Anggara memang dikenal sebagai pemuda pendiam. Tapi, kali ini bibirnya benar-benar kelu dan tak mau bicara apapun. Meski begitu, dirinya merasa bersalah pada sang ibu, mengapa saat berpapasan tadi, dia sama sekali tidak berkata sepatah kata pun. Padahal, ada banyak hal yang ingin disampaikan mengenai hasil lamarannya malam ini.Pemuda yang perawakannya tidak bongsor tersebut masuk kamar dan langsung membanting tubuh ke kasur. Ditenggelamkannya wajah baby face itu kedalam bantal isi kapuk yang empuk. Pikirannya sungguh kacau. Ingatannya pun tak bisa lepas dari segala ucapan dan raut wajah bapak calon mertua.Flashback on“Kalau kau benar-benar mencintai dan menginginkan anakku sebagai istri, harusnya tidak segini harganya.” Pak Harsono menampel box hantaran uang yang baru saja dihitung. Kedua matanya menyala menantang pria di hadapannya yang tertunduk lesu dengan badan lemas penuh keringat.“Mohon maaf, Pak. Sekecewanya bagaimana pun Bapak dengan isi hantaran dari Nak Anggara, tidak se
Bab XXXIIIKawin LariSebuah tisue malang dipaksa untuk mengeluarkan ingus hidung yang masih saja berproduksi karena si empu tidak jua menghentikan tangisannya. Entah itu tisue yang ke berapa. Nyatanya, ketika tak lagi bisa menampung ingus sang gadis, ia dilempar sesuka hati. Alhasil, kamar yang jendelanya bolong dengan kondisi kaca menganga tak beraturan itu menjadi sangat berantakan. Si empu kamar meringkuk di pojokan dengan kedua lutut dipeluk erat.Seorang wanita yang telah berdiri cukup lama di dekat pintu itu memperhatikannya dengan tak henti-hentinya beristighfar. Air mata tak lagi kuasa untuk keluar seolah telah kering. Ia ingin melangkah dan memeluk anak gadisnya yang terlihat begitu tertekan dan depresi itu, tapi urung karena takut membuatnya semakin histeris seperti yang tadi dilakukan.“Masih betah juga dia di sana?” Sebuah suara menyadarkan diri wanita itu dari lamunan. Ditolehnya siapa yang sedang bicara, kakak ipar. Demi melihat siapa yang ada di sebelahnya, wanita yang
“Ibu, apa yang Ibu lakukan? Siapa yang telpon?” Anggara tiba-tiba muncul dari kamar mandi dan melihat ibunya sedang memegang ponselnya.Melihat sang putra memergokinya, Bu Diana buru-buru meletakkan ponsel ke meja. “Ibu cuma liat jam,” ujarnya mencari alasan. Namun, gerak tubuh dan roman wajahnya tidak bisa membohongi. Lalu, wanita itu bergegas pergi.Anggara meraih ponsel dan mengeceknya. Beberapa panggilan telepon dan pesan messanger dari Nirmala terpampang di sana. Batin pemuda itu kacau balau. Ia berusaha menghubungi kekasihnya, tapi nomor yang dituju sedang di luar jangkauan. Panik langsung mendera.Sementara itu, begitu berjalan baru beberapa langkah menjauh dari kamar putranya, Bu Diana merutuk. Wanita itu menyesal mengapa dirinya tidak mencecar sang putra dengan pertanyaan-pertanyaan yang masih membuatnya pening di kepala, malah justru keluar kamar seperti orang bodoh. Maka, ia pun kembali ke kamar sang putra.Sebelum membuka pintu, Bu Diana urung membuka lantaran mendengar pe
