<span;>"Udah ngak usah banyak cincong, cepat tanda tangan itu. Dan biar semuanya cepat selesai!" Suara berat Eric menggema di gendang telinga Mlathi, membuat wanita itu tersadar dari lamunannya.
<span;>Mlathi kembali menatap map yang berisi kontrak di hadapannya. Menikah hanya dilakukan sekali seumur hidup, itu yang selalu wanita itu pegang sebagai prinsip hidupnya. Pandangan Mlathi tertunduk ke bawah dengan tangan yang mengelus perut datarnya, namun terdapat nyawa di dalamnya yang harus ia jaga. Mlathi mengigit bibir bawahnya untuk keputusan yang baginya begitu sulit.<span;>"Beri aku waktu untuk memikirkannya." Hanya kata itu yang akhirnya berhasil keluar dari bibir Mlathi. Membuat Eric yang mendengar sangat jelas menyatukan alisnya sekaligus terkejut.<span;>"What! Dari sekian banyaknya wanita di seluruh penjuru dunia yang rela mengantri ingin jadi istriku, dan kau malah butuh waktu untuk memikirkannya! Benar-benar gila!<span;>Mlathi masuk ke dalam kontrakannya dengan lemas, menarik tubuhnya untuk merebahkan diri di kasur tipisnya. Ia memandang langit-langit kamar dengan tatapan nanar. Tangannya bergerak menyusuri perut datarnya lalu mengelusnya lembut, ia menghela napas berat sembari meratapi nasib yang baginya begitu sial. <span;>"Tidak sangka, jika aku hamil dan menikah dengan cara seperti ini," gumamnya sembari mengusap wajah kusamnya dengan kasar. <span;>"Nasib sial apalagi yang sedang menunggu di ujung sana." <span;>*** <span;>"Siapkan semua keperluan pernikahanku, dan ingat hanya beberapa orang penting saja dan jangan mengundang media!" tegas Eric sembari berjalan menyusuri koridor perusahaannya. Tony yang membututi hanya mengangguk mengerti. <span;>Eric masuk dan segera duduk di kursi kekuasaanya sedang Tony kembali keluar untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan tuan besarnya. Saat keluar, ia
<span;>Disaat sedang bingung di tempat, tiba-tiba seseorang menyapa dari arah belakang membuat Mlathi langsung berbalik dengan terkejut. Kemudian menghela napas lega ketika melihat wanita paruh baya yang mengenakan seragam pembantu yang sering ia lihat di gambar-gambar cerita dongeng istana. Wanita paruh baya itu tersenyum sembari sedikit membungkuk. <span;>"Maaf, Nyonya. Tuan Eric memerintahkan kepada saya untuk membawa Nyonya ke kamar. Mari ikut saya," ujarnya dengan lembut sembari mengambil alih tas dari genggaman tangan Mlathi. <span;>"Eh, tidak usah. Saya bisa sendiri." <span;>"Tidak apa-apa Nyonya, ini sudah menjadi bagian tugas kami." Mlathi terpaksa menyerah dan membiarkan wanita itu mengambil tasnya. Lalu mengikuti langkah wanita itu. <span;>Dalam perjalanan melewati anak tangga yang berwarna keemasan itu, Mlathi tiada henti-hentinya terus memandang takjub sekitarnya. Tanpa rasa malu, ia bahkan be
<span;>Setelah memakai pakaian hangat yang diberikan Eric padanya. Mlathi segera berlari menarik selimut tebal di atas kasur lalu melilitkan di tubuhnya, ia pun beranjak ke atas sofa yang begitu empuk. Melihat hal itu membuat Eric sedikit tidak suka karena mengambil barangnya tanpa izin. <span;>"Hey, itu selimutku. Apa aku memberimu izin untuk memakainya?" cercah Eric geram. <span;>Dengan bibir gemetaran, Mlathi berusaha menjawab ucapan Eric. "Hm, aku lagi tidak ingin berdebat. Ini hanya selimutkan, kenapa kau mempermasalahkannya. Tenang saja aku akan mencucinya setelah ini." <span;>Mlathi semakin mempererat lilitan selimutnya, air di shower itu benar-benar sangat dingin. Ia hampir saja mati kedinginan jika Eric tidak tepat waktu mematikannya. Eric berdecak sebal, ingin rasanya ia merebut kembali selimut itu darinya. Tapi melihat Mlathi sangat kedinginan hati nuraninya berkata lain. Hingga membuat ia ke meja nakas dan menel
