"Dasar, wanita sok suci! Percuma kamu pakai niqabmu itu jika tak mampu menjaga kehormatanmu!"
Zahra mengernyit bingung.Setelah penerbangan 14 jam dari Tarim, Yaman, perempuan itu sedang berada di Bandara untuk menunggu sang kakak yang katanya terjebak macet.Hanya saja, pria tinggi dengan kemeja berantakan ini–datang dan menatapnya penuh amarah.Samar-samar, Zahra bisa mencium bau alkohol yang tercium darinya."Apa maksudmu?" tanya perempuan itu menyembunyikan takut yang melingkupi dirinya.Baru kali ini, Zahra berada dalam jarak yang sangat dekat dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.Memang tujuh tahun terakhir, wanita berusia 21 tahun itu menghabiskan masa mudanya dengan belajar agama dan jauh dari pergaulan bebas.Di sana, dia bahkan tidak keluar pondok jika tidak ada kepentingan mendesak.Bila harus keluar, Zahra juga harus didampingi hubabah atau mahramnya di sana.Jika bukan karena kabar sang ayah yang masuk ICU rumah sakit, tentunya Zahra masih berada di pondok."Jangan pura-pura bodoh!" bentak laki-laki itu tiba-tiba dengan ekspresi marah, “apa kau tak ingat telah menipuku?!”“Kau mungkin salah mengenali orang. Aku–”Belum sempat menyelesaikan ucapan, Zahra sudah ditarik dan diseret begitu saja ke arah tangga.Tempat itu memang terhubung dengan pintu belakang hotel yang memang masih berada di satu kawasan dengan Bandara.Zahra jelas sangat terkejut dengan serangan mendadak itu.Sekuat tenaga, dia berontak untuk melepaskan cekalan tangan pria itu."Tolong lepaskan! Kita bukan mahram!" pekik Zahra gemetar.Sayangnya, laki-laki itu bergeming dan terus menyeret tangan Zahra tanpa rasa iba, seakan-akan Azzahra adalah wanita murahan yang baru dibelinya.Parahnya, tak ada petugas hotel yang berjaga di sekitar sana, sehingga ia tak bisa meminta bantuan.Air mata mulai membanjiri pipi perempuan itu kala menyadari dirinya sudah masuk ke dalam lift hotel.“Anda salah orang, Tuan,” ucapnya lagi.Ting!Tak terasa, lift itu pun terbuka dan sampailah mereka lantai paling atas hotel.Ditariknya Zahra ke arah kamar VVIP nomor 3.Brugh!Zahra didorong masuk ke kamar itu tanpa rasa iba, lalu mengunci pintu. Kemudian, pria itu berjalan menghampirinya.“Aww…” ringis Zahra pelan."Sakit?" kata pria itu dengan alis terangkat.Zahra mengangguk membuat pria itu tertawa. "Lebih sakit hatiku melihatmu mendesah di dalam kungkungan laki-laki lain!" lanjutnya nanar."Jadi, apa fungsi niqabmu itu, Ica? Wajahmu kau tutup rapat, pandanganmu kau tundukkan dari laki-laki, bahkan dadamu itu kau tutup khimar panjang. Tapi, di rumahku, kau buka pahamu lebar sambil mendesah keras di bawah tubuh polos laki-laki lain seolah kau begitu menikmatinya!"Mendengar itu, tubuh Zahra semakin gemetar ketakutan.Ini pertama kalinya dirinya dimarahi sedemikian rupa dengan jarak yang sangat dekat dengan laki-laki yang bukan mahramnya."Kau sok jual mahal padaku yang menyayangimu dengan tulus dan menjagamu selama ini, Ica.”Kali ini, nada pria itu terdengar menyedihkan.Dipegangnya dagu Zahra dari balik cadar. "Jadi, sebutkan hargamu sekarang! 100 juta? Oh … atau 200 juta?"Zahra syok memperhatikan pria itu menumpahkan emosi seperti dikuasai setan.