“Berhenti, La. Bapak mau ngomong.”Nirmala kaget setengah mati mendengar suara bapaknya yang rela menghentikan suapan makanan, manakala ia pulang kerja dan melewati ruang makan. Bukan hanya karena sang bapak yang selama ini dikenal tak mau diganggu pas makan, tapi yang membuat jantung wanita dua puluh tujuh tahun itu deg-deg ser adalah karena ini kali pertama pria berkumis di hadapannya itu sudi berbicara padanya.Ia ingat betul, sejak bapak memergoki dirinya diantar pulang oleh pacarnya setahun-an yang lalu, beliau marah besar dan tidak mau lagi berbicara padanya. Bahkan, permintaan maaf yang berkali-kali dengan cara apa pun, tak pernah digubris. Alhasil, hubungan bapak dan anak itu menjadi renggang, basi dan tanpa komunikasi sama sekali.“Ngomong apa, Pak?” Demi ingin mengetahui apakah ini nyata atau mimpi, Nirmala duduk sambil diam-diam mencubit paha kanannya. Ternyata sakit, barulah ia yakin bahwa ini nyata. Pasti ada sesuatu hal penting yang ingin disampaikan, sampai rela seseora
“Makan lah, Nak. Sedari pulang kerja tadi, kuperhatikan kamu tidak ke ruang makan atau dapur. Belum makan, ‘kan?” tanya Bu Harsono sembari menyodorkan sebuah nampan berisi semangkuk soto lengkap dengan lauk, sambal dan minuman.Sebenarnya Nirmala malas membukakan pintu, sekali pun itu ibunya. Namun, ia berubah pikiran ketika sang ibu menawarkan makanan. Sekacau apa pun keadaannya, Nirmala selalu kalah dengan urusan perut. Bukan karena serakah, tapi sadar jika perutnya keroncongan, otaknya menjadi kosong, emosinya semakin tak terkontrol. Dan yang pasti, ia tidak mau pengalaman lambung yang kosong membuat dia tak sadarkan diri saking lemahnya.Begitu pintu terbuka, senyum kelegaan terpancar dari wajah Bu Harsono. Ia paham betul bahwa sifat dan karakter putri semata wayangnya itu mirip sekali dengan suaminya yang tahan lama bermarah-marahan dan keras kepala.Jika dengan sang bapak, Nirmala selalu jaga image dan gengsi, tapi sebaliknya, ia tidak pernah jaim jika berhadapan dengan sang ibu
Fitonia kaget bukan main saat membuka pintu dan mendapati tamunya berpenampilan belepotan. Baunya pun menusuk hidung, sehingga dengan cepat ia menutup kedua lubang hidung.Nirmala yang sudah menduga akan tanggapan sahabatnya itu langsung menyelonong masuk menuju kamar mandi.“Nggak usah tanya dan komen dulu. Nanti aku ceritain. Mau ke kamar mandi. Oke?” ucap Nirmala sambil tangan kirinya memberi isyarat untuk tidak mengeluarkan pertanyaan.Fitonia yang sudah hafal dengan tabiat sahabat yang ia kenal sejak SMA itu hanya bisa menahan tawa. Entah kekonyolan apa lagi yang dialami wanita unik itu. Meskipun sangat penasaran, dirinya menurut saja untuk diam dalam kepenasaran yang tinggi, dan memilih pergi ke dapur untuk membuatkan minuman hangat.“Nia, aku pinjem handuk, dong! Badanku semua bau ini. Jadi mandi, deh,” ucap Nirmala dari dalam kamar mandi.“Ya. Handuk kamu juga masih ada di sini. Wait!” Lagi-lagi Fitonia menurut apa kata sahabatnya itu. Tak lama kemudian, ia sudah mengetuk pint
