Seorang gadis dengan rambut ikalnya terkuncir rapi, kini keluar dari kontrakan dan mengendarai sepedanya buru-buru. Tanpa henti, selalu mengutuki diri sendiri karena kembali bangun kesiangan. Baru saja dua hari yang lalu mendapatkan teguran dari menejer kafe karena datang terlambat, dan hari ini sudah ke berapa kali ia melakukan kesalahan yang sama. Bergidik ngeri ketika membayangkan wajah bengis Tn. Darma--Manejer kafe ketika menceramahinya bahkan bukan hanya sekedar itu, tapi juga pasti akan ada kata ejekan untuk dirinya.
Berhenti memikirkan itu, gadis yang sudah rapi dengan kaos khas untuk karyawan kafe terus mengayuh sepedanya cepat. Tinggal lima menit lagi, berharap keajaiban akan datang menolongnya. Berharap pagi ini tidak ada halangan apapun yang mambuat jalannya terhalang.
Gadis dengan bentuk wajah oval itu terus fokus mengayuh sepedanya melintasi jalanan yang tidak terlalu ramai kendaraan. Dengan gesitnya ia melintasi setiap kendaraan di depannya. Karena terlalu kencang, ban depan sepeda itu menabrak sebuah mobil yang tiba-tiba saja berhenti. Gadis dengan rambut ikal itu terjatuh dari sepedanya hingga mengeluarkan suara ringisan.
"Hey, kau bisa bawa mobil tidak!" teriak gadis itu protes di tengah menahan rasa sakitnya.
Seketika gadis itu membelalakkan matanya ketika jam di tangannya menunjukkan pukul delapan lewat lima menit, itu artinya ia sudah terlambat. Tanpa mempedulikan lengannya yang terluka, gadis itu kembali bangkit dan mengayuhkan sepedanya lagi dengan cepat.
"Hey, kau sudah membuat mobil kami lecet, kau harus menggantikannya!" teriak seorang lelaki dengan pakaian layaknya seorang supir.
Pria lain yang duduk di jok belakang, menurunkan kaca mobil kemudian menatap punggung gadis yang baru saja menabrak mobilnya. Pria itu hanya menaikkan satu alisnya sembari menatap rendah ke arah gadis yang mengendarai sepeda butut itu.
"Jangan pedulikan gadis miskin itu, jangankan untuk membayar ganti rugi bahkan untuk makan sehari saja ia harus bekerja keras dulu," sahut pria dengan rahang tegas di kedua sisi wajahnya yang tampan nan putih itu. Bahkan mata tajamnya yang bagai elang mampu membuat semua hati wanita meleleh.
"Jalan!" Satu kata tegas itu mampu membuat mobil hitam yang sempat terhenti itu kembali berjalan.
Gadis berambut ikal itu memarkirkan sepeda bututnya sembarang kemudian segera berlari masuk ke kafe. Dengan nafas memburu, ia segera masuk ke dapur dan memakai celemek yang di khususkan buat karyawan yang akan melakukan tugas.
"Mlathi, kok telat lagi sih. Udah berapa kali juga ditegur sama Tn. Darma. Ngak kapok," sahut Karin--rekan kerjanya ketika melihat gadis yang bernama Mlathi itu tergesa-gesa.
"Bukannya ngak kapok, tapi kau tau sendiri kan kehidupanku. Aku tidak hanya bergantung pada gaji di kafe ini. Aku perlu kerja tambahan buat ngirim uang ke mamak dan bapak di kampung, jadi, aku juga harus korbanin waktu tidur malam aku," ucap Mlathi sedih ketika mengingat bagaimana nasib hidupnya yang termasuk buruk.
Karin diam, ikut merasa sedih melihat teman kerjanya ini yang harus panting tulang mencari nafkah buat orang tuanya di kampung. Keduanya menoleh ketika rekan lainnya ikut menghampiri.
"Mlathi, dipanggil sama manajer tuh ke ruangannya." Kalimat itu berhasil menciptakan rasa takut di dalam diri gadis bernetra coklat itu.
