Angela telah kembali dari upacara pemakaman mamanya. Tubuhnya yang ramping masih berbalutkan dress berwarna hitam, berkacamata hitam dengan rambutnya yang di biarkan terurai begitu saja. Kali ini Angela ingin pulang ke rumah mamanya. Ia ingin melihat semua kenangan yang di tinggalkan mamanya di rumah tempat di besarkannya dulu. Para pelayan juga memakai baju berwarna hitam selepas dari pemakaman. Mereka ikut berduka cita atas meninggalnya Mama Yanti. Semua ikut berkabung dan bersedih, karena Yanti adalah sosok yang baik hati menurut mereka. Ia selalu memperhatikan kebutuhan para pelayan, dan karyawan yang bekerja di perusahaannya. Sedari tadi ada yang hilir mudik mengucapkan bela sungkawa untuk Angela.
Para kolega dan staf karyawan datang silih berganti, di sekitar rumah sudah di penuhi dengan karangan bunga yang memadati depan rumah. Angela berjalan lunglai menuju ke kamar mamanya. Ia memandangi foto Yanti beserta dirinya ketika masih kecil. Angela duduk di tepian ranj
"Kenapa kau mengajakku ke sini? Siapa yang mau kau temui?" tanya Angela."Tidak ada, aku hanya ingin memperlihatkan dunia lain dari dunia kita," jawab Verrel.Kakinya terus melangkah menggandeng Angela. Tatapan Angela tertuju pada seorang anak kecil yang sedang mengais-ngais botol plastik dan memasukkannya ke dalam karung. Sinar matahari yang terik membuat peluh keringatnya menetes mengalir ke wajah dan lehernya. Wahahnya tampak kusam dan bajunya penuh tambalan sana-sini."Kasihan sekali anak itu," kata Angela lirih."Bagaimana bisa dunia begitu kejam membiarkan anak itu hidup sebatangkara tanpa memiliki apapun," kata Angela lagi.Verrel tersenyum mendengar perkataan Angela. "Bukannya tidak memiliki apapun, ia memiliki semangat untuk membangkitkan dirinya, mencari sesuap nasi dengan pola pikirnya yang sederhana," kata Verrel."Aku tidak bisa membayangkan bagaimana dia bisa tidur tanpa selimut yang tebal dan rumah yang layak," bal
"Bagaimana jika butikmu yang di Jepang kau mempercayakannya pada asistenmu di sana? Bukankah di sini ada perusahaan almarmarhum mamamu yang harus kau urus," kata Verrel di sela-sela makan."Aku pikir juga begitu, tapi aku juga harus menambahkan tenaga ahli tambahan di sana. Karena aku kasihan jika mereka kewalahan tanpaku," jawab Angela."Akan ku bantu mengurusnya," imbuh Verrel menyelesaikan makanan terakhirnya."Terima kasih," ucap Angela. Ia tidak menyangka pria yang selalu menjadi musuhnya sekarang malahan mendukungnya.'Apa memang benar pendapat mama mengenai Verrel, dia pria terbaik untukku?' batin Angela.Lelaki bertubuh tegap itu menggeser kursinya ke belakang. Tidak lupa mengelap mulutnya memakai tisu dan menghabiskan minuman jus yang tersedia di dalam gelas kristal berkaki."Lanjutkan saja makanmu, aku mau ke ruang kerja dulu," kata Verrel. Angela hanya menjawabnya dengan anggukan.Verrel naik ke lantai atas ter
"Tentu saja aku datang ke sini untuk mengobatimu, bukankah sudah menjadi tugas seorang dokter," ucap Frans."Kehadiranmu tidak ku inginkan," kata Verrel dingin.Frans tidak mengambil hati perkataan sahabatnya itu, ia sudah terbiasa dengan sikap Verrel yang terkadang berbicara seenaknya."Tunggu sebentar biar aku memeriksamu, jangan banyak bicara," kata Frans mengeluarkan stetoskopnya."Sepertinya kau hanya kelelahan dan kurang asupan makanan. "Apa kau sekarang menjadi miskin sampai tidak bisa membeli makanan yang enak?" kata Frans sembari membereskan peralatannya."Bicara sekali lagi, ku pecat kau jadi dokter pribadiku," ancam Verrel."Hemm, suatu kehormatan bagiku di pecat olehmu. Aku seperti mengobati singa yang tengah lapar, hahaha," kata Frans tertawa.Memang selama ini menjadi dokter pribadi Verrel, hidup Frans sudah terbilang melebihi cukup. Gaji bulanan yang di berikan Verrel cukup tinggi, belum lagi di tambah