Begitu masuk kamar, Bu Harsono kaget bukan kepalang. Wanita gemulai yang tengah membawa nampan makan malam pesanan anak gadisnya itu mendapati kamar dalam keadaan kosong tanpa penghuni. Awalnya, ia ingin berpositif thinking untuk tidak langsung menarik kesimpulan bahwa putrinya itu kabur. Tapi faktanya, sudah tak terhitung sejak kecil penghuni kamar tersebut kabur. Kecurigaannya semakin menjadi-jadi manakala mendapati tas ransel dan jaket kesukaan anaknya tidak ada. Isi lemari dalam keadaan amburadul.Bu Harsono lemas tak berdaya. Kedua lututnya tiba-tiba lemas. Akhirnya, wanita itu ndeprok di lantai. Pikirannya kacau. Pastilah tadi putrinya tidak benar-benar ingin makan. Gadis itu hanya ingin mengelabuhinya saja. Sekarang, dia harus bersiap-siap menghadapi kemarahan suami dan iparnya, karena tidak menjaga putrinya dengan baik. Satu sisi, ia sangat mengkhawatirkan anak gadisnya. Malam larut seperti ini, ke mana dia pergi? Demi memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk tentang sang anak
Satu gigitan serangga membuat gadis yang tertidur beralaskan tanah itu merintih. Ketika hendak menggerakkan tubuh, ia merasakan linu di kaki dan badannya. Kantuk dan pusing sebenarnya masih menguasai, tapi sayup-sayup terdengar suara qiro’ dari berbagai arah. Sontak, wanita muda itu tersadar untuk harus segera bangkit. Dengan susah payah, akhirnya dia berhasil bangun atas bantuan sebuah tiang listrik yang semalam menangkapnya saat terguling.Gelap masih menyelimuti bumi. Bintang-bintang yang semalam menemani perjuangannya berlarian terlihat tinggal beberapa saja. Sang penguasa langit malam pun sudah geser seperti hendak berpamitan. Wanita muda yang penampilannya acak-acakan itu berdiri berusaha mengumpulkan tenaga. Kesadarannya pun perlahan terkumpul.“Aku harus segera sampai ke kota sebelum matahari terang benderang. Jika tidak, bapak bisa menemukan dan memaksaku pulang,” katanya pada diri sendiri. Ingatan-ingatan pedih dan menyakitkan yang menderanya seolah memberi kekuatan penuh, s
Pasar desa yang berada di perempatan itu mulai dipenuhi dengan orang-orang yang tengah mengais rezeki dan mencari kebutuhan rumah tangga. Itu sangat menguntungkan bagi gadis yang tengah dalam pelarian. Dengan tubunya yang mungil, Nirmala berhasil berlari cepat masuk ke pasar, menyelusup ke orang yang lalu lalang. Ia tidak mau menoleh ke belakang. Yang ada di pikiranya hanya lari dan lari. Jangan sampai orang yang tadi melihat dan mengejar berhasil membawanya pulang.Untunglah, keahlian seorang mantan atlet lari yang pernah juara antar SD se-kecamatan itu bisa ke luar dari hiruk pikuk pasar. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terdapat sebuah pos ojek. Segera kakinya ia kayuh lagi. Ternyata kosong. Padahal, drinya sudah tidak sabar untuk pergi dari wilayah itu.“Butuh ojek, Mbak?” tanya seorang lelaki, tiba-tiba berdiri di dekatnya yang tengah celingak-celinguk.“Ya, Pak. Bapak, ojek?” Nirmala balik tanya penuh pengharapan.“Oh, bukan. Cuma nunggu istri lagi belanja. Parkir di sini aja yan
Nirmala langsung mundur dengan cepat begitu tahu siapa yang telah membangunkannya.“Maaf, Mbak. Kaget, ya? Atau mimpi buruk? Tadi Mbak tereak-tereak seperti kesurupan. Kebetulan tadi saya sedang melintas, mau pulang ke rumah saya.” Seorang laki-laki berumur cukup tua itu menunjuk ke sebuah rumah yang jaraknya sekitar seratus meter dari tempat dirinya tertidur.Sembari merapikan pakaian dan mengusap wajah, Nirmala mendadak merasa malu. Dirinya benar-benar tidak sadar jika benar apa yang dikatakan bapak-bapak di hadapannya.“Mbak cari Fitonia, ‘kan? Wajahnya seperti tidak asing. Seperti Mbak-mbak yang sering main ke sini,” lanjut pria itu sangat ramah. Mungkin ia tahu jika Nirmala sempat mencurigai dirinya dengan pikiran yang tidak-tidak karena telah membangunkan dengan telapak tangannya.Nirmala belum mengeluarkan suara, tetapi mengangguk.“Maaf ya, Mbak. Saya tidak bermaksud lancang menepuk-nepuk punggung, Mbak. Tadi saya sudah coba bangunkan dengan suara saja, tapi Mbak nggak bangun
