Tidak ingin dikecewakan untuk yang ketiga kalinya. Mitha akhirnya tidak berharap akan apa pun. Satu-satunya cara untuk mengetahui siapa yang mengirimkan makanan adalah dengan menemui sopir ojek online itu.“Mau ke mana?” tanya Candra, yang melihat Mitha hendak keluar rumah.“Ke depan.” Mitha menjawab tanpa menoleh sedikit pun. Rasanya enggan untuk menatap wajah suaminya sekarang. Kesabaran Mitha perlahan terkikis. Namun, dia tahu jika dia masih harus tetap bersabar dengan keadaan ini.“Teh Paramitha?” tanya sopir tersebut, saat Mitha membukakan gerbang.“Iya, A.”Sang sopir memberikan makanan, yang ternyata adalah bento—makanan ala Jepang. “Dari siapa ini? Kalau tidak jelas, aku tidak mau menerimanya, A,” kata Mitha.“Sebentar, ya, Teh.” Sang sopir mengeluarkan ponselnya dan mengecek siapa yang memesan makanan tersebut, “dari Kang Cakrawala Bhadrika. Teteh kenal, kan? Di dalamnya juga ada kartu ucapan, tadi saya minta si teteh di kokben buat tulis.”Mendengar nama Cakra yang disebut
Hawa panas membuat Cakra merasa gerah, dia segera membuka jendela kamar kosnya. Setelah itu dia kembali duduk menghadap ke arah jendela yang terbuka. Tangannya sibuk dengan pen tab, yang sedang ia gunakan untuk bekerja. Sambil sesekali dia melirik ke arah ponselnya, seperti sedang menunggu sesuatu.Goresan demi goresan dia torehkan di atas tablet. Dia sedang membuat sebuah sketsa kasar untuk proyek yang sedang dikerjakaannya. Sampai akhirnya fokusnya teralihkan saat mendengar sebuah panggilan masuk.Dengan cepat Cakra menyambar ponsel yang diletakan tak jauh darinya. Satu nama yang sedang ia tunggu kini meneleponnya. Tak berpikir lama, Cakra segera mengangkat panggilan itu.“Halo, Mith?” sapa Cakra dengan seulas senyuman terukir di wajahnya.“Halo,” balas Mitha.Alis Cakra bertaut, dia mendengar suara yang tak biasa dari seberang sana. Suara Mitha terdengar serak.“Kamu kenapa, Mith?” Mendadak Cakra merasa khawatir dengan keadaan kakak ipar, sekaligus sahabatnya itu.“Nggak, aku baik-
Setelah tiga hari tidak pulang, akhirnya Candra kembali ke rumahnya. Mitha yang juga baru saja pulang, mendapati Candra yang sedang memarkirkan mobilnya. Pria itu keluar dari mobil dengan mengenakan pakaian setelan kerja. Tak hanya itu, dia menenteng sebuah totebag yang lumayan besar. Mata Mitha melirik ke arah jinjingan yang dibawa oleh Candra.“Kamu sama sekali tidak berniat menyapaku, Mith?” tanya Candra. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan Candra, membuat Mitha sedikit tersentak. Pandangannya yang tadi sedang menelisik jinjingan di tangan Candra, kini beralih menatap wajah pria itu. “Mas, sudah pulang?” Akhirnya Mitha melemparkan pertanyaan pada suaminya. Sebenarnya Mitha ingin mengatakan hal yang lebih sarkastik. Hanya saja, dia tidak ingin berdebat dengan suaminya lagi. “Iya.”Candra melengos, dan berjalan menuju pintu. Padahal Mitha sedang mendekat ke arahnya, dan hendak mencium tangan suaminya. Hanya helaan napas panjang, yang dilakukan oleh Mitha sekarang.“Mith, cepet
