"Ke mana kau membawa istriku, hah? Katakan!" berang Eric yang langsung menyerbu wajah Alian dengan tinjuannya.
Tanpa tahu apapun dan bahkan Alian begitu terkejut ketika mendapatkan serangan yang tiba-tiba. Ia bahkan belum siap hingga tidak bisa membalas pukulan. Alian hanya bisa menghindar dari setiap pukulan yang terkadang berhasil mengenai rahangnya."Cepat katakan di mana istriku!" Eric terus memukul tanpa peduli dengan jeritan para pengunjung yang mulai ketakutan.Setelah ia menemukan gelang bermanik tengkorak tadi di taman, ia langsung mencari Alian, tidak peduli ia sedang bekerja atau tidak. Emosinya sudah sampai begitu puncak, persetan dengan keributan yang kini dibuatnya.Manager restoran bahkan tidak berani ikut campur atau sekedar memanggil kepala keamanan untuk memisahkan keduanya saat ia tahu bahwa itu adalah Eric, sang pemilik Diamond Group. Alasan utamanya ialah karena restoran itu sebagian sahamnya adalah milik Eric.Seringaian licik terbit di bibir merahnya setelah menutup telpon, ia sangat puas dengan apa yang ia lakukan hari ini. Ia menoleh, melihat seorang wanita yang pingsan dalam keadaan diikat. Kondisinya begitu miris, memang itu yang diinginkannya.Tidak lama setelah itu, kepala yang terkulai menunduk itu perlahan bergerak seiring dengan suara ringisan yang mulai terdengar. Kelopaknya mulai membuka, berusaha beradaptasi dengan cahaya yang langsung menyerbu netranya. Saat ia merasa ada yang janggal pada tubuhnya yang tidak bisa bergerak. Ia mulai menjelajahi seluruh tubuhnya yang terlilit oleh tali. Sorot terkejut langsung mengukir di wajah wanita itu."Sudah bangun? Bagaimana apa tidurmu nyenyak?" Suara berat yang menyapu gendang telinganya membuat ia sontak mengangkat kepala.Kedua matanya membulat penuh ketika melihat siapa pemilik dari suara itu."Ibu?" ucapnya dengan nada bingu
Mlathi merasakan firasat buruk saat mendengar kalimat datar dari Alian. Sorot mata itu tidak lagi menyirat kelembutan melainkan kebencian yang teramat. Mlathi semakin panik saat melihat Alian langsung berdiri dan berbalik berjalan ke arah Eric yang kini kedua tangannya telah dikunci ke belakang oleh dua pria lain."Alian, apa yang ingin kau lakukan? Jangan sakiti dia," Mlathi sudah tidak bisa berteriak lagi hingga suara itu terdengar begitu pelan.Konah yang melihat kejadian di depannya itu langsung menyeringai senang. Satu tembakan mengenai dua sasaran. Itu sangat menyenangkan. Hanya berdiri mematung saja bisa membuat hatinya sangat puas."Bagaimana? Apa kau tidak tenang di sana? Itulah yang aku inginkan, Raisa," gumam Konah dengan diri sendiri.Rasa dendam dan bencinya kepada Raisa--ibu Mlathi tertanam di dalam hatinya hingga kini berakar. Tidak akan puas sebelum semua orang
Memasuki sebuah ruangan gelap di mana ada dua pria berseragam polisi, kedua mata merahnya langsung teralih pada satu pria lagi yang duduk lemah tak berdaya. Kepalannya semakin kuat di bawah sana saat ingatannya kembali pada saat pria itu menodongkan pisau kecil ke arah dadanya. Tanpa bisa lagi membendung amarah, rasanya ia ingin membunuh pria itu dengan kedua tangannya agar ia bisa puas. Tetapi, apa itu bisa menyembuhkan rasa bersalahnya? Dengan rahang yang mengeras, ia berjalan cepat lalu menarik kerah pria itu kemudian meninjunya berkali-kali hingga semakin memperparah wajah yang sudah banyak dihiasi luka. "Puas sekarang, hah! Kau puas. Inikah yang kau sebut bahagia? Membuatnya terbaring lemah tak berdaya di rumah sakit?" Eric menatap nyalang ke arah dua netra yang basah. "Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?" Cih! Eric langsung meludah tepat di depan mulutnya, ia benar-benar sangat jijik dengan pria
