Bab 12
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Rayna yang membawa kunci cadangan berhasil masuk ke dalam rumah dengan mudah. Suasana di dalam rumah sudah sepi. Setelah mengunci pintu depan, perempuan itu segera bergegas menuju dapur.
Piring dan semua perabotan makan masih bertebaran di meja makan. Meja makan pun masih kotor, meskipun tak ada secuil makanan pun tersisa. Rayna hanya tersenyum samar. Dia segera mengambil piring-piring kotor itu dan membawanya ke tempat cucian, lalu membersihkan meja makan.
Rayna membuka lemari makanan, tetapi ternyata isinya pun kosong. Hanya ada beberapa makanan kering seperti mie instan, bihun, beberapa bungkus roti dan biskuit. Tangannya sudah terjulur bermaksud mengambil satu bungkus mie instan. Namun, ia segera mengurungkan niatnya.
Ibu mertuanya yang bertugas belanja bahan makanan di rumah ini. Perempuan tua itu hapal betul berap
Bab 13Ziyad segera berlalu dari dapur, meninggalkan Rayna sendirian. Tak mau membuang waktu lagi, Rayna segera mengambil nasi. Hari ini ia bermaksud untuk memasak nasi goreng.Dia sengaja membuat nasi goreng untuk tiga porsi saja. Rayna tahu, meskipun dia membuat sarapan untuk empat orang, tetap saja dia tak kebagian. Entah sengaja atau tidak, orang di rumah ini kompak untuk menghabiskan semua makanan, sehingga dia selalu tak kebagian. Dia pun juga masih dilarang oleh Ziyad untuk makan bersama mereka. Rayna harus selalu makan dari sisa makan orang rumah, itupun kalau ada.Aroma harum nasi goreng membuat Ziyad kembali ke dapur. Lelaki itu menatap gerak-gerik istrinya yang telah mengambil tiga buah piring.Tak sampai lima menit, semuanya sudah siap. Ziyad sudah duduk di kursi, sementara Selvi dan Ibu menyusul beberapa menit kemudian. Mereka nampak lahap menyant
Bab 14 Perempuan tua itu masih saja duduk di sofa. Matanya menyorot tajam, menatap Rayna yang terlihat tenang. Diam-diam Widya salut dengan ketenangan wanita muda di hadapannya ini. Menantunya ini terlihat seperti tidak takut atau gentar sama sekali. Widya sendiri sebenarnya merasa heran, kenapa Rayna selalu bersikap melawan, sedangkan seharusnya sebagai seorang menantu, dia tunduk dan patuh terhadap mertua dan mau menurut aturannya. "Aku sudah pernah mengatakan kepada Mama, kalau aku sama sekali tidak pegang gaji Ziyad. Kalaupun aku membeli makanan atau apapun yang berkaitan dengan keperluanku, itu menggunakan uangku sendiri," jelas Rayna. "Kalau Mama menginginkan apapun, Mama bisa meminta kepada Ziyad. Aku tidak akan protes. Bukankah selama ini Mama selalu begitu?" Ucapan Rayna telak menyindirnya.
Bab 15 Kedengarannya ini memang egois, tetapi itulah laki-laki. Jikalau ada laki-laki yang tidak menginginkan keperawanan seorang wanita, itu bullshit! Kecuali kalau si laki-laki memang sudah cinta mati dengan perempuannya. Seorang lelaki pasti ingin menikahi seorang gadis perawan sebagai calon ibu untuk anak-anaknya dan dia pun tetap menginginkan wanita yang bisa membangkitkan sisi terliar sebagai seorang lelaki, wanita yang bisa di ajak untuk bersenang-senang. "Kamu kenapa, Ziyad?" tegur Ghina. Waktu istirahat kantor sudah tiba dan kini mereka hanya berdua di ruangan kerja Ghina yang tidak terlalu luas. "Tidak apa-apa, Ghina." Ziyad mencoba untuk tersenyum. Perempuan muda itu mendekat, melingkarkan sepasang tangannya di leher lelaki itu. Ki
