“Loh, kok kamu di sini? Anggara mana?” Bu Diana kaget manakala masuk ke toko dan mendapati adiknya yang sedang berjaga di kasir. Wanita yang masih menggunakan pakaian olahraga itu celingak-celinguk mencari sosok putranya yang diamanati untuk menjaga toko.“Keluar tadi,” jawab Bu Ayu berusaha santai.“Kemana?” tanya Bu Diana sembari meletakkan tas selempangnya di sebuah standing hook besi tak jauh dari meja kasir.Bu Ayu tak menjawab. Wanita yang pernah membantu orang tuanya melayani pembeli di warung itu belum menemukan kata-kata yang pas. Ia justru sibuk meng-cross-check pembukuan, takut ada yang salah, karena sudah cukup lama dirinya tidak berurusan dengan angka-angka.“Jangan bilang kalau Anggara pergi mencari gadis itu.” Tiba-tiba mood Bu Diana memburuk manakala memikirkan kemungkinan putranya pergi untuk mencari kekasihnya. “Dia beneran nggak bilang mau kemana?” tanya Bu Diana lagi. Kali ini dengan tatapan curiga.“Mbak...” Bu Ayu tidak tahan dengan sorot mata tajam itu, lalu wan
Bab LIITragedi di Sebuah Club MalamNirmala bisa menikmati musik yang membahana seruangan yang sangat luas. Dia yang penyuka musik dan sering menghibur diri di rumah dengan musik pun tidak bisa menolak untuk bergerakkan badan. Awalnya hanya ke kanan dan ke kiri, tapi lama kelamaan, wanita muda yang hatinya tengah hancur itu terbawa suasana. Bahkan, tanpa memperdulikan pria yang membawanya ke mari, dia masuk ke tengah-tengah hamparan manusia yang tengah mencari hiburan.Takut terjadi apa-apa dengan wanita yang dibawanya itu, begitu menyadari Nirmala telah tidak ada di samping, ia segera mencari ke tengah-tengah kerumunan. Untunglah, dia orang yang telah akrab dengan dunia macam begini, jadi dalam sekejap sudah bisa menemukan gadis itu.Lucky menatap Nirmala antara rasa heran dan kagum. Wanita yang dalam benaknya adalah gadis rumahan, kini terlihat seperti gadis liar yang mahir meliuk-liukkan badan. Tak terasa jiwa lelakinya yang kuat merasuki.“Tidak salah aku makin jatuh hati padanya
Kabar tentang kebakaran sebuah club di pusat kota segera merebak dengan cepat. Beberapa unit damkar dari dalam dan luar kota tetangga segera didatangkan untuk memadamkan kobaran api yang semakin menjadi. Lokasi kejadian sudah penuh dengan warga yang penasaran. Sementara, petugas razia yang dengan cekatan berhasil lolos dari jilatan lidah si jago merah segera mengamankan para pengunjung club yang selamat.“Lapor, Pak. Beberapa ada yang sudah lolos. Selain adanya kebakaran, menurut informasi, rencana kita sudah ada yang mengendus dan bocor.” Seorang laki-laki dengan jaket kulit hitam dan kepala plontos itu berlari menghampiri seniornya yang tengah mengawasi beberapa pengunjung cafe yang berhasil diamankan.Ada gurat kecewa di wajah petugas senior itu, tapi ia berusaha tenang dan menginstruksikan untuk mendata para pengunjung yang telah terkumpul. “Segera lakukan tes urine dan laporkan secepatnya,” perintahnya sesaat sebelum sibuk dengan panggilan teleponnya.“Lapor, Pak. Ada korban. Seo