"Benarkah?" Mlathi langsung mendongak dengan wajah berseri, ia sangat senang ketika keinginannya langsung di iyakan oleh Eric. Bahkan ia tidak lagi memikirkan urat malu yang beberapa saat menganggu dirinya. Saat ini, uang itu lebih penting dari apapun. Eric berbalik menghadap Mlathi sepenuhnya dengan alis satu terangkat. Ia begitu kagum dengan keterbukaan Mlathi, bahkan wanita itu sama sekali tidak ada rasa malu sedikit pun. Mengingat hari di mana ia mengatakan bahwa tidak semua bisa ditukarkan dengan uang, membuat Eric begitu mual. Nyatanya hari ini, ia bahkan bertingkah sebaliknya. "Tentu saja, lima puluh juta adalah jumlah yang dikit untukku." "Terima kasih, kau baik sekali," girang Mlathi tanpa bisa menyembunyikan wajah senangnya. "Kau salah," sela Eric cepat membuat Mlathi mengerutkan dahi. "Maksudmu?" Eric kambali berbalik menghadap cermin besar di hadapannya sembari merapikan ikatan dasinya. Ia menyeringai, ada ide mena
Aroma lezat dari makanan yang tersusun rapi di atas meja persegi panjang itu menguar ke seluruh ruangan. Dengan satu hembusan napas panjang, Mlathi segera melepaskan celemek yang sedari tadi menggantung di leher panjangnya. Ia tersenyum bangga dengan masakan yang ia buat, hampir dua jam lamanya ia membuat sepuluh menu sekaligus dengan satu bahan utama yaitu daging babi. Grace dan pelayan lainnya menganga tidak percaya bahkan tidak banyak dari mereka yang kesusahan meneguk salivanya. "Nyonya, apakah Anda akan menghabiskan semua menu ini?" tanya Grace masih dengan raut tidak percaya. Mlathi menggeleng. "Tentu saja tidak, Grace. Perutku kecil mana muat memasukkan makanan sebanyak ini meski aku sangat kelaparan." "Lalu ini?" Mlathi menepuk bahu Grace dengan seringaiannya seakan tidak mengkhawatirkan makanan itu. "Kau tenang saja, di rumah ini bukan hanya ada aku kan. Para pelayan dan pengawal di sini kan banyak, pastinya semua
"Bagaimana, enak?" "Makanan ini lebih enak dari restoran bintang lima, makanan apa namanya ini? Aneh tapi sangat enak." Tentu saja kalimat pujian itu terlontar di dalam hati, hingga membuat Mlathi terus menatap Eric sembari menunggu tanggapannya mengenai makanan itu. Dilihat dari raut Eric, ada kemungkinan baik tentang masakannya. "Hm, bagaimana. Rasanya enak kan?" Lamunan Eric langsung terbuyar saat suara lembut Mlathi kembali menyapa. Eric berusaha senormal mungkin seolah semuanya biasa saja. Ia kembali meletakkan sendok itu dan memperbaiki duduknya. "Mimpi! Biasa saja, tidak ada yang istimewa dari makanan ini. Sudah bentuknya aneh, rasanya tidak karuan lagi." Kalimat yang bertimbang balik dari kata hatinya, membuat Mlathi mengerucutkan bibirnya 99 derajat celcius sembari menarik punggungnya menyentuh senderan kursi. 'Benarkah? Tapi Dogge sangat menyukainya?' bisik Mlathi yang terus merengut. Sembari ekor mata