“Apa? Kau belum bilang sama ibumu?” Nirmala meradang mendengar pengakuan Anggara—kekasihnya—lewat telepon seluler. Gadis yang sebulan lalu genap berusia 27 tahun itu rela minggat dari rumah demi kekasihnya, tapi apa yang ia dapat? Janji bahwa sang pacar akan membawa ibu beserta beberapa anggota keluarga untuk melamar, nyatanya hanya janji kosong belaka.“Kau sudah janji, Gara!” Tangisnya seketika pecah. Kecewa tiada bisa lagi disembunyikan. Hampir saja tubuhnya ambrug jika saja Fitonia tidak dengan sigap menenangkan sahabatnya itu.“Dosa besar apa yang telah aku perbuat, hingga cintaku harus tertambat pada pria pembohong dan pengecut seperti kamu? Huhuhu.” Gadis berbadan tidak lebih dari 155 sentimeter itu tidak bisa membendung air matanya lagi.Sementara itu, pria yang diajak bicara di seberang sana tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hal tersebut membuat Nirmala sangat putus asa.“Kau sudah ingkar janji berkali-kali, Gara. Huhuhu. Tiga kali kau mengingkarinya. Teganya kau perlakuka
Ketika sampai di rumah, Fitonia mendapati Nirmala sudah tertidur pulas di lantai bawah jendela, tanpa alas. Di sekeliling wanita yang tampak kelelahan itu berantakan. Beberapa throw pillows yang awalnya tertata rapi di sofa bed, kini berserakan di lantai. Pun dengan throw blanket sudah berada di salah satu stool dengan kondisi sangat kusut. Fitonia hafal betul tabiat sahabatnya itu. Jika sedang marah atau depresi, tidak hanya gampang menangis, tangisannya pun bisa berjam-berjam. Ia juga termasuk orang yang baperan dan sangat menghayati hidup, baik bahagia atau pun sedih. Yang paling membuatnya sering jantungan adalah tindakan sang sahaat yang ekstrem.Nirmala tidak segan untuk melompat setinggi mungkin untuk mengekspresikan kesedihan, membenturkan benda ke lantai atau tembok, bahkan melukai anggota tubuh. Dirinya ingat betul bahwa terhitung sudah dua kali pergelangan tangan sahabatnya itu tergores karena drama keluarga.Sebenarnya, Fitonia ingin langsung beranjak istirahat ke kamar,
“Astaghfirullah, Mala! Apa yang kamu lakukan?” Fitonina langsung menarik tubuh Nirmala yang tengah beradu dengan tembok. Keningnya tampak sudah ada bagian yang menonjol dan berwarna biru lebam.“Lepaskan aku, Nia! Aku lebih baik mati jika tidak menikah sekarang dengan Anggara!” Masih dengan tenaga yang tersisa, Nirmala berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan sahabatnya. Seperti kerasukan setan, wanita mungil itu mengambil pisau ke dapur dan hendak mengiris salah satu pergelangan tangan.Fitonia yang kelelahan dan mengantuk harus berjuang mati-matian melawan hawa amarah sang sahabat. Untung saja badannya lebih besar sehingga mampu menguasai badan si lawan yang lebih ramping.“Sssttt! Sssttt! Tenang, Sayang. Tenang.” Seperti seorang ibu yang baik, Fitonina mengusap-usap kepala Nirmala. Awalnya, wanita yang tampak putus asa itu masih ingin berontak dengan mengibas-ibaskan badan ke segala arah, tapi akhirnya gadis mungil itu tak berdaya kehabisan tenaga. Raungan suara yang tadi mengge
“Itu pacar kamu kenapa ke sini, sih, Ga?” tanya Bu Diana pada putranya dengan suara setengah berbisik. Setelah berjabat tangan dan mempersilahkan tamunya duduk di ruang tamu, wanita berkaca mata itu langsung masuk ke ruang belakang. Tangannya menarik lengan sang putra—yang awalnya hendak menemani sang pacar di ruang tamu.“Ya memang, kenapa, Bu? Ya, silaturohmi, mungkin.” Dengan dipenuhi rasa takut dan was-was, Anggara menjawab. Beberapa detik melihat roman wajah sang ibu yang tampak kurang senang, ia pun melanjutkan perkataannya.”Atau mungkin ada yang ingin dia sampaikan, Bu. Penting. Hehehe.” Anggara nyengir. Padahal dalam hati, pria berkumis tipis itu tidak bisa mengontrol rasa dag-dig-dug yang menjajah jiwanya.“Penting apa, sih? Alasan! Mau ketemu kamu aja kali. Cewek kok, main ke tempat cowok begini. Tandanya cewek genit,” ucap Bu Diana sembari berjalan ke arah ruang tamu.Di sana sudah ada Nirmala yang deg-degan menunggu moment dirinya memberanikan diri meminta restu pada ibu s