“Kamu kenal dengan salah satu pasien korban kebakaran tadi itu?”Di saat sedang merenung di taman dekat parkir area rumah sakit, senior Siska mendekat sembari membakar kreteknya. Sebelum menjawab, wanita muda itu mendelik ke pria beruban itu sembari mengisyaratkan untuk tidak merokok.“Ah, gatal mulutku. Makanya nggak betah di dalam,” jawab pria itu nekad menyalakan kreteknya dan duduk di sebelah Siska. “Kamu belum jawab pertanyaanku,” protesnya menatap wanita yang tampak mendung tersebut.“Masa kamu lupa. Dia kan, Nirmala, Nirmala Dwi Kumalasari. Oh, ya, Kumala. Kamu taunya nama radio,’kan?”“Oh ya? Kok aku pangling?” Pria itu tampak kaget, tak menyangka jika wanita yang ditangisi rekannya itu juga mantan rekannya.“Mungkin karena luka wajahnya yang diperban. Jadi, kamu tidak mengenalinya. Aku langsung tahu, karena tahi lalat di cuping hidung sebelah kanan. Dan, baju dikenakan sama seperti...” Demi mengingat sesuatu, Siska menggantungkan kata-katanya. Memori saat Nirmala membuka isi
“Maaf, Mbak itu yang penyiar radio, ‘kan?” tanya Anggara, begitu tamu di depannya duduk dan beberapa detik tidak bersuara.Setelah bertanya, Anggara menatap dua orang yang berdiri bersebelahan di ambang pintu. Wanita yang tampak kuyu dan lelah itu mengangguk sembari mengatur napas. Melihat reaksi tamu keponakannya itu, tante Ayu ke belakang untuk mengambil air minum hangat untuk menenangkan.“Mas Anggara sudah dengar berita?” tanya Siska sembari melayangkan tatapan sedih.“Berita apa, ya? Maaf, belakangan aku jarang pegang hape dan tidak pernah nonton berita di TV. memangnya ada berita apa, ya?” tanya Anggara penuh kecemasan. Kemarin dirinya bertemu wanita itu dan pulang dengan hati penuh rasa bersalah. Kini, mantan rekan kerja kekasihnya datang, pastilah ada berita penting.“Ya, Mas. Aku datang mau memberi tahu sesuatu,” ucap Siska masih berusaha mencari kata-kata yang pas untuk mengungkapkan sebuah berita.“Minum dulu, Mbak,” ujar tante Siska sembari menyodorkan secangkir teh manis
“Apa Mas lagi nyari pasien seorang wanita di ranjang nomor empat?” tanya seorang perawat yang keheranan melihat seorang pria menyelonong dan mengecek satu per satu pasien.Pria yang wajahnya dipenuhi rasa cemas itu mengangguk cepat.“Iya, Suster. Namanya Nirmala Dwi Kumalasari. Ke mana dia, ya?”“Sudah dipindahkan ke ruang khusus, Mas. Kalau boleh tahu, Mas ini siapanya pasien, ya?”“Saya calon suaminya, Sus. Di bawa ke ruang khusus mana? Kenapa?” tanya pria muda berwajah pucat itu sangat penasaran. Sampai apa yang ia ucapkan terasa mengalir dan mantap menyebut dirinya sebagai calon suami. Hal itu ia lakukan agar bisa segera bertemu wanita pujaan hatinya.“Oh, begitu, ya. Jadi begini, Mas. Tadi, pasien kehilangan kontrol hingga mencoba melukai diri. Jadi, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kami memindahkannya ke ruangan khusus,” ucap perawat tersebut sembari mencatat sesuatu.“Sebelumnya, sudah datang seorang wali pasien yang merupakan seorang kenalan. Tapi, beliau berse
Nirmala membuka mata. Kali ini, ia tidak merasakan begitu sakit seperti sebelumnya. Wanita yang pakaiannya telah berganti itu kini sudah bisa berdamai dengan rasa sakit akibat luka bakar yang diderita. Sebaliknya, rasa hampa, sepi, kecewa dan cemas tiba-tiba saja menyerang. Di saat begini, biasanya dia membutuhkan seperangkat alat tulis untuk mencurahkan segala isi. Namun, dirinya sadar jika benda-benda itu tak ada di sekitar.Bola mata Nirmala bergerak menyusuri seisi ruangan. Ruangan yang ini terlihat lebih luas, lega dan tenang dari ruangan sebelumnya. Tiba-tiba saja, dirinya penasaran, siapa yang telah memberikan jaminan layanan medis yang spesial untuknya.“Ini pasti mahal,” gumamnya masih terus memperhatikan ke sekeliling. Rasa penasarannya kian membuncah. Namun, ketika hendak bergerak untuk bangun, tangan kanannya terasa berat. Sekuat tenaga bagaiamana pun ia berusaha, nyatanya tak sanggup melawan borgol yang mengaitkan pergelangan tangan dengan railing ranjang pasien yang kuku