"Seriusan!" Satu teriakan melengking terdengar saat Mlathi menyelesaikan ceritanya beberapa minggu terakhir. Tentang bagaimana ia hamil, dan berakhir ke pernikahan. "Ssstt," desihan halus dari bibir Mlathi sembari telunjuknya terangkat ke udara, membuat wanita di depannya langsung mengatupkan bibir. "Sorry, sorry. Soalnya aku kaget banget, sekali ketemu kamu udah hamil. Pantesan kamu susah banget aku hubungi, aku sempat khawatir lo sama kamu." "Maaf yah, Rin. Waktu itu aku frustasi banget sama nasib aku. Jadi aku gak mikirin yang lain." Karin langsung menggelenh sembari memegang kedua tangan Mlathi. Ada rasa kasihan melihat teman baiknya mengalami hal seperti itu, tapi ia juga senang karena Mlathi baik-baik saja dan laki-laki bejat itu mau bertanggung jawab. Yah meski berakhir menyedihkan. "Udah Thi kamu gak salah kok, aku ngerti gimana perasaan kamu. Seharusnya aku yang minta maaf karena gak ada nemenin kamu wa
Setelah berhasil mengambil uang di kartu gold tadi berkat bantuan dari Karin. Kini Malthi kembali ke kafe untuk bertemu seseorang. Hampir setengah jam ia duduk dengan gelisah dan kedua tangannya terus menggenggam erat tas kunonya. Takut, jika tas itu di rampas seseorang. Ia tidak akan mungkin menghilangkan uang dengan nominal yang begitu banyak, jika itu terjadi maka hidupnya tidak akan tenang seumur hidup.Mlathi sengaja mengambil meja dekat pintu masuk yang bersebelahan dengan kaca yang menghadap ke luar jalanan agar ia bisa leluasa untuk melihat orang utusan ibu tirinya datang.Senyum tipis langsung terbit ketika orang yang ia tunggu akhirnya tiba."Sorry, gue telat. Soalnya macet banget. Mana uangnya?" ucap lelaki yang lebih tua dari Mlathi sembari duduk. Tanpa berpikir panjang lagi, Mlathi langsung mengambil uangnya dari dalam tas yang dibungkus ke dalam amplop kuning.Da
Mereka bertiga telah terpasang sabuk pengaman di tubuh. Semua kursi telah diisi oleh semua pengunjung. Elvina berada diantara lelaki kecil, dengan ekpresi takut, ia memegang erat sabuk pengaman di sampingnya. Alvin menoleh dan terlihat khawatir. "El, jika kau merasa takut, kita berhenti sekarang. Ok," ujar Alvin. Dengan menarik napas dalam, Elvina menggeleng. "Kita sudah naik, daripada turun lebih baik kita mencobanya." Dua orang pengawas lelaki berkeliling memastikan jika semua peserta wahana itu telah terpasang sabuk dengan aman. "Kalian semua sudah siap. Kita mulai sekarang," teriak lelaki berseragam itu dengan lantang. Semua para peserta wahana serempak berkata siap. Setelah itu, benda panjang itu mulai bergerak ke atas. Perlahan namun pasti dan akhirnya mulai bergerak dengan cepat. Suara teriakan langsung memenuhi sekitaran ketika wahana itu terbang dengan menjungkir-balikkan, seolah merasa tubuh
Mobil BMW seri 2 berwarna hitam itu melintas dengan kecepatan normal di tengah kendaraan lainnya. Tampak dua anak kembar duduk di jok belakang.Bocah laki-laki bersikap santai dengan tangan menyedekap di depan dada, sedang bocah perempuan itu mengedarkan pandangannya ke luar jendela. Melihat ramainya kota Jakarta."Lihat, orang itu hebat sekali dalam memainkannya," ujar Elvina takjub ketika melihat antraksi seorang badut sedang memutarkan beberapa bola tanpa henti.Alvano yang mendengar langsung melihat dengan ekor matanya, ia berdecak dengan senyum miringnya."Ck, apanya yang hebat? Mereka bisa melakukan itu karena telah berlatih keras selama bertahun-tahun. Aku juga bisa jika begitu," sahut Alvano memandang remeh.Elvina yang mendengar menatap jengkel ke arah saudaranya itu. "Kau memang selalu begitu. Hanya bisa mengatakan omong kosong tanpa pembuk