“Tuan, saya bukan Ica yang Anda maksud,” ucap Zahra pada akhirnya.Sayang, pria di depannya itu menulikan telinga. Minuman keras mengendalikan dirinya saat ini.Dia justru menggendong tubuh Zahra ke kasur big size itu.Tanpa basa-basi, pria itu membuka pakaian yang dikenakannya, hingga menyisakan celana boxer yang menempel di badannya saja.Zahra jelas ketakutan. Dia berusaha lari ke arah pintu untuk kabur.Tindakannya itu malah membuat pria di hadapannya marah.Seketika saja, Zahra sudah ditarik dan berada di bawah kungkungan pria tersebut." Menurutlah, Sayang!”"Sebentar lagi, kau akan merasakan surga kenikmatan yang 100 kali lebih luar biasa dari pria asing itu berikan padamu," desisnya penuh perintah.Tanpa aba-aba, ia meloloskan pakaian terakhir miliknya, lalu menarik celana panjang berwarna hitam di balik dress panjang milik Zahra.Meski memberontak, Zahra kalah juga.Satu per satu pakaian syar'i miliknya berhasil laki-laki itu lepas.Dia bahkan dapat merasakan tubuh keduanya tanpa dihalangi apapun. Hanya cadar yang menutupi dirinya kini.Zahra menutup matanya erat. Dalam hati, dia hanya merapalkan doa supaya bisa lepas dengan selamat.Hanya saja, dia tersadar kembali akan nasibnya saat merasakan pria itu membuka kaki Zahra lebar-lebar.“Jangan!” teriaknya.Tapi, pria itu malah tersenyum. Tanpa pemanasan, dia mencoba memasuki milik wanita bercadar di hadapannya itu.Meski bingung karena sulit ditembus, pria itu tetap memaksanya dan ….“Arghhh!”Bersamaan dengan darah yang mengalir di paha, teriakan Zahra bersatu memenuhi kamar hotel itu. Perempuan itu merasa tubuhnya seperti terbelah menjadi dua.Sementara itu, pria yang berada di atasnya itu terkejut.“K–kau bukan Ica?” Dengan cepat, dibukanya cadar Azzahra.Seketika dia menyadari perempuan di hadapannya itu bukan kekasihnya, melainkan perempuan asing yang jauh lebih cantik.Ada kepolosan di wajahnya.Akan tetapi, karena sudah kepalang tanggung dan hasratnya membara, pria berusia 28 tahun itu terus melanjutkan tindakannya.“Maaf, aku akan bertanggungjawab nanti,” ucapnya di sela-sela aktivitas.Mendengar itu, Zahra memilih diam.Kekuatannya sudah hilang dan jiwanya pun sudah hancur lebur."Bagaimana ada laki-laki yang begitu kejamnya menodai gadis yang jelas-jelas sudah menutup dirinya dengan sempurna?" batinnya–tak punya tenaga.Perlahan, mata Zahra mulai kabur dan gelap—membuat Ridwan Ameer Kharaman menitipkan benih di rahimnya terus-menerus, sampai bosan sendiri.Putra tunggal pewaris Kahraman itu melakukan hal bejat selayaknya binatang dan telah menghancurkan masa depan seorang gadis sholehah.***"Aduh, Kenapa macet banget, sih?!"Di sisi lain, Ismail tengah menahan kesal.Sudah dua jam dia berhenti di pertengahan jalan karena terjadi kecelakaan besar dan beruntun yang memakan waktu untuk evakuasi.Hatinya semakin gelisah membayangkan adiknya menunggu lama di bandara karena keterlambatannya.Untungnya, kendaraan di depan Ismail mulai bergerak. Dia pun melajukan mobilnya.Namun, malang tak dapat dicegah. Sebuah truk tronton tiba-tiba melaju kencang dari arah berlawanan.Bruuuuuggg!Jedarrr!Klakson panjang menggema di jalan.Kepala truk bertabrakan dengan bus di depan Ismail, hingga bergerak mundur ke mobil Ismail.Mobil kakak Zahra itu pun terbalik."Maafin kakak, Zahra gak bisa nepatin janji,” lirih Ismail di tengah kesadaran yang mulai hilang, “Umi, Abah … ampuni Mail gak bisa bawa Zahra dengan selamat sampai di rumah."Wajah satu per satu anggota keluarganya berputar di pikiran Ismail, hingga pandangannya menggelap.Bahkan, wajah sahabatnya yang sudah lama tak ia temui, juga sempat terlintas di sisa-sisa hidupnya. Adiknya dulu menyukai pria itu. Apakah bisa sahabatnya itu menjaga Zahra untuknya?"Ya illahi Rabbi, lindungi putra dan putriku... Lindungi perjalanan mereka dan semoga selamat sampai di rumah kami," doa Umi Aisyah sambil menengadahkan tangannya berdoa dengan khusyuk.Wanita paruh baya itu menjalankan sunnah sholat malam karena perasaan gelisah melanda hatinya. "Aamiin ya Rabb," lirih abah yang ternyata mendengar doa istri tercintanya.Pria yang baru saja keluar dari ICU itu ternyata sudah berdiri dengan selang infus yang menancap di tangannya. Dia juga ikut berdoa untuk kedua buah hati mereka."Abah! Kenapa Abah bangun…? Umi ganggu Abah tidur, ya?" tanya Umi Aisyah terkejut, lalu menghampiri Abah."Tidak, Umi. Abah ingin sholat malam juga untuk mendoakan putra-putri kita... Abah gak sabar ketemu mereka, Umi," jawab Abah yang sudah sangat rindu berjumpa dengan putrinya yang sudah tujuh tahun berada di kota para bidadari surga itu."Boleh, sambil duduk saja, Abah ... Abah ‘kan belum bisa berdiri lama!" kata umi Aisyah.Abah pun mengangguk sebagai jawaban dari permin