Mlathi sudah kembali lebih tenang setelah mendapatkan suntikan penenang. Namun, pikirannya masih berkecamuk tentang bayinya, masih belum menerima bahwa bayinya telah tiada. Di ruangan bercat putih itu, Mlathi duduk sendiri di atas brankar dengan tatapan kosong. Wajahnya masih menyirat kesedihan, sesekali air matanya jatuh dari pelupuk melewati pipi hingga ke leher.Kenangan saat ia melihat bayinya di layar monitor tiba-tiba melintas, masih sangat jelas teringat bagaimana bahagianya pria itu ketika melihat wujud anaknya. Tetapi, sekarang bahkan bayi itu belum lahir telah lebih dulu tiada.Mlathi mencengkram selimut putih di bawah sana, rasa sakit di dada dan kehilangan menjadi satu bak racun yang mematikan namun perlahan. Suara isakan itu kembali terdengar saat tangannya memegang perutnya yang datar. Tidak disangka bahwa ini bukanlah mimpi buruk."Nak, maafkan Mama yang tidak bisa menjagamu," lirih Mlath
Grace berlari panik menuju balkon rumah sakit di lantai teratas. Tempat biasa yang sering Eric kunjungi satu minggu terakhir. Memantau keselamatan Mlathi dari jauh, meski tidak pernah menemuinya sama sekali. Tetapi, Iman tidak pernah lengah perihal perawatan Mlathi. Setelah berada di lantai atas, Grace mengatur napasnya terlebih dahulu karena lelah terus berlari panik dari lantai bawah ke lantai atas. "Tuan ... Tuan, gawat, gawat Tuan. Anu ... Nyonya," teriak Grace tidak tahu menyusun kalimat dengan benar. Rasa paniknya telah menguasai dirinya hingga ia tidak bisa mengontrol emosi. Eric langsung berbalik ketika Grace menyebut nama Mlathi. Takut, jika terjadi sesuatu yang beruk terhadap wanita itu. "Ada apa, Grace? Tenangkan dirimu, setelah itu baru bicara," ucap Eric. Meski tenang, tetapi hatinya begitu gelisah melihat kepanikan Grace. Grace mengatur napasnya dengan terus menarik lalu menghembus napasnya perlahan. Setelah m
Waktu sudah berganti malam, sudah saatnya bulan dan bintang bertugas menemani langit. Sungguh, beruntung menjadi langit yang tidak akan pernah sendiri. Wanita di balkon kamar yang kini mengenakan piyama sebatas lutut menghela napas entah untuk yang ke berapa kali. Merenungi kejadian beberapa bulan terakhir membuat ia malam ini bisa bernapas dengan tenang. Wanita itu menyilang tangannya di depan dada, sesekali mengusap lembut kedua lengannya untuk sekedar menghilangkan rasa dingin. Tubuhnya terdorong ke depan saat seseorang memberikan jaket di tubuhnya, ia menoleh. Sepasang bibir tegas sedang tersenyum ke arahnya, ia pun ikut membalas. Ia sedikit merinding geli saat kedua tangan kekar merayap di perutnya, namun tidak mencegah. Ia tetap membiarkan pria itu memeluknya dari belakang. Deruh napas hangat langsung menyerang di sekitar telinganya membuat ia semakin merinding geli. Pria itu sedang mencari posisi nyaman di atas bahunya. "Bagaimana, apa suda
