“Maksud kamu apa bicara seperti itu? Jangan campuri urusanku. Bukankah sudah berkali-kali kuperingatkan?” geram Bu Diana tidak bisa menyembunyikan amarah pada adik kembarnya yang tiba-tiba muncul.“Apa kamu tidak kasihan sama Anggara? Padahal, dia putramu, anak yang kamu kandung sendiri. Cobalah untuk sedikit saja memberi belas kasihan pada putramu ini, Mbak,” ujar Tante Ayu sembari merangkul pundak sang keponakan yang terlihat tak berdaya.“Justru karena dia putraku, anak yang aku kandung selama 9 bulan, yang aku lahirnya dengan perjuangan antara hidup dan mati, yang aku biayai segala urusannya, sudah patut kiranya dia patut dan tunduk padaku. Bukankah surga anak ada pada restu seorang ibu? Terlebih dia laki-laki yang selama hidupnya itu milik ibunya, milikku!” pekik Bu Diana benar-benar telah kehilangan empati. Dipandangi dua orang terdekatnya yang kompak memandanginya dengan tatapan prihatin.“Kamu sudah salah kaprah, Mbak. Bukan seperti itu konsepnya. Aku penasaran, apa sebenarnya
Ada yang mengganjal di hati Anggara setelah perdebatan antara dirinya dan sang ibu. Bukan hanya perkara tentang keteguhan hati ibunya yang belum mau menerima Nirmala sebagai istrinya dan justru masih ngotot ingin menjodohkan dengan Fitonia, tapi juga perkataan Tante Ayu.Lontaran kalimat tantenya itu membuatnya membuka kembali album tipis yang berhasil ia simpan. Dipandanginya salah satu potret dia dengan seorang lelaki tinggi tegap dan gagah seraya berucap, “andai ayah masih di sini, mungkin aku tidak akan sepusing ini. Apa benar yang dikatakan Tante Ayu tentang ayah? Kenapa begitu berbeda dengan cerita dari Ibu?”Dia memang seorang pria. Tapi, bukan berarti seorang pria tidak bisa menangis. Nyatanya, demi membayangkan kenangan indah bersama sang ayah, Anggara mulai menundukkan kepalanya yang terasa begitu berat. Tetes air mata perlahan berhasi menjebol benteng pertahanan dari ujung mata. Sungguh pemuda yang tengah berada dalam kebingunan dalam memutuskan sebuah pilihan pasangan hidu
Gadis itu sudah cukup lama terbangun dari tidurnya—tidur yang dibuat setelah meminum obat penenang. Kini, ia telah sadar dengan apa yang telah terjadi dan kenapa dirinya saat ini tengah berada di ruangan khas dengan dekorasi berwarna putih dan hijau—rumah sakit. Lalu, dia pun mulai menyibak kenangan permulaan begitu akrab dengan bangunan semacam ini.Flashback OnHati luka yang masih menganga itu dibawanya pergi dari tempat perantauan ke kampung halaman. Pemilik hati yang begitu tulus tapi dikhianati secara sadis itu berharap di tempat dirinya tumbuh dan dibesarkan oleh seorang kakek yang begitu tulus menyayanginya itu bisa sembuh.Ternyata, menyembuhkan luka itu tidak semudah dan secepat saat jatuh cinta. Terlebih, untuk seorang wanita yang memiliki bawan eccendentesiast. Dia begitu lihai menyembunyikan luka, rasa sakit, kecewa dan sedih dengan membalutnya bersama senyuman, tawa dan keceriaan. Di samping itu, ia tidak mau membebani sang kakek yang pada saat itu tengah sakit-sakitan ka