Mlathi menatap karin sekilas, kemudian melangkah pergi dengan harapan bahwa kali ini manejernya itu memberikan satu kesempatan lagi untuk dirinya.
Mlathi menarik nafas dalam kemudian menghembusnya perlahan. Setelah mendapatkan izin masuk, Mlathi membuka pintu itu dan melangkah masuk dengan kepala menunduk.
"Anda memanggil saya, Manajer?" ucap Mlathi basa-basi.
Sosok itu memutarkan kursi putarnya menghadap Mlathi sembari mengangkat satu alisnya. "Kau pasti tau betul, kenapa aku memanggilmu kemari."
Mlathi semakin menundukkan kepalanya sembari memainkan jemarinya. "Ma-maafkan saya Manejer, saya kembali mengu-"
"Saya tidak butuh maaf darimu, selama ini saya selalu memberi toleransi di setiap kesalahan yang kau lakukan. Apakah kali ini saya juga harus memberikan toleran itu lagi, hm?" Potong Darma sembari menautkan jemarinya di depan dada. Menatap tajam ke arah gadis yang kini masih menundukkan kepalanya.
"S-saya mohon, berikan saya kesempatan satu kali lagi, setelah ini saya berjanji untuk tidak mengulang kesalahan yang sama," ucap Mlathi tegas dan penuh penekanan.
Lelaki yang duduk di seberang hanya terkekeh mendengar ucapan yang baginya seperti bualan.
"Setiap kali kau melakukan kesalahan, kau selalu mengatakan hal yang sama. Tapi, nyatanya tidak ada yang terbukti dari ucapanmu!" ujar Darma sembari mengambil sesuatu dari dalam laci mejanya.
"Tidak ada yang bisa dilakukan, kecuali menerima uang penutup ini. Setelah itu silahkan untuk jangan datang lagi ke sini." Darma menyodorkan sebuah amplop tipis yang berisi beberapa lembar kertas berwarna merah.
"Tapi-"
"Tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, ambil amplop ini dan silahkan keluar!" perintah Darma tegas.
Mlathi pasrah, tidak ada lagi yang bisa ia katakan untuk membujuk. Dengan lemah, ia melangkah untuk mengambil amplop itu kemudian keluar dengan perasaan sedih. Gadis berambut ikal itu, berjalan memasuki dapur untuk mengembalikan celemek dan mengambil tas ranselnya.
"Kenapa? Ada apa? Apa yang dikatakan manejer?" tanya Karin beruntun, menatap cemas ke arah Mlathi.
Mlathi hanya menggeleng lemah, semua mata karyawan kini tertuju ke arah Mlathi dengan tatapan tidak suka.
"Tidak ada hal yang lebih buruk dari pada di pecat dari pekerjaannya," lirih Mlathi sembari mengambil tas ransel kunonya.
"Apa! Dipecat." Ulang Karin tidak percaya. Bagaimanapun selama ia kerja di sini, Mlathi termasuk rekan kerja yang dekat dengannya. Gadis itu selalu membantu dirinya di saat ia sedang mengalami kesulitan dan sekarang tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membantu Mlathi.
Karin hanya mengusap punggungnya pelan sembari memberi kekuatan kemudian memeluknya erat. "Yang sabar yah, aku yakin kok tidak lama lagi kamu akan segera mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik dari ini."
Mlathi hanya diam dan membalas pelukan Karin, di mana lagi ia harus mencari pekerjaan untuk dirinya yang hanya tamat SMA. Bahkan untuk mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan kafe ini saja membutuhkan kesabaran ekstra, dan sekarang ia harus kembali kehilangan pekerjaan ini dengan mudahnya.
"Aku pergi, yah," lirih Mlathi seraya melepaskan pelukan mereka.
"Jangan pernah sungkan untuk menghubungiku, jika kau butuh bantuan ku, hm. Aku pasti akan segera membantumu sebisaku." Mlathi hanya mengangguk kemudian berbalik untuk pergi.
Di saat melewati para karyawan yang saling berkumpul, telinganya terus menangkap suara yang terus berbicara jelek tentangnya.
"Baguslah, sudah sepantasnya ia dipecat!"