“Mbak Siska!!!” Tanpa ampun, Nirmala menubrukkan diri ke badan seorang wanita yang masih berada di motor. Saking semangatnya, motor matic itu hampir roboh karena ketidaksigapan sang pengemudi dalam menerima pelukan wanita yang tengah bercucuran air mata itu.“Ada apa, Mala? Tangisanmu menakutkan seperti itu. Di pinggir jalan begini, lagi.” Wanita yang dipanggil ‘Mbak Siska’ langsung peka dan mengelus-elus pundak Nirmala menggunakan tangan kiri, sementara tangan kanannya berusaha mematikan motor melalui kunci kontak.“Kirain aku salah orang tadi. Tapi, dilihat dari jaket dan tas seperti kamu. Makanya aku berhenti. Eh, ternyata beneran kamu. Kenapa? Hah? Nangis kamu seperti abis putus cinta.” Siska—si asal ceplos—itu menyerocos masih dengan tangan mengelus-elus pundak Nirmala yang tak henti-henti menangis.“Pokoknya aku butuh Mbak Siska banget. Bawa aku ke tempat Mbak sekarang, ya?” Nirmala melepaskan diri dan berusaha melakukan kontak mata dengan mantan partner kerjanya itu.“Lho, kena
Anggara benar-benar merasa tidak nyaman berada dalam satu ruangan hanya berdua dengan Fitonia. Beberapa saat, pemuda yang bertekad hendak menyelesaikan masalah itu hanya diam, kikuk. Sementara itu, wanita muda yang tengah menunggu reaksi dari tamunya di kursi roda itu tidak kuasa untuk menatap pemuda tersebut. Ia berusaha membawa kedua netranya menyelusuri seisi ruangan.“Bagaimana kalau kita ngobrol di luar?” Tiba-tiba Anggara menyodorkan ponsel yang telah berisi ketikan tangan di sebuah note pada Fitonia.Beberapa saat, wanita itu tampak berpikir. Bayangannya langsung melayang pada kejadian terakhir kali yang membuatnya berada di sini—harapan kencan indah justru berakhir hujan air mata kepedihan. Rasa trauma sempat menghantui. Namun, dia teringat dengan ucapan Bu Diana di luar tadi dan berpikir, “mungkin ini kesempatan untuk bisa memperbaiki hati yang retak.”Akhirnya, Fitonia mengangguk. Lalu, dia mengambil ponsel di saku, mengetik sebuah kalimat di note, dan disodorkan pada pemu
Gadis itu sudah cukup lama terbangun dari tidurnya—tidur yang dibuat setelah meminum obat penenang. Kini, ia telah sadar dengan apa yang telah terjadi dan kenapa dirinya saat ini tengah berada di ruangan khas dengan dekorasi berwarna putih dan hijau—rumah sakit. Lalu, dia pun mulai menyibak kenangan permulaan begitu akrab dengan bangunan semacam ini.Flashback OnHati luka yang masih menganga itu dibawanya pergi dari tempat perantauan ke kampung halaman. Pemilik hati yang begitu tulus tapi dikhianati secara sadis itu berharap di tempat dirinya tumbuh dan dibesarkan oleh seorang kakek yang begitu tulus menyayanginya itu bisa sembuh.Ternyata, menyembuhkan luka itu tidak semudah dan secepat saat jatuh cinta. Terlebih, untuk seorang wanita yang memiliki bawan eccendentesiast. Dia begitu lihai menyembunyikan luka, rasa sakit, kecewa dan sedih dengan membalutnya bersama senyuman, tawa dan keceriaan. Di samping itu, ia tidak mau membebani sang kakek yang pada saat itu tengah sakit-sakitan ka