Anggara benar-benar merasa tidak nyaman berada dalam satu ruangan hanya berdua dengan Fitonia. Beberapa saat, pemuda yang bertekad hendak menyelesaikan masalah itu hanya diam, kikuk. Sementara itu, wanita muda yang tengah menunggu reaksi dari tamunya di kursi roda itu tidak kuasa untuk menatap pemuda tersebut. Ia berusaha membawa kedua netranya menyelusuri seisi ruangan.“Bagaimana kalau kita ngobrol di luar?” Tiba-tiba Anggara menyodorkan ponsel yang telah berisi ketikan tangan di sebuah note pada Fitonia.Beberapa saat, wanita itu tampak berpikir. Bayangannya langsung melayang pada kejadian terakhir kali yang membuatnya berada di sini—harapan kencan indah justru berakhir hujan air mata kepedihan. Rasa trauma sempat menghantui. Namun, dia teringat dengan ucapan Bu Diana di luar tadi dan berpikir, “mungkin ini kesempatan untuk bisa memperbaiki hati yang retak.”Akhirnya, Fitonia mengangguk. Lalu, dia mengambil ponsel di saku, mengetik sebuah kalimat di note, dan disodorkan pada pemu
“Kemarin kamu tanya ‘kan, kapan awal aku menyukaimu?” ucap Fitonia masih berusaha menunggu pemuda di hadapan itu menatapnya.“Sungguh, aku menyesal terlambat membaca surat dari mu itu. Kukira, isi surat itu akan sama seperti surat dari cowok-cowok lain tentang yah... tidak jauh dari fisik dan otak. Rupanya, kamu menulis tentang hati, ketulusan hati. Maaf, sekali lagi maaf,” sesal Fitonia yang terlihat jelas dari raut wajah, menunduk beberapa saat seperti menahan sesuatu.Anggara mulai tertarik dan mengangkat wajahnya, menatap wanita yang kini telah berhasil menguasai diri dan siap melanjutkan cerita. Begitu mengetahui pemuda idaman menatap ke arahnya, senyum otomatis mengembang tanpa komando. Hatinya berbunga-bunga seolah telah berhasil merayu kumbang untuk mampir ke kelopaknya. “Waktu itu, kamu ingat, aku tengah mempersiapkan lomba yang memaksaku harus akrab dengan buku dan bimbingan sana-sini. Surat itu aku selipkan di buku eksiklopedia yang kupinjam dari almarhum kakek. Sampai rum
Pening kepala sudah tidak bisa ditolerir lagi, Anggara memutuskan untuk berpamitan terlebih dahulu. Sang ibu memilih untuk masih tinggal menemani Bu Vera yang sendirian menunggui putrinya. Suami Bu Vera belum juga datang menjenguk sang putri alasan kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan.Langkah kaki lelaki itu pelan dan layu. Hatinya terombang-ambing pada kenyataan yang ada. Dia tidak mudah untuk berpaling, memang. Tapi, segala curahan hati Fitonia berhasil menggetarkan hatinya. Tidak mau hatinya semakin kacau, ia berusaha mengumpulkan energi untuk mempercepat langkah menuju kamar inap sang kekasih.Dia patut bersyukur karena tidak kepergok Nirmala atau ibunya saat sedang bersama Fitonia tadi. Padahal, Nirmala menyukai taman dan terhitung dua kali menghirup udara di taman tersebut selama menginap di rumah sakit itu.Anggara telah sampai di kamar yang telah beberapa kali dikunjunginya, tapi sepi. Ia urung untuk masuk, takut pasien sedang beristirahat.“Cari siapa, Mas?” tanya seseoran
Anggara tengah sibuk di meja kasir toko ketika seseorang yang tiba-tiba datang dan berseru, “lho, calon pengantinnya aja masih di sini, belum dandan, berpakaian rapi, siap melamar sang kekasih hati.”Mendengar kalimat tersebut, pemuda yang sebenarnya masih mencari-cari cara untuk merayu ibunya itu kaget. Sontak, ia mendongakkan kepala setelah beberapa waktu menunduk menghitung rupiah yang masuk ke brankas toko.“ Maksud Bu RT?” tanya Anggara dengan wajah lugunya yang kuyu—kurang tidur karena terlalu memikirkan nasib masa depan asmaranya.“Loh, masih tanya lagi. Bukankah ibumu mengundang kami untuk menjadi pengiring acara lamaranmu. Ya, to, Pak? Pak!” Wanita yang disebut Bu RT itu langsung berteriak memanggil suaminya yang masih memarkir motor depan toko.Jarak antara kasir dan emperen toko cukup dekat, sehingga Pak RT bisa langsung mendengar seruan istrinya, lalu masuk.“Loh, Mas Anggara belum siap, to? Padahal kami sudah begitu antusias mau mengantar Mas lamaran,” tutur Pak RT.Angg
