Sudah sejam lebih Pak Harsono mondar mandir di kamarnya. Sesekali, pria paruh baya itu menggelengkan kepala. Batinnya berkali-kali menggerutu kesal pada diri dan menyesali apa yang telah ia janjikan pada sang putri beberapa menit yang lalu.“Bisa-bisanya aku ngomong begitu?” gerutunya kesal sekaligus menyesal. Laki-laki yang tak lagi muda itu tiba-tiba duduk di pinggir ranjang dan salah satu tangannya memijit pelipisnya yang terasa tak nyaman. Batinnya benar-benar kacau, sementara otaknya dipacu semaksimal mungkin untuk mencari jalan keluar. Ia sangat khawatir jika pemuda yang pernah digamparnya itu benar-benar datang melamar putrinya besok malam.Beberapa saat berpikir keras, pada akhirnya Pak Harsono beranjak sembari bergumam, “aku harus ke sana. Ya, ya. Harus, sekarang juga sebelum terlambat.”Dengan langkah penuh kemantapan jiwa, pria berbadan tegap itu ke luar ruangan. Saking semangatnya, ia tak menghiraukan saat sang istri bertanya hendak kemana.“Jaga anak itu. Jangan sampai be
“Benar, ‘kan? Naluri seorang Ibu itu sangat kuat! Dari awal tau kamu pacaran, bahkan setelah melihat pacar kamu itu, Ibu punya firasat buruk. Dan, benar, gadis itu ngelunjak. Baru direstui kemarin, hari ini minta dilamar secepatnya. Jangan-jangan besok langsung nyuruh nyediain segepok duit buat kawinan. Dipikir dunia ini milik dia apa?” Bu Diana tidak bisa menahan emosi manakala sang putra meminta izin untuk melamar kekasihnya malam ini juga.“Aku tau Ibu akan berpikir seperti ini. Tapi, ketahuilah, Bu. Nirmala juga sebenarnya tidak menghendaki demikian. Mungkin, kehendak takdir,” ucap Anggara dengan raut wajah pedih.Pemuda itu sangat prihatin dengan perjalanan hidup kekasihnya itu. Sejak bertemu dan dekat, dialah seorang yang tau secara pasti bagaimana selama hidup sang kekasih cukup menderita. Hal ini tidak lain karena tangan bapaknya yang terkenal dingin.“Kamu selalu saja membelanya!” ketus sang ibu kesal.Dari nada bicara, Bu Diana tidak suka jika putranya terlalu membela sang pa
“Iya, aku sudah sampai di gang. Sebentar lagi sampai.”Betapa leganya hati Nirmala setelah membaca pesan singkat dari Anggara. Jadi, benar bahwa yang akan melamar dia adalah pacarnya.“Akhirnya...” Nirmala memeluk ponsel sembari menarik napas panjang dan tersenyum lebar. Ia ke luar kamar dan bersiap hendak menyambut lelaki pujaan hatinya dengan penuh kebahagiaan. Tidak ada keraguan sedikit pun di hati, karena wanita cantik itu mempercayai penuh setiap kata sang kekasih.Kini, dirinya berani menatap setiap mata yang masih saja meragukan kesiapan dan kesetiaan pacarnya itu. Terlebih kepada Bude Jati yang kerap kali memancing emosinya dengan segala pertanyaan konyol dan membanding-bandingkan dengan anak-anaknya.Para tamu undangan yang terdiri dari keluarga, kerabat dan beberapa tetangga, termasuk tokoh ketua RT, sudah siap menyambut tamu. Para lelaki berada di ruang tamu depan, sementara pada wanita berada di ruang keluarga yang letaknya bersebelahan, dengan pintu dan jendela masing-masi
