Anggara mondar-mandir di kamar. Pemuda itu dilanda rasa khawatir mengenai keadaan wanita yang ingin segera ia nikahi. Telinganya tidak mungkin salah dengar bahwa sang ibu telah memberi tahu Tante Vera arah menuju rumah kekasihnya itu.“Ada apa Bu Vera hendak ke rumah Nirmala? Apa ini ada hubungannya dengan rencana konyol Ibu menjodohkanku dengan Fitonia?” batin pemuda itu bergejolak penuh kekhawatiran.Setelah memikirkan matang-matang, ia mengambil jaket kesayangan, lalu mengendap-endap menuju garasi untuk mengambil motor. Tidak salah lagi, hati nuraninya mengatakan bahwa ia harus segera ke rumah Fitonia untuk mencari tahu kepastian banyak hal. Karena saat pertemuan pertama sejak kepergian gadis itu, ia dipaksa untuk menyudahi obrolan. Bahkan, diminta pulang oleh ibunya. Jadi, ia belum puas untuk berbincang dengan orang yang selama ini sudah dianggap seperti keluarga.Anggara disambut oleh Mbak Duwik. Asisten rumah tangga keluarga Bu Vera itu mengatakan bahwa majikannya sudah ke luar
Fitonia tidak kuasa jujur. Ia justru menangis sejadi-jadinya. Hal itu membuat Anggara tidak nyaman.“Aku antar kamu masuk.” Anggara hendak memegang kursi roda dan membawa Fitonia ke rumah, tapi mendadak tangannya ditepis.“Aku bisa sendiri, Gara. Meski berada di kursi roda, jangan pandang aku sebagai wanita lemah.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Fitonia membawa kursi rodanya ke arah rumah dengan cepat.Anggara terpaku menatap wanita yang masih saja terisak itu. Batinnya terasa tercabik-cabik dengan berbagai rasa, antara sedih, kecewa, heran dan bingung. Ia tidak habis pikir dengan sahabatnya yang rupanya selama ini diam-diam mencintainya.Disamping itu, dirinya harus segera menemukan cara bagaimana memberitahu Nirmala mengenai semua ini. Jangan sampai, kekasihnya yang temperamental itu mengetahui dari orang lain. Karena jika hal itu sampai terjadi, bisa dipastikan dia bisa depresi lagi.Anggara sengaja mematikan ponsel. Ia tidak ingin dihubungi siapa pun saat ini, termasuk ibun
Fitonia benar-benar tidak menduga jika kencan pertama dirinya dengan Anggara akan berakhir dengan air mata. Hal itu justru menambah sakit yang diderita. Kini, ia semakin yakin jika Anggara yang dulu mengejarnya sudah tidak menginginkannya lagi. Semua ini gara-gara Nirmala. Dia yang telah merebut secret admired-nya.Saking kesal, bingung sekaligus malu, Fitonia meninggalkan Anggara di pelataran belakang. Ia biarkan pemuda itu terus menatapnya penuh tanda tanya dan kebingungan. Yang ada di pikirannya saat ini adalah pergi ke kamar dan menangis sekeras-kerasnya.Begitu masuk kamar, Fitonia langsung menjatuhkan diri ke lantai. Kakinya menendang-nendang kursi roda yang belakangan ini menjadi senjata untuk meraih simpati orang. Ya, sejatinya dia sudah tidak membutuhkan benda tersebut.Kemarin, saat kondisi badannya masih begitu lemas, dokter menyarankan untuk menggunakan kursi roda. Awalnya, ia menolak karena membayangkan jika menggunakan alat bantu tersebut akan terlihat seperti gadis caca