"Seharusnya sudah dari dulu memecatnya, datang kerja seenaknya aja. Emangnya kafe ini milik bokapnya apa!"
"Dasar pemalas, datang selalu telat!"
Cibiran-cibiran itu tidak mempan lagi untuknya. Seakan kebal akan hal seperti itu. Karena sedari dulu, ia selalu mendapatkan perlakuan buruk dari orang-orang di sekitarnya hanya ada satu dua orang yang mau mengasihani dan membantu dirinya. Kini Mlathi selalu menganggap cibiran itu seperti musik, alunan nada yang hanya perlu dinikmati.
Setelah kaki itu melewati pintu kafe, sebuah nada dering dari ponselnya berbunyi. Dengan segera ia mencari ponsel itu dari dalam tasnya. Mlathi terkesiap ketika membaca nama yang tertera dari layar petak kecil itu.
"Mamak," lirihnya sembari perlahan menekan tombol untuk mengangkatnya.
"Ya, hallo." Mata itu berkaca-kaca saat mendengar suara piluh deri seberang. Menggambarkan begitu menderitanya kehidupan mereka. Terkadang gadis bertubuh kurus kecil itu mengutuki nasib sial yang selalu membuntuti hidupnya.
Kapan keberuntungan berpihak padanya?
Di sebuah gedung pencakar langit, seorang lelaki sekitar umur 25 tahun berdiri di dekat jendela dengan menyedekapkan tangannya. Tatapannya lurus ke depan tanpa ekspresi, entah apa yang sedang ia pikirkan.Sebuah ketukan tidak mampu membuat lelaki perjaka itu menoleh, bahkan bergerak seinci pun tidak. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, nyaris membuat pintu itu terbuka. Suara high heels mulai terdengar, seiring dengan terus melangkah, suara ketukan itu seperti bernada."Tuan Eric, setelah makan siang nanti ada rapat penting dengan kolega," ucap suara yang di lembut-lembutkan seperti seorang yang sedang menggoda.Hanya suara deheman yang terdengar, wanita dengan stelan kemeja dan rok mini berwarna merah mencolok, meletakkan dokumen ke atas meja. Setelah itu, mulai melangkah mendekati sang bos besar.Meski hanya diam bak patung, namun Eric bisa menebak bahwa sekretarisnya itu akan kembali menggodanya menggunakan tubuh modisnya. Seb
Gadis bertubuh kecil kini tidak lagi mengayuh sepedanya, dengan gontai ia mendorong di atas trotoar. Sesekali menghapus keringat di dahi karena sinar matahari siang itu menerpa tubuh mungilnya. Tidak peduli dengan kulitnya yang kini sudah tidak terawat lagi. Jangankan sekedar untuk memikirkan atau merawat kulit, membeli pakaian saja ia musti memikirkan dua kali.Mlathi berhenti sembari menghela nafas berat, sedari tadi ia keluar masuk toko berharap akan ada yang menerimanya untuk bekerja. Namun, nihil, semua jawabannya mengecewakan. Zaman sekarang, sangat langkah sebuah toko atau perusahaan menyediakan lowongan kerja. Apalagi untuk dirinya yang hanya tamatan SMA, semakin sulit untuk mencarinya.Gadis dengan rambut hitam sepinggang itu kembali berjalan mencari tempat teduh untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Ia menuju sebuah warung sekedar membeli minuman dan roti untuk menganjal perutnya yang sejak tadi pagi belum makan secuil apapun."
Matahari kembali datang, kembali melakukan tugasnya tanpa merasa lelah. Di sebuah kamar hotel VVIP, seorang wanita dengan senyum yang terus mengembang sembari memorinya terus bermain memikirkan kejadian tadi malam. Tidak disangka, bos dingin dan super cuek itu ternyata begitu gesit dan ganas di atas ranjang. Bahkan untuk seorang wanita yang sudah biasa melakukan hal seperti itu bisa kewalahan dan merasa puas terhadap gerakan-gerakan yang menggairahkan itu.Jemari lentiknya perlahan bermain di wajah putih nan tegas itu yang masih tertidur di sampingnya, dengan tubuh mungil yang kini telah tertutup selimut tebal."Sayang, mulai kini selamanya kau akan menjadi milikku! Kau tidak akan bisa berbuat seenaknya lagi!" gumam Mirsya tersenyum miring sembari mengalihkan pandangannya ke sebuah kamera tersembunyi.Mirsya terlonjak saat tangan kekar memegang pergelangan tangannya dengan erat, sedikit terasa nyeri hingga terdengar suara ringisan.
