“Iya, aku sudah sampai di gang. Sebentar lagi sampai.”Betapa leganya hati Nirmala setelah membaca pesan singkat dari Anggara. Jadi, benar bahwa yang akan melamar dia adalah pacarnya.“Akhirnya...” Nirmala memeluk ponselnya sembari menarik nafas panjang dan tersenyum lebar. Ia ke luar kamar dan bersiap hendak menyambut lelaki pujaan hatinya dengan penuh kebahagiaan. Tidak ada keraguan sedikit pun di hati, karena wanita cantik itu mempercayai penuh setiap kata sang kekasih.Kini, dirinya berani menatap setiap mata yang masih saja meragukan kesiapan dan kesetiaan pacarnya itu. Terlebih kepada Bude Jati yang kerap kali memancing emosinya dengan segala pertanyaan konyol dan membanding-bandingkan dengan anak-anaknya.Para tamu undangan yang terdiri dari keluarga, kerabat dan beberapa tetangga, termasuk tokoh ketua RT sudah siap menyambut tamu. Para lelaki berada di ruang tamu depan, sementara pada wanita berada di ruang keluarga yang letaknya bersebelahan, dengan pintu dan jendela masing-m
Anggara memasuki ruang acara dengan langkah gemetar. Terus terang, ia sangat gerogi. Apa-apa yang telah ia persiapkan sedari rumah mendadak ngeblank. Seumur hidup pemuda introvert itu belum pernah sekali pun ke rumah seorang wanita dengan tujuan asmara. Kalau pun sewaktu sekolah dulu, jika ke rumah teman wanitanya urusan PR atau tugas lainnya. Dirinya benar-benar kehilangan kekuatan.Om David--suami Tante Ayu—seperti mengerti situasi yang tengah dirasakan keponakannya itu. Tanpa diminta, pria plontos itu merangkul Anggara dan tersenyum sambil mengangguk, seolah menyalurkan kekuatan dan kepercayaan diri. Walau itu cukup membuat pemuda berjas abu-abu itu sedikit lega, tapi ketidakhadiran Pak Harsono dalam penyambutan rombongan membuatnya overthinking.Sejujurnya, Anggara belum siap untuk bertemu kembali dengan lelaki kekar yang pernah membuatnya babak belur karena kesalahpahaman. Namun, demi sebuah tuntutan dan rasa cinta pada pujaan hati, ia buktikan keseriusannya selama ini. Beberapa o
“Apa?” Pak Jaksa memekik sembari memberi isyarat kepada putranya yang sedang menyetir untuk membawa kendaraan menepi. Sementara suara seseorang di seberang sana tak henti-hentinya mengucapkan permohonan maaf.“Ya sudah, saya ke sana sekarang.” Dengan raut wajah kesal, lelaki kurus tinggi itu mematikan telepon.“Ada apa, Pa?” Lucky menatap lelaki di sebelahnya dengan raut sangat penasaran.“Papa minta maaf, Lucky. Terpaksa acara lamaran kamu dengan putrinya Pak Harsono pending dulu. Papa harus ke kantor sekarang juga. Ada problem yang urgent sekali yang harus diselesaikan,” ucap Pak Jaksa dengan wajah sangat kecewa dan menyesal.“Tapi, Pa?” Lucky—pemuda yang malam ini telah memakai pakaian terbaiknya—menatap sang papa dengan wajah kecewa dan memelas. Pemuda necis itu ingin protes, tapi kata-katanya langsung dipotong oleh Pak Jaksa.“Papa benar-benar minta maaf. Tolong, putar balik rute, ya,” ucap Pak Jaksa terlihat begitu tak tega dengan putra semata wayangnya. “Papa janji secepatnya a