Melihat tindakan pak Harsono, hati Anggara meronta. Tiba-tiba saja kejadian itu mengingatkan dirinya pada kisah seorang bocah laki-laki yang dengan sekuat tenaga memohon pada seorang lelaki dewasa, tapi tanpa rasa iba sedikitpun, bocah itu ditendang hingga tersungkur. Karena perasaan sakit yang senasib itu, bocah yang kini telah beranjak dewasa tersebut telah memiliki kekuatan untuk berdiri tegap dan menatap ke arah pria bermata merah di hadapannya.“Putri Bapak sedang sekarat dan membutuhkan perawatan medis secepatnya. Karna kalau tidak, dia bisa mati kapan pun semaunya,” kata Anggara dengan suara lantang. Pak Harsono menatap Anggara semakin tajam, seolah menantang dan tak gentar. Ia memang kaget dengan nada suara tegas yang dikeluarkan dari lelaki yang selalu dianggapnya lemah itu, tapi egonya masih belum juga luluh. Justru, pria itu semakin ingin menunjukkan betapa ia adalah seorang yang patut ditakuti dan dihormati.“Memangnya siapa yang perduli? Dia mau mati atau hidup, aku sudah
Anggara benar-benar merasa tidak nyaman berada dalam satu ruangan hanya berdua dengan Fitonia. Beberapa saat, pemuda yang bertekad hendak menyelesaikan masalah itu hanya diam, kikuk. Sementara itu, wanita muda yang tengah menunggu reaksi dari tamunya di kursi roda itu tidak kuasa untuk menatap pemuda tersebut. Ia berusaha membawa kedua netranya menyelusuri seisi ruangan.“Bagaimana kalau kita ngobrol di luar?” Tiba-tiba Anggara menyodorkan ponsel yang telah berisi ketikan tangan di sebuah note pada Fitonia.Beberapa saat, wanita itu tampak berpikir. Bayangannya langsung melayang pada kejadian terakhir kali yang membuatnya berada di sini—harapan kencan indah justru berakhir hujan air mata kepedihan. Rasa trauma sempat menghantui. Namun, dia teringat dengan ucapan Bu Diana di luar tadi dan berpikir, “mungkin ini kesempatan untuk bisa memperbaiki hati yang retak.”Akhirnya, Fitonia mengangguk. Lalu, dia mengambil ponsel di saku, mengetik sebuah kalimat di note, dan disodorkan pada pemu
Gadis itu sudah cukup lama terbangun dari tidurnya—tidur yang dibuat setelah meminum obat penenang. Kini, ia telah sadar dengan apa yang telah terjadi dan kenapa dirinya saat ini tengah berada di ruangan khas dengan dekorasi berwarna putih dan hijau—rumah sakit. Lalu, dia pun mulai menyibak kenangan permulaan begitu akrab dengan bangunan semacam ini.Flashback OnHati luka yang masih menganga itu dibawanya pergi dari tempat perantauan ke kampung halaman. Pemilik hati yang begitu tulus tapi dikhianati secara sadis itu berharap di tempat dirinya tumbuh dan dibesarkan oleh seorang kakek yang begitu tulus menyayanginya itu bisa sembuh.Ternyata, menyembuhkan luka itu tidak semudah dan secepat saat jatuh cinta. Terlebih, untuk seorang wanita yang memiliki bawan eccendentesiast. Dia begitu lihai menyembunyikan luka, rasa sakit, kecewa dan sedih dengan membalutnya bersama senyuman, tawa dan keceriaan. Di samping itu, ia tidak mau membebani sang kakek yang pada saat itu tengah sakit-sakitan ka