Cahaya matahari menerobos masuk melewati tirai tipis berwarna putih, membuat seorang pria yang masih nyaman tertidur mengerjap matanya berkali-kali. Dalam keadaan setengah sadar, tangannya mulai bergerak menyusuri tempat di sampingnya yang kini terasa dingin. Menandakan bahwa orang yang menempatinya sudah lama bangun.Eric membuka satu matanya untuk memastikan, benar saja bahwa tempat di sampingnya telah kosong. Saat hendak bangun, suara pintu kamar mandi terbuka membuat ia mengurungkan niatnya dan pura-pura masih tidur.Mlathi melangkah keluar dengan mengenakan dress mini di atas lutut berwarna jingga, terus mengusap rambut basahnya dengan handuk kecil. Bibirnya terangkat ketika melihat lelakinya masih tertidur dengan nyaman. Setelah meletakkan handuk ke atas sofa, ia beranjak ke jendela untuk menyibak tirai hingga cahaya matahari seketika langsung menyerbu Eric yang masih memejamkan mata.Mlathi berba
"Kenapa kamu senang banget pergi ke taman? Kenapa gak ke mall, shopping gitu. Kayak wanita-wanita biasanya," tanya Eric bingung ketika tadi Mlathi ingin menghabiskan waktu berdua di taman. Mlathi menghirup udara segar seraya semakin mengeratkan pegangannya di lengan Eric. "Coba kamu rasain, di sini udaranya seger, kan? Itulah alasan aku kenapa selalu suka pergi ke taman. Alam itu indah, jadi harus dinikmati keindahannya," jawab Mlathi yang tidak pernah memudarkan senyum di bibirnya. Eric juga ikut menghirup udara segar yang sudah lama tidak ia rasakan. Terpuruk dengan pekerjaan dan berkas-berkas, membuat ia melupakan diri sendiri. Sekarang, ia baru menyadari bahwa hidup juga butuh relaks dan istirahat. "Kamu tau, taman juga membuatku bisa merasakan aura di desaku. Damai dan sejuk. Berada di sini membuatku seakan mengulang kembali kenangan yang aku lalui di desa. Aku merindukannya," lanjut Mlathi dengan nada sedikit sedih, membicarakan tentang desa
Mereka bertiga telah terpasang sabuk pengaman di tubuh. Semua kursi telah diisi oleh semua pengunjung. Elvina berada diantara lelaki kecil, dengan ekpresi takut, ia memegang erat sabuk pengaman di sampingnya. Alvin menoleh dan terlihat khawatir. "El, jika kau merasa takut, kita berhenti sekarang. Ok," ujar Alvin. Dengan menarik napas dalam, Elvina menggeleng. "Kita sudah naik, daripada turun lebih baik kita mencobanya." Dua orang pengawas lelaki berkeliling memastikan jika semua peserta wahana itu telah terpasang sabuk dengan aman. "Kalian semua sudah siap. Kita mulai sekarang," teriak lelaki berseragam itu dengan lantang. Semua para peserta wahana serempak berkata siap. Setelah itu, benda panjang itu mulai bergerak ke atas. Perlahan namun pasti dan akhirnya mulai bergerak dengan cepat. Suara teriakan langsung memenuhi sekitaran ketika wahana itu terbang dengan menjungkir-balikkan, seolah merasa tubuh
Mobil BMW seri 2 berwarna hitam itu melintas dengan kecepatan normal di tengah kendaraan lainnya. Tampak dua anak kembar duduk di jok belakang.Bocah laki-laki bersikap santai dengan tangan menyedekap di depan dada, sedang bocah perempuan itu mengedarkan pandangannya ke luar jendela. Melihat ramainya kota Jakarta."Lihat, orang itu hebat sekali dalam memainkannya," ujar Elvina takjub ketika melihat antraksi seorang badut sedang memutarkan beberapa bola tanpa henti.Alvano yang mendengar langsung melihat dengan ekor matanya, ia berdecak dengan senyum miringnya."Ck, apanya yang hebat? Mereka bisa melakukan itu karena telah berlatih keras selama bertahun-tahun. Aku juga bisa jika begitu," sahut Alvano memandang remeh.Elvina yang mendengar menatap jengkel ke arah saudaranya itu. "Kau memang selalu begitu. Hanya bisa mengatakan omong kosong tanpa pembuk
