Bab 6
Menjelang sore adalah saat pergantian shift. Setelah memastikan penggantinya sudah bisa melakukan tugasnya dengan baik, Rayna segera keluar dari gedung Al-Fatih Mart.
Hari yang melelahkan. Dia tak menyangka harus terjadi drama konyol yang membuatnya malu sendiri. Membiarkan bahu dan pundaknya di elus-elus lelaki lain, walaupun lelaki itu melakukannya demi menenangkannya.
Ah, kenapa gangguan kecemasan itu tak juga hilang dari dirinya? Semenjak peristiwa itu, ya sejak ia menemukan dirinya di sebuah kamar hotel bersama seorang laki-laki.
Rayna terus melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Motor itu sudah butut dan sebenarnya sudah layak pensiun. Namun, Rayna sangat memerlukannya. Dia tidak mungkin terus-menerus menggunakan jasa ojek online yang akan berdampak pada semakin besarnya pengeluaran. Rayna harus berhemat karena ia harus mengirim uang untuk ibunya di kampung.
"Dari mana saja kamu, Rayna?" Baru saja ia menjejakkan kakinya masuk ke dalam rumah, ibu mertuanya sudah menyambut dengan sebuah pertanyaan.
"Dari tempat kerja, Ma. Mama kan tahu kalau aku kerja," sahut Rayna.
"Tapi kenapa terlambat seperti ini? Kamu sengaja ya, mengulur-ulur waktu biar kamu terbebas sementara dari pekerjaan di rumah ini?" Ibu mertuanya mendelik.
"Tidak, Ma. Hari ini memang aku telat sedikit karena tadi siang ada inspeksi mendadak dari tim pusat ke toko. Makanya semua karyawan pulang terlambat," jelasnya.
"Halah, paling itu alasan kamu saja. Nyatanya kamu memang pemalas, kan?"
Rayna berusaha menyabarkan diri. Dia harus menyadari bahwa keadaan ini hanya sementara waktu. Setelah waktunya habis, dia akan segera menggugat cerai laki-laki itu.
"Aku tidak malas, Ma, tetapi memang benar aku pulang terlambat karena urusan pekerjaan dan ...." Rayna tak melanjutkan ucapan karena perempuan tua di hadapannya itu keburu memotong ucapannya.
"Sudah sana. Tuh lihat, cucian di kamar mandi menumpuk. Segera selesaikan," suruh ibu mertuanya.
"Iya, Ma, nanti akan aku kerjakan. Sekarang aku ganti baju dulu ya."
Rayna berlalu dari tempat itu menuju kamar.
Sebenarnya ia sangat lelah sehabis bekerja, ditambah lagi dengan insiden yang dialaminya tadi siang di toko. Namun, mengurus rumah dan semua keperluan penghuninya adalah tugasnya. Tugas yang terpaksa dilakukannya sebagai cara melunasi mahar yang sudah diberikan Ziyad kepadanya. Jauh dilubuk hati Rayna, dia ingin membuat Ziyad puas dan menganggap bahwa apa yang sudah dikeluarkannya tidaklah sia-sia.
Perempuan itu lantas berganti pakaian kemudian segera melangkah menuju kamar mandi. Rayna menggelengkan kepala saat melihat cucian bertumpuk.
"Banyak sekali. Tampaknya mereka memakai pakaian sesuka hati. Mentang-mentang sudah ada tukang cuci gratis di rumah ini," gerutu Rayna sembari menggelengkan kepala. Dia memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci, sepotong demi sepotong. Bibirnya mengembang senyum sinis.
Selesai mencuci pakaian, Rayna pun berpindah ke dapur. Dia harus memasak untuk makan malam. Dilihatnya di lemari makanan, semuanya sudah habis. Rayna teringat perutnya. Perempuan itu lantas bersyukur, tadi siang dia diajak makan bersama seluruh karyawan toko dengan tim dari pusat.
Rayna mengeluarkan beberapa bahan makanan dari kulkas. Ayam, sosis dan beberapa sayuran seperti wortel, kentang kol dan juga daun bawang.
Sembari bersenandung, perempuan itu memotong bahan-bahan dengan terampil. Dia sudah biasa masak sendiri selama tinggal bersama ibunya di kampung dan berada di kos-kosan. Malam ini dia akan memasak sop ayam dan sosis pedas manis
Beberapa puluh menit telah berlalu. Aroma masakan terasa begitu harum, membuat Selvi yang tengah rebahan di ruang tengah bangkit dan melangkah menuju dapur.