“Aku sungguh kecewa sama kamu, Gara! Pokoknya, pilih aku atau ibumu. Titik!”Dalam perjalanan pulang dari rumah Bu Diana, Nirmala masih kuasa untuk menuliskan kalimat putus asanya di layar ponsel dan mengirimnya pada sang kekasih. Tangisnya yang tadi sempat berhenti, mendadak berderai kembali. Ia sungguh tidak mempedulikan banyak pasang mata yang menatap penuh pertanyaan dan nyinyiran. Harapannya hanya satu, yaitu segera tiba di rumah Fitonia. Dirinya perlu untuk curhat dan meluapkan segala rasa kecewa hari ini. Jika tidak, jiwanya yang hancur berkeping-keping meminta tumbal mahal, sebagaimana dulu pernah ia lakukan.###Anggara masih terpaku menatap layar ponsel. Sebuah pesan dari kekasih membuat dirinya sangat terbebani. Tiba-tiba saja lamunannya buyar oleh tepukan tangan di punggung kanan.“Heh, malah nglamun. Itu ibumu perlu dirujuk ke rumah sakit. Tensinya tinggi. Tiba-tiba down dan berhalusinasi,” suara sepupunya mengagetkan.Tanpa menunggu, Anggara langsung masuk ke kamar. Ia m
Pening kepala sudah tidak bisa ditolerir lagi, Anggara memutuskan untuk berpamitan terlebih dahulu. Sang ibu memilih untuk masih tinggal menemani Bu Vera yang sendirian menunggui putrinya. Suami Bu Vera belum juga datang menjenguk sang putri alasan kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan.Langkah kaki lelaki itu pelan dan layu. Hatinya terombang-ambing pada kenyataan yang ada. Dia tidak mudah untuk berpaling, memang. Tapi, segala curahan hati Fitonia berhasil menggetarkan hatinya. Tidak mau hatinya semakin kacau, ia berusaha mengumpulkan energi untuk mempercepat langkah menuju kamar inap sang kekasih.Dia patut bersyukur karena tidak kepergok Nirmala atau ibunya saat sedang bersama Fitonia tadi. Padahal, Nirmala menyukai taman dan terhitung dua kali menghirup udara di taman tersebut selama menginap di rumah sakit itu.Anggara telah sampai di kamar yang telah beberapa kali dikunjunginya, tapi sepi. Ia urung untuk masuk, takut pasien sedang beristirahat.“Cari siapa, Mas?” tanya seseoran
“Kemarin kamu tanya ‘kan, kapan awal aku menyukaimu?” ucap Fitonia masih berusaha menunggu pemuda di hadapan itu menatapnya.“Sungguh, aku menyesal terlambat membaca surat dari mu itu. Kukira, isi surat itu akan sama seperti surat dari cowok-cowok lain tentang yah... tidak jauh dari fisik dan otak. Rupanya, kamu menulis tentang hati, ketulusan hati. Maaf, sekali lagi maaf,” sesal Fitonia yang terlihat jelas dari raut wajah, menunduk beberapa saat seperti menahan sesuatu.Anggara mulai tertarik dan mengangkat wajahnya, menatap wanita yang kini telah berhasil menguasai diri dan siap melanjutkan cerita. Begitu mengetahui pemuda idaman menatap ke arahnya, senyum otomatis mengembang tanpa komando. Hatinya berbunga-bunga seolah telah berhasil merayu kumbang untuk mampir ke kelopaknya. “Waktu itu, kamu ingat, aku tengah mempersiapkan lomba yang memaksaku harus akrab dengan buku dan bimbingan sana-sini. Surat itu aku selipkan di buku eksiklopedia yang kupinjam dari almarhum kakek. Sampai rum