Bab 16 "Namaku Ravin," ucap lelaki itu tenang. Tangannya masih bersedekap dengan tubuh bersandar di salah satu tiang rumah itu. Dia membalas tatapan Ziyad yang seakan ingin menerkamnya. "Kamu sudah tahu, kan, Rayna itu adalah istriku. Kenapa kamu masih berani mendekat?" bentak Ziyad. "Karena dia hanya istrimu di atas kertas, bukan istri yang sebenarnya. Apakah boleh di sebut suami, orang yang tega menyia-nyiakan wanita yang sudah dinikahinya? Kamu pikir aku tidak tahu masalah rumah tangga kalian?" balas Ravin. Laki-laki itu mulai mengeluarkan kartu as-nya. Ziyad menggeram. Tangannya di kepalkan ke atas. "Kurang ajar! Itu adalah urusan rumah tanggaku, bukan urusanmu!" pekik Ziyad. Ravin berhasil menepis bogem mentah yang akan dilancarkan Ziyad kepadanya. "Kamu tidak pe
Bab 17 Tanpa memperdulikan ibunya ataupun membereskan kekacauan yang dia buat di ruang tamu, Ziyad masuk ke dalam kamar tidurnya. Langkahnya sempoyongan saat mendorong pintu. Hampir saja ia terjatuh. Lelaki itu berusaha menegakkan tubuhnya, berjalan menuju tempat tidur. Ziyad menghempaskan tubuhnya di kasur. Kepalanya semakin pusing. Efek dari minuman dan juga pertengkarannya dengan Rayna dan Ravin. Aaggrrhh... Ziyad mengerang frustasi. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" "Dasar lelaki kurang ajar! Berani sekali kamu bawa istri orang. Tidak punya sopan santun! Membawa istri orang di hadapan suaminya sendiri!" Tidak henti-hentinya Ziyad mengupat. Dia menyesali ketidakberdayaannya mempertahankan Rayna sehingga akhirnya wanita itu dibawa oleh Ravin.
Bab 18 "Ini ada pakaian ganti untukmu," ucap Ravin sembari menyerahkan sebuah paper bag kepada Rayna. "Pakaian ganti?" ulang Rayna. Dia menerima paper bag dan mengintip isinya. "Iya. Tadi malam sebelum tidur, aku menghubungi asisten pribadiku, Bram, memintanya untuk membelikanmu pakaian. Semoga cocok ya. Maklum, hasil belanjaan laki-laki." Rayna terperangah. Dia baru sadar lelaki yang di hadapannya ini adalah lelaki kaya raya dan penuh dengan kuasa. "Terimakasih, Ravin. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu," ujarnya lirih. "Sama-sama. Sekarang mandilah. Aku tunggu kamu di dapur untuk sarapan bersama." Usai mengucapkan kata-kata itu, Ravin berbalik meninggalkan kamar, sementara Rayna bergegas menuju kamar mandi di pojok ruangan. Lima be
Bab 19"Hentikan niat Mama untuk mendatangi Rayna di rumah itu, Ma. Aku tidak mau berurusan dengan Ravin!" sentak Ziyad. Dia sangat jengkel dengan sikap ibunya."Ravin? Jadi lelaki itu namanya Ravin?" tanya Widya."Iya, Ma. Dan asal Mama tahu, Ravin itu adalah pemilik dari Al-Fatih Mart tempat Rayna bekerja!" beritahu Ziyad. Dia menarik tangan sang ibu agar kembali duduk di sisi tempat tidur."Tidak mungkin! Rayna itu hanya gadis kampung! Dan tidak mungkin Bos Al-Fatih Mart malah tertarik dengan Rayna, apalagi dia istri orang!" pekik perempuan tua itu. Matanya melotot menatap wajah Ziyad yang dingin."Sudah aku katakan, Ma, biar aku sendiri yang menyelesaikan semua ini. Aku akan membawa Rayna kembali ke rumah ini." Lagi-lagi emosi Ziyad melonjak. Teringat peristiwa tadi malam, kata-kata Ravin sungguh melecehkannya, merendahkan harga
Bab 20 Ravin sangat menikmati perjalanannya kali ini. Lelaki itu tengah asyik dengan ponsel, bertukar pesan dengan Rayna. Sesekali bibirnya mengukir sebuah senyuman. "Bahagia sekali bosku. Mentang-mentang lagi serumah dengan kelinci kecilnya. Dapat berapa ronde tadi malam, Bos?" goda Bram. Lelaki itu mengambil alih kemudi demi melihat Ravin yang nampak bersemangat sekali pagi ini. "Ronde apaan? Emangnya main tinju?" Mata Ravin melotot. "Kalau ngomong itu ya di saring dulu!" Bram tertawa keras. "Kali aja Bos kangen dengan suasana lima tahun yang lalu." Lelaki itu seketika tersenyum kecut. "Jangan tanya soal itu, Bram. Pasti kangen lah. Apalagi tadi malam kami hanya berdua di rumah. Aku pula yang menggendongnya ke kamar saat ia tertidur di bahuku." Kep