Terkurung dalam kamar bukanlah sesuatu yang baru bagi Nirmala. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan hukuman bapaknya yang paling familiar ini. Namun, kali ini terasa begitu menyiksa. Setelah Yudi, asisten sang bapak menyeretnya ke kamar dengan disaksikan banyak pasang mata dan menguncinya di sana, tak henti-hentinya gadis menyedihkan itu terisak-isak.Dia memang sudah terbiasa menghadapi temperamental sang bapak yang sering kali kelewatan batas kewajaran. Namun, Anggara? Demi membayangkan bagaimana perasaan malu, hancur dan kecewanya pemuda itu, Nirmala begitu frustasi. Jika memungkinkan berdoa dan pasti terkabul, ia ingin bisa menembus pintu yang terkunci itu dan membawa pergi kekasihnya.Saat ini, tidak ada pikiran lain selain kawin lari. Rasanya, ia sudah tidak tahan menghadapi sifat bapaknya yang di luar kodrat seorang bapak--yang seharusnya melindungi dan memberi kebahagiaan untuk anaknya. Tapi, jika masih terkurung di sini, maka mustahil ide itu terwujud. Maka, gadis putus asa itu
Mobil berkecepatan tinggi itu melesat begitu cepat dan mengerem dengan tak kalah cepat. Seolah sang pengemudi ingin segera turun menuju suatu tempat yang sangat diidam-idamkan. Bangunan itu seperti kawasan ruko pada umumnya. Berjejer rapi dengan bagian depan berpintu besi. Saat malam begini, suasana sangat sepi. Satu-satunya yang menunjukkan jika ada kehidupan di sana adalah kendaran yang parkir.Setelah memarkir mobil kesayangannya, pemuda yang mengenakan kemeja batik warna hitam dengan celana panjang dengan nada serupa langsung membuka gawai. Tak menunggu lama, salah satu pintu ruko itu terbuka. Begitu pemuda ini masuk ke sebuah ruangan, sebagian besar pria yang tengah asyik bermain billard langsung menghentikan kegiatan dan menyambut.“Lihatlah, siapa yang datang!” teriak seorang pria yang pertama kali melihat. Suaranya yang keras, membuat para pengunjung penasaran dan ikut menoleh—ke mana suara itu tertuju.“Lama kali kau tak ke sini, bro,” sahut yang lainnya. Kali ini sembari mela
Anggara memang dikenal sebagai pemuda pendiam. Tapi, kali ini bibirnya benar-benar kelu dan tak mau bicara apapun. Meski begitu, dirinya merasa bersalah pada sang ibu, mengapa saat berpapasan tadi, dia sama sekali tidak berkata sepatah kata pun. Padahal, ada banyak hal yang ingin disampaikan mengenai hasil lamarannya malam ini.Pemuda yang perawakannya tidak bongsor tersebut masuk kamar dan langsung membanting tubuh ke kasur. Ditenggelamkannya wajah baby face itu kedalam bantal isi kapuk yang empuk. Pikirannya sungguh kacau. Ingatannya pun tak bisa lepas dari segala ucapan dan raut wajah bapak calon mertua.Flashback on“Kalau kau benar-benar mencintai dan menginginkan anakku sebagai istri, harusnya tidak segini harganya.” Pak Harsono menampel box hantaran uang yang baru saja dihitung. Kedua matanya menyala menantang pria di hadapannya yang tertunduk lesu dengan badan lemas penuh keringat.“Mohon maaf, Pak. Sekecewanya bagaimana pun Bapak dengan isi hantaran dari Nak Anggara, tidak se
Bab XXXIIIKawin LariSebuah tisue malang dipaksa untuk mengeluarkan ingus hidung yang masih saja berproduksi karena si empu tidak jua menghentikan tangisannya. Entah itu tisue yang ke berapa. Nyatanya, ketika tak lagi bisa menampung ingus sang gadis, ia dilempar sesuka hati. Alhasil, kamar yang jendelanya bolong dengan kondisi kaca menganga tak beraturan itu menjadi sangat berantakan. Si empu kamar meringkuk di pojokan dengan kedua lutut dipeluk erat.Seorang wanita yang telah berdiri cukup lama di dekat pintu itu memperhatikannya dengan tak henti-hentinya beristighfar. Air mata tak lagi kuasa untuk keluar seolah telah kering. Ia ingin melangkah dan memeluk anak gadisnya yang terlihat begitu tertekan dan depresi itu, tapi urung karena takut membuatnya semakin histeris seperti yang tadi dilakukan.“Masih betah juga dia di sana?” Sebuah suara menyadarkan diri wanita itu dari lamunan. Ditolehnya siapa yang sedang bicara, kakak ipar. Demi melihat siapa yang ada di sebelahnya, wanita yang