Ada yang mengganjal di hati Anggara setelah perdebatan antara dirinya dan sang ibu. Bukan hanya perkara tentang keteguhan hati ibunya yang belum mau menerima Nirmala sebagai istrinya dan justru masih ngotot ingin menjodohkan dengan Fitonia, tapi juga perkataan Tante Ayu.Lontaran kalimat tantenya itu membuatnya membuka kembali album tipis yang berhasil ia simpan. Dipandanginya salah satu potret dia dengan seorang lelaki tinggi tegap dan gagah seraya berucap, “andai ayah masih di sini, mungkin aku tidak akan sepusing ini. Apa benar yang dikatakan Tante Ayu tentang ayah? Kenapa begitu berbeda dengan cerita dari Ibu?”Dia memang seorang pria. Tapi, bukan berarti seorang pria tidak bisa menangis. Nyatanya, demi membayangkan kenangan indah bersama sang ayah, Anggara mulai menundukkan kepalanya yang terasa begitu berat. Tetes air mata perlahan berhasi menjebol benteng pertahanan dari ujung mata. Sungguh pemuda yang tengah berada dalam kebingunan dalam memutuskan sebuah pilihan pasangan hidu
“Maksud kamu apa bicara seperti itu? Jangan campuri urusanku. Bukankah sudah berkali-kali kuperingatkan?” geram Bu Diana tidak bisa menyembunyikan amarah pada adik kembarnya yang tiba-tiba muncul.“Apa kamu tidak kasihan sama Anggara? Padahal, dia putramu, anak yang kamu kandung sendiri. Cobalah untuk sedikit saja memberi belas kasihan pada putramu ini, Mbak,” ujar Tante Ayu sembari merangkul pundak sang keponakan yang terlihat tak berdaya.“Justru karena dia putraku, anak yang aku kandung selama 9 bulan, yang aku lahirnya dengan perjuangan antara hidup dan mati, yang aku biayai segala urusannya, sudah patut kiranya dia patut dan tunduk padaku. Bukankah surga anak ada pada restu seorang ibu? Terlebih dia laki-laki yang selama hidupnya itu milik ibunya, milikku!” pekik Bu Diana benar-benar telah kehilangan empati. Dipandangi dua orang terdekatnya yang kompak memandanginya dengan tatapan prihatin.“Kamu sudah salah kaprah, Mbak. Bukan seperti itu konsepnya. Aku penasaran, apa sebenarnya
v“Kamu sudah bangun?” Pria yang sedari tadi ditatap hingga melamun dalam durasi lama itu terbangun dan kaget melihat wanita yang dijaganya hingga ketiduran telah bangun.Menyaksikan lelaki muda yang tampak masih mengantuk itu hendak berjalan mendekat, wanita yang telah duduk di tepi ranjang itu tiba-tiba menangis. Bibirnya bergetar hebat. Ia ingin mengatakan banyak hal, tapi kelu.Tapi, melihat bagaimana pemuda yang telah menemani dan berjuang mati-matian berada di sisinya itu berusaha menahan kantuk, akhirnya pertanyaan meluncur begitu saja, “apa kamu sudah tau tentang Fitonia?”Anggara menghentikan langkah yang tinggal beberapa sentimeter saja dari ranjang, demi mencari jawaban yang tepat untuk merespon pertanyaan. Ia ingat pesan dokter untuk tidak membuat pasien di hadapannya semakin depresi.“Jawab, Gara! Apa benar, kamu pernah mencintai Fitonia hingga memberinya surat cinta? Hah?” emosi Nirmala meledak. Anggara semakin kebingungan.“Kalau iya, kenapa kamu mau denganku? Setelah s
“Begini nih, berasa dunia cuma milik berdua, yang lain ngontrak!” Sebuah celetukan pengunjung pantai yang kebetulan lewat dan menyaksikan adegan romantis itu menyadarkan Nirmala dan Anggara. Mereka segera berdiri tegap dan kikuk.“Berarti kita ngontrak dong, Pah? Hihi,” sahut seorang wanita yang berjalan bersebelahan di samping pengunjung tadi sambil cekikikan dengan salah satu telapak tangan di mulut.Pemuda-pemudi yang jadi malu dan salah tingkah itu segera menjauh dari tempat tersebut. Keduanya berjalan tanpa suara. Masing-masing hanyut dalam pikiran dan sesekali pemuda yang telah menutup kepala dengan hoodie berdehem—seperti memberi sinyal.“Jadi, apa jawaban kamu, Mala?” ucap Anggara dengan suara pelan. Tangan kirinya menggaruk kepala yang tidak gatal.“Um, sebelum menjawab,aku mau tanya sesuatu, boleh?” Nirmala berusaha menatap lawan bicara untuk melihat ekspresi serius atau tidak.“Boleh, kita duduk di sana aja, ya?” ajak Anggara sambil menunjuk sebuah batang pohon lapuk yang r