"Masak apa, Kak?" tegurnya. Dia melihat panci yang masih mengepulkan uap di atas kompor yang menyala.
"Sop ayam, Selvi. Kamu mau bantu Kakak?" tawarnya. Perempuan itu menunjuk tumpukan sosis yang baru selesai dia potong.
Sontak gadis itu melotot. "Ogah, ah. Memasak sudah menjadi tugas Kakak. Kenapa harus melibatkan aku?" sentaknya.
"Kakak hanya menawarkan, Selvi. Kalau kamu tidak mau bantu, ya nggak apa-apa. Tapi serius loh Kakak bilang, memasak Itu sebenarnya menyenangkan. Dulu sewaktu masih di kos, Kakak sering masak sendiri. Kakak pikir, masak sendiri itu lebih enak dan sehat."
"Itu sih Kakak. Aku nggak mau ah! Kan sudah ada Kakak di rumah ini yang masak. Ngapain aku harus membantu Kakak?"
Rayna cuma mengelus dada saat sosok gadis itu tiba-tiba saja berlari kecil meninggalkan dapur.
"Anak ini ya, bener-bener, persis sama kakaknya. Mau enaknya sendiri. Entah gimana nanti kalau dia sudah menikah."Tak mau mengambil hati dengan sikap adik iparnya, Rayna meneruskan acara memasaknya. Kali ini dia menumis bumbu, lantas memasukkan potongan sosis, mengaduknya, membubuhkan kecap dan sambal.
*****
Sementara itu di tempat lain, dua orang laki-laki dewasa tengah duduk di sofa. Mereka terlibat dalam pembicaraan serius. Sebuah laptop tersaji di meja depan tempat mereka duduk.
"Bagaimana, Bram? Kamu yakin dengan gadis itu?" tanya Ravin kepada Bram, asisten pribadinya.
"99,99% yakin, Bos. Walaupun gadis itu sekarang sudah memakai jilbab," ujar Bram menatap lekat bos-nya.
"Menurutku juga begitu. Aku merasakan harum tubuhnya yang sama seperti malam saat terjadi percintaan panas di antara kami. Meskipun waktu itu aku dalam keadaan mabuk, tetapi indera penciumanku tidak mabuk. Laki-laki dewasa itu terkekeh. "Dia sangat manis malam itu. Dan tadi siang pun juga begitu manis."
Lelaki itu masih teringat bagaimana dia menenangkan Rayna yang gemetar karena takut dengan pemeriksaan yang dilakukan pada laptop kerjanya. Bagaimana dia mengusap bahu dan pundak perempuan itu berkali-kali. Satu hal yang membuat dia merasa yakin dengan instingnya sendiri.
"Terus, apa yang harus kita lakukan Bos?"
"Apa yang harus kita lakukan?" Lelaki yang bernama Ravin itu melotot kepada Bram. "Ya, tentu saja kamu harus membawa gadis itu ke hadapanku. Aku tidak mau lagi kehilangannya!"
"Tapi kejadian itu sudah sangat lama, Bos. Lima tahun yang lalu. Tidak menutup kemungkinan kalau gadis itu sudah menikah."
"Iya, aku tahu. Tapi kamu bisa, kan, merebutnya dari suaminya? Ini kalau dia sudah bersuami lho! Kalau dia masih belum bersuami, ya aman," imbuh Ravin.
"Bos terlalu terobsesi," keluh Bram. Firasatnya mengatakan bahwa ini tidak akan mudah. "Aku akan menyelidiki gadis itu, Bos, tetapi kalau sampai dia sudah menjadi istri orang, aku angkat tangan!"
"Bram!" bentak Ravin. "Kamu berani melawan perintahku? Sudah mulai bosan dengan pekerjaanmu, hah?"
"Bu- bukan begitu, Bos. Aku hanya tidak mau merusak rumah tangga orang."
Ravin menghentakkan kaki ke lantai, kemudian melemparkan selembar foto ke hadapan asisten pribadinya itu.
"Namanya Rayna Anindya Edelwies, umur 27 tahun, pekerjaan sebagai kasir di salah satu toko cabang Al-Fatih Mart dan masih single! Ini data terakhir yang ku dapat dari perusahaan. Untuk hal sepele ini harus aku sendiri yang mengerjakan?" ejek Ravin.