Wajah Verrel masih di penuhi oleh amarah. Angela menundukkan kepalanya. Kalau saja Verrel tidak sedang sakit, ia pasti sudah marah karena sikap Verrel yang main serobot saja."Kenapa dia meneleponmu? Apa kalian saling merindukan?" kata Verrel sinis.Dalam hatinya sebenarnya ia takut Angela berpaling ke laki-laki lain. Kecemburuannya tidak dapat di tutupi lagi. Setelah sekian lama berpisah apakah harus bertengkar masalah ini. Verrel sudah muak dengan Mark yang selalu mendekati Angela."Kamu kenapa merebut teleponku? Sudah kubilang di antara kami tidak ada apa-apa," jelas Angela. Dia merapikan bajunya yang berantakan dan mengikat rambutnya ke atas."Itu menurutmu, bagaimana dengan dia. Mark masih saja terus memikirkanmu. Apa aku bisa mengendalikan pikiran seseorang?" gerutu Verrel."Kalau begitu biarkan saja. Tolong jangan jadikan ini masalah baru agar kita bertengkar lagi. Kau sedang kurang sehat. Pikiranmu bermacam-macam, jadi lebih baik isti
Saat mereka sedang asyiknya menikmati masakan Angela, tiba-tiba seorang asisten rumah tangga tergopoh-gopoh datang menghampiri Verrel."Ada apa?" tanya Verrel di sela makannya."Tuan Mark ada di depan," jawab asisten rumah tangga."Suruh pulang saja," kata Verrel ketus. Angela mengaduk-aduk makanannya. Ia tidak berani melarang tindakan Verrel karena buntutnya pasti selalu bertengkar."Tapi ... Tuan Mark bersama wanita cantik ke sini, sepertinya itu kekasihnya," lanjut asisten rumah tangga itu memberanikan diri.Verrel meletakkan sendok makannya. Ia terdiam dan terlihat berpikir sejenak."Ya sudah, suruh masuk," ralatnya.Angela bernafas dengan lega, karena Verrel berubah pikiran. Selama ini Angela merasa bersalah pada mereka karena seperti menghancurkan hubungan persaudaraan keduanya.Verrel segera menyelesaikan makannya, begitu juga dengan Angela. Mereka bersiap untuk ke ruang utama menemui Mark.Terlihat Ma
Mark membawa Clara ke apartemennya, ia mempersilahkan Clara untuk duduk."Terus terang, aku memang belum mencintaimu," kata Mark meneguk minumannya.DEGHRasanya hati Clara sakit mendengar pengakuan Mark. Tetapi bukankah dari awal dia memang tahu jika Mark tidak mencintainya."Jadi, kau memperalatku?" tanya Clara tanpa basa-basi."Bukan memperalat tetapi meminta tolong agar kau membantuku," lanjut Mark."Cih, sama saja," desis Clara."Apa imbalannya?" tanya Clara lagi. Padahal jika Mark tidak mencintainya tidak apa, asal ia bisa bersamanya. Tapi mulutnya berkata lain ketika Mark mengungkapkan kenyataan pahit itu."Kau bisa jadi istriku, aku juga ingin belajar melupakan masa laluku," kata Mark menatap kosong ke depan."Bayarannya mahal, aku takut kau tidak akan sanggup membayarnya," jawab Clara."Menjadi istriku, kau tidak akan kekurangan apapun. Jadi bagaimana? Kau setuju?" tanya Mark.Clara berpikir