“Ibu, apa yang Ibu lakukan? Siapa yang telpon?” Anggara tiba-tiba muncul dari kamar mandi dan melihat ibunya sedang memegang ponselnya.Melihat sang putra memergokinya, Bu Diana buru-buru meletakkan ponsel ke meja. “Ibu cuma liat jam,” ujarnya mencari alasan. Namun, gerak tubuh dan roman wajahnya tidak bisa membohongi. Lalu, wanita itu bergegas pergi.Anggara meraih ponsel dan mengeceknya. Beberapa panggilan telepon dan pesan messanger dari Nirmala terpampang di sana. Batin pemuda itu kacau balau. Ia berusaha menghubungi kekasihnya, tapi nomor yang dituju sedang di luar jangkauan. Panik langsung mendera.Sementara itu, begitu berjalan baru beberapa langkah menjauh dari kamar putranya, Bu Diana merutuk. Wanita itu menyesal mengapa dirinya tidak mencecar sang putra dengan pertanyaan-pertanyaan yang masih membuatnya pening di kepala, malah justru keluar kamar seperti orang bodoh. Maka, ia pun kembali ke kamar sang putra.Sebelum membuka pintu, Bu Diana urung membuka lantaran mendengar pe
Anggara benar-benar merasa tidak nyaman berada dalam satu ruangan hanya berdua dengan Fitonia. Beberapa saat, pemuda yang bertekad hendak menyelesaikan masalah itu hanya diam, kikuk. Sementara itu, wanita muda yang tengah menunggu reaksi dari tamunya di kursi roda itu tidak kuasa untuk menatap pemuda tersebut. Ia berusaha membawa kedua netranya menyelusuri seisi ruangan.“Bagaimana kalau kita ngobrol di luar?” Tiba-tiba Anggara menyodorkan ponsel yang telah berisi ketikan tangan di sebuah note pada Fitonia.Beberapa saat, wanita itu tampak berpikir. Bayangannya langsung melayang pada kejadian terakhir kali yang membuatnya berada di sini—harapan kencan indah justru berakhir hujan air mata kepedihan. Rasa trauma sempat menghantui. Namun, dia teringat dengan ucapan Bu Diana di luar tadi dan berpikir, “mungkin ini kesempatan untuk bisa memperbaiki hati yang retak.”Akhirnya, Fitonia mengangguk. Lalu, dia mengambil ponsel di saku, mengetik sebuah kalimat di note, dan disodorkan pada pemu
Gadis itu sudah cukup lama terbangun dari tidurnya—tidur yang dibuat setelah meminum obat penenang. Kini, ia telah sadar dengan apa yang telah terjadi dan kenapa dirinya saat ini tengah berada di ruangan khas dengan dekorasi berwarna putih dan hijau—rumah sakit. Lalu, dia pun mulai menyibak kenangan permulaan begitu akrab dengan bangunan semacam ini.Flashback OnHati luka yang masih menganga itu dibawanya pergi dari tempat perantauan ke kampung halaman. Pemilik hati yang begitu tulus tapi dikhianati secara sadis itu berharap di tempat dirinya tumbuh dan dibesarkan oleh seorang kakek yang begitu tulus menyayanginya itu bisa sembuh.Ternyata, menyembuhkan luka itu tidak semudah dan secepat saat jatuh cinta. Terlebih, untuk seorang wanita yang memiliki bawan eccendentesiast. Dia begitu lihai menyembunyikan luka, rasa sakit, kecewa dan sedih dengan membalutnya bersama senyuman, tawa dan keceriaan. Di samping itu, ia tidak mau membebani sang kakek yang pada saat itu tengah sakit-sakitan ka