"Dan kamu, kerjamu apa? Masa di suruh membawa gadis itu saja tidak mau?"
Bram mati kutu. Dia menyadari perkataan bosnya benar. "Baiklah, aku akan mencobanya."
Ravin tersenyum puas. "Bawalah Rayna ke hadapanku. Aku sudah lama merindukannya, kelinci kecilku yang manis..."
Bab 7"Malam itu dia begitu manis, meskipun dalam keadaan tak sadar. Aku pun juga begitu. Semua berjalan begitu saja. Aku juga tidak tahu kenapa aku sampai salah masuk kamar. Apa karena waktu itu aku sedang mabuk ya?" Ravin menghela nafas. Matanya menerawang, menatap langit-langit ruangan.Lima tahun sudah berlalu, tetapi peristiwa malam itu terpatri begitu kuat di benaknya. Masih terasa geliat tubuh indah yang berada di bawah kungkungannya, desahan dan erangan gadis itu, lalu pekikan tertahan saat lelaki itu berhasil merobek selaput daranya.Tak ada identitas apapun mengenai gadis yang pernah berbagi kehangatan semalam dengannya. Ravin tidak tahu siapa dia. Gadis itu keburu pergi sebelum ia bangun dari tidurnya, sebelum ia sempat mengenali lebih jauh. Wajahnya saja ia tidak terlalu kenal, karena malam itu kamar hotel dalam keadaan gelap. Percintaan panas itu hanya menuruti
Bab 8Rayna melongo saat membuka kulkas. Isi kulkas masih sama seperti tadi pagi ia tinggalkan pergi bekerja."Bukannya Ziyad telah memberikan sejumlah uang untuk Mama agar berbelanja bahan makanan? Apakah beliau tidak belanja hari ini?" Rayna bertanya-tanya dalam hati."Mama," panggil Rayna saat perempuan tua itu melintas di dapur. "Maaf, Ma. Aku lihat isi kulkas masih sama seperti tadi pagi aku tinggalkan. Apakah Mama tidak berbelanja tadi siang?""Lah, bukannya yang seharusnya belanja itu kamu? Kamu kan istrinya Ziyad? Kenapa Mama yang harus belanja?" sengit perempuan itu. Dia ikut-ikutan memeriksa isi kulkas yang memang tampak mulai kosong."Tapi Ziyad bilang, dia sudah memberikan sejumlah uang kepada Mama untuk belanja bahan makanan," sanggah Rayna. "Makanya aku tidak tahu apa-apa lagi dan pagi tadi langsung berangkat kerja tanp
Bab 9"Ya nggak seperti itu juga kali, Ma. Beberapa bulan terakhir ini kebutuhanku banyak. Aku juga harus lebih banyak menabung. Apalagi pesta pernikahanku dengan Rayna juga memakan biaya yang tidak sedikit." Lelaki itu tersenyum kecut mengingat pengorbanan yang menurutnya sia-sia karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya dari Rayna."Aku ini ibumu, Ziyad. Aku yang sudah melahirkanmu, susah payah membesarkanmu, apalagi setelah ayahmu meninggal. Memangnya kamu tidak mau menghargai sedikit saja pengorbanan Mama di masa lalu?" Widya menjeda suapannya sebentar."Aku sangat menghargai semua pengorbanan Mama, tetapi terus terang aku lagi banyak kebutuhan dan itu bukan karena Rayna. Sama sekali tidak! Aku harus banyak menabung. Rumah tangga itu bukan cuma untuk sehari dua hari, Ma. Masa depan itu jauh lebih penting.""Lantas kamu pikir Mama kamu ini bukan mas
Bab 10Pagi-pagi sekali Ravin bangun tidur. Lelaki itu segera mengenakan celana training dan baju kaos. Dia bermaksud untuk jalan-jalan di sekitar rumahnya. Beberapa hari mengamati Rayna melalui orang-orangnya membuat Ravin tahu kebiasaan wanita itu. Rayna akan menyapu halaman dan teras rumahnya di pagi buta.Ravin berjalan santai sembari menghirup udara yang masih segar. Beberapa pepohonan yang tumbuh di sekitar lingkungan perumahan itu membuat lelaki itu merasa semakin nyaman. Bibirnya tak henti mengembang senyum melihat sosok yang dicarinya tengah asyik menyapu halaman."Hei...!" serunya.Rayna menegakkan tubuh. Darahnya tersirap saat melihat sosok lelaki di hadapannya."Pak Ravin," lirih Rayna. Perempuan itu refleks membungkuk hormat."Iya, kamu masih ingat aku?""