Angela masih berpikir tentang apa yang di katakan oleh Verrel. Ia tahu jika lelaki itu cepat atau lambat tetap saja menginginkan keturunan darinya. Tapi ia perlu menguatkan hatinya dan memberi pemahaman pada dirinya sendiri agar mengubah pola pikirnya yang negatif tentang traumanya memiliki anak.Angela tidak menyadari jika Verrel sudah berdiri di belakangnya. Ia menepuk pundak Angela yang masih bengong menatap ke depan."Aku mau berangkat kerja, apa kau tidak mau melihat keadaan perusahaan mamamu?" tanya Verrel."Oh, iya. Tapi kau berangkat dulu tidak apa-apa. Biar ku selesaikan gambar desainku," ucap Angela gugup. Ia tidak ingin Verrel tahu jika dirinya sedang melamun."Tidak bisa begitu, aku akan mengantarmu. Bagaimana jika ada pria yang menggodamu?" celetuk Verrel.Angela lupa jika Verrel pencemburu. Ia pun bangkit dari tempat duduknya. Lalu mengambil baju kerja di lemarinya. Biasanya Verrel selalu mengganggu jika dia sedang berganti pakaian. T
Waktu makan siang telah tiba, seorang pria tampan datang untuk menjemput Clara. Sialnya, saat memasuki kantor Mark juga bertemu dengan Verrel. Keduanya seperti kucing dan anjing yang saling menyindir. Verrel merasa Mark selalu mengganggu ketenangan hidupnya.Padahal ia sudah cukup tenang ketika lelaki itu berpamitan padanya mengatakan jika akan ke luar negeri. Tapi, kenapa pria ini malah ada di kantor istrinya."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Verrel sinis."Tentu saja menjemput kekasihku," jawab Mark penuh percaya diri."Kekasihmu? Kekasihmu yang mana?" tanya Verrel."Kau tidak perlu tahu, tidak mungkin aku memperkenalkan kekasihku pada orang pikun," nyinyir Mark. Ia kesal pada sahabatnya itu, padahal dulu sudah pernah memperkenalkan kekasihnya tapi kenapa ia mengabaikannya begitu saja."Ya, sudah tidak ada gunanya aku berdebat denganmu." Mark meninggalkan Verrel yang masih berdiri di depannya.Pikiran Ve
Para tamu undangan telah datang memenuhi ballrom Hotel Diamond untuk datang memberikan selamat pada sepasang pengantin baru. Chika tampak memakai balutan gaun berwarna broken white serasi dengan setelan jas yang di pakai Saga.Chika merasa tegang karena baru kali ini ia menikah secara resmi di hadapan publik. Yang lebih mengesankan lagi pernikahan itu merupakan pernikahan ganda antara Chika dan Saga, Devan dan Viona. Sungguh di luar dugaan bagi Angela. Ia bergelayut mesra di lengan suami tercintanya Verrel. Demikian juga Mark dan Clara cukup lega menyaksikan putrinya berbahagia bersama dengan orang yang di cintainya.Bunga-bunga rose berwarna putih, lily putih dan baby breath menghiasi dekorasi pernikahan. Tampak meja-meja tamu sudah di penuhi pengunjung yang menyantap hidangan makanan yang di tawarkan. Di setiap sudut ruangan di hiasi bunga-bunga kering yang sudah tertata apik.Semua tamu tampak kagum dengan pasangan pengantinnya yang tampil sempurn
Wajah Frans murung, hari ini adalah hari pengambilan raport kelulusannya di TK. Semua anak datang bersama kedua orang tuanya, Frans di temani Chika. Dalam hati sebenarnya Frans ingin seperti teman-temannya. Hanya saja ia tidak berani mengungkapkan perasaannya. Ia takut jika mamanya akan sedih.Chika mendapati Frans diam tidak seperti biasanya. Sementara tatapannya tertuju pada temannya yang sedang bercanda tawa dengan papanya membuat Chika cukup mengerti. Ia lalu mengambil ponsel dalam tasnya. Mengirimkan pesan pendek untuk Saga.Di kantor Saga tengah sibuk mengetik di laptopnya. Sekilas ia melihat ponselnya menyala. Bibirnya tersenyum manakala membaca pesan singkat dari Chika. Ia segera meraih jasnya. Lalu meninggalkan pesan pada asisten pribadinya untuk menghandel pekerjaan hari ini.Di sekolah semua anak mendapatkan jatah giliran pentas bersama kedua orang tuanya. Sang anak membacakan puisi lalu kedua orang tua mendampingi di kanan kirinya.Satu persat