Ada yang mengganjal di hati Anggara setelah perdebatan antara dirinya dan sang ibu. Bukan hanya perkara tentang keteguhan hati ibunya yang belum mau menerima Nirmala sebagai istrinya dan justru masih ngotot ingin menjodohkan dengan Fitonia, tapi juga perkataan Tante Ayu.Lontaran kalimat tantenya itu membuatnya membuka kembali album tipis yang berhasil ia simpan. Dipandanginya salah satu potret dia dengan seorang lelaki tinggi tegap dan gagah seraya berucap, “andai ayah masih di sini, mungkin aku tidak akan sepusing ini. Apa benar yang dikatakan Tante Ayu tentang ayah? Kenapa begitu berbeda dengan cerita dari Ibu?”Dia memang seorang pria. Tapi, bukan berarti seorang pria tidak bisa menangis. Nyatanya, demi membayangkan kenangan indah bersama sang ayah, Anggara mulai menundukkan kepalanya yang terasa begitu berat. Tetes air mata perlahan berhasi menjebol benteng pertahanan dari ujung mata. Sungguh pemuda yang tengah berada dalam kebingunan dalam memutuskan sebuah pilihan pasangan hidu
“Maksud kamu apa bicara seperti itu? Jangan campuri urusanku. Bukankah sudah berkali-kali kuperingatkan?” geram Bu Diana tidak bisa menyembunyikan amarah pada adik kembarnya yang tiba-tiba muncul.“Apa kamu tidak kasihan sama Anggara? Padahal, dia putramu, anak yang kamu kandung sendiri. Cobalah untuk sedikit saja memberi belas kasihan pada putramu ini, Mbak,” ujar Tante Ayu sembari merangkul pundak sang keponakan yang terlihat tak berdaya.“Justru karena dia putraku, anak yang aku kandung selama 9 bulan, yang aku lahirnya dengan perjuangan antara hidup dan mati, yang aku biayai segala urusannya, sudah patut kiranya dia patut dan tunduk padaku. Bukankah surga anak ada pada restu seorang ibu? Terlebih dia laki-laki yang selama hidupnya itu milik ibunya, milikku!” pekik Bu Diana benar-benar telah kehilangan empati. Dipandangi dua orang terdekatnya yang kompak memandanginya dengan tatapan prihatin.“Kamu sudah salah kaprah, Mbak. Bukan seperti itu konsepnya. Aku penasaran, apa sebenarnya
v“Kamu sudah bangun?” Pria yang sedari tadi ditatap hingga melamun dalam durasi lama itu terbangun dan kaget melihat wanita yang dijaganya hingga ketiduran telah bangun.Menyaksikan lelaki muda yang tampak masih mengantuk itu hendak berjalan mendekat, wanita yang telah duduk di tepi ranjang itu tiba-tiba menangis. Bibirnya bergetar hebat. Ia ingin mengatakan banyak hal, tapi kelu.Tapi, melihat bagaimana pemuda yang telah menemani dan berjuang mati-matian berada di sisinya itu berusaha menahan kantuk, akhirnya pertanyaan meluncur begitu saja, “apa kamu sudah tau tentang Fitonia?”Anggara menghentikan langkah yang tinggal beberapa sentimeter saja dari ranjang, demi mencari jawaban yang tepat untuk merespon pertanyaan. Ia ingat pesan dokter untuk tidak membuat pasien di hadapannya semakin depresi.“Jawab, Gara! Apa benar, kamu pernah mencintai Fitonia hingga memberinya surat cinta? Hah?” emosi Nirmala meledak. Anggara semakin kebingungan.“Kalau iya, kenapa kamu mau denganku? Setelah s
“Begini nih, berasa dunia cuma milik berdua, yang lain ngontrak!” Sebuah celetukan pengunjung pantai yang kebetulan lewat dan menyaksikan adegan romantis itu menyadarkan Nirmala dan Anggara. Mereka segera berdiri tegap dan kikuk.“Berarti kita ngontrak dong, Pah? Hihi,” sahut seorang wanita yang berjalan bersebelahan di samping pengunjung tadi sambil cekikikan dengan salah satu telapak tangan di mulut.Pemuda-pemudi yang jadi malu dan salah tingkah itu segera menjauh dari tempat tersebut. Keduanya berjalan tanpa suara. Masing-masing hanyut dalam pikiran dan sesekali pemuda yang telah menutup kepala dengan hoodie berdehem—seperti memberi sinyal.“Jadi, apa jawaban kamu, Mala?” ucap Anggara dengan suara pelan. Tangan kirinya menggaruk kepala yang tidak gatal.“Um, sebelum menjawab,aku mau tanya sesuatu, boleh?” Nirmala berusaha menatap lawan bicara untuk melihat ekspresi serius atau tidak.“Boleh, kita duduk di sana aja, ya?” ajak Anggara sambil menunjuk sebuah batang pohon lapuk yang r