Nirmala mematung menatap ke arah luar melalui kaca jendela kamarnya—yang telah di-remodel Tante Ayu sedemikian rupa agar terlihat segar dan ceria. Pikirannya melayang-layang bagai layangan yang terbawa angin kemarau, entah akan berhenti di mana. Bayangan tentang persahabatannya dengan Fitonia belum juga bisa lepas dari memorinya, bagaimana dulu mereka sering menerka-nerka tentang sosok pacar dan suami impian. Tak disangka, ternyata kini keduanya memperebutkan pria yang sama.“Fitonia yang kukenal dulu tidak mungkin melakukannya. Aku tau dia begitu tulus menjodohkanku pada Anggara. Pun, terlihat dia begitu ikhlas mendukung penuh segala macam cobaanku bersama Anggara. Rasanya, tidak mungkin dia menusukku dari belakang. Tidak!” batinnya memekik begitu keras, sementara kepalanya berkali-kali menggeleng.Bu Harsono yang hendak masuk dan menyaksikan putrinya tengah melamun dengan ekspresi semacam itu, langsung mempercepat langkah untuk menghibur. Ia ingat pesan Tante Ayu bahwa gadis itu tid
“Kamu yakin, Sayang?” tanya Bu Vera pada putrinya yang beberapa langkah lagi menuju pintu mobil.Dengan mantap mantap, wanita yang masih terlihat pucat itu mengangguk seraya menjawab, “ya, Ma.”Merasa terharu, dipeluknya sang putri dengan penuh kasih.“Aku selalu mendoakan kebahagiaan kamu. Mama akan usahakan pengobatan dan terapi terbaik nanti di sana,” ucap Bu Vera tidak bisa menyembunyikan rasa haru. Wanita yang belakangan merasa begitu dekat dengan putri yang pernah ditinggalkannya itu berkali-kali mengusap usap pundak penuh kasih.Tidak hanya kedua wanita itu yang merasa berat untuk berpisah dengan kampung halaman, rumah kenangan, tapi juga Mbak Duwik. Wanita yang selama Bu Vera di sini selalu siap sedia diperintah itu ikut menangis penuh haru.Seperti mengerti perasaan wanita cekatan itu, Fitonia mendekat, memeluk dan berkata, “ terima kasih ya, Mbak Duwik, selalu ada buat kami.”Wanita yang tadinya mewek dengan suara pelan, kali ini justru sesenggukannya terdengar semakin keras
Nirmala, Pak Harsono, istri dan kakak perempuannya serempak saling pandang menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu rumah. Satu terlihat begitu bugar, gagah dan percaya diri, sementara satunya memancarkan sorot kesedihan mendalam, lemah dan pesimis. Beberapa kali, pria gagah menepuk-nepuk punggung pria tak berdaya di samping sambil mengangguk, seolah tengah menyalurkan kekuatan.“Assalamu’alaikum, Pak Harsono dan keluarga, bolehkah kami masuk?” Karena saking terpananya dengan apa yang dilihat, sekeluarga hanya bisa melongo dan sampai lupa mempersilahkan tamu segera masuk.“Oh, ya, Wa’alaikumsalam. Silahkan masuk,” ujar Bu Harsono seketika sadar.Istri Pak Harsono itulah yang paling awal melihat kedatangan dua pria beda usia tersebut menuju rumah, lalu lari ke kebun samping dan memberi tahukan bahwa ada tamu. Ia sangat penasaran dengan pria yang tengah menuntun calon menantu idamannya, sekaligus kaget dengan keadaan Anggara yang seperti sedang sakit.“Maaf jika kedatangan ka