Mitha masih terdiam, dadanya terasa dihantam sesuatu. Entahlah, mulut Mitha tiba-tiba seperti diberikan perekat yang sangat kuat. Dia tak mampu menjawab pertanyaan yang baru saja ditanyakan adik iparnya.“Kalau iya. Tenang saja, itu tidak akan pernah terjadi lagi, Kak,” ucap Cakra dengan suara yang terdengar datar di telinga Mitha. Hati Mitha merasa tak yakin dengan ucapan dari Cakra. Bukan berarti Mitha tak percaya dengan Cakra. Hanya saja, masa depan siapa yang tahu, bukan? Di satu sisi, otak Mitha terus memberikan sinyal bahaya, jika Cakra benar-benar tinggal di sini. Karena ada hal lain yang Mitha takutkan, yaitu ketika dosa besarnya diketahui oleh Candra.“Tetap saja, Cak. Aku tidak bisa,” ucap Mitha. Setelah dia berusaha untuk mendobrak lem yang merekat di bibirnya. “Tolong, hargai keputusanku. Kalau kamu masih menolak, aku anggap kamu sama saja dengan mas Candra. Suaraku memang tidak pernah di dengar di sini,” terang Mitha dengan suara yang terdengar parau. Wajah Mitha men
Anin menunggu jawaban atas pertanyaannya. Namun, sepertinya percuma, karena terlihat Mitha sudah mengangguk-angguk tidak jelas. Dia pun menghela napas, lalu membuka ponsel flip milik Mitha dan segera menghubungi Cakra.Kurang dari dua puluh menit, Cakra tiba di tempat. Dia tidak membawa kendaraan apa pun. Dan untuk beberapa detik, Anin sempat terpesona dengan visual Cakra. “Ekhm.” Anin berdeham, ketika tersadar dia sempat mematung beberapa saat.Terlihat Cakra sudah langsung menghampiri Mitha ketika dirinya baru saja turun dari motor, yang dia tumpangi.“Kamu temannya Mitha atau siapa?” tanya Anin. “Aku adik iparnya,” jawab Cakra cepat. Dia masih mencoba menyadarkan Mitha, yang nampak mabuk berat.“Mith, bangun,” ucapnya sambil menepuk-nepuk pipi Mitha.Kemudian Cakra mendesah, dan menoleh ke arah Anin yang sedang berdiri di dekatnya.“Kenapa dia bisa mabuk begini?” tanya Cakra, “apa dia sering seperti ini?” imbuhnya.Anin menggeleng, “Mitha jarang sekali mabuk. Terakhir mungkin awa
Sambil masih memejamkan mata, Mitha melenguh. Wanita itu nampak meregangkan kedua tangannya ke atas kepala. Badannya terasa sakit, dan kepalanya terasa sangat berat. Bahkan kelopak matanya saja seolah menolak untuk membuka. Pikiran Mitha yang perlahan sudah mulai jernih. Mencoba memutar kejadian kemarin, yang membuat dia pagi ini merasa tidak enak badan. “Ah, kemarin makan malam ditraktir Mbak Puspa,” batinnya.Tubuhnya kini Mitha miringkan ke kanan, lalu meringkuk. Badannya terasa sangat sakit sekali. Dia masih tidak ingin melepaskan tubuhnya dari tempat tidur.Otaknya masih bekerja, seolah memaksa Mitha untuk mengingat lebih detail tentang kejadian semalam.“Benar, aku mabuk berat,” ucap Mitha lagi dalam hatinya. Namun, sedetik kemudian Mitha membuka matanya lebar-lebar. Tubuhnya langsung bangkit dari kasur, dan kini wajahnya menegang. “Astaga! Apa yang aku lakukan?” ucap Mitha hampir memekik. Mitha ingat dengan jelas kejadian semalam. Kini dia menangkup wajahnya yang perlaha
Mitha masih merasa bingung dengan perasaan dan pikirannya. Karena seharian ini, otak dan hati Mitha dipenuhi oleh Cakra.Perhatian, sikap dan ucapan dari adik iparnya itu. Membuat hati Mitha bergetar. Merasakan kehangatan dari harapan yang ingin ia dapatkan. “Ah, Mitha sudahlah! Jangan kamu pikirkan lagi,” gumam Mitha. Dia baru saja tiba di rumah, setelah seharian bekerja. Ternyata belum ada siapa pun di sana; baik Candra maupun Cakra. “Tumben Cakra belum pulang,” ucapnya, yang ternyata lebih memikirkan Cakra daripada suaminya.Di kala kesendirian, Mitha tiba-tiba ingin membuka lembaran kenangan masa lalu. Dia membuka sosial medianya, dan melihat beberapa postingan saat dia kuliah.Ada beberapa foto Mitha bersama Cakra, saat kegiatan UKM—unit kegiatan mahasiswa. Mereka berdua berasal dari jurusan yang berbeda, tapi mereka dipertemukan di UKM yang sama. Dari sanalah kedekatan Mitha dan Cakra tercipta. Mereka sering melakukan projek bersama. Saking dekatnya, Mitha pernah membawa Cak