Lima tahun kemudian ....Seorang anak perempuan merangkak dengan hati-hati ke atas kasur. Ia terkekeh pelan melihat saudara kembarnya masih tertidur lelap, ada ide muncul untuk mengusil saudaranya.Gadis kecil itu mengulur tangannya yang memegang sebuah bulu merak lalu menggosoknya ke telinga sang kakak. Hingga membuat bocah lelaki itu mengeliat tidak nyaman. Gadis kecil itu tertawa pelan dan kembali menggosoknya ke lubang hidung sang kakak.Respon sama kembali terulang, bocah lelaki itu mengipas tangannya ke depan hidung untuk menyingkirkan benda yang mengusik tidurnya. Tentu saja hal itu mengundang tawa sang gadis."Aisshh, pergilah. Mengganggu saja," geram bocah lelaki itu yang masih belum membuka mata.Masih belum puas, sang gadis kecil kembali menggosok bulu merak itu ke telinga sang kakak lebih liar. Membuat bocah lelaki itu tidak
Tampak di ruang tamu, Mlathi sedang fokus membenahi dasi di kemeja Eric. Lelaki di depannya terus menatap wajah sang istri dengan tangan melingkar di pinggangnya."Kau sungguh tidak apa-apa jika aku tinggalkan? Apalagi sekarang kelahiranmu sebentar lagi," ucap Eric khawatir seraya tangannya mengelus lembut perut sang istri yang telah membesar."Tidak apa-apa, jangan khawatir. Bukankah ada Grace? Pergilah dan bekerjalah dengan tenang, ok. Apalagi hari ini kau ada rapat penting, kan?" Mlathi berucap dengan nada penuh keyakinan. Ia terus tersenyum untuk menghilangkan kecemasan sang suami.Eric menghela napas pelan, lalu menuntun Mlathi duduk di atas sofa. Ia menekukkan kedua lututnya ke lantai lalu mendekatkan wajahnya ke perut buncit sang istri."Juniorku, jangan nakal yah selagi Papa tidak ada. Jangan membuat Mama kalian merasa kesakitan, ok," ujar Eric menasehati hingga membua
Setelah dua minggu keberangkatan Ara dan Kevin ke Islandia, negara di mana keluarga besarnya berasal. Karena perusahaan yang dipimpin Kevin mengalami kendala saat itu dan membutuhkannya. Jadi, ia terpaksa untuk pulang lebih awal setelah tiga hari pernikahan mereka. Cahaya matahari menyerbu masuk melewati tirai putih transparan itu, hingga membuat sang wanita yang sedang terlelap tidur di pelukan suaminya mengerjap. Ia langsung mengangkat tangannya untuk melindungi wajahnya dari paparan cahaya. Wanita itu menoleh, menatap lebih lekat wajah sang suami yang masih terlelap. Wajah tegas itu begitu teduh saat tidur. Membuat si wanita melekukkan bibirnya. "Good morning, Suamiku," bisik Mlathi tepat di dekat telinga sang suami lalu mengecup pipinya. Spontan membuat lelaki yang masih memejamkan mata itu tersenyum, lalu mengeratkan pelukannya. "Kenapa kau sangat suka memandangi wajahku saat baru bangun, hm?" tanya Eric yang belum mem