Anggara benar-benar merasa tidak nyaman berada dalam satu ruangan hanya berdua dengan Fitonia. Beberapa saat, pemuda yang bertekad hendak menyelesaikan masalah itu hanya diam, kikuk. Sementara itu, wanita muda yang tengah menunggu reaksi dari tamunya di kursi roda itu tidak kuasa untuk menatap pemuda tersebut. Ia berusaha membawa kedua netranya menyelusuri seisi ruangan.“Bagaimana kalau kita ngobrol di luar?” Tiba-tiba Anggara menyodorkan ponsel yang telah berisi ketikan tangan di sebuah note pada Fitonia.Beberapa saat, wanita itu tampak berpikir. Bayangannya langsung melayang pada kejadian terakhir kali yang membuatnya berada di sini—harapan kencan indah justru berakhir hujan air mata kepedihan. Rasa trauma sempat menghantui. Namun, dia teringat dengan ucapan Bu Diana di luar tadi dan berpikir, “mungkin ini kesempatan untuk bisa memperbaiki hati yang retak.”Akhirnya, Fitonia mengangguk. Lalu, dia mengambil ponsel di saku, mengetik sebuah kalimat di note, dan disodorkan pada pemu
Gadis itu sudah cukup lama terbangun dari tidurnya—tidur yang dibuat setelah meminum obat penenang. Kini, ia telah sadar dengan apa yang telah terjadi dan kenapa dirinya saat ini tengah berada di ruangan khas dengan dekorasi berwarna putih dan hijau—rumah sakit. Lalu, dia pun mulai menyibak kenangan permulaan begitu akrab dengan bangunan semacam ini.Flashback OnHati luka yang masih menganga itu dibawanya pergi dari tempat perantauan ke kampung halaman. Pemilik hati yang begitu tulus tapi dikhianati secara sadis itu berharap di tempat dirinya tumbuh dan dibesarkan oleh seorang kakek yang begitu tulus menyayanginya itu bisa sembuh.Ternyata, menyembuhkan luka itu tidak semudah dan secepat saat jatuh cinta. Terlebih, untuk seorang wanita yang memiliki bawan eccendentesiast. Dia begitu lihai menyembunyikan luka, rasa sakit, kecewa dan sedih dengan membalutnya bersama senyuman, tawa dan keceriaan. Di samping itu, ia tidak mau membebani sang kakek yang pada saat itu tengah sakit-sakitan ka
Ada yang mengganjal di hati Anggara setelah perdebatan antara dirinya dan sang ibu. Bukan hanya perkara tentang keteguhan hati ibunya yang belum mau menerima Nirmala sebagai istrinya dan justru masih ngotot ingin menjodohkan dengan Fitonia, tapi juga perkataan Tante Ayu.Lontaran kalimat tantenya itu membuatnya membuka kembali album tipis yang berhasil ia simpan. Dipandanginya salah satu potret dia dengan seorang lelaki tinggi tegap dan gagah seraya berucap, “andai ayah masih di sini, mungkin aku tidak akan sepusing ini. Apa benar yang dikatakan Tante Ayu tentang ayah? Kenapa begitu berbeda dengan cerita dari Ibu?”Dia memang seorang pria. Tapi, bukan berarti seorang pria tidak bisa menangis. Nyatanya, demi membayangkan kenangan indah bersama sang ayah, Anggara mulai menundukkan kepalanya yang terasa begitu berat. Tetes air mata perlahan berhasi menjebol benteng pertahanan dari ujung mata. Sungguh pemuda yang tengah berada dalam kebingunan dalam memutuskan sebuah pilihan pasangan hidu
“Maksud kamu apa bicara seperti itu? Jangan campuri urusanku. Bukankah sudah berkali-kali kuperingatkan?” geram Bu Diana tidak bisa menyembunyikan amarah pada adik kembarnya yang tiba-tiba muncul.“Apa kamu tidak kasihan sama Anggara? Padahal, dia putramu, anak yang kamu kandung sendiri. Cobalah untuk sedikit saja memberi belas kasihan pada putramu ini, Mbak,” ujar Tante Ayu sembari merangkul pundak sang keponakan yang terlihat tak berdaya.“Justru karena dia putraku, anak yang aku kandung selama 9 bulan, yang aku lahirnya dengan perjuangan antara hidup dan mati, yang aku biayai segala urusannya, sudah patut kiranya dia patut dan tunduk padaku. Bukankah surga anak ada pada restu seorang ibu? Terlebih dia laki-laki yang selama hidupnya itu milik ibunya, milikku!” pekik Bu Diana benar-benar telah kehilangan empati. Dipandangi dua orang terdekatnya yang kompak memandanginya dengan tatapan prihatin.“Kamu sudah salah kaprah, Mbak. Bukan seperti itu konsepnya. Aku penasaran, apa sebenarnya