Ada yang mengganjal di hati Anggara setelah perdebatan antara dirinya dan sang ibu. Bukan hanya perkara tentang keteguhan hati ibunya yang belum mau menerima Nirmala sebagai istrinya dan justru masih ngotot ingin menjodohkan dengan Fitonia, tapi juga perkataan Tante Ayu.Lontaran kalimat tantenya itu membuatnya membuka kembali album tipis yang berhasil ia simpan. Dipandanginya salah satu potret dia dengan seorang lelaki tinggi tegap dan gagah seraya berucap, “andai ayah masih di sini, mungkin aku tidak akan sepusing ini. Apa benar yang dikatakan Tante Ayu tentang ayah? Kenapa begitu berbeda dengan cerita dari Ibu?”Dia memang seorang pria. Tapi, bukan berarti seorang pria tidak bisa menangis. Nyatanya, demi membayangkan kenangan indah bersama sang ayah, Anggara mulai menundukkan kepalanya yang terasa begitu berat. Tetes air mata perlahan berhasi menjebol benteng pertahanan dari ujung mata. Sungguh pemuda yang tengah berada dalam kebingunan dalam memutuskan sebuah pilihan pasangan hidu
“Maksud kamu apa bicara seperti itu? Jangan campuri urusanku. Bukankah sudah berkali-kali kuperingatkan?” geram Bu Diana tidak bisa menyembunyikan amarah pada adik kembarnya yang tiba-tiba muncul.“Apa kamu tidak kasihan sama Anggara? Padahal, dia putramu, anak yang kamu kandung sendiri. Cobalah untuk sedikit saja memberi belas kasihan pada putramu ini, Mbak,” ujar Tante Ayu sembari merangkul pundak sang keponakan yang terlihat tak berdaya.“Justru karena dia putraku, anak yang aku kandung selama 9 bulan, yang aku lahirnya dengan perjuangan antara hidup dan mati, yang aku biayai segala urusannya, sudah patut kiranya dia patut dan tunduk padaku. Bukankah surga anak ada pada restu seorang ibu? Terlebih dia laki-laki yang selama hidupnya itu milik ibunya, milikku!” pekik Bu Diana benar-benar telah kehilangan empati. Dipandangi dua orang terdekatnya yang kompak memandanginya dengan tatapan prihatin.“Kamu sudah salah kaprah, Mbak. Bukan seperti itu konsepnya. Aku penasaran, apa sebenarnya
v“Kamu sudah bangun?” Pria yang sedari tadi ditatap hingga melamun dalam durasi lama itu terbangun dan kaget melihat wanita yang dijaganya hingga ketiduran telah bangun.Menyaksikan lelaki muda yang tampak masih mengantuk itu hendak berjalan mendekat, wanita yang telah duduk di tepi ranjang itu tiba-tiba menangis. Bibirnya bergetar hebat. Ia ingin mengatakan banyak hal, tapi kelu.Tapi, melihat bagaimana pemuda yang telah menemani dan berjuang mati-matian berada di sisinya itu berusaha menahan kantuk, akhirnya pertanyaan meluncur begitu saja, “apa kamu sudah tau tentang Fitonia?”Anggara menghentikan langkah yang tinggal beberapa sentimeter saja dari ranjang, demi mencari jawaban yang tepat untuk merespon pertanyaan. Ia ingat pesan dokter untuk tidak membuat pasien di hadapannya semakin depresi.“Jawab, Gara! Apa benar, kamu pernah mencintai Fitonia hingga memberinya surat cinta? Hah?” emosi Nirmala meledak. Anggara semakin kebingungan.“Kalau iya, kenapa kamu mau denganku? Setelah s
“Begini nih, berasa dunia cuma milik berdua, yang lain ngontrak!” Sebuah celetukan pengunjung pantai yang kebetulan lewat dan menyaksikan adegan romantis itu menyadarkan Nirmala dan Anggara. Mereka segera berdiri tegap dan kikuk.“Berarti kita ngontrak dong, Pah? Hihi,” sahut seorang wanita yang berjalan bersebelahan di samping pengunjung tadi sambil cekikikan dengan salah satu telapak tangan di mulut.Pemuda-pemudi yang jadi malu dan salah tingkah itu segera menjauh dari tempat tersebut. Keduanya berjalan tanpa suara. Masing-masing hanyut dalam pikiran dan sesekali pemuda yang telah menutup kepala dengan hoodie berdehem—seperti memberi sinyal.“Jadi, apa jawaban kamu, Mala?” ucap Anggara dengan suara pelan. Tangan kirinya menggaruk kepala yang tidak gatal.“Um, sebelum menjawab,aku mau tanya sesuatu, boleh?” Nirmala berusaha menatap lawan bicara untuk melihat ekspresi serius atau tidak.“Boleh, kita duduk di sana aja, ya?” ajak Anggara sambil menunjuk sebuah batang pohon lapuk yang r