Ridwan bergegas menuju ruangan dokter yang dimaksud."Bagaimana keadaan Zahra, dok?" tanyanya langsung."Begini, Pak Ridwan. Nona Zahra ini sepertinya telah mengalami pelecehan seksual. Daerah kewanitaannya robek dan selaput daranya mengalami pendarahan yang cukup banyak,” jelas sang dokter pelan-pelan.“Pendarahannya sudah teratasi, tetapi nona Zahra seperti nya mengalami trauma pak." Mendengar itu, Ridwan menahan kesedihannya. "Lalu bagaimana, dokter?" tanyanya pada sang dokter."Saya sarankan ke psikolog saja pak, agar bisa membantu membimbing pikirannya dan semangat hidupnya lagi!" jawab dokter."Baik, Dok. Lalu, apa Zahra perlu dirawat atau…." "Pasien Zahra sudah boleh pulang pak!" sahut dokter cepat.Mendengar itu, Ridwan mengangguk.Dia pun pamit dan berdiri berjalan masuk ke UGD dan menuju bangkar Zahra.Perempuan itu sudah bangun!Namun, pandangannya begitu kosong. Hal itu membuat jantung Ridwan seakan disayat-sayat pedang."Zahra baik-baik saja?" tanya Ridwan dengan pelan
Ridwan menatap nanar Zahra didepannya, "Istighfar terus, Ra. Ingat Allah selalu bersama Ara," ucapnya pada akhirnya.Namun, Zahra yang duduk di sebelah kanan peti jenazah hanya diam tak menyahut. Dia tidak juga menoleh.Melihat itu, Ridwan kehilangan kata-kata.Azahrana Azmi Ahmad, gadis yang sholehah dan tangguh--kini terlihat sangat hancur.Ridwan menghela nafas panjang. Diperhatikannya daerah sekitar dan menyadari bahwa ambulance yang membawa mereka sudah mendekati pondok pesantren yang merupakan rumah Zahra. "Ara, Bagaimana jika kakak turun dan ke rumah sakit untuk memberitahu Abah?" tanya Ridwan. Pria itu khawatir jika Abah yang memiliki penyakit jantung mendengar kabar duka mendadak. Zahra akhirnya menoleh. "Boleh. Terima kasih Kak," jawabnya singkat kemudian kembali menatap jenazah abangnya. Tak butuh waktu lama, ambulance pun berhenti. Ridwan pun turun di depan pusat pembelanjaan, kemudian dia memesan ojek online untuk ke rumah sakit. Jantung Ridwan naik turun ketika me
"Abah ingin memegang putra dan putri Abah, Nduk." jawab Abah pelan. "Ampuni Zahra ya, Bah. Ini semua karena Zahra., kata Zahra sambil mencium tangan dan pipi Abahnya. Zahra memeluk cinta pertamanya itu dengan erat sekali, seolah dia sangat takut Abah pergi. "Ini adalah ketetapan Allah, Nak. Sakit sekali ... Tapi kita harus berusaha ikhlas," kata Abah menguatkan Zahra walau sebenarnya hatinya sangat hancur. Tak butuh waktu lama, jenazah Mail pun diantar ke makan keluarga yang berada di dalam pondok, Setelah serangkaian doa selesai, Ridwan pun ikut memikul dan masuk ke liang lahat untuk memastikan jenazah sahabatnya nyaman di peristirahatan panjangnya. Sementara itu, Zahra dan seluruh orang mengiring kepergian Mail dengan senyum air mata.Mereka tersenyum melihat wajah berseri dan senyum Ismail. Namun, air mata tak bisa berbohong untuk tidak menetes. Ridwan memutuskan untuk menetap beberapa hari di pondok untuk menunggu waktu untuk bertanggungjawab pada Azzahra. Hanya saja, satu