Mata Candra membulat, saat mendengar Mitha berkata demikian. Dadanya merasakan perasaan yang aneh. Wajahnya pun terlihat menegang. Candra melihat Mitha memegang satu kemeja berwarna biru langit, yang dipakainya kemarin. Pikirannya terbawa pada momen yang terjadi kemarin malam.“Apaan sih, Mith? Mana mungkin bau parfum perempuan,” kata Candra, dia segera menyimpan laptop ke samping. Kemudian bangkit menghampiri Mitha. Dengan cepat, Candra merampas kemeja yang sedang dipegang oleh Mitha.“Aku tidak mencium bau apapun,” elak Candra. Mitha mendengus pelan, sambil menaikkan sebelah alisnya. Dalam benaknya kini muncul pertanyaan, yang berasal dari keraguan di dalam hatinya.“Lagian, kamu itu jorok banget, sih! Ngapain kamu cium-cium aroma pakaian kotor, hah?” sewot Candra, seraya melempar pakaiannya ke lantai.Mulutnya memang berkata seolah dia tidak salah. Namun, sorot mata Candra bergetar. Dia terlihat sedikit panik, karena memang kenyataannya Candra mencium aroma parfum wanita yang ke
Baru kali ini—sejak beberapa tahun terakhir— Mitha diajak makan malam berdua bersama suaminya. Sungguh, Mitha dibuat terkejut oleh Candra. Karena pasalnya kini mereka sudah berada di sebuah restoran Jepang.“Kamu mau ramen seperti biasa kan?” tanya Candra pada Mitha.“Boleh, kebetulan aku lagi pengin ramen,” jawab Mitha Dalam hati Mita bertanya; apakah suaminya benar-benar masih mengingat menu favoritnya?“Mas, saya pesan dua beef ramen, kuahnya toripaitan. Minumnya Ocha.” Candra kemudian membuka halaman pada buku menu.“Side dish-nya, karaage 1 dan ekado goreng 1,” imbuh Candra. Mitha sedikit terkejut karena Candra benar-benar masih mengingat menu favoritnya.Setelah mencatat pesanan Candra, pramusaji itu pun segera pergi dan membuat kan pesanan mereka.Hening sejenak, seolah tidak ada yang berani lebih dulu untuk berbicara. Sesekali Mitha mengintip untuk melihat Candra. Terlihat suaminya itu sedang sibuk dengan ponselnya.“Maaf, tadi ada chat dari Faisal. Masalah kerjanya,” ucap
Tas yang dibawa Mitha barusan—milik Keyza—adalah tas yang pernah Mitha inginkan. Mitha pernah melihat tas tersebut di mobil suaminya. Namun, sang suami mengatakan bahwa itu milik atasannya. Melihat Keyza memiliki tas itu, entah kenapa Mitha merasa sangat iri. Padahal bisa saja Keyza memiliki tas itu karena atas jerih payahnya sendiri. “Mbak, boleh nggak aku pakai anting ini?” tanya Keyza yang menunjukkan perhiasan yang tersemat di daun telinganya. Puspa mengamati sebuah anting dengan mata berbentuk bunga berwarna salem. Selain itu anting itu sedikit panjang. “Boleh. Malah kayaknya cocok sama look pertama sama ketiga, deh.” Puspa melemparkan pandangan ke arah gaun yang masih tergantung. “Wah, Mbak Keyza sengaja atau kebetulan pakai anting ini?” tanya Puspa. Keyza tersenyum, “Sengaja, sih, Mbak. Kemarin Mbak Puspa kan kirim foto gaunnya. Aku coba cari perhiasan yang sekiranya cocok sama gaun yang bakal aku pakai hari ini. Syukurlah kalau Mbak Puspa setuju,” terang Keyza .“Wah, Mb