“Kamu masih punya impian untuk bahagia? Untuk sembuh?” tanya psikiater yang menggunakan jubah dokter bertuliskan sebuah nama ‘Cyntia Carlianta Hati’ itu menatap lembut ke arah pasien yang telah menghentikan tangisannya. Dipeluknya gadis yang terlihat telah kehilangan banyak energi untuk menangis itu sambil memberikan tisu.“Kamu gadis yang baik dan pintar, pastilah bisa melalui ini semua dengan baik. Coba, ceritakan semua, keluarkan semua apa yang membuatmu merasakan sakit selama ini. Nanti, biar kami bantu mengatasinya. Kita bareng-bareng selesaikan ini sama-sama, ya?”Dokter Cyntia mengeluarkan seluruh rasa empatinya lewat tatapan mata dan sentuhan pada tangan sang pasien. Meski masih terisak, gadis itu berusaha melanjutkan kisahnya.“Aku benar-benar nggak nyangka bakal dikhianati orang yang selama ini sudah kuanggap sebagai pria terbaik untuk mengisi masa depan bersama. Statusnya sebagai ayah biologis dari janin yang dikandung temanku sendiri telah membuat duniaku runtuh.” Tisu di
Begitu mendengar berita bahwa Nirmala kumat, Anggara langsung menuju rumah kekasihnya itu dengan perasaan khawatir, takut dan bingung. Ada penyesalan mengapa tadi dia mengnon-aktifkan ponsel, sehingga telepon dari sang kekasih tidak bisa tersambung.Namun, nasi telah menjadi bubur. Kini, dalam otaknya ia mati-matian mencari cara bagaimana memberitahu tentang Fitonia. Bibirnya senantiasa komat kamit berdoa semoga Tuhan melindungi kekasihnya itu dari keinginan untuk melakukan hal-hal fatal, seperti yang dilakukannya terdahulu apabila tengah dilanda depresi.“Bagaimana keadaan Nirlama, Bu?” Raut wajah Anggara terlihat tegang. Ditatapnya Bu Harsono yang tertunduk lesu di sebuah kursi ruang tamu.“Dia tidak mau merespon apapun, Mas. Tidak berkedip, tidak menoleh, tidak bergerak dan tidak bersuara.” Nada sedih dan prihatin jelas terdengar. Kedua mata wanita ayu itu sudah bengkak dan seperti kehabisan air mata.“Apa yang sebenarnya terjadi, Bu? Bagaimana bisa begini? Maaf, tadi aku mematika
Setelah berunding, pada akhirnya Tante Ayu memberhentikan mobil ke rumah sakit terdekat. Kedua wanita yang sama-sama tak berdaya langsung dimasukkan ruang ICU. Untunglah, Tante Ayu termasuk orang punya nama di kota kecil ini sehingga proses semakin lancar dan cepat. Dengan sigap, para petugas langsung menangani pasien.Setelah mengurus administrasi, Anggara duduk di ruang tunggu dengan pikiran tak karuan. Rasa lelah dan kantuk menyatu dengan rasa sesal dan bingung yang masih menghantui. Berkali-kali, pemuda itu menutupi wajah dengan kedua telapak tangan.Tante Ayu berjalan perlahan mendekati sang keponakan yang tampak sekali kepayahan.“Semua akan baik-baik saja, Gara. Perbanyak doa, ya. Tante tau ini sangat berat.” Tante Ayu menepuk punggung keponakannya penuh prihatin.Anggara menatap sekilas tantenya, lalu kembali menundukkan kepala. Ia telah kehilangan kata-kata. Satu-satunya yang ingin dilakukan adalah pergi ke masjid untuk mengadu kepada Tuhan. Pemuda itu merasa belakangan hidup
“Are you, okay?” Echa mencondongkan wajah prihatinnya pada Nirmala, setelah gadis yang curhat padanya itu terdiam cukup lama.Nirmala yang memang sedang gundah setelah mendengarkan cerita kisah tentang pemuda incarannya itu gelagepan.“Um, ya? Aku baik-baik aja, kenapa?”“Enggak...Kamu enggak terlihat sedang baik-baik aja. Hem...tampaknya kamu bener-bener suka, ya, sama si Anggara itu?”Gadis yang masih dipenuhi banyak pertanyaan itu tersenyum malu mendengar ledekan temannya itu.“Ya, kalau kamu yakin, lanjut aja, nggak pa-pa. Siapa tau dia emang jodoh kamu, kan? Tapi, sorry to say ya, aku nggak bisa bantu comblangin. Soalnya, temenku nggak satu atau dua yang naksir abis ke dia. Nggak enak juga kan, kalau aku memihak ke salah satu. Hehe.” Echa merasa tidak enak hati tapi menyembunyikan dalam tawa ringannya.Nirmala mengerti dan hanya merespon dengan senyuman satu senti.“Nggak pa-pa, kok. Kamu udah mau dengerin curhatku dan ngasih bocoran informasi tentang dia aja, aku udah makasih ba
