Begitu masuk kamar, Bu Harsono kaget bukan kepalang. Wanita gemulai yang tengah membawa nampan makan malam pesanan anak gadisnya itu mendapati kamar dalam keadaan kosong tanpa penghuni. Awalnya, ia ingin berpositif thinking untuk tidak langsung menarik kesimpulan bahwa putrinya itu kabur. Tapi faktanya, sudah tak terhitung sejak kecil penghuni kamar tersebut kabur. Kecurigaannya semakin menjadi-jadi manakala mendapati tas ransel dan jaket kesukaan anaknya tidak ada. Isi lemari dalam keadaan amburadul.Bu Harsono lemas tak berdaya. Kedua lututnya melemas seketika. Akhirnya, wanita itu terduduk di lantai, lunglai. Pikirannya kacau. Pastilah tadi putrinya tidak benar-benar ingin makan. Gadis itu hanya ingin mengelabuhinya saja.Sekarang, dia harus bersiap-siap menghadapi kemarahan suami dan sang ipar karena tidak menjaga putrinya dengan baik. Satu sisi, ia sangat mengkhawatirkan anak gadisnya tersebut. Malam larut seperti ini, ke mana dia pergi? Demi memikirkan kemungkinan-kemungkinan bur
Satu gigitan serangga membuat gadis yang tertidur beralaskan tanah itu merintih. Ketika hendak menggerakkan tubuh, ia merasakan linu di kaki dan badan. Kantuk dan pusing sebenarnya masih menguasai, tapi sayup-sayup terdengar suara qiraah dari berbagai arah. Sontak, wanita muda itu tersadar untuk harus segera bangkit. Dengan susah payah, akhirnya dia berhasil bangun atas bantuan sebuah tiang listrik yang semalam menangkapnya saat terguling.Gelap masih menyelimuti bumi. Bintang-bintang yang semalam menemani perjuangannya berlarian terlihat tinggal beberapa saja. Sang penguasa langit malam pun sudah geser seperti hendak berpamitan. Wanita muda yang penampilannya acak-acakan itu berdiri berusaha mengumpulkan tenaga. Kesadarannya pun perlahan terkumpul.“Aku harus segera sampai ke kota sebelum matahari terang benderang. Jika tidak, Bapak bisa menemukan dan memaksaku pulang,” katanya pada diri sendiri.Ingatan-ingatan pedih dan menyakitkan yang menderanya seolah memberi kekuatan penuh. Ia p
Pasar desa yang berada di perempatan itu mulai dipenuhi dengan orang-orang yang tengah mengais rezeki dan mencari kebutuhan rumah tangga. Itu sangat menguntungkan bagi gadis yang tengah dalam pelarian. Dengan tubunya yang mungil, Nirmala berhasil berlari cepat masuk ke pasar, menyelusup ke orang yang lalu lalang. Ia tidak mau menoleh ke belakang. Yang ada di pikiranya hanya lari dan lari. Jangan sampai orang yang tadi melihat dan mengejar berhasil membawanya pulang.Untunglah, keahlian seorang mantan atlet lari yang pernah juara antar SD se-kecamatan itu bisa ke luar dari hiruk pikuk pasar. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terdapat sebuah pos ojek. Segera kakinya ia kayuh lagi. Ternyata kosong. Padahal, drinya sudah tidak sabar untuk pergi dari wilayah itu.“Butuh ojek, Mbak?” tanya seorang lelaki, tiba-tiba berdiri di dekatnya yang tengah celingak-celinguk.“Ya, Pak. Bapak, ojek?” Nirmala balik tanya penuh pengharapan.“Oh, bukan. Cuma nunggu istri lagi belanja. Parkir di sini aja yan
