"Berita itu sudah menyebar, bukan tidak mungkin rumah ini akan menjadi sorotan." Rani terlihat khawatir.
"Bunda tenang dulu, ya. Jangan panik, aku mau hubungi ayah dulu." Laila mengusap tangan Rani untuk menenangkan.
Kemudian ia meraih ponselnya dan segera menghubungi Aji.
"Ya, ada apa, Laila?"
"Ayah sudah baca berita hari ini?"
"Berita tentang apa? Ayah belum cek ponsel pagi ini."
"Tentang Ayah dan Bunda."
"Apa?! Tentang Ayah dan Bunda? Berita apa?" Aji terdengar kaget.
"Ayah baca sendiri, ya. Nanti aku kirim link-nya."
"Baiklah, Ayah tunggu."
Panggilan berakhir, beberapa detik kemudian Laila mengirimkan link berita yang baru saja dia baca pada ayahnya.
Aji segera membacanya dan sontak kaget membaca berita tentang dia dan Rani yang dituduh kumpul kebo lagi.
"Heran dengan para pencari berita itu tidak pernah mewawancarai aku tahu-tahu berita sudah tayang.
"Hey! Kalian wartawan 'kan?" Suara seseorang terdengar dari belakang mereka.Ketiganya serentak menoleh, dan terlihat kaget."Kenapa kaget? Seharusnya kalian senang bertemu dengan saya.""Anda .... ""Saya orang yang beritanya kalian posting pagi ini. Saya ke sini untuk menawarkan diri supaya besok kalian bisa memajang berita tentang saya di halaman paling depan."Ketiga wartawan itu saling pandang, ucapan pria dihadapan mereka terdengar seperti sindiran. Tapi dia adalah Aji, yang pagi ini beritanya jadi trending topik."Bagiamana?" Aji mengangkat sebelah alisnya."Maksad Anda?" Salah satu dari wartawan itu bertanya."Kalian tahu, apa yang kalian tulis itu fitnah. Saya sama sekali tidak melakukan seperti apa yang kalian tuduhkan. Berati kalian telah memfitnah saya dana Rani.""Maaf, Pak Aji. Kami memang tidak mewawancarai Anda, karena selama ini baik anda maupun Bu Rani terkesan menghindar dari wartawan. Tapi menurut pen
"Pernyataan apa? " tanya Aji heran karena seingatnya dia tidak berkata yang menyinggung Rani."Pernyataan bahwa kita akan segera menikah, 'kan tidak lucu." Rani memberanikan diri menatap Aji."Oh itu, aku tidak sedang bercanda, kok. Aku memang serius ingin menikahimu," ucap Aji pelan sambil balas menatap Rani.Ucapan Aji tersebut membuat Rani dan Laila terkejut. Keduanya berpandangan heran."Ayah serius?" tanya Laila antusias.Aji hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia mengamati wajah Rani yang tanpa ekspresi. Ada sedikit perasaan kecewa, karena dia berharap Rani akan menyambut niatnya dengan senang. Setidaknya wanita itu akan tersenyum atau bahkan tersipu.Tapi kenyataannya, Rani hanya terdiam dengan ekspresi datar."Bun?" Laila mengguncang lengan Rani."Ah, iya!""Aku setuju kalau kalian rujuk," lanjut Laila penuh harap."Kamu main setuju saja, enggak nanya pendapat Bunda dulu?""Memangnya Bunda ...
Rani menarik nafas dalam-dalam, ia tidak boleh egois hanya memikirkan perasaannya sendiri."Baiklah, Bunda setuju.""Serius, Bun?" Laila berbinar.Rani tersenyum sambil berkaca keduanya lalu berpelukan. Rani sudah mengambil keputusan, apapun yang akan dikatakan netizen, Rani tak peduli. Setelah masa iddahnya habis, ia siap kembali menjadi Nyonya Aji."Makasih, ya, Bun. Aku seneng dengernya. Ayah juga pasti bahagia. Aku akan mengabari ayah dulu." Laila melepas pelukannya lalu segera menghubungi Aji."Ya, ada apa, Laila?" tanya Aji setelah menjawab salam dari anaknya."Aku punya kabar baik, Yah.""Maksud Kamu?""Coba Ayah tebak." Laila sengaja membuat Aji penasaran."Kamu itu, mau bikin Ayah penasaran, ya?""Ayo, tebak saja!""Ayah tutup teleponnya, ya." Aji balik menggoda Laila."Jangan!""Hmmm.""Ya, udah. Ayah pasti akan seneng mendengarnya kalau sebentar lagi kita akan tinggal bersama
Heru berpikir sejenak, ada baiknya mereka diizinkan beristirahat di sini saja. Toh mereka hanya meminta satu malam dan dia tidak akan keluar kamar."Tempatkan mereka di kamar samping!""Baik, Tuan.""Satu lagi, jangan beritahu siapa pun kalau aku ada di sini.""Beres, Tuan. Itu mah Mamang juga mengerti."Mang Juned turun ke lantai bawah, kemudian menemui tamunya di teras."Maaf lama, kata Juragan saya kalian boleh nginep tapi hanya satu malam.""Makasih, Pak. Tidak apa-apa satu malam karena besok kami akan melanjutkan perjalanan ke atas,"kata Aldi."Mari, lewat sini." Mang Juned mendahului mereka berjalan ke arah samping villa.Aldi dan teman-tema nya saling pandang karena ternyata mereka tidak diizinkan masuk ke dalam villa utama.Akhirnya mereka pasrah hanya bisa masuk bagian samping villa."Kalau ada apa-apa, Mamang di sana, ya. Ketuk saja pintunya." Mang Juned menunjuk pintu yang menjadi penghubung bagi