“Aku tidak pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya. Bukan karena aku tidak normal. Di benakku, laki-laki itu sama. Sama seperti Bapak; keras, kasar, egois, dan cuek. Padahal, laki-laki diciptakan untuk melindungi, menyayangi, dan melengkapi kebahagiaan seorang wanita. Bukan begitu, Dear?”“Atau aku terlalu keliru sehingga Tuhan ingin meluruskan jalan agar tidak tersesat terlalu dalam? Dikirimkan dia untuk aku berpikir bahwa tidak semua laki-laki seperti itu. Secara visual, dia cakep. Buktinya, banyak yang mengincarnya, tidak hanya aku. Dari cerita,dia sosok yang baik, selalu membantu teman-temannya yang membutuhkan pertolongan. Dia juga tidak merokok. Waw! Di zaman seperti ini, ada sesosok pria yang nggak ngabisin duit buat membakar kretek. Bukankah itu langka dan keren? Itu seperti ciri-ciri pria masa depan impian yang pernah kutulis, ‘kan, Dear?”“Jangan tanya soal senyum, gaya berpakaian dan sorotan matanya itu...aku tidak sanggup untuk mengungkapkan. Itu begitu indah dan menyenang
“Kemarin kamu tanya ‘kan, kapan awal aku menyukaimu?” ucap Fitonia masih berusaha menunggu pemuda di hadapan itu menatapnya.“Sungguh, aku menyesal terlambat membaca surat dari mu itu. Kukira, isi surat itu akan sama seperti surat dari cowok-cowok lain tentang yah... tidak jauh dari fisik dan otak. Rupanya, kamu menulis tentang hati, ketulusan hati. Maaf, sekali lagi maaf,” sesal Fitonia yang terlihat jelas dari raut wajah, menunduk beberapa saat seperti menahan sesuatu.Anggara mulai tertarik dan mengangkat wajahnya, menatap wanita yang kini telah berhasil menguasai diri dan siap melanjutkan cerita. Begitu mengetahui pemuda idaman menatap ke arahnya, senyum otomatis mengembang tanpa komando. Hatinya berbunga-bunga seolah telah berhasil merayu kumbang untuk mampir ke kelopaknya. “Waktu itu, kamu ingat, aku tengah mempersiapkan lomba yang memaksaku harus akrab dengan buku dan bimbingan sana-sini. Surat itu aku selipkan di buku eksiklopedia yang kupinjam dari almarhum kakek. Sampai rum
Anggara benar-benar merasa tidak nyaman berada dalam satu ruangan hanya berdua dengan Fitonia. Beberapa saat, pemuda yang bertekad hendak menyelesaikan masalah itu hanya diam, kikuk. Sementara itu, wanita muda yang tengah menunggu reaksi dari tamunya di kursi roda itu tidak kuasa untuk menatap pemuda tersebut. Ia berusaha membawa kedua netranya menyelusuri seisi ruangan.“Bagaimana kalau kita ngobrol di luar?” Tiba-tiba Anggara menyodorkan ponsel yang telah berisi ketikan tangan di sebuah note pada Fitonia.Beberapa saat, wanita itu tampak berpikir. Bayangannya langsung melayang pada kejadian terakhir kali yang membuatnya berada di sini—harapan kencan indah justru berakhir hujan air mata kepedihan. Rasa trauma sempat menghantui. Namun, dia teringat dengan ucapan Bu Diana di luar tadi dan berpikir, “mungkin ini kesempatan untuk bisa memperbaiki hati yang retak.”Akhirnya, Fitonia mengangguk. Lalu, dia mengambil ponsel di saku, mengetik sebuah kalimat di note, dan disodorkan pada pemu