Anggara memasuki ruang acara dengan langkah gemetar. Terus terang, ia sangat gerogi. Apa-apa yang telah ia persiapkan sedari rumah mendadak nge-blank. Seumur hidup, pemuda introvert itu belum pernah sekali pun ke rumah seorang wanita dengan tujuan asmara. Kalau pun sewaktu sekolah dulu, jika ke rumah teman wanita hanyalah urusan PR atau tugas lain.Om David--suami Tante Ayu—seperti mengerti situasi yang tengah dirasakan keponakannya itu. Tanpa diminta, pria plontos itu merangkul Anggara dan tersenyum sambil mengangguk, seolah menyalurkan kekuatan dan kepercayaan diri. Walau itu cukup membuat pemuda ber-jas abu-abu tersebut sedikit lega, tapi ketidakhadiran Pak Harsono dalam penyambutan rombongan membuatnya overthinking.Sejujurnya, Anggara belum siap untuk bertemu kembali dengan lelaki bertubuh besar yang pernah membuatnya babak belur karena kesalahpahaman. Namun, demi sebuah tuntutan dan rasa cinta pada pujaan hati, ia buktikan keseriusannya selama ini.Beberapa orang mempersilakan ro
“Apa?!” Pak Jaksa memekik sembari memberi isyarat kepada putranya yang sedang menyetir untuk membawa kendaraan menepi. Sementara, suara seseorang di seberang sana tak henti-hentinya mengucapkan permohonan maaf.“Ya sudah, saya ke sana sekarang.” Dengan raut wajah kesal, lelaki kurus tinggi itu mematikan telepon.“Ada apa, Pa?” Lucky menatap lelaki di sebelahnya dengan raut wajah sangat penasaran.“Papa minta maaf, Lucky. Terpaksa acara lamaran kamu dengan putrinya Pak Harsono pending dulu. Papa harus ke kantor sekarang juga. Ada problem urgent sekali yang harus diselesaikan,” ucap Pak Jaksa dengan wajah sangat kecewa dan menyesal.“Tapi, Pa?” Lucky—pemuda yang malam ini telah memakai pakaian terbaiknya—menatap sang papa dengan wajah kecewa dan memelas. Pemuda necis itu ingin protes, tapi kata-katanya langsung dipotong oleh Pak Jaksa.“Papa benar-benar minta maaf. Tolong, putar balik rute, ya,” ucap Pak Jaksa terlihat begitu tak tega dengan putra semata wayangnya, lalu melanjutkan, “Pap
Terkurung dalam kamar bukanlah sesuatu yang baru bagi Nirmala. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan hukuman bapaknya yang paling familier ini. Namun, kali ini terasa begitu menyiksa. Setelah Joni, asisten sang bapak menyeretnya ke kamar dengan disaksikan banyak pasang mata dan menguncinya di sana, tak henti-henti gadis menyedihkan itu terisak-isak.Dia memang sudah terbiasa menghadapi temperamental sang bapak yang sering kali kelewatan batas kewajaran, tapi Anggara? Demi membayangkan bagaimana perasaan malu, hancur dan kecewanya pemuda itu, Nirmala begitu frustrasi. Jika memungkinkan berdoa dan pasti terkabul, ia ingin bisa menembus pintu yang terkunci itu dan membawa pergi kekasihnya.Saat ini, tidak ada pikiran lain selain kawin lari. Rasanya, ia sudah tidak tahan menghadapi sifat bapaknya yang di luar kodrat seorang bapak--yang seharusnya melindungi dan memberi kebahagiaan untuk anaknya. Tapi, jika masih terkurung di sini, maka mustahil ide itu terwujud. Maka, gadis putus asa itu seng
Mobil berkecepatan tinggi itu melesat lalu mengerem dengan tak kalah cepat, seolah sang pengemudi ingin segera turun menuju suatu tempat yang sangat diidam-idamkan. Bangunan itu seperti kawasan ruko pada umumnya. Berjejer rapi dengan bagian depan berpintu besi. Saat malam begini, suasana sangat sepi. Satu-satunya yang menunjukkan jika ada kehidupan di sana adalah kendaran yang parkir.Setelah memarkir mobil kesayangannya, pemuda yang mengenakan kemeja batik warna hitam dengan celana panjang dengan nada serupa, langsung membuka gawai. Tak menunggu lama, salah satu pintu ruko itu terbuka. Begitu pemuda ini masuk ke sebuah ruangan, sebagian besar pria yang tengah asyik bermain billard langsung menghentikan kegiatan dan menyambut.“Lihatlah, siapa yang datang!” teriak seorang pria yang pertama kali melihat kaget sekaligus senang. Suaranya yang keras, membuat para pengunjung penasaran dan ikut menoleh—ke mana suara itu tertuju.“Lama kali lu gak ke sini, Bro,” sahut yang lainnya. Kali ini s