"Helen? Maksud kamu apa?" jawab suara di seberang telepon yang ternyata adalah Rani."Jadi, kamu mau mengelak?" Helen terdengar sewot."Bukannya mengelak, tapi kamu harus tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi.""Tidak penting!" jawab Helen ketus."Kakak kamu di penjara itu karena perbuatannya, ia pantas mendapatkannya.""Kenapa kamu sebagai istrinya tidak mau membela suami sendiri? Malah menggugat cerai dan ninggalin suami yang sedang kesusahan di penjara. Istri macam apa?""Apa pantas suami seperti kakakmu itu dipertahankan? Aku kira semua wanita yang berperan sebagai ibu akan memilih anaknya daripada suaminya bejad seperti Heru." Rani tidak bisa tinggal diam ia terus-terusan disudutkan oleh Helen.Tapi bukan Helen namanya kalau dia menyerah begitu saja."Ya, karena kesalahan terbesar kakakku adalah menikahi kamu.""Dan kesalahan terbesarku adalah jika aku bertahan dengan kakakmu."Setelah berkata seperti itu Ran
"Helen!?" seru Rani."Kaget ya, kenapa aku bisa sampai di sini? Bukan hal sulit bagiku untuk menemukanmu. Aku hanya ingin menunjukkan surat gugatan ini padamu. Jadi bersiaplah, Rani!""Surat gugatan!!" Rani kaget begitu pun dengan yang lain."Iya, apa aku perlu mengulanginya?""Gugatan apa? Apa tidak salah kamu yang menggugat?" Rani merasa heran kenapa malah Helen yang menggugat dirinya."Sepertinya justru yang salah adalah otakmu, Rani. Mas Heru harus tersiksa di penjara sementara kamu enak-enakan di rumah dengan pria lain." Helen menatap sinis ke arah Aji."Jangan sembarangan bicara!" Aji yang tadi diam saja, tak tahan akhirnya ikut berbicara."Tidak usah membela diri, karena itu kenyataanya," cibir Helen."Rani sudah resmi bercerai dengan Heru, jadi di bebas menentukan pilihan lain." Aji geram terhadap adiknya Heru itu."Oh, jadi sekarang aku mengerti apa alasannya kamu menggugat cerai kakakku. Karena pria ini 'kan?"
"Aku bisa sendiri, Bun. Enggak apa-apa, kok." Laila merengek seperti anak kecil sambil memegangi tangan Rani."Enggak, pokoknya enggak boleh sendirian. Bunda harus ikut!" Rani juga tetap bersikukuh.Pagi itu Laila ingin menemui Aris di penjara, dan tidak ingin ditemani Rani. Tentu saja ibunya itu tidak tega membiarkan anaknya pergi sendirian.Posisi mereka yang sedang dalam masalah, juga khawatir kalau ada anak buah Heru yang mengintai. Bagaimana kalau Laila dicelakai atau diculik.Selain itu juga kehadiran wartawan yang bisa ada di mana saja dan menyerang secara tiba-tiba dengan berbagai pertanyaan.Membayangkan itu Rani jadi khawatir membiarkan Laila pergi sendiri."Nanti setelah ketemu Aris sebentar, Bunda nunggu di luar biar kamu leluasa ngobrol sama Aris. Bunda janji, yang penting kamu enggak berangkat sendirian." Rani menebak kenapa Laila bersikeras ingin berangkat menemui Aris sendirian, mungkin karena tidak ingin terganggu."Y
"Alhamdulillah," ucap Laila sambil memeluk Rani.Tangis gadis itu pecah setelah mendengar putusan pengadilan bahwa Aris dinyatakan bebas setelah melalui tiga kali persidangan.Semua ini tidak lepas dari campur tangan Papanya Fanno. Aris dan Laila sangat berterima kasih kepada keluarga Fanno."Gue enggak tahu bagaimana caranya berterima kasih sama lu dan keluarga lu." Aris berganti memeluk Fanno."Santai aja, Bro. Gue lihat lu akur sama istri lu aja, gue udah seneng banget." Fanno menepuk punggung sahabatnya itu."Sampaikan terima kasih gue juga buat Papa lu, ya.""Siap, Papa juga minta maaf enggak bisa hadir di persidangan terakhir lu karena lagi sibuk.""Enggak apa-apa, bantuan beliau sudah lebih dari sekedar hadir di sini."Bersama Laila dan keluarganya, Aris akan pulang ke rumah Fanno. Sepasang mata berkaca-kaca di sudut ruang sidang. Ajeng hadir di persidangan terakhir anak laki-lakinya itu secara diam-diam."Kita te