"Ma, apa benar Frans memang putraku?" tanya Saga sembari menangis di depan Angela. Ia merasa seperti orang bodoh tidak tahu apa-apa."Ya, akhirnya kau sudah tahu juga," kata Angela.Saga tercengang, ternyata kedua orang tuanya sudah tahu kebenarannya. Lalu mengapa mereka menyembunyikannya?"Kenapa mama tidak mengatakannya padaku? Aku merasa seperti orang paling bodoh, Ma. Putraku sendiri memakiku, membenciku, aku bisa melihat kemarahan di bola matanya," kata Saga."Itu karena Chika melarangku, aku juga tidak ingin melukai hatinya," kata Angela."Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Putraku tidak mau menerimaku," keluh Saga."Kau harus bisa meraih hatinya. Bayangkan ia besar tanpa kasih sayang seorang papa. Frans sering melihat Chika bersedih sendirian. Sebagai seorang anak yang sangat menyayangi mamanya wajar jika dia ikut terluka.""Baiklah, Ma. Saga akan berusaha keras untuk mengambil hati Frans," kata Saga kemudian."Bagus,
Dering suara telepon mengagetkan Chika dari aktivitasnya dengan Saga."Sudah, biarkan saja. Tanggung," kata Saga.Chika mendorong tubuh Saga. Ia yakin jika yang sedang menelepon adalah putranya. Dengan baju yang sudah terlihat berantakan Chika meraih ponselnya. Benar, memang Frans yang meneleponnya."Mamaa!""Cepat pulang!" teriak Frans di telepon."Iya, sayang. Sekarang juga mama pulang," kata Chika menghibur Frans. Ia lalu mematikan ponselnya.Saga langsung mengambil ponsel Chika dengan paksa, untung saja Frans sudah memutus panggilannya. Saga memeriksa riwayat panggilan Chika. Di sana ada gambar foto bocah tampan mirip dirinya."Jangan bilang, jika anak ini adalah putraku," kata Saga. Ia kembali menatap foto Frans lebih dekat lagi. Chika segera merebutnya. Ia tidak ingin Saga tahu jika dirinya sudah memiliki seorang anak."Lima tahun kau menghilang, anak ini juga berusia lima tahun. Itu berarti kemungkinan besar
"Minumlah, agar tubuhmu menjadi hangat," ucap Saga."Terima kasih."Chika tidak langsung meminumnya karena masih terlalu panas. Ia memilih meletakkannya di atas meja."Masih terlalu panas, aku akan meminumnya nanti," ucap Chika."Tunggu sebentar."Saga beranjak dari tempat duduknya ia melangkah menuju ke dapur. Tangannya membuka pintu lemari mengeluarkan beberapa bungkus mie instan. Ia tidak tahu apakah Chika mau mengonsumsi mie instan atau tidak.Ia pun mengambil panci dan memenuhinya dengan air. Setelah mendidih ia masukkan mie nya ke dalam panci. Sambil menunggu mie nya masak ia menyiapkan mangkuknya.Chika merasa sudah terlalu lama Saga meninggalkannya. Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya mencari keberadaan Saga. Melihat Saga tengah memasak di dapur membuat nafasnya sedikit sesak. Ia tidak suka melihat kebaikan Saga. Hatinya bisa saja luluh lantah kalau di perlakukan seperti itu.Tidak seharusnya suas
