah dan Bunda? Berita apa?" Aji terdengar kaget."Ayah baca sendiri, ya. Nanti aku kirim link-nya.""Baiklah, Ayah tunggu."Panggilan berakhir, beberapa detik kemudian Laila mengirimkan link berita yang baru saja dia baca pada ayahnya.Aji segera membacanya dan sontak kaget membaca berita tentang dia dan Rani yang dituduh kumpul kebo lagi."Heran dengan para pencari berita itu tidak pernah mewawancarai aku tahu-tahu berita sudah tayang.
"Hey! Kalian wartawan 'kan?" Suara seseorang terdengar dari belakang mereka.Ketiganya serentak menoleh, dan terlihat kaget."Kenapa kaget? Seharusnya kalian senang bertemu dengan saya.""Anda .... ""Saya orang yang beritanya kalian posting pagi ini. Saya ke sini untuk menawarkan diri supaya besok kalian bisa memajang berita tentang saya di halaman paling depan."Ketiga wartawan itu saling pandang, ucapan pria dihadapan mereka terdengar seperti sindiran. Tapi dia adalah Aji, yang pagi ini beritanya jadi trending topik."Bagiamana?" Aji mengangkat sebelah alisnya."Maksad Anda?" Salah satu dari wartawan itu bertanya."Kalian tahu, apa yang kalian tulis itu fitnah. Saya sama sekali tidak melakukan seperti apa yang kalian tuduhkan. Berati kalian telah memfitnah saya dana Rani.""Maaf, Pak Aji. Kami memang tidak mewawancarai Anda, karena selama ini baik anda maupun Bu Rani terkesan menghindar dari wartawan. Tapi menurut pen