“Benarkah itu Johan?” Bu Diana hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat. Sosok yang sebentar lagi pasti mengetuk pintu itu memang bisa dibilang jauh berbeda dengan suaminya dulu, tapi sebagai istri, ia masih tidak lupa dengan cara berjalannya yang gagah dan khas. Terlebih, saat tamu tak diundangnya mengetuk pintu tapi merasa tidak direspon dan wajahnya berusaha mengintai lewat kaca, Bu Diana kini yakin seratus persen bahwa orang tersebut adalah suami yang pernah diusirnya berkali-kali. Hal itu terlihat dari bekas luka sabetan benda tajam di wajah.“Ada apa si Johan kembali lagi ke sini? Bukankah sudah kusuruh tidak lagi menginjakkan kaki di rumah ini lagi? Berani sekali dia!” Bu Diana yang cukup pangling dengan penampilan sang tamu itu berkali-kali mengucek mata untuk memastikan.“Assalamu’alaikum...Assalamu’alaikum,” salam Pak Johan setelah ketukan pintunya yang berkali-kali tidak digubris.Nada suaranya yang kini terdengar adem dan lembut itu mengundang simpati Bu Diana. Wanita
Melihat sosok yang selama ini dirindukannya, Anggara merasa begitu lega. Kali ini, tidak lagi ada kecanggungan. Ia telah menemukan kembali kenyamanan berada di dekat seorang ayah seperti dulu waktu kecil sering bermain dan bercanda.Pak Johan langsung mempersilakan sang putra masuk ke kamar penginapan yang hanya dia sendiri di sana. Entah kebetulan atau memang sudah takdir, biasanya ia akan berada di sebelah tuannya kapan pun. Jika sedang tour kota semacam ini, kalau tidak tidur di pondok pesantren persahabatan, ya menginap di penginapan lengkap dengan tim.Namun, kali ini sungguh berbeda. Gus Hamdan, pendakwah muda yang tengah naik daun itu tengah membersamai istri tercinta pasca melahirkan di klinik dan kini telah dibawa ke rumah sakit khusus ibu dan anak demi mendapatkan fasilitas terdepan.“Bapak istirahatlah. Aku sudah pesankan kamar di penginapan dekat rumah sakit ini. Beristirahatlah setenang mungkin. Jangan pikirkan aku atau Ning. Tenang saja, ada Bik Fatimah dan beberapa sant
“Kabari Ayah kapan pun kamu mau. 082****.”Anggara memandang secarik kertas yang sepertinya ditulis dengan buru-buru itu penuh haru. Ia memang masih menyimpan kenangan indah bersama sang ayah sewaktu kecil dulu, sebelum pada akhirnya kepala rumah tangga itu diusir pemilik sah rumah itu. Dalam hati, ia memang berniat untuk kembali bertemu, bahkan ada secercah harapan untuk bisa hidup bersama lagi seperti dulu.Malam telah cukup larut. Jalanan sudah mulai sepi. Terlebih, klinik bersalin itu berada di pinggir kota. Di jam segini, mana mungkin ada kendaraan umum, kecuali ojek. Setelah berjalan dan bertanya beberapa orang, akhirnya ia menemukan tukang ojek yang langsung dimintanya untuk membawa pulang.Kali ini, ia sebisa mungkin menghentikan sementara pikiran tentang Pak Johan, Nirmala dan Fitonia. Sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki sang ibu, Anggara berpikir keras mencari kata yang hendak diucapkan saat bertemu dengan wanita single parent itu.Ia ingat betul bagaim
“Ma, istirahatlah. Aku baik-baik saja. Hanya, aku butuh obat tidur, terlelap, lalu bangun dalam keadaan siap menghadapi takdir yang ada. Maaf, telah membuat Mama, Papa dan keluarga kecewa, malu dan sedih. Setelah ini, aku berjanji tidak akan mengulanginya,” tulis Fitonia di pesan singkat, lalu mengiriminya pada sang mama, yang langsung lemas setelah membaca.Pak Rudi yang ikut membaca karena penasaran dengan penyebab sang istri langsung menjatuhkan diri ke dadanya itu juga tidak tahan untuk tidak bersedih. Terlebih, lelaki sukses itu merasa menyesal, mengapa baru kali ini datang ke mari, kenapa tidak kemarin-kemarin saat istrinya meminta.Ia sama sekali tidak menyangka jika putri sulungnya itu justru akan bertambah parah ketika berada di sini. Dikiranya, kesehatannya membaik karena waktu hendak pulang ke kampung halaman, dia melihat harapan dari senyum semangat sang putri. Ditepuk-tepuknya pundak sang istri seraya berucap,”dia gadis cerdas, pasti bisa bangkit segera. Papa yakin itu, M