Lima tahun kemudian ....Seorang anak perempuan merangkak dengan hati-hati ke atas kasur. Ia terkekeh pelan melihat saudara kembarnya masih tertidur lelap, ada ide muncul untuk mengusil saudaranya.Gadis kecil itu mengulur tangannya yang memegang sebuah bulu merak lalu menggosoknya ke telinga sang kakak. Hingga membuat bocah lelaki itu mengeliat tidak nyaman. Gadis kecil itu tertawa pelan dan kembali menggosoknya ke lubang hidung sang kakak.Respon sama kembali terulang, bocah lelaki itu mengipas tangannya ke depan hidung untuk menyingkirkan benda yang mengusik tidurnya. Tentu saja hal itu mengundang tawa sang gadis."Aisshh, pergilah. Mengganggu saja," geram bocah lelaki itu yang masih belum membuka mata.Masih belum puas, sang gadis kecil kembali menggosok bulu merak itu ke telinga sang kakak lebih liar. Membuat bocah lelaki itu tidak
Tampak di ruang tamu, Mlathi sedang fokus membenahi dasi di kemeja Eric. Lelaki di depannya terus menatap wajah sang istri dengan tangan melingkar di pinggangnya."Kau sungguh tidak apa-apa jika aku tinggalkan? Apalagi sekarang kelahiranmu sebentar lagi," ucap Eric khawatir seraya tangannya mengelus lembut perut sang istri yang telah membesar."Tidak apa-apa, jangan khawatir. Bukankah ada Grace? Pergilah dan bekerjalah dengan tenang, ok. Apalagi hari ini kau ada rapat penting, kan?" Mlathi berucap dengan nada penuh keyakinan. Ia terus tersenyum untuk menghilangkan kecemasan sang suami.Eric menghela napas pelan, lalu menuntun Mlathi duduk di atas sofa. Ia menekukkan kedua lututnya ke lantai lalu mendekatkan wajahnya ke perut buncit sang istri."Juniorku, jangan nakal yah selagi Papa tidak ada. Jangan membuat Mama kalian merasa kesakitan, ok," ujar Eric menasehati hingga membua
Setelah dua minggu keberangkatan Ara dan Kevin ke Islandia, negara di mana keluarga besarnya berasal. Karena perusahaan yang dipimpin Kevin mengalami kendala saat itu dan membutuhkannya. Jadi, ia terpaksa untuk pulang lebih awal setelah tiga hari pernikahan mereka. Cahaya matahari menyerbu masuk melewati tirai putih transparan itu, hingga membuat sang wanita yang sedang terlelap tidur di pelukan suaminya mengerjap. Ia langsung mengangkat tangannya untuk melindungi wajahnya dari paparan cahaya. Wanita itu menoleh, menatap lebih lekat wajah sang suami yang masih terlelap. Wajah tegas itu begitu teduh saat tidur. Membuat si wanita melekukkan bibirnya. "Good morning, Suamiku," bisik Mlathi tepat di dekat telinga sang suami lalu mengecup pipinya. Spontan membuat lelaki yang masih memejamkan mata itu tersenyum, lalu mengeratkan pelukannya. "Kenapa kau sangat suka memandangi wajahku saat baru bangun, hm?" tanya Eric yang belum mem