Anggara memang dikenal sebagai pemuda pendiam. Kali ini, bibirnya benar-benar kelu dan tak mau bicara apa pun dan kepada siapa pun. Meski begitu, dirinya merasa bersalah pada sang ibu, mengapa saat berpapasan tadi, dia sama sekali tidak berkata sepatah kata pun. Padahal, ada banyak hal yang ingin disampaikan mengenai hasil lamarannya malam ini.Pemuda yang perawakannya ramping itu masuk kamar dan langsung membanting tubuh ke kasur. Ditenggelamkannya wajah baby face itu kedalam bantal isi kapuk yang empuk. Pikirannya sungguh kacau. Ingatannya pun tak bisa lepas dari segala ucapan dan raut wajah Bapak calon mertua.Flashback on“Kalau kamu benar-benar mencintai dan menginginkan anakku sebagai istri, harusnya tidak segini harganya!” Pak Harsono sengaja menyenggol box hantaran uang yang baru saja dihitung. Kedua mata menyala menantang pria di hadapannya yang tertunduk lesu dengan badan lemas penuh keringat.“Mohon maaf, Pak. Sekecewanya bagaimana pun Bapak dengan isi hantaran dari Mas Angg
“Kamu yakin, Sayang?” tanya Bu Vera pada putrinya yang beberapa langkah lagi menuju pintu mobil.Dengan mantap mantap, wanita yang masih terlihat pucat itu mengangguk seraya menjawab, “ya, Ma.”Merasa terharu, dipeluknya sang putri dengan penuh kasih.“Aku selalu mendoakan kebahagiaan kamu. Mama akan usahakan pengobatan dan terapi terbaik nanti di sana,” ucap Bu Vera tidak bisa menyembunyikan rasa haru. Wanita yang belakangan merasa begitu dekat dengan putri yang pernah ditinggalkannya itu berkali-kali mengusap usap pundak penuh kasih.Tidak hanya kedua wanita itu yang merasa berat untuk berpisah dengan kampung halaman, rumah kenangan, tapi juga Mbak Duwik. Wanita yang selama Bu Vera di sini selalu siap sedia diperintah itu ikut menangis penuh haru.Seperti mengerti perasaan wanita cekatan itu, Fitonia mendekat, memeluk dan berkata, “ terima kasih ya, Mbak Duwik, selalu ada buat kami.”Wanita yang tadinya mewek dengan suara pelan, kali ini justru sesenggukannya terdengar semakin keras
Nirmala, Pak Harsono, istri dan kakak perempuannya serempak saling pandang menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu rumah. Satu terlihat begitu bugar, gagah dan percaya diri, sementara satunya memancarkan sorot kesedihan mendalam, lemah dan pesimis. Beberapa kali, pria gagah menepuk-nepuk punggung pria tak berdaya di samping sambil mengangguk, seolah tengah menyalurkan kekuatan.“Assalamu’alaikum, Pak Harsono dan keluarga, bolehkah kami masuk?” Karena saking terpananya dengan apa yang dilihat, sekeluarga hanya bisa melongo dan sampai lupa mempersilahkan tamu segera masuk.“Oh, ya, Wa’alaikumsalam. Silahkan masuk,” ujar Bu Harsono seketika sadar.Istri Pak Harsono itulah yang paling awal melihat kedatangan dua pria beda usia tersebut menuju rumah, lalu lari ke kebun samping dan memberi tahukan bahwa ada tamu. Ia sangat penasaran dengan pria yang tengah menuntun calon menantu idamannya, sekaligus kaget dengan keadaan Anggara yang seperti sedang sakit.“Maaf jika kedatangan ka