Setelah rapi dengan stelan jas biru dongker dengan dasi arsir putih tergantung rapi di bawah kerah kemeja putihnya. Kini, lelaki dengan paras yang memesona melangkah masuk ke sebuah gedung pencakar langit. Di setiap langkah kakinya, semakin membuat lelaki itu berkharisma dan elegan. Semua para pegawai membungkuk hormat ketika lelaki itu melewati mereka."Selamat pagi, Tuan!" sapa Tony yang tidak lain adalah orang terpercaya sekaligus asisten pribadi Eric.Eric hanya menampilkan senyum tipisnya sembari masuk ke dalam lift, diikuti oleh Tony di belakangnya. Setelah masuk, Tony segera menekan tombol 20, tepat dimana ruangan CEO itu berada."Tuan, hari ini. Seorang klien ingin bertemu dengan Anda di lapangan golf," tutur Tony yang hanya dijawab anggukan oleh Eric."Siapkan semua keperluanku." Titah Eric dengan tatapan lurus ke depan tanpa ekspresi."Baik."Di sisi lain, seorang gadis yang kini berstatus sebagai OB s
Eric menghempaskan tubuhnya di atas kursi kekuasaanya sembari mendengus kesal. Tidak disangka hari ini seorang OB bisa membuat moodnya menjadi buruk.'Kau seperti seorang office boy, apakah kau ke sini untuk mengantar kopi para pegawai?'Kalimat gadis OB itu kembali terngiang di telinganya, membuat wajah putih glowing itu terlihat memerah. Rahangnya mengeras sembari kedua tangan itu telah terkepal kuat."Berani sekali gadis dekil itu mengataiku seorang office boy!" gumamnya geram dengan gigi yang telah menggelatuk.Ketukan pintu membuat Eric menoleh kemudian berkata datar. "Masuk!"Seorang lelaki berjas dengan ciri khas tahi lalat kecil di samping dagu, membuat lelaki itu sungguh manis. Tony berjalan menghampiri bosnya dengan dokumen di tangannya."Tuan, Anda yakin ingin membatalkan pertemuan ini. Klien kita kali ini bukan klien biasa," tutur Tony mencoba agar Eric kembali berpikir dengan keputusannya yang tiba-tiba berubah
Mlathi berjalan terburu-buru menuju ruangan si bos dengan secangkir kopi di tangannya. Seketika langkahnya memelan saat kedua maniknya melihat wanita cantik yang tadi juga masuk ke ruangan Eric. Dahinya mengerinyit ketika melihat wanita itu sedikit kesal.'Apakah ia habis bertengkar dengan kekasihnya? Ah bahkan, aku tidak tau namanya siapa?!' pikir Mlathi sembari menggeleng. Ia menampilkan senyum ketika mereka kembali saling bertemu.Wanita dengan lipstik merah merona itu hanya menatap tajam sembari mendengus tidak suka, membuat Mlathi hanya menaikkan kedua bahunya tidak acuh.Mlathi kembali berjalan cepat menuju ruangan si bos. 'Bukankah hanya secangkir kopi, ini tidak terlalu sulit, 'kan. Bahkan tidak butuh waktu lima menit, aku sudah mendapatkannya.' girang Mlathi dalam hati sembari mengetuk pintu ketika telah sampai."Masuk!" Suara berat nan tegas terdengar dari dalam, membuat ia perlahan membuka pintu dan masuk."