"Wah, Kak, kau benar-benar cantik," puji Mlathi dengan tatapannya tak berkedip lurus ke pantulan cermin.Tubuh Ara yang ramping telah dibaluti dengan gaun putih menjuntai hingga menyapu lantai. Gaun yang dirancang oleh desainer ternama tampak begitu elegan, kecantikan Ara semakin bersinar dengan bantuan sedikit make up. Senyum yang sudah lama hilang itu tidak menyurut saat tatapannya menelusuri penampilannya hari ini."Aku yakin, setelah Kakak ipar melihatmu. Ia pasti sudah tidak bisa menahan diri lagi," lanjut Mlathi seraya geleng-geleng kepala. Membuat Ara semakin bersemu merah karena malu.Ara berbalik menghadap Mlathi sepenuhnya, ia memegang tangan wanita itu. "Mlathi, setelah orang tua kami bercerai, akulah sumber kekuatan Eric saat ia begitu rapuh. Saat ia menyerah akan kehidupannya. Tapi, setelah aku sakit, ia pasti begitu menderita dan frustasi. Aku bahkan tidak sanggup membayangkannya saat tida
Waktu terus berputar tanpa lelah, musim terus berganti hingga kini musim semi telah tiba. Kota Jakarta yang terkenal akan kemacetan lalu lintas akibat banyaknya manusia yang beraktivitas setiap harinya. Terus bergerak mengikuti roda waktu. Hingga ... satu bulan telah berlalu. Hari Minggu, tepat pada tanggal 3 Oktober 2021. Tanggal merah yang dimanfaatkan kebanyakan orang untuk bersantai atau sekedar jalan-jalan santai untuk menghilangkan penat setelah bekerja begitu keras beberapa hari. Sesosok lelaki tegap menatap lurus ke cakrawala yang terbentang di depannya, dengan sesekali menyeruput kopi latte kesukaannya. Ia terus menarik napas sedalam-dalamnya lalu mengembuskannya perlahan. Menikmati udara sejuk pagi hari itu. Kepalanya menoleh ketika seseorang memelukmya dari belakang. Kemudian ia memegang tangan yang ada di pinggangnya. "Kau sudah bangun?" tanyanya. Terasa anggukan kepala dari belakang sebagai jawaban.
"Apa kau ingin mengatakan jika lelaki itu tidak bersalah? Maksudmu, ia bukanlah penyebab Kakakku kehilangan semangatnya, hah. Itu yang ingin kau katakan?" Eric mulai melepaskan tangannya dari tubuh Mlathi, ia menatap tidak percaya jika Mlathi lebih membela lelaki brengsek itu. "Bukan, bukan itu maksudku Eric. Ku mohon, dengarkan dulu penjelasanku," ucap Mlathi yang berusaha menghilangkan kesalahpahaman Eric. "Penjelasan apa lagi yang ingin kau katakan. Hah?" Eric bangkit lalu berjalan menuju jendela di ruangan itu, hatinya masih diselimuti rasa dendam sehingga lelaki itu sama sekali tidak ingin mendengarkan hal baik tentang lelaki brengsek yang telah menghancurkan hidup kakaknya. Tatapan Mlathi teralih ke arah kedua tangan Eric yang masih mengepal di sisi tubuhnya. Ia mengembus napas berat, agaknya ia sedikit sulit untuk membuka sisi gelap Eric. Tidak peduli apapun itu alasannya, Mlathi harus mengembalikan kebahagiaan kepad
Karena ponsel Mlathi tidak bisa dihubungi, Eric langsung pergi ke rumah sakit untuk memastikan alasan istrinya itu menemui Kakaknya. Langkah tegapnya terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan sedikit cepat. Entah kenapa ia merasa jiwanya terpanggil dan ingin segera sampai ke sana. Saat tangannya terangkat hendak menyentuh knop pintu, suara lelaki dari dalam membuat Eric memaku di tempat. Ia mengintip dari sela pintu yang terbuka sedikit. Eric tidak bisa mengenali siapa lelaki itu karena posisinya yang membelakanginya. Terlihat juga Mlathi yang berdiri tidak jauh dari mereka. Kedua alis Eric menyatu. "Kenapa Mlathi membiarkan pria itu mendekati Kakak? Apa ia mengenalinya?" gumam Eric. "Ara, Sayang. Ini bukanlah bayangan. Ini aku, Kevin kekasihmu." Kedua mata Eric seketika membulat ketika mendengar kalimat itu. Tanpa dicegah amarahnya langsung memuncak dengan kedua rahangnya telah mengeras. Jadi, lelaki di dalam adalah kekasih