Saga mengikuti langkah Axella dari belakang. Kebetulan restorannya tidak begitu ramai sehingga mereka leluasa memilih tempat yang nyaman. Rupanya Chika memilih tempat di dekat jendela yang menghadap ke arah air terjun kecil. Di luar jendela terlihat taman landscape menghiasi sekitar restoran.Para pengunjung restoran merasa nyaman untuk berlama-lama di sana. Di dinding hotel banyak terpajang lukisan klasik dan ornamen unik yang tidak ada di tempat mana pun."Kenapa kita kesini? Bukankah seharusnya kita langsung ke lokasi untuk meninjau tempatnya," kata Axella."Jangan terlalu terburu-buru, Nona Axella. Saya tidak ingin Anda kelaparan di jalan hanya karena kurang makan," kata Saga sambil tersenyum.Chika malas membantah perkataan Saga. Ia lebih memilih melihat buku menu yang ada di depannya. Saga memberi isyarat pada pelayan untuk menghampirinya."Saya akan segera kembali membawa pesanan Anda."Chika kembali terpaku pada pem
Sepulang dari rumah orang tuanya Saga berpikir tentang apa yang di katakan Angela. Ia merenungi kehidupan rumah tangganya. Memang benar jika rumah tangganya seperti tidak ada tujuan. Ia membiarkan Luna bersikap seenaknya.Ia tahu jika di luar Luna memiliki hubungan gelap dengan beberapa pria. Saga hanya tinggal menunggu waktu menceraikannya. Ia baru mengumpulkan bukti-bukti kuat agar pengadilan menyetujui gugatannya.Terlebih lagi, kerjasama yang di jalin selama bertahun-tahun dengan papanya Luna pasti akan mengalami kerugian besar jika ia bercerai. Bagi diri Saga ia tidaklah gila harta. Hanya saja jika ia merugi maka yang kena imbasnya adalah karyawannya.Di rumah Saga merasa kesepian, memang benar kata mamanya jika dalam pernikahan di butuhkan seorang penerus. Tapi, bagaimana Luna bisa hamil sementara Saga juga sudah enggan menyentuhnya. Ia tidak bisa membayangkan menyentuh tubuh seorang wanita yang sudah di sentuh berganti-ganti pria.Saga menjad
Angela merasa kasihan mendengar cerita Chika. Ia bisa menyimpulkan jika Chika belum menikah dengan Saga. Terlebih Verrel ia justru merasa terpukul karena wanita yang di telantarkan Saga adalah putri sahabatnya sendiri.Melihat wajah polos Frans kecil mengingatkan Verrel pada Saga di waktu kecil. Anak itu tidak bersalah, seharusnya dulu ia mendengarkan permintaan Saga untuk tidak menikahi Luna. Ia yakin putranya itu tidak pernah mencintai istrinya."Kemarilah, Nak. Ini juga kakekmu. Peluk kakek," kata Verrel. Tak terasa air matanya meleleh.Frans sedikit ragu ia melihat sebentar ke arah mamanya seperti meminta persetujuan. Chika menganggukkan kepalanya."Pergilah, mereka juga kakekmu," kata Chika.Verrel memeluk erat Frans kecil. Ia mengecup pipi chubby bocah itu. Seluruh rasa bersalahnya seakan membebani pundaknya. Verrel bahagia, tapi ia juga merasa kasihan dengan Frans.Angela mengusap air matanya, ia memeluk Frans penuh
Sayang, mama berencana mengajakmu ke rumah teman mama," kata Clara."Mereka sudah mama anggap seperti saudara. Kamu mau kan?" tanya Clara."Iya, Ma.""Kapan kita akan kesana?" tanya Chika."Sekarang, bersiap-siaplah. Mumpung hari ini kita weekend," kata Clara."Baik, Ma. Chika juga akan menyiapkan Frans."Tidak memakan waktu lama Chika dan Frans sudah siap. Mereka masuk ke dalam mobil bersama Mark juga. Frans melihat orang di mobil satu persatu. Lalu ia tiba-tiba tertawa."Hei, kenapa kamu tertawa, sayang?" tanya Clara."Bukan begitu, Nek. Hanya saja kalian terlihat lucu," jawab Frans."Lucu? Apa kami seperti badut kesukaanmu itu?" tanya Mark."Hahaha, kakek bisa saja. Frans lihat kalian kalau diam saja berwajah tegang terlihat lucu," terang Frans."Kamu ini." Clara memencet hidung mancung Frans dengan gemas.Sesampainya di kediaman Verrel, mereka di sambut hangat oleh mereka. Frans dengan malu