Nirmala langsung mundur dengan cepat begitu tahu siapa yang telah membangunkannya.“Maaf, Mbak. Kaget, ya? Atau mimpi buruk? Tadi Mbak tereak-tereak seperti kesurupan. Kebetulan tadi saya sedang melintas, mau pulang ke rumah saya.” Seorang laki-laki berumur cukup tua itu menunjuk ke sebuah rumah yang jaraknya sekitar seratus meter dari tempat dirinya tertidur.Sembari merapikan pakaian dan mengusap wajah, Nirmala mendadak merasa malu. Dirinya benar-benar tidak sadar jika benar apa yang dikatakan bapak-bapak di hadapannya.“Mbak cari Fitonia, ‘kan? Wajahnya seperti tidak asing. Seperti Mbak-mbak yang sering main ke sini,” lanjut pria itu sangat ramah. Mungkin ia tahu jika Nirmala sempat mencurigai dirinya dengan pikiran yang tidak-tidak karena telah membangunkan dengan telapak tangannya.Nirmala belum mengeluarkan suara, tetapi mengangguk.“Maaf ya, Mbak. Saya tidak bermaksud lancang menepuk-nepuk punggung, Mbak. Tadi saya sudah coba bangunkan dengan suara saja, tapi Mbak nggak bangun
“Mbak Siska!!!” Tanpa ampun, Nirmala menubrukkan diri ke badan seorang wanita yang masih berada di motor. Saking semangatnya, motor matic itu hampir roboh karena ketidaksigapan sang pengemudi dalam menerima pelukan wanita yang tengah bercucuran air mata itu.“Ada apa, Mala? Tangisanmu menakutkan seperti itu. Di pinggir jalan begini, lagi.” Wanita yang dipanggil ‘Mbak Siska’ langsung peka dan mengelus-elus pundak Nirmala menggunakan tangan kiri, sementara tangan kanannya berusaha mematikan motor melalui kunci kontak.“Kirain aku salah orang tadi. Tapi, dilihat dari jaket dan tas seperti kamu. Makanya aku berhenti. Eh, ternyata beneran kamu. Kenapa? Hah? Nangis kamu seperti abis putus cinta.” Siska—si asal ceplos—itu menyerocos masih dengan tangan mengelus-elus pundak Nirmala yang tak henti-henti menangis.“Pokoknya aku butuh Mbak Siska banget. Bawa aku ke tempat Mbak sekarang, ya?” Nirmala melepaskan diri dan berusaha melakukan kontak mata dengan mantan partner kerjanya itu.“Lho, kena
Mata lelaki yang tengah memegang benda kecil itu nyalang ke arah lelaki yang lebih muda di hadapannya. Ia seperti dihempaskan ke situasi yang sama pada beberapa waktu lalu.Flashback onBagai mendengar suara petir di siang bolong, pak Jaksa kaget bukan main manakala mengetahui putra semata wayangnya tertangkap tangan sedang berada dalam sebuah pesta narkoba. Lelaki yang sehari-hari disibukkan dengan membesarkan bisnisnya itu tidak menyangka jika putra yang selama ini dianggapnya telah dewasa, mandiri dan baik itu terjerumus ke dalam pergaulan bebas.Ketika mendapatkan kabar melalui asisten pribadinya bahwa sang putra terlibat pesta terlarang dan tengah diperiksa, ia yang saat itu tengah berada di luar pulau pun langsung pulang dan menuju ke lokasi di mana sang putra berada.Melihat putranya berwajah kusut dengan kedua mata hampir tidak kuasa terbuka, hatinya menjerit. Namun, ia harus menahan diri. Sebisa mungkin lelaki itu bersikap elegan. Karena kalau salah sikap, musibah ini bisa mer
Anak tangga yang harus dipijak untuk sampai ke ruang tamu masih lima lagi, tapi pak Jaksa menghentikan langkah sejenak. Pria itu menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan stress dan emosi. Pikirannya benar-benar sedang kacau.Seseorang di salah satu sofa ruang tamu terlihat punggungnya dari tempat kini dirinya berdiri mematung. Dari caranya duduk, terlihat tamu tersebut tidak nyaman. Terlebih, sepasang kakinya bergerak-gerak diikuti dengan tepukan kedua telapak tangan di paha, hal tersebut menambah kentara betapa sang tamu sedang tidak baik-baik saja.Pak Jaksa memandangi lelaki yang sebaya dengannya itu sembari mengontrol memori yang berkeliaran tiada ampun. Di ruang tamu itu telah duduk seorang rekan kerja yang sedari awal dirinya hijrah ke kota kecil ini telah banyak membantunya. Saking banyaknya bantuan yang diberikan, ikatan rekan kerja pun menjadi seerat persahabatan. Bahkan, persahabatan keduanya yang begitu dekat, sampai terasa seperti saudara tanpa ikatan darah. Mereka ibarat