Melihat tak ada pergerakan dari perempuan di hadapannya, Ridwan pun mengangkat tubuh Zahra.Digendongnya Zahra ala bridal dan berlari menuju Dalem."Maaf, Zahra ... Kakak harus mengangkatmu," ucapnya dalam hati.Tok! Tok! Tok!"Assalamu'alaikum, Umi!" panggil Ridwan sembari berusaha mengetuk pintu."Waalaikumsalam, Nak Ridwan ..." ucap Umi Aisyah yang terhenti kala menyadari sang putri ada di gendongan Ridwan, "Loh, Zahra kenapa?""Zahra pingsan di pemakaman, Umi," jawab Ridwan cepat."Baiklah. Bawa masuk ke kamarnya, Nak," kata Umi sambil mengekori Zahra. Ridwan kemudian keluar dari kamar Zahra setelah meletakkan perempuan itu di ranjangnya. Dia memilih duduk di kursi ruang tengah, depan kamar Zahra. Ditatapnya beberapa santri yang masih di ruang tamu untuk mendoakan Pak Kyai dan Bang Mail. Hanya saja, dia teringat bahwa ada janji dengan neneknya di Turki.Namun, ponselnya mati karena lupa diisi dayanya sejak masalah kemarin."Sebaiknya, aku menghubungi mama besok. Selepas acara
Brak!Umi yang terkejut dan berdiri mendadak dengan nada tinggi tanpa sengaja menyenggol vas bunga dan jatuh. Ridwan buru-buru menjelaskan semua kronologi kejadian malam itu. Dia juga menjelaskan kenapa bisa menggauli Zahra dan meminum minuman keras. Umi Aisyah jelas terisak, membayangkan Zahra dalam posisi yang Ridwan ceritakan. "Zahraku ... Betapa jiwanya dan hatinya hancur, kesuciannya ternoda, harga dirinya lebur" tangis umi pecah. Ridwan hanya bisa meminta maaf, bibirnya tak bisa melakukan pembelaan lagi. Hanya kata maaf yang keluar dari lisan Ridwan. "Sholatlah taubat, tak ada alasan umi tidak memafaakanmu, karena Allah Maha Pemaaf. Mintalah maaf dan pengampunan Zahra. Segera nikahi Zahra!" titah umi Aisyah.Tanpa diduga, sedari tadi, Zahra menguping pembicaraan mereka. Dia sebenarnya takut terjadi sesuatu pada Uminya. Namun tanpa banyak bicara, wanita tua itu meninggalkan Ridwan sendirian dan masuk ke dalam kamarnya. Diam-diam, Umi Aisyah memenuhi malamnya dengan shola
"Alara kecewa karena kamu!" kesalnya.Ridwan hanya menatap Omanya dengan lembut. Dia yang baru keluar kamar mandi dan hanya memakai handuk yang melilit pinggang saja---mendekat ke arah oma.Ditaruhnya kepala yang masih basah itu dipundak sang Oma."Ridwan gak mau dijodohin oma," kata Ridwan lembut. "Ridwan udah ada calon!" lanjutnya"Ya sudah! Mana calon kamu? Jangan nunggu Oma dikubur dulu baru nikah!" jawab Oma cepat."Yuk kita ke kamar Oma, Ridwan mau tidur sama Oma." kata Ridwan mengalihkan pembicaraan."Dasar kamu ya, bayi tua! Persis seperti Opamu ... Jadi rindu opa. Yuk pakai baju dulu, udah besar gak punya malu!" ejek Oma. Ridwan pun menggoda Omanya dan berkata, "Gak mau, pakein oma aja!""Hahaha ... kamu gak malu udah tua juga!" jawab oma terpingkal-pingkal.Cucunya ini emang selalu bikin ketawa. "Tapi, belum punya istri, Oma," tambah Ridwan lagi."Hahahahha, makanya cari, dong!" jawab oma sambil terus jalan ke arah kamarnya."Ridwan melakukan kesalahan yang besar." jawab
Zahra memasuki area pondok Darrul Amin dengan langkah gontai menuju kediaman Hubabah Awiyah. Hubabah Awiyah adalah pimpinan pondok putri Darrul Amin, pondok yang terkenal sampai ke mancanegara. Tok! Tok! Tok! Zahra dengan gemetaran mengetuk pintu dan mengucap salam, "Assalamualaikum, Hubabah,""Waalaikumsalam warohmatulohi wabarakatuh, Siapa?" tanya Hubabah dari balik bilik rumahnya. Jantung Zahra berdebar mendengar suara Hubabah Awiyah, "Zahra, Hubabah,""MasyaAllah, Nak ... Ayo masuk, Zahra—" "Hubabah—" Zahra tak mampu melanjutkan ucapannya dan langsung bersimpuh dikaki Hubabah. Menyandarkan kepalanya dipaha Hubabah Awiyah yang sudah menganggapnya putri selama ini. Hubabah Awiyah terlihat kebingungan dan memilih untuk membelai kepala Zahra. "Tenangkan dirimu, Nak!" kata Hubabah. "Hubabah, Abah dan Abang berpulang pada sang khalik, dan Zahra—" Zahra diam sebentar sambil menarik niqab yang dikenakannya.Hubabah Awiyah terkejut dengan kondisi wajah gadis yang sangat disayangn
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s