Gadis itu sudah cukup lama terbangun dari tidurnya—tidur yang dibuat setelah meminum obat penenang. Kini, ia telah sadar dengan apa yang telah terjadi dan kenapa dirinya saat ini tengah berada di ruangan khas dengan dekorasi berwarna putih dan hijau—rumah sakit. Lalu, dia pun mulai menyibak kenangan permulaan begitu akrab dengan bangunan semacam ini.Flashback OnHati luka yang masih menganga itu dibawanya pergi dari tempat perantauan ke kampung halaman. Pemilik hati yang begitu tulus tapi dikhianati secara sadis itu berharap di tempat dirinya tumbuh dan dibesarkan oleh seorang kakek yang begitu tulus menyayanginya itu bisa sembuh.Ternyata, menyembuhkan luka itu tidak semudah dan secepat saat jatuh cinta. Terlebih, untuk seorang wanita yang memiliki bawan eccendentesiast. Dia begitu lihai menyembunyikan luka, rasa sakit, kecewa dan sedih dengan membalutnya bersama senyuman, tawa dan keceriaan. Di samping itu, ia tidak mau membebani sang kakek yang pada saat itu tengah sakit-sakitan ka
Ada yang mengganjal di hati Anggara setelah perdebatan antara dirinya dan sang ibu. Bukan hanya perkara tentang keteguhan hati ibunya yang belum mau menerima Nirmala sebagai istrinya dan justru masih ngotot ingin menjodohkan dengan Fitonia, tapi juga perkataan Tante Ayu.Lontaran kalimat tantenya itu membuatnya membuka kembali album tipis yang berhasil ia simpan. Dipandanginya salah satu potret dia dengan seorang lelaki tinggi tegap dan gagah seraya berucap, “andai ayah masih di sini, mungkin aku tidak akan sepusing ini. Apa benar yang dikatakan Tante Ayu tentang ayah? Kenapa begitu berbeda dengan cerita dari Ibu?”Dia memang seorang pria. Tapi, bukan berarti seorang pria tidak bisa menangis. Nyatanya, demi membayangkan kenangan indah bersama sang ayah, Anggara mulai menundukkan kepalanya yang terasa begitu berat. Tetes air mata perlahan berhasi menjebol benteng pertahanan dari ujung mata. Sungguh pemuda yang tengah berada dalam kebingunan dalam memutuskan sebuah pilihan pasangan hidu
“Maksud kamu apa bicara seperti itu? Jangan campuri urusanku. Bukankah sudah berkali-kali kuperingatkan?” geram Bu Diana tidak bisa menyembunyikan amarah pada adik kembarnya yang tiba-tiba muncul.“Apa kamu tidak kasihan sama Anggara? Padahal, dia putramu, anak yang kamu kandung sendiri. Cobalah untuk sedikit saja memberi belas kasihan pada putramu ini, Mbak,” ujar Tante Ayu sembari merangkul pundak sang keponakan yang terlihat tak berdaya.“Justru karena dia putraku, anak yang aku kandung selama 9 bulan, yang aku lahirnya dengan perjuangan antara hidup dan mati, yang aku biayai segala urusannya, sudah patut kiranya dia patut dan tunduk padaku. Bukankah surga anak ada pada restu seorang ibu? Terlebih dia laki-laki yang selama hidupnya itu milik ibunya, milikku!” pekik Bu Diana benar-benar telah kehilangan empati. Dipandangi dua orang terdekatnya yang kompak memandanginya dengan tatapan prihatin.“Kamu sudah salah kaprah, Mbak. Bukan seperti itu konsepnya. Aku penasaran, apa sebenarnya
v“Kamu sudah bangun?” Pria yang sedari tadi ditatap hingga melamun dalam durasi lama itu terbangun dan kaget melihat wanita yang dijaganya hingga ketiduran telah bangun.Menyaksikan lelaki muda yang tampak masih mengantuk itu hendak berjalan mendekat, wanita yang telah duduk di tepi ranjang itu tiba-tiba menangis. Bibirnya bergetar hebat. Ia ingin mengatakan banyak hal, tapi kelu.Tapi, melihat bagaimana pemuda yang telah menemani dan berjuang mati-matian berada di sisinya itu berusaha menahan kantuk, akhirnya pertanyaan meluncur begitu saja, “apa kamu sudah tau tentang Fitonia?”Anggara menghentikan langkah yang tinggal beberapa sentimeter saja dari ranjang, demi mencari jawaban yang tepat untuk merespon pertanyaan. Ia ingat pesan dokter untuk tidak membuat pasien di hadapannya semakin depresi.“Jawab, Gara! Apa benar, kamu pernah mencintai Fitonia hingga memberinya surat cinta? Hah?” emosi Nirmala meledak. Anggara semakin kebingungan.“Kalau iya, kenapa kamu mau denganku? Setelah s