Semalaman Mitha tidak bisa tidur. Pikirannya kalut, karena khawatir jika skandal dia dengan sang adik ipar terendus oleh suaminya. Candra sungguh bersikap sedikit aneh. Dia sama sekali tidak memancing keributan dengan Mitha. Bahkan kini dia mau sarapan bersama dengan istri dan adiknya. Di samping Candra, nampak Cakra yang melirik pada sang kakak. Mitha bisa melihat dengan jelas, bahwa Cakra juga merasa sedikit gugup. Pasalnya, Mitha semalam mengirim pesan pada Cakra untuk bisa menjaga jarak dengannya, karena sang suami sudah kembali. “Ayok, Mith,” ucap Candra seraya meraih tas miliknya dan berdiri di ambang pintu. “Eh?” Mitha nampak memasang wajah bingung, “ayo?” tanyanya dengan nada bergumam. “Ayo berangkat kerja,” ajak Candra lagi.Kedua alis Mitha terangkat, bahkan kini kepalanya sedikit tertarik ke belakang. Apa Mitha tidak salah dengar?“Aku akan mengantarmu ke kantor,” kata Candra menegaskan. Ada angin dari mana, sampai Candra mau mengantar Mitha ke kantor? Keanehan itu ti
“Mith?” Seseorang memanggil Mitha, tapi wanita itu nampaknya tidak mendengar. Tatapannya kosong, dan dirinya diam mematung tepat di depan kompor. “Mitha?” Panggil orang itu lagi.Sayangnya, Mitha masih tidak merespon. Sepertinya kedua telinga Mitha disumpal oleh benda asing. Sehingga dia tidak bisa mendengar suara apa pun. Bahkan suara air khas dari teko yang sedang dimasak pun, Mitha tidak bisa mendengarnya. Pria yang memanggil Mitha adalah Cakra. Melihat tingkah wanita itu yang nyatanya sedang melamun, membuat Cakra mendekat. Kemudian tanpa basa-basi, Cakra tiba-tiba mengecup pipi Mitha. Ya. Usaha Cakra itu membuahkan hasil. Mitha tersentak dan langsung menoleh ke arah Cakra.“Ish! Kamu apa-apaan, sih, Cak?” sewot Mitha yang sepertinya tidak terima ketika mendapatkan serangan tiba-tiba. Cakra mengangkat kedua alisnya, “Cium kamu. Lagian dari tadi aku manggil, tapi kamu nggak nyaut. Itu tuh, airnya udah mateng,” ucap Cakra sambil menunjuk teko di atas kompor oleh dagunya. Panda
“Serius, Mitha nggak penasaran kamu ke mana?” tanya Keyza.Wanita itu sedang tidur bersama dengan pria yang dicintainya. Candra menempelkan dagunya di puncak kepala Keyza.“Iya. Sekedar chat juga nggak pernah,” jawab Candra. Akan tetapi, nada bicara Candra terdengar mengusik perasaan Keyza. “Bagus dong,” celetuk Keyza.Namun, Candra tak menanggapi. Terlihat tatapannya seperti sedang menerawang sesuatu. “Mas, apa mungkin Mitha juga berselingkuh?” Keyza nampaknya sedang memprovokasi Candra. “Hah?” Umpan yang diberikan Keyza, kini disantap oleh sang ikan. Keyza bangkit, merubah posisinya menjadi duduk menatap Candra yang sedang tertidur. “Iya, itu mungkin saja, bukan?” lempar Keyza lagi.Namun, Candra menggeleng sambil tersenyum meremehkan.“Tidak mungkin. Siapa juga yang mau sama Mitha?” celetuk Candra.Tiba-tiba saja otak Candra memunculkan bayangan sosok Mitha. Dia mencoba menerawang bagaimana bentuk fisik Mitha. Namun, ada satu hal yang mengusik hati Candra. Entah kenapa, dia m
Mitha terbangun dengan kondisi masih tak berbusana. Begitupun dengan Cakra yang ada di sampingnya. Dia beringsut bangkit dari tempat tidur. Namun, saat dirinya hendak duduk, tangan Cakra langsung memeluknya. Seolah melarang Mitha untuk beranjak dari posisinya.“Biarkan aku memelukmu lebih lama lagi, Mitha,” ucap Cakra dengan suara yang parau, khas bangun tidur. Mitha melipat bibirnya. Dia memandang wajah Cakra yang masih terpejam. Memorinya memutar kejadian semalam, di mana mereka saling menciptakan irama erotis yang membara. Otak Mitha juga menangkap ekspresi wajah Cakra yang begitu sangat menggairahkan, ketika mereka sedang berbagi peluh bersama. Sedetik kemudian, Mitha menggeleng sambil memejamkan matanya. “Cakra,” panggil Mitha, dia mencoba melepaskan pelukannya. “Hmm?” Cakra hanya berdeham.“Sudah siang, kita harus pergi dari sini,” ucap Mitha. “Lima menit lagi. Cuman di sini aku bisa lebih dekat denganmu, Mith,” timpal Cakra. Namun, Mitha menggeleng, “Sudah cukup, Cak.” D