Gara-gara dapat kiriman SMS yang memabukkan, hingga tengah malam Nirmala tidak bisa tidur. Gadis yang tengah kasmaran itu membayangkan hal-hal indah hari esok. Bahkan, dia sudah bermimpi jika benar Anggara benar-benar menyukai, membalas rasa suka darinya dan jadian, maka dia adalah pria pertama yang menjadi cintanya.Alhasil, pagi hari berikutnya, ia bangun kesiangan. Untung saja hari ini adalah hari Minggu, tidak ada kuliah, tidak ada jadwal magang kerja juga. Jadwal kencan pun jam sepuluh. Itu artinya, masih cukup waktu untuk persiapan ini itu.Dia memang gadis sederhana yang hanya punya beberapa potong pakaian saja untuk bepergian. Itu pun formal yang biasanya untuk ke kampus atau kerja. Maklum, ia jarang hang out. Jadilah kini gadis yang memiliki belahan di tengah dagu itu bingung memilah baju yang hendak dikenakan untuk nge-date pertama kali seumur hidup.Awalnya, Nirmala ingin meminta bantuan teman untuk memilihkan pakaian yang pantas dan oke, sekalian make up tipis-tipis. Namun
Seharusnya, Nirmala sudah lega karena rahasia terbesarnya telah diungkapkan ke orang yang paling dekat denganya saat ini. Namun, gadis itu justru semakin sering melamun dan susah konsentrasi. Ia takut jika dibiarkan terus menerus, nilai akademik akan anjok yang berakibat dicopotnya beasiswa. Kalau sampai terjadi, Bapak bisa murka dan benar-benar melarangnya untuk kuliah. Hal ini semakin membuat gadis mungil itu overthinking.Di kamar kostnya yang sempit dan minimalis, dia merenung. Bahkan, berkali-kali bangkit dari ranjang untuk mondar-mandir. Lalu, naik lagi ke ranjang berusaha tidur, tapi justru wajah cute Anggara seolah terpampang nyata di hadapan. Alhasil, melek lagi. Sekuat apa pun dirinya menenggelamkan wajah di bantal, bayangan pemuda yang terkenal pintar itu tidak bisa hilang.Bahkan, kini dia dihantui dengan curhatannya pada sang sahabat kemarin. Sambil cemberut mendekap bantal, ia berujar, “kira-kira bener nggak, ya, keputusanku kemarin curhat blak-blakan sama Nia. Berlebiha
Dengan langkah lesu dan suasana hati yang tidak karuan, Nirmala tiba di rumah Fitonia. Gadis menawan itu telah menunggunya di teras sambil menikmati camilan. Begitu melihat orang yang ditunggu muncul, ia langsung menyambut.“Dih, kenapa itu muka ditekuk kek baju lecek aja. Kenapa, sih?” Fitonia yang ceria meledek Nirmala yang masih juga belum menarik bibirnya ke belakang, barang satu sentimeter pun.“Lagi banyak pikiran,” lirih Nirmala menjawab sambil mengambil tempat duduk.“Ya, ya, kuliah itu emang banyak tugas. Pasti pusing, lah. Tapi kan, salah satu yang bikin pusing, udah beres, dihandle-in Anggara. Nih!” Fitonia memberikan benda kecil berwarna kuning-putih bertuliskan ‘Kingston’.“Gimana kesan kamu ke Anggara? Dia keren, ‘kan?” ledek Fitonia sembari mendekatkan diri dan siap menunggu reaksi gadis berwajah sendu di hadapannya.Ditanya demikian, sontak Nirmala yang terkenal sebagai orang yang blak-blak-an justru kebingungan.“Apa maksud dari pertanyaan Nia, ini?” batin Nirmala tid