"Wah, Kak, kau benar-benar cantik," puji Mlathi dengan tatapannya tak berkedip lurus ke pantulan cermin.Tubuh Ara yang ramping telah dibaluti dengan gaun putih menjuntai hingga menyapu lantai. Gaun yang dirancang oleh desainer ternama tampak begitu elegan, kecantikan Ara semakin bersinar dengan bantuan sedikit make up. Senyum yang sudah lama hilang itu tidak menyurut saat tatapannya menelusuri penampilannya hari ini."Aku yakin, setelah Kakak ipar melihatmu. Ia pasti sudah tidak bisa menahan diri lagi," lanjut Mlathi seraya geleng-geleng kepala. Membuat Ara semakin bersemu merah karena malu.Ara berbalik menghadap Mlathi sepenuhnya, ia memegang tangan wanita itu. "Mlathi, setelah orang tua kami bercerai, akulah sumber kekuatan Eric saat ia begitu rapuh. Saat ia menyerah akan kehidupannya. Tapi, setelah aku sakit, ia pasti begitu menderita dan frustasi. Aku bahkan tidak sanggup membayangkannya saat tida
Waktu terus berputar tanpa lelah, musim terus berganti hingga kini musim semi telah tiba. Kota Jakarta yang terkenal akan kemacetan lalu lintas akibat banyaknya manusia yang beraktivitas setiap harinya. Terus bergerak mengikuti roda waktu. Hingga ... satu bulan telah berlalu. Hari Minggu, tepat pada tanggal 3 Oktober 2021. Tanggal merah yang dimanfaatkan kebanyakan orang untuk bersantai atau sekedar jalan-jalan santai untuk menghilangkan penat setelah bekerja begitu keras beberapa hari. Sesosok lelaki tegap menatap lurus ke cakrawala yang terbentang di depannya, dengan sesekali menyeruput kopi latte kesukaannya. Ia terus menarik napas sedalam-dalamnya lalu mengembuskannya perlahan. Menikmati udara sejuk pagi hari itu. Kepalanya menoleh ketika seseorang memelukmya dari belakang. Kemudian ia memegang tangan yang ada di pinggangnya. "Kau sudah bangun?" tanyanya. Terasa anggukan kepala dari belakang sebagai jawaban.
"Apa kau ingin mengatakan jika lelaki itu tidak bersalah? Maksudmu, ia bukanlah penyebab Kakakku kehilangan semangatnya, hah. Itu yang ingin kau katakan?" Eric mulai melepaskan tangannya dari tubuh Mlathi, ia menatap tidak percaya jika Mlathi lebih membela lelaki brengsek itu. "Bukan, bukan itu maksudku Eric. Ku mohon, dengarkan dulu penjelasanku," ucap Mlathi yang berusaha menghilangkan kesalahpahaman Eric. "Penjelasan apa lagi yang ingin kau katakan. Hah?" Eric bangkit lalu berjalan menuju jendela di ruangan itu, hatinya masih diselimuti rasa dendam sehingga lelaki itu sama sekali tidak ingin mendengarkan hal baik tentang lelaki brengsek yang telah menghancurkan hidup kakaknya. Tatapan Mlathi teralih ke arah kedua tangan Eric yang masih mengepal di sisi tubuhnya. Ia mengembus napas berat, agaknya ia sedikit sulit untuk membuka sisi gelap Eric. Tidak peduli apapun itu alasannya, Mlathi harus mengembalikan kebahagiaan kepad
Karena ponsel Mlathi tidak bisa dihubungi, Eric langsung pergi ke rumah sakit untuk memastikan alasan istrinya itu menemui Kakaknya. Langkah tegapnya terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan sedikit cepat. Entah kenapa ia merasa jiwanya terpanggil dan ingin segera sampai ke sana. Saat tangannya terangkat hendak menyentuh knop pintu, suara lelaki dari dalam membuat Eric memaku di tempat. Ia mengintip dari sela pintu yang terbuka sedikit. Eric tidak bisa mengenali siapa lelaki itu karena posisinya yang membelakanginya. Terlihat juga Mlathi yang berdiri tidak jauh dari mereka. Kedua alis Eric menyatu. "Kenapa Mlathi membiarkan pria itu mendekati Kakak? Apa ia mengenalinya?" gumam Eric. "Ara, Sayang. Ini bukanlah bayangan. Ini aku, Kevin kekasihmu." Kedua mata Eric seketika membulat ketika mendengar kalimat itu. Tanpa dicegah amarahnya langsung memuncak dengan kedua rahangnya telah mengeras. Jadi, lelaki di dalam adalah kekasih