“Begini nih, berasa dunia cuma milik berdua, yang lain ngontrak!” Sebuah celetukan pengunjung pantai yang kebetulan lewat dan menyaksikan adegan romantis itu menyadarkan Nirmala dan Anggara. Mereka segera berdiri tegap dan kikuk.“Berarti kita ngontrak dong, Pah? Hihi,” sahut seorang wanita yang berjalan bersebelahan di samping pengunjung tadi sambil cekikikan dengan salah satu telapak tangan di mulut.Pemuda-pemudi yang jadi malu dan salah tingkah itu segera menjauh dari tempat tersebut. Keduanya berjalan tanpa suara. Masing-masing hanyut dalam pikiran dan sesekali pemuda yang telah menutup kepala dengan hoodie berdehem—seperti memberi sinyal.“Jadi, apa jawaban kamu, Mala?” ucap Anggara dengan suara pelan. Tangan kirinya menggaruk kepala yang tidak gatal.“Um, sebelum menjawab,aku mau tanya sesuatu, boleh?” Nirmala berusaha menatap lawan bicara untuk melihat ekspresi serius atau tidak.“Boleh, kita duduk di sana aja, ya?” ajak Anggara sambil menunjuk sebuah batang pohon lapuk yang r
Gara-gara dapat kiriman SMS yang memabukkan, hingga tengah malam Nirmala tidak bisa tidur. Gadis yang tengah kasmaran itu membayangkan hal-hal indah hari esok. Bahkan, dia sudah bermimpi jika benar Anggara benar-benar menyukai, membalas rasa suka darinya dan jadian, maka dia adalah pria pertama yang menjadi cintanya.Alhasil, pagi hari berikutnya, ia bangun kesiangan. Untung saja hari ini adalah hari Minggu, tidak ada kuliah, tidak ada jadwal magang kerja juga. Jadwal kencan pun jam sepuluh. Itu artinya, masih cukup waktu untuk persiapan ini itu.Dia memang gadis sederhana yang hanya punya beberapa potong pakaian saja untuk bepergian. Itu pun formal yang biasanya untuk ke kampus atau kerja. Maklum, ia jarang hang out. Jadilah kini gadis yang memiliki belahan di tengah dagu itu bingung memilah baju yang hendak dikenakan untuk nge-date pertama kali seumur hidup.Awalnya, Nirmala ingin meminta bantuan teman untuk memilihkan pakaian yang pantas dan oke, sekalian make up tipis-tipis. Namun
Seharusnya, Nirmala sudah lega karena rahasia terbesarnya telah diungkapkan ke orang yang paling dekat denganya saat ini. Namun, gadis itu justru semakin sering melamun dan susah konsentrasi. Ia takut jika dibiarkan terus menerus, nilai akademik akan anjok yang berakibat dicopotnya beasiswa. Kalau sampai terjadi, Bapak bisa murka dan benar-benar melarangnya untuk kuliah. Hal ini semakin membuat gadis mungil itu overthinking.Di kamar kostnya yang sempit dan minimalis, dia merenung. Bahkan, berkali-kali bangkit dari ranjang untuk mondar-mandir. Lalu, naik lagi ke ranjang berusaha tidur, tapi justru wajah cute Anggara seolah terpampang nyata di hadapan. Alhasil, melek lagi. Sekuat apa pun dirinya menenggelamkan wajah di bantal, bayangan pemuda yang terkenal pintar itu tidak bisa hilang.Bahkan, kini dia dihantui dengan curhatannya pada sang sahabat kemarin. Sambil cemberut mendekap bantal, ia berujar, “kira-kira bener nggak, ya, keputusanku kemarin curhat blak-blakan sama Nia. Berlebiha