v“Kamu sudah bangun?” Pria yang sedari tadi ditatap hingga melamun dalam durasi lama itu terbangun dan kaget melihat wanita yang dijaganya hingga ketiduran telah bangun.Menyaksikan lelaki muda yang tampak masih mengantuk itu hendak berjalan mendekat, wanita yang telah duduk di tepi ranjang itu tiba-tiba menangis. Bibirnya bergetar hebat. Ia ingin mengatakan banyak hal, tapi kelu.Tapi, melihat bagaimana pemuda yang telah menemani dan berjuang mati-matian berada di sisinya itu berusaha menahan kantuk, akhirnya pertanyaan meluncur begitu saja, “apa kamu sudah tau tentang Fitonia?”Anggara menghentikan langkah yang tinggal beberapa sentimeter saja dari ranjang, demi mencari jawaban yang tepat untuk merespon pertanyaan. Ia ingat pesan dokter untuk tidak membuat pasien di hadapannya semakin depresi.“Jawab, Gara! Apa benar, kamu pernah mencintai Fitonia hingga memberinya surat cinta? Hah?” emosi Nirmala meledak. Anggara semakin kebingungan.“Kalau iya, kenapa kamu mau denganku? Setelah s
“Begini nih, berasa dunia cuma milik berdua, yang lain ngontrak!” Sebuah celetukan pengunjung pantai yang kebetulan lewat dan menyaksikan adegan romantis itu menyadarkan Nirmala dan Anggara. Mereka segera berdiri tegap dan kikuk.“Berarti kita ngontrak dong, Pah? Hihi,” sahut seorang wanita yang berjalan bersebelahan di samping pengunjung tadi sambil cekikikan dengan salah satu telapak tangan di mulut.Pemuda-pemudi yang jadi malu dan salah tingkah itu segera menjauh dari tempat tersebut. Keduanya berjalan tanpa suara. Masing-masing hanyut dalam pikiran dan sesekali pemuda yang telah menutup kepala dengan hoodie berdehem—seperti memberi sinyal.“Jadi, apa jawaban kamu, Mala?” ucap Anggara dengan suara pelan. Tangan kirinya menggaruk kepala yang tidak gatal.“Um, sebelum menjawab,aku mau tanya sesuatu, boleh?” Nirmala berusaha menatap lawan bicara untuk melihat ekspresi serius atau tidak.“Boleh, kita duduk di sana aja, ya?” ajak Anggara sambil menunjuk sebuah batang pohon lapuk yang r
Gara-gara dapat kiriman SMS yang memabukkan, hingga tengah malam Nirmala tidak bisa tidur. Gadis yang tengah kasmaran itu membayangkan hal-hal indah hari esok. Bahkan, dia sudah bermimpi jika benar Anggara benar-benar menyukai, membalas rasa suka darinya dan jadian, maka dia adalah pria pertama yang menjadi cintanya.Alhasil, pagi hari berikutnya, ia bangun kesiangan. Untung saja hari ini adalah hari Minggu, tidak ada kuliah, tidak ada jadwal magang kerja juga. Jadwal kencan pun jam sepuluh. Itu artinya, masih cukup waktu untuk persiapan ini itu.Dia memang gadis sederhana yang hanya punya beberapa potong pakaian saja untuk bepergian. Itu pun formal yang biasanya untuk ke kampus atau kerja. Maklum, ia jarang hang out. Jadilah kini gadis yang memiliki belahan di tengah dagu itu bingung memilah baju yang hendak dikenakan untuk nge-date pertama kali seumur hidup.Awalnya, Nirmala ingin meminta bantuan teman untuk memilihkan pakaian yang pantas dan oke, sekalian make up tipis-tipis. Namun