“Sudah cukup, Pa!” teriak Lucky sembari mempercepat langkah menuruni anak tangga. Saking takutnya sang papa benar-benar menempeleng lelaki di hadapannya, pemuda tinggi kurus itu sampai hampir terjungkal karena terburu-buru. Untung saja, kesadarannya sudah membaik sehingga bisa langsung menguasai diri dan menghentikan tindakan papanya. Pak Jaksa yang sangat frustasi melampiaskan emosinya dengan mengepalkan tangan, meninju angin dibarengi dengan pekikan putus asa.“Aku tidak mau tahu, pokoknya putrimu harus menikah dengan putraku ini. Kalau tidak, siap-siap masuk bui lagi seperti dulu,” ancam pak Jaksa masih dengan tatapan tajamnya.“A...aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk membawa pulang putriku kembali ke rumah dan mengawinkannya dengan Mas Lucky,” ucap pak Harsono sembari menatap ke kedua lelaki di hadapannya secara bergantian. Ada rasa takut dan malu terpancar di mata lelaki yang terlihat kucel itu.“Apa? memangnya di mana putrimu sekarang?” tanya pak Jaksa semakin geram.“Di
“Kamu yakin, Sayang?” tanya Bu Vera pada putrinya yang beberapa langkah lagi menuju pintu mobil.Dengan mantap mantap, wanita yang masih terlihat pucat itu mengangguk seraya menjawab, “ya, Ma.”Merasa terharu, dipeluknya sang putri dengan penuh kasih.“Aku selalu mendoakan kebahagiaan kamu. Mama akan usahakan pengobatan dan terapi terbaik nanti di sana,” ucap Bu Vera tidak bisa menyembunyikan rasa haru. Wanita yang belakangan merasa begitu dekat dengan putri yang pernah ditinggalkannya itu berkali-kali mengusap usap pundak penuh kasih.Tidak hanya kedua wanita itu yang merasa berat untuk berpisah dengan kampung halaman, rumah kenangan, tapi juga Mbak Duwik. Wanita yang selama Bu Vera di sini selalu siap sedia diperintah itu ikut menangis penuh haru.Seperti mengerti perasaan wanita cekatan itu, Fitonia mendekat, memeluk dan berkata, “ terima kasih ya, Mbak Duwik, selalu ada buat kami.”Wanita yang tadinya mewek dengan suara pelan, kali ini justru sesenggukannya terdengar semakin keras
Nirmala, Pak Harsono, istri dan kakak perempuannya serempak saling pandang menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu rumah. Satu terlihat begitu bugar, gagah dan percaya diri, sementara satunya memancarkan sorot kesedihan mendalam, lemah dan pesimis. Beberapa kali, pria gagah menepuk-nepuk punggung pria tak berdaya di samping sambil mengangguk, seolah tengah menyalurkan kekuatan.“Assalamu’alaikum, Pak Harsono dan keluarga, bolehkah kami masuk?” Karena saking terpananya dengan apa yang dilihat, sekeluarga hanya bisa melongo dan sampai lupa mempersilahkan tamu segera masuk.“Oh, ya, Wa’alaikumsalam. Silahkan masuk,” ujar Bu Harsono seketika sadar.Istri Pak Harsono itulah yang paling awal melihat kedatangan dua pria beda usia tersebut menuju rumah, lalu lari ke kebun samping dan memberi tahukan bahwa ada tamu. Ia sangat penasaran dengan pria yang tengah menuntun calon menantu idamannya, sekaligus kaget dengan keadaan Anggara yang seperti sedang sakit.“Maaf jika kedatangan ka