Gara-gara dapat kiriman SMS yang memabukkan, hingga tengah malam Nirmala tidak bisa tidur. Gadis yang tengah kasmaran itu membayangkan hal-hal indah hari esok. Bahkan, dia sudah bermimpi jika benar Anggara benar-benar menyukai, membalas rasa suka darinya dan jadian, maka dia adalah pria pertama yang menjadi cintanya.Alhasil, pagi hari berikutnya, ia bangun kesiangan. Untung saja hari ini adalah hari Minggu, tidak ada kuliah, tidak ada jadwal magang kerja juga. Jadwal kencan pun jam sepuluh. Itu artinya, masih cukup waktu untuk persiapan ini itu.Dia memang gadis sederhana yang hanya punya beberapa potong pakaian saja untuk bepergian. Itu pun formal yang biasanya untuk ke kampus atau kerja. Maklum, ia jarang hang out. Jadilah kini gadis yang memiliki belahan di tengah dagu itu bingung memilah baju yang hendak dikenakan untuk nge-date pertama kali seumur hidup.Awalnya, Nirmala ingin meminta bantuan teman untuk memilihkan pakaian yang pantas dan oke, sekalian make up tipis-tipis. Namun
Seharusnya, Nirmala sudah lega karena rahasia terbesarnya telah diungkapkan ke orang yang paling dekat denganya saat ini. Namun, gadis itu justru semakin sering melamun dan susah konsentrasi. Ia takut jika dibiarkan terus menerus, nilai akademik akan anjok yang berakibat dicopotnya beasiswa. Kalau sampai terjadi, Bapak bisa murka dan benar-benar melarangnya untuk kuliah. Hal ini semakin membuat gadis mungil itu overthinking.Di kamar kostnya yang sempit dan minimalis, dia merenung. Bahkan, berkali-kali bangkit dari ranjang untuk mondar-mandir. Lalu, naik lagi ke ranjang berusaha tidur, tapi justru wajah cute Anggara seolah terpampang nyata di hadapan. Alhasil, melek lagi. Sekuat apa pun dirinya menenggelamkan wajah di bantal, bayangan pemuda yang terkenal pintar itu tidak bisa hilang.Bahkan, kini dia dihantui dengan curhatannya pada sang sahabat kemarin. Sambil cemberut mendekap bantal, ia berujar, “kira-kira bener nggak, ya, keputusanku kemarin curhat blak-blakan sama Nia. Berlebiha
Dengan langkah lesu dan suasana hati yang tidak karuan, Nirmala tiba di rumah Fitonia. Gadis menawan itu telah menunggunya di teras sambil menikmati camilan. Begitu melihat orang yang ditunggu muncul, ia langsung menyambut.“Dih, kenapa itu muka ditekuk kek baju lecek aja. Kenapa, sih?” Fitonia yang ceria meledek Nirmala yang masih juga belum menarik bibirnya ke belakang, barang satu sentimeter pun.“Lagi banyak pikiran,” lirih Nirmala menjawab sambil mengambil tempat duduk.“Ya, ya, kuliah itu emang banyak tugas. Pasti pusing, lah. Tapi kan, salah satu yang bikin pusing, udah beres, dihandle-in Anggara. Nih!” Fitonia memberikan benda kecil berwarna kuning-putih bertuliskan ‘Kingston’.“Gimana kesan kamu ke Anggara? Dia keren, ‘kan?” ledek Fitonia sembari mendekatkan diri dan siap menunggu reaksi gadis berwajah sendu di hadapannya.Ditanya demikian, sontak Nirmala yang terkenal sebagai orang yang blak-blak-an justru kebingungan.“Apa maksud dari pertanyaan Nia, ini?” batin Nirmala tid