Mlathi mendorong sepedanya melewati gang menuju rumahnya. Dengan langkah gontai dan sesekali merenggangkan leher dan pinggangnya karena masih terasa sakit setelah mendapatkan sikap usil dari bos arogannya itu.Mlathi menyenderkan sepedanya pada tembok bercat putih yang telah memudar, kemudian segera mencari anak kunci rumah untuk membuka pintu itu. Setelah terbuka, Mlathi segera berlari ke kamarnya dan merebahkan tubuh kecilnya ke atas kasur."Uh, leganya. Tubuhku berasa retak tak bertulang, bahkan betis kakiku terasa dikuliti dengan kasar," rengek Mlathi sembari memijit betis kakinya dan sesekali memukul betis itu."Lelaki arogan itu benar-benar membuat hidupku semakin sulit, jika bukan karena ia si bos besar, aku pasti telah mencakar wajahnya itu! Aku rasa tidak akan ada wanita yang bisa bertahan lama hidup dengannya. Bahkan jika aku diberi miliyaran uang pun untuk menikahinya, aku tidak akan pernah mau, tidak!" ucap Mlathi sembari menggeleng
Eric benar-benar sudah kehilangan otak untuk berpikir karena pengaruh alkohol yang begitu banyak. Meski Mlathi telah terisak bahkan memohon, namun lelaki yang telah dikuasai dengan nafsu yang bergejolak tidak mengubris hal itu. Eric membuka kancing kemejanya dengan kasar lalu melepaskan dan melempar ke sembarang tempat. Hingga memperlihatkan otot-otot dada yang begitu menggiurkan, namun Mlathi tidak berpikir ke arah situ, yang terus ia pikirkan adalah bagaimana nasibnya setelah melewati malam ini.Mlathi sudah mengerahkan seluruh tenaganya agar bisa lepas dari jeratan lelaki brengsek itu. Namun, tenaga Eric begitu besar hingga ia kewalahan untuk melawan. Sekarang hanya rintihan memohon belas kasih agar lelaki itu melepaskan dirinya."T-tuan tolong lepaskan saya, sadarlah Tuan! Anda sudah melewati batasnya!" teriak Mlathi saat Eric hendak mencumbui bibirnya lagi.Namun, Eric tidak mengubris dan kembali melakukan aksinya, yang ada di otaknya s
Mereka bertiga telah terpasang sabuk pengaman di tubuh. Semua kursi telah diisi oleh semua pengunjung. Elvina berada diantara lelaki kecil, dengan ekpresi takut, ia memegang erat sabuk pengaman di sampingnya. Alvin menoleh dan terlihat khawatir. "El, jika kau merasa takut, kita berhenti sekarang. Ok," ujar Alvin. Dengan menarik napas dalam, Elvina menggeleng. "Kita sudah naik, daripada turun lebih baik kita mencobanya." Dua orang pengawas lelaki berkeliling memastikan jika semua peserta wahana itu telah terpasang sabuk dengan aman. "Kalian semua sudah siap. Kita mulai sekarang," teriak lelaki berseragam itu dengan lantang. Semua para peserta wahana serempak berkata siap. Setelah itu, benda panjang itu mulai bergerak ke atas. Perlahan namun pasti dan akhirnya mulai bergerak dengan cepat. Suara teriakan langsung memenuhi sekitaran ketika wahana itu terbang dengan menjungkir-balikkan, seolah merasa tubuh
Mobil BMW seri 2 berwarna hitam itu melintas dengan kecepatan normal di tengah kendaraan lainnya. Tampak dua anak kembar duduk di jok belakang.Bocah laki-laki bersikap santai dengan tangan menyedekap di depan dada, sedang bocah perempuan itu mengedarkan pandangannya ke luar jendela. Melihat ramainya kota Jakarta."Lihat, orang itu hebat sekali dalam memainkannya," ujar Elvina takjub ketika melihat antraksi seorang badut sedang memutarkan beberapa bola tanpa henti.Alvano yang mendengar langsung melihat dengan ekor matanya, ia berdecak dengan senyum miringnya."Ck, apanya yang hebat? Mereka bisa melakukan itu karena telah berlatih keras selama bertahun-tahun. Aku juga bisa jika begitu," sahut Alvano memandang remeh.Elvina yang mendengar menatap jengkel ke arah saudaranya itu. "Kau memang selalu begitu. Hanya bisa mengatakan omong kosong tanpa pembuk