Entah kenapa hati Cakra tidak tenang. Ibunya memberi tahu bahwa Mitha dan Candra sedang menghabiskan malam bersama di hotel. Cakra yang mengetahui bagaimana kisah kakak dan kakak iparnya itu, merasa khawatir dengan keadaan Mitha. Dengan cepat Cakra menyusul mereka ke hotel yang dimaksud.“Cakra?” Mitha terkejut saat mendapati adik iparnya berdiri di hadapannya. Tak hanya Mitha yang kaget. Cakra juga dibuat terlonjak dengan kondisi Mitha, yang hanya mengenakan pakaian tipis. Perlahan sisi kejantanan Cakra mulai bangkit.“Di mana, Mas Candra?” tanya Cakra.Mitha memungut handuk yang sempat ia kenakan tadi. Kemudian dia langsung menutupi tubuhnya dengan handuk tersebut. “Per-pergi,” jawab Mitha dengan gugup.Cakra mendengar suara lift berhenti. Dengan cepat dia masuk ke dalam kamar Mitha, lalu menutup pintunya rapat.Tubuh Mitha menegang, ketika mendapati Cakra ada di hadapannya dengan jarak yang lumayan dekat. Dia mendongak memperhatikan Cakra.“Terus, sedang apa kamu mengenakan paka
Untuk beberapa saat, Mitha mematung sambil memandang miris kotak pemberian dari sang ibu. Sedih rasanya ketika sang ibu mertua lebih bersemangat dengan hubungan rumah tangga mereka. Keheningan itu pecah, ketika Candra kembali hadir di tengah-tengah mereka. “Sudah selesai makan malamnya?” tanya Candra yang melihat sendok dan garpu pada piring Rifah juga Mitha dalam posisi tertutup. “Sudah,” jawab Rifah. Candra menarik tipis kedua ujung bibirnya, “Ya sudah, ayo kita pulang!” ajak Candra. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Candra masih memiliki waktu untuk menyelinap, lalu pergi dari rumah. Tadi Candra mendapatkan panggilan dari Keyza, dia sudah menunggunya di apartemen. Hanya saja Candra sedikit berbohong tentang keberadaannya. Dia tidak ingin Keyza tahu, kalau sebenarnya Candra sedang bersama dengan Mitha. “Pulang?” kata Rifah. Candra menarik kepalanya ke belajkang, alisnya terlihat mengerut. “Kalian tidak akan pulang,” imbuh Rifah. Mata Candra membeliak, mendengar ucapan
Candra benar menjemput sang ibu di stasiun. Untung saja keretanya delay beberapa jam. Sehingga Candra tidak perlu izin pulang lebih dulu. Kemudian membawanya pulang ke rumah.“Mama kenapa nggak ngomong dulu, sih, kalau mau ke sini?” cerocos Candra.Jujur saja Candra merasa kesal dengan kedatangan sang ibu yang mendadak. Karena mau tidak mau Candra harus kembali ke rumah ini. Padahal dia sudah memiliki rencana spesial malam ini.“Surprise!” ucap Rifah sambil mengangkat kedua tangannya. Wajahnya berbinar, memberikan kejutan pada sang anak.Decakan keras terdengar dari mulut Candra, dan itu bisa didengar oleh Rifah. Seketika wanita itu mendekat ke arah anaknya.“Kenapa? Kamu nggak suka Mama datang?” tanya Rifah sedikit ketus.Melihat raut wajah ibunya yang berubah kesal, membuat Candra mencengkram kelopak matanya. Dia menarik napas, lalu menarik kedua sudut bibirnya.“Bukan begitu Mama, Sayang.” Candra merangkul sang ibu. Dia tidak boleh membuat ibunya marah, karena itu akan menjadi keru