“Benarkah itu Johan?” Bu Diana hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat. Sosok yang sebentar lagi pasti mengetuk pintu itu memang bisa dibilang jauh berbeda dengan suaminya dulu, tapi sebagai istri, ia masih tidak lupa dengan cara berjalannya yang gagah dan khas. Terlebih, saat tamu tak diundangnya mengetuk pintu tapi merasa tidak direspon dan wajahnya berusaha mengintai lewat kaca, Bu Diana kini yakin seratus persen bahwa orang tersebut adalah suami yang pernah diusirnya berkali-kali. Hal itu terlihat dari bekas luka sabetan benda tajam di wajah.“Ada apa si Johan kembali lagi ke sini? Bukankah sudah kusuruh tidak lagi menginjakkan kaki di rumah ini lagi? Berani sekali dia!” Bu Diana yang cukup pangling dengan penampilan sang tamu itu berkali-kali mengucek mata untuk memastikan.“Assalamu’alaikum...Assalamu’alaikum,” salam Pak Johan setelah ketukan pintunya yang berkali-kali tidak digubris.Nada suaranya yang kini terdengar adem dan lembut itu mengundang simpati Bu Diana. Wanita
Melihat sosok yang selama ini dirindukannya, Anggara merasa begitu lega. Kali ini, tidak lagi ada kecanggungan. Ia telah menemukan kembali kenyamanan berada di dekat seorang ayah seperti dulu waktu kecil sering bermain dan bercanda.Pak Johan langsung mempersilakan sang putra masuk ke kamar penginapan yang hanya dia sendiri di sana. Entah kebetulan atau memang sudah takdir, biasanya ia akan berada di sebelah tuannya kapan pun. Jika sedang tour kota semacam ini, kalau tidak tidur di pondok pesantren persahabatan, ya menginap di penginapan lengkap dengan tim.Namun, kali ini sungguh berbeda. Gus Hamdan, pendakwah muda yang tengah naik daun itu tengah membersamai istri tercinta pasca melahirkan di klinik dan kini telah dibawa ke rumah sakit khusus ibu dan anak demi mendapatkan fasilitas terdepan.“Bapak istirahatlah. Aku sudah pesankan kamar di penginapan dekat rumah sakit ini. Beristirahatlah setenang mungkin. Jangan pikirkan aku atau Ning. Tenang saja, ada Bik Fatimah dan beberapa sant
“Kabari Ayah kapan pun kamu mau. 082****.”Anggara memandang secarik kertas yang sepertinya ditulis dengan buru-buru itu penuh haru. Ia memang masih menyimpan kenangan indah bersama sang ayah sewaktu kecil dulu, sebelum pada akhirnya kepala rumah tangga itu diusir pemilik sah rumah itu. Dalam hati, ia memang berniat untuk kembali bertemu, bahkan ada secercah harapan untuk bisa hidup bersama lagi seperti dulu.Malam telah cukup larut. Jalanan sudah mulai sepi. Terlebih, klinik bersalin itu berada di pinggir kota. Di jam segini, mana mungkin ada kendaraan umum, kecuali ojek. Setelah berjalan dan bertanya beberapa orang, akhirnya ia menemukan tukang ojek yang langsung dimintanya untuk membawa pulang.Kali ini, ia sebisa mungkin menghentikan sementara pikiran tentang Pak Johan, Nirmala dan Fitonia. Sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki sang ibu, Anggara berpikir keras mencari kata yang hendak diucapkan saat bertemu dengan wanita single parent itu.Ia ingat betul bagaim
“Ma, istirahatlah. Aku baik-baik saja. Hanya, aku butuh obat tidur, terlelap, lalu bangun dalam keadaan siap menghadapi takdir yang ada. Maaf, telah membuat Mama, Papa dan keluarga kecewa, malu dan sedih. Setelah ini, aku berjanji tidak akan mengulanginya,” tulis Fitonia di pesan singkat, lalu mengiriminya pada sang mama, yang langsung lemas setelah membaca.Pak Rudi yang ikut membaca karena penasaran dengan penyebab sang istri langsung menjatuhkan diri ke dadanya itu juga tidak tahan untuk tidak bersedih. Terlebih, lelaki sukses itu merasa menyesal, mengapa baru kali ini datang ke mari, kenapa tidak kemarin-kemarin saat istrinya meminta.Ia sama sekali tidak menyangka jika putri sulungnya itu justru akan bertambah parah ketika berada di sini. Dikiranya, kesehatannya membaik karena waktu hendak pulang ke kampung halaman, dia melihat harapan dari senyum semangat sang putri. Ditepuk-tepuknya pundak sang istri seraya berucap,”dia gadis cerdas, pasti bisa bangkit segera. Papa yakin itu, M