Gara-gara dapat kiriman SMS yang memabukkan, hingga tengah malam Nirmala tidak bisa tidur. Gadis yang tengah kasmaran itu membayangkan hal-hal indah hari esok. Bahkan, dia sudah bermimpi jika benar Anggara benar-benar menyukai, membalas rasa suka darinya dan jadian, maka dia adalah pria pertama yang menjadi cintanya.Alhasil, pagi hari berikutnya, ia bangun kesiangan. Untung saja hari ini adalah hari Minggu, tidak ada kuliah, tidak ada jadwal magang kerja juga. Jadwal kencan pun jam sepuluh. Itu artinya, masih cukup waktu untuk persiapan ini itu.Dia memang gadis sederhana yang hanya punya beberapa potong pakaian saja untuk bepergian. Itu pun formal yang biasanya untuk ke kampus atau kerja. Maklum, ia jarang hang out. Jadilah kini gadis yang memiliki belahan di tengah dagu itu bingung memilah baju yang hendak dikenakan untuk nge-date pertama kali seumur hidup.Awalnya, Nirmala ingin meminta bantuan teman untuk memilihkan pakaian yang pantas dan oke, sekalian make up tipis-tipis. Namun
Seharusnya, Nirmala sudah lega karena rahasia terbesarnya telah diungkapkan ke orang yang paling dekat denganya saat ini. Namun, gadis itu justru semakin sering melamun dan susah konsentrasi. Ia takut jika dibiarkan terus menerus, nilai akademik akan anjok yang berakibat dicopotnya beasiswa. Kalau sampai terjadi, Bapak bisa murka dan benar-benar melarangnya untuk kuliah. Hal ini semakin membuat gadis mungil itu overthinking.Di kamar kostnya yang sempit dan minimalis, dia merenung. Bahkan, berkali-kali bangkit dari ranjang untuk mondar-mandir. Lalu, naik lagi ke ranjang berusaha tidur, tapi justru wajah cute Anggara seolah terpampang nyata di hadapan. Alhasil, melek lagi. Sekuat apa pun dirinya menenggelamkan wajah di bantal, bayangan pemuda yang terkenal pintar itu tidak bisa hilang.Bahkan, kini dia dihantui dengan curhatannya pada sang sahabat kemarin. Sambil cemberut mendekap bantal, ia berujar, “kira-kira bener nggak, ya, keputusanku kemarin curhat blak-blakan sama Nia. Berlebiha
Dengan langkah lesu dan suasana hati yang tidak karuan, Nirmala tiba di rumah Fitonia. Gadis menawan itu telah menunggunya di teras sambil menikmati camilan. Begitu melihat orang yang ditunggu muncul, ia langsung menyambut.“Dih, kenapa itu muka ditekuk kek baju lecek aja. Kenapa, sih?” Fitonia yang ceria meledek Nirmala yang masih juga belum menarik bibirnya ke belakang, barang satu sentimeter pun.“Lagi banyak pikiran,” lirih Nirmala menjawab sambil mengambil tempat duduk.“Ya, ya, kuliah itu emang banyak tugas. Pasti pusing, lah. Tapi kan, salah satu yang bikin pusing, udah beres, dihandle-in Anggara. Nih!” Fitonia memberikan benda kecil berwarna kuning-putih bertuliskan ‘Kingston’.“Gimana kesan kamu ke Anggara? Dia keren, ‘kan?” ledek Fitonia sembari mendekatkan diri dan siap menunggu reaksi gadis berwajah sendu di hadapannya.Ditanya demikian, sontak Nirmala yang terkenal sebagai orang yang blak-blak-an justru kebingungan.“Apa maksud dari pertanyaan Nia, ini?” batin Nirmala tid