“Benarkah itu Johan?” Bu Diana hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat. Sosok yang sebentar lagi pasti mengetuk pintu itu memang bisa dibilang jauh berbeda dengan suaminya dulu, tapi sebagai istri, ia masih tidak lupa dengan cara berjalannya yang gagah dan khas. Terlebih, saat tamu tak diundangnya mengetuk pintu tapi merasa tidak direspon dan wajahnya berusaha mengintai lewat kaca, Bu Diana kini yakin seratus persen bahwa orang tersebut adalah suami yang pernah diusirnya berkali-kali. Hal itu terlihat dari bekas luka sabetan benda tajam di wajah.“Ada apa si Johan kembali lagi ke sini? Bukankah sudah kusuruh tidak lagi menginjakkan kaki di rumah ini lagi? Berani sekali dia!” Bu Diana yang cukup pangling dengan penampilan sang tamu itu berkali-kali mengucek mata untuk memastikan.“Assalamu’alaikum...Assalamu’alaikum,” salam Pak Johan setelah ketukan pintunya yang berkali-kali tidak digubris.Nada suaranya yang kini terdengar adem dan lembut itu mengundang simpati Bu Diana. Wanita
Melihat sosok yang selama ini dirindukannya, Anggara merasa begitu lega. Kali ini, tidak lagi ada kecanggungan. Ia telah menemukan kembali kenyamanan berada di dekat seorang ayah seperti dulu waktu kecil sering bermain dan bercanda.Pak Johan langsung mempersilakan sang putra masuk ke kamar penginapan yang hanya dia sendiri di sana. Entah kebetulan atau memang sudah takdir, biasanya ia akan berada di sebelah tuannya kapan pun. Jika sedang tour kota semacam ini, kalau tidak tidur di pondok pesantren persahabatan, ya menginap di penginapan lengkap dengan tim.Namun, kali ini sungguh berbeda. Gus Hamdan, pendakwah muda yang tengah naik daun itu tengah membersamai istri tercinta pasca melahirkan di klinik dan kini telah dibawa ke rumah sakit khusus ibu dan anak demi mendapatkan fasilitas terdepan.“Bapak istirahatlah. Aku sudah pesankan kamar di penginapan dekat rumah sakit ini. Beristirahatlah setenang mungkin. Jangan pikirkan aku atau Ning. Tenang saja, ada Bik Fatimah dan beberapa sant
“Kabari Ayah kapan pun kamu mau. 082****.”Anggara memandang secarik kertas yang sepertinya ditulis dengan buru-buru itu penuh haru. Ia memang masih menyimpan kenangan indah bersama sang ayah sewaktu kecil dulu, sebelum pada akhirnya kepala rumah tangga itu diusir pemilik sah rumah itu. Dalam hati, ia memang berniat untuk kembali bertemu, bahkan ada secercah harapan untuk bisa hidup bersama lagi seperti dulu.Malam telah cukup larut. Jalanan sudah mulai sepi. Terlebih, klinik bersalin itu berada di pinggir kota. Di jam segini, mana mungkin ada kendaraan umum, kecuali ojek. Setelah berjalan dan bertanya beberapa orang, akhirnya ia menemukan tukang ojek yang langsung dimintanya untuk membawa pulang.Kali ini, ia sebisa mungkin menghentikan sementara pikiran tentang Pak Johan, Nirmala dan Fitonia. Sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki sang ibu, Anggara berpikir keras mencari kata yang hendak diucapkan saat bertemu dengan wanita single parent itu.Ia ingat betul bagaim
“Ma, istirahatlah. Aku baik-baik saja. Hanya, aku butuh obat tidur, terlelap, lalu bangun dalam keadaan siap menghadapi takdir yang ada. Maaf, telah membuat Mama, Papa dan keluarga kecewa, malu dan sedih. Setelah ini, aku berjanji tidak akan mengulanginya,” tulis Fitonia di pesan singkat, lalu mengiriminya pada sang mama, yang langsung lemas setelah membaca.Pak Rudi yang ikut membaca karena penasaran dengan penyebab sang istri langsung menjatuhkan diri ke dadanya itu juga tidak tahan untuk tidak bersedih. Terlebih, lelaki sukses itu merasa menyesal, mengapa baru kali ini datang ke mari, kenapa tidak kemarin-kemarin saat istrinya meminta.Ia sama sekali tidak menyangka jika putri sulungnya itu justru akan bertambah parah ketika berada di sini. Dikiranya, kesehatannya membaik karena waktu hendak pulang ke kampung halaman, dia melihat harapan dari senyum semangat sang putri. Ditepuk-tepuknya pundak sang istri seraya berucap,”dia gadis cerdas, pasti bisa bangkit segera. Papa yakin itu, M