“Bapak...” panggil Nirmala pada lelaki brewokan di teras rumah. Beberapa bulan tidak melihat, wajah Pak Harsono yang dulu hampir selalu rapi, kini tampak tidak terurus. Rambut-rambut dibiarkan tumbuh liar di wajah menambah kesan garang.“Kalian dari mana aja jam segini baru pulang?” cecar Pak Harsono sembari menatap tajam ke arah pasangan muda mudi yang terlihat tegang itu.Anggara menatap kekasihnya seolah memberi isyarat apakah dirinya harus jujur atau tidak. Seperti mengerti makna sorotan mata itu, Nirmala menggeleng pelan.“Maaf, Pak. Tadi, abis kontrol. Antriannya panjang, jadi sampai telat pulangnya. Bapak kapan pulang?” tanya Nirmala lirih penuh kehati-hatian.Bersamaan dengan jawaban putrinya, Bu Harsono yang mendengar suara sang suami yang cukup lantang tadi segera ke luar.Ditatapnya muda-mudi itu dengan sorot kecemasan. Sebagai seorang Ibu, Bu Harsono memiliki ikatan batin kuat kepada sang putri yang dari tatapannya seperti tengah meminta bantuan.“Oh, kalian sudah pulang,
“Kamu dari mana aja, Gara? Tante nyariin kamu kemana-mana, kirain ke toilet atau ke luar beli sesuatu.”Begitu sampai di depan ruangan tempat Nirmala diperiksa tadi, terlihat Tante Ayu tengah gelisah. Wanita yang tampak kelelahan dan kebingungan itu langsung lari menyusul saat melihat Anggara muncul.“Nggak dari mana-mana, Tante,” jawab Anggara singkat. Pikirannya masih tersangkut pada sosok yang baru saja ditemuinya.“Kamu lho, seperti linglung begitu. Ada apa? Oh, ya, Nirmala sudah siuman. Tadi Tante udah masuk sebentar. Ini mau jemput ommu di rumah Fitonia. Duh, suasana katanya kacau balau. Kamu di sini tunggu Nirmala, ya. Jaga kesehatan dan mental dia. Tante jemput om dulu,” pamit Tante Ayu terlihat tergesa-gesa.Anggara hanya mengangguk. Langkahnya lesu masuk ke ruangan yang sedari tadi ditunggui tantenya itu. Batinnya senang mendengar sang kekasih sudah siuman, tapi tetap saja masih terasa ada yang mengganjal.Melihat Nirmala menatapnya, ia berusaha tersenyum ceria. Diingatnya b
Melihat ekspresi putranya yang begitu terkejut dan panik, Bu Diana mendelik. Dicubitnya sang putra sebagai bentuk protes sekaligus permintaan untuk tetap duduk melanjutkan prosesi acara lamaran. Seperti tidak mau kehilangan kesempatan, wanita yang tidak menyangka akan ada kejadian tak terduga tersebut pun langsung meminta panitia untuk tetap melanjutkan acara.Ia mengajak calon besan untuk saling mengaitkan cincin di masing-masing calon pengantin. Namun, Anggara yang hatinya terkoyak melihat kekasih hati jatuh pingsan, tidak kuasa untuk bertahan. Ia bangkit tanpa memperdulikan pekikan dan larangan sang ibu. Dipapahnya wanita muda yang tidak sadarkan diri itu ke luar tempat acara.Tante Ayu yang menyaksikan adegan memilukan itu pun tergugah hatinya, lalu bangkit dan meminta kunci pada sang suami. Wanita yang sudah menganggap Nirmala sebagai anak sendiri itu pun menyuruh sang keponakan untuk memasukkan Nirmala ke mobilnya.“Tante yang nyupir,” ujarnya sigap membukakan pintu. Ia benar-be