Bab 11 "Memangnya tidak boleh?" Ravin menatap wajah cantik itu dalam-dalam. Meskipun Rayna dalam keadaan berkerudung, tetapi justru membuat perempuan muda itu terlihat semakin cantik. "Gadis ini," desah Ravin dalam hati. "Gadis ini yang pernah berada di bawahku, menggeliat erotis, mengerang manja, lalu memekik perih saat terjadi penyatuan di antara kami. Ah, sial! Kenapa aku malah teringat itu lagi?" Ravin mengumpat dalam hati saat merasakan celana dalamnya yang terasa penuh sesak. Hanya dengan melihat wajah cantik Rayna membuatnya bergairah, padahal mereka tengah berada di sebuah warung. Tak terbayang seandainya keduanya berada di hotel seperti waktu itu. Akhirnya Rayna mengurungkan niat untuk membeli makanan. Dia memilih menemani Ravin makan di warung itu demi menghormatinya.
Bab 12Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Rayna yang membawa kunci cadangan berhasil masuk ke dalam rumah dengan mudah. Suasana di dalam rumah sudah sepi. Setelah mengunci pintu depan, perempuan itu segera bergegas menuju dapur.Piring dan semua perabotan makan masih bertebaran di meja makan. Meja makan pun masih kotor, meskipun tak ada secuil makanan pun tersisa. Rayna hanya tersenyum samar. Dia segera mengambil piring-piring kotor itu dan membawanya ke tempat cucian, lalu membersihkan meja makan.Rayna membuka lemari makanan, tetapi ternyata isinya pun kosong. Hanya ada beberapa makanan kering seperti mie instan, bihun, beberapa bungkus roti dan biskuit. Tangannya sudah terjulur bermaksud mengambil satu bungkus mie instan. Namun, ia segera mengurungkan niatnya.Ibu mertuanya yang bertugas belanja bahan makanan di rumah ini. Perempuan tua itu hapal betul berap
Bab 13Ziyad segera berlalu dari dapur, meninggalkan Rayna sendirian. Tak mau membuang waktu lagi, Rayna segera mengambil nasi. Hari ini ia bermaksud untuk memasak nasi goreng.Dia sengaja membuat nasi goreng untuk tiga porsi saja. Rayna tahu, meskipun dia membuat sarapan untuk empat orang, tetap saja dia tak kebagian. Entah sengaja atau tidak, orang di rumah ini kompak untuk menghabiskan semua makanan, sehingga dia selalu tak kebagian. Dia pun juga masih dilarang oleh Ziyad untuk makan bersama mereka. Rayna harus selalu makan dari sisa makan orang rumah, itupun kalau ada.Aroma harum nasi goreng membuat Ziyad kembali ke dapur. Lelaki itu menatap gerak-gerik istrinya yang telah mengambil tiga buah piring.Tak sampai lima menit, semuanya sudah siap. Ziyad sudah duduk di kursi, sementara Selvi dan Ibu menyusul beberapa menit kemudian. Mereka nampak lahap menyant
Bab 14 Perempuan tua itu masih saja duduk di sofa. Matanya menyorot tajam, menatap Rayna yang terlihat tenang. Diam-diam Widya salut dengan ketenangan wanita muda di hadapannya ini. Menantunya ini terlihat seperti tidak takut atau gentar sama sekali. Widya sendiri sebenarnya merasa heran, kenapa Rayna selalu bersikap melawan, sedangkan seharusnya sebagai seorang menantu, dia tunduk dan patuh terhadap mertua dan mau menurut aturannya. "Aku sudah pernah mengatakan kepada Mama, kalau aku sama sekali tidak pegang gaji Ziyad. Kalaupun aku membeli makanan atau apapun yang berkaitan dengan keperluanku, itu menggunakan uangku sendiri," jelas Rayna. "Kalau Mama menginginkan apapun, Mama bisa meminta kepada Ziyad. Aku tidak akan protes. Bukankah selama ini Mama selalu begitu?" Ucapan Rayna telak menyindirnya.