“Bapak...” panggil Nirmala pada lelaki brewokan di teras rumah. Beberapa bulan tidak melihat, wajah Pak Harsono yang dulu hampir selalu rapi, kini tampak tidak terurus. Rambut-rambut dibiarkan tumbuh liar di wajah menambah kesan garang.“Kalian dari mana aja jam segini baru pulang?” cecar Pak Harsono sembari menatap tajam ke arah pasangan muda mudi yang terlihat tegang itu.Anggara menatap kekasihnya seolah memberi isyarat apakah dirinya harus jujur atau tidak. Seperti mengerti makna sorotan mata itu, Nirmala menggeleng pelan.“Maaf, Pak. Tadi, abis kontrol. Antriannya panjang, jadi sampai telat pulangnya. Bapak kapan pulang?” tanya Nirmala lirih penuh kehati-hatian.Bersamaan dengan jawaban putrinya, Bu Harsono yang mendengar suara sang suami yang cukup lantang tadi segera ke luar.Ditatapnya muda-mudi itu dengan sorot kecemasan. Sebagai seorang Ibu, Bu Harsono memiliki ikatan batin kuat kepada sang putri yang dari tatapannya seperti tengah meminta bantuan.“Oh, kalian sudah pulang,
“Kamu dari mana aja, Gara? Tante nyariin kamu kemana-mana, kirain ke toilet atau ke luar beli sesuatu.”Begitu sampai di depan ruangan tempat Nirmala diperiksa tadi, terlihat Tante Ayu tengah gelisah. Wanita yang tampak kelelahan dan kebingungan itu langsung lari menyusul saat melihat Anggara muncul.“Nggak dari mana-mana, Tante,” jawab Anggara singkat. Pikirannya masih tersangkut pada sosok yang baru saja ditemuinya.“Kamu lho, seperti linglung begitu. Ada apa? Oh, ya, Nirmala sudah siuman. Tadi Tante udah masuk sebentar. Ini mau jemput ommu di rumah Fitonia. Duh, suasana katanya kacau balau. Kamu di sini tunggu Nirmala, ya. Jaga kesehatan dan mental dia. Tante jemput om dulu,” pamit Tante Ayu terlihat tergesa-gesa.Anggara hanya mengangguk. Langkahnya lesu masuk ke ruangan yang sedari tadi ditunggui tantenya itu. Batinnya senang mendengar sang kekasih sudah siuman, tapi tetap saja masih terasa ada yang mengganjal.Melihat Nirmala menatapnya, ia berusaha tersenyum ceria. Diingatnya b
Melihat ekspresi putranya yang begitu terkejut dan panik, Bu Diana mendelik. Dicubitnya sang putra sebagai bentuk protes sekaligus permintaan untuk tetap duduk melanjutkan prosesi acara lamaran. Seperti tidak mau kehilangan kesempatan, wanita yang tidak menyangka akan ada kejadian tak terduga tersebut pun langsung meminta panitia untuk tetap melanjutkan acara.Ia mengajak calon besan untuk saling mengaitkan cincin di masing-masing calon pengantin. Namun, Anggara yang hatinya terkoyak melihat kekasih hati jatuh pingsan, tidak kuasa untuk bertahan. Ia bangkit tanpa memperdulikan pekikan dan larangan sang ibu. Dipapahnya wanita muda yang tidak sadarkan diri itu ke luar tempat acara.Tante Ayu yang menyaksikan adegan memilukan itu pun tergugah hatinya, lalu bangkit dan meminta kunci pada sang suami. Wanita yang sudah menganggap Nirmala sebagai anak sendiri itu pun menyuruh sang keponakan untuk memasukkan Nirmala ke mobilnya.“Tante yang nyupir,” ujarnya sigap membukakan pintu. Ia benar-be