“Bapak...” panggil Nirmala pada lelaki brewokan di teras rumah. Beberapa bulan tidak melihat, wajah Pak Harsono yang dulu hampir selalu rapi, kini tampak tidak terurus. Rambut-rambut dibiarkan tumbuh liar di wajah menambah kesan garang.“Kalian dari mana aja jam segini baru pulang?” cecar Pak Harsono sembari menatap tajam ke arah pasangan muda mudi yang terlihat tegang itu.Anggara menatap kekasihnya seolah memberi isyarat apakah dirinya harus jujur atau tidak. Seperti mengerti makna sorotan mata itu, Nirmala menggeleng pelan.“Maaf, Pak. Tadi, abis kontrol. Antriannya panjang, jadi sampai telat pulangnya. Bapak kapan pulang?” tanya Nirmala lirih penuh kehati-hatian.Bersamaan dengan jawaban putrinya, Bu Harsono yang mendengar suara sang suami yang cukup lantang tadi segera ke luar.Ditatapnya muda-mudi itu dengan sorot kecemasan. Sebagai seorang Ibu, Bu Harsono memiliki ikatan batin kuat kepada sang putri yang dari tatapannya seperti tengah meminta bantuan.“Oh, kalian sudah pulang,
“Kamu dari mana aja, Gara? Tante nyariin kamu kemana-mana, kirain ke toilet atau ke luar beli sesuatu.”Begitu sampai di depan ruangan tempat Nirmala diperiksa tadi, terlihat Tante Ayu tengah gelisah. Wanita yang tampak kelelahan dan kebingungan itu langsung lari menyusul saat melihat Anggara muncul.“Nggak dari mana-mana, Tante,” jawab Anggara singkat. Pikirannya masih tersangkut pada sosok yang baru saja ditemuinya.“Kamu lho, seperti linglung begitu. Ada apa? Oh, ya, Nirmala sudah siuman. Tadi Tante udah masuk sebentar. Ini mau jemput ommu di rumah Fitonia. Duh, suasana katanya kacau balau. Kamu di sini tunggu Nirmala, ya. Jaga kesehatan dan mental dia. Tante jemput om dulu,” pamit Tante Ayu terlihat tergesa-gesa.Anggara hanya mengangguk. Langkahnya lesu masuk ke ruangan yang sedari tadi ditunggui tantenya itu. Batinnya senang mendengar sang kekasih sudah siuman, tapi tetap saja masih terasa ada yang mengganjal.Melihat Nirmala menatapnya, ia berusaha tersenyum ceria. Diingatnya b
Melihat ekspresi putranya yang begitu terkejut dan panik, Bu Diana mendelik. Dicubitnya sang putra sebagai bentuk protes sekaligus permintaan untuk tetap duduk melanjutkan prosesi acara lamaran. Seperti tidak mau kehilangan kesempatan, wanita yang tidak menyangka akan ada kejadian tak terduga tersebut pun langsung meminta panitia untuk tetap melanjutkan acara.Ia mengajak calon besan untuk saling mengaitkan cincin di masing-masing calon pengantin. Namun, Anggara yang hatinya terkoyak melihat kekasih hati jatuh pingsan, tidak kuasa untuk bertahan. Ia bangkit tanpa memperdulikan pekikan dan larangan sang ibu. Dipapahnya wanita muda yang tidak sadarkan diri itu ke luar tempat acara.Tante Ayu yang menyaksikan adegan memilukan itu pun tergugah hatinya, lalu bangkit dan meminta kunci pada sang suami. Wanita yang sudah menganggap Nirmala sebagai anak sendiri itu pun menyuruh sang keponakan untuk memasukkan Nirmala ke mobilnya.“Tante yang nyupir,” ujarnya sigap membukakan pintu. Ia benar-be