Lima tahun kemudian ....Seorang anak perempuan merangkak dengan hati-hati ke atas kasur. Ia terkekeh pelan melihat saudara kembarnya masih tertidur lelap, ada ide muncul untuk mengusil saudaranya.Gadis kecil itu mengulur tangannya yang memegang sebuah bulu merak lalu menggosoknya ke telinga sang kakak. Hingga membuat bocah lelaki itu mengeliat tidak nyaman. Gadis kecil itu tertawa pelan dan kembali menggosoknya ke lubang hidung sang kakak.Respon sama kembali terulang, bocah lelaki itu mengipas tangannya ke depan hidung untuk menyingkirkan benda yang mengusik tidurnya. Tentu saja hal itu mengundang tawa sang gadis."Aisshh, pergilah. Mengganggu saja," geram bocah lelaki itu yang masih belum membuka mata.Masih belum puas, sang gadis kecil kembali menggosok bulu merak itu ke telinga sang kakak lebih liar. Membuat bocah lelaki itu tidak
Tampak di ruang tamu, Mlathi sedang fokus membenahi dasi di kemeja Eric. Lelaki di depannya terus menatap wajah sang istri dengan tangan melingkar di pinggangnya."Kau sungguh tidak apa-apa jika aku tinggalkan? Apalagi sekarang kelahiranmu sebentar lagi," ucap Eric khawatir seraya tangannya mengelus lembut perut sang istri yang telah membesar."Tidak apa-apa, jangan khawatir. Bukankah ada Grace? Pergilah dan bekerjalah dengan tenang, ok. Apalagi hari ini kau ada rapat penting, kan?" Mlathi berucap dengan nada penuh keyakinan. Ia terus tersenyum untuk menghilangkan kecemasan sang suami.Eric menghela napas pelan, lalu menuntun Mlathi duduk di atas sofa. Ia menekukkan kedua lututnya ke lantai lalu mendekatkan wajahnya ke perut buncit sang istri."Juniorku, jangan nakal yah selagi Papa tidak ada. Jangan membuat Mama kalian merasa kesakitan, ok," ujar Eric menasehati hingga membua
Setelah dua minggu keberangkatan Ara dan Kevin ke Islandia, negara di mana keluarga besarnya berasal. Karena perusahaan yang dipimpin Kevin mengalami kendala saat itu dan membutuhkannya. Jadi, ia terpaksa untuk pulang lebih awal setelah tiga hari pernikahan mereka. Cahaya matahari menyerbu masuk melewati tirai putih transparan itu, hingga membuat sang wanita yang sedang terlelap tidur di pelukan suaminya mengerjap. Ia langsung mengangkat tangannya untuk melindungi wajahnya dari paparan cahaya. Wanita itu menoleh, menatap lebih lekat wajah sang suami yang masih terlelap. Wajah tegas itu begitu teduh saat tidur. Membuat si wanita melekukkan bibirnya. "Good morning, Suamiku," bisik Mlathi tepat di dekat telinga sang suami lalu mengecup pipinya. Spontan membuat lelaki yang masih memejamkan mata itu tersenyum, lalu mengeratkan pelukannya. "Kenapa kau sangat suka memandangi wajahku saat baru bangun, hm?" tanya Eric yang belum mem
"Wah, Kak, kau benar-benar cantik," puji Mlathi dengan tatapannya tak berkedip lurus ke pantulan cermin.Tubuh Ara yang ramping telah dibaluti dengan gaun putih menjuntai hingga menyapu lantai. Gaun yang dirancang oleh desainer ternama tampak begitu elegan, kecantikan Ara semakin bersinar dengan bantuan sedikit make up. Senyum yang sudah lama hilang itu tidak menyurut saat tatapannya menelusuri penampilannya hari ini."Aku yakin, setelah Kakak ipar melihatmu. Ia pasti sudah tidak bisa menahan diri lagi," lanjut Mlathi seraya geleng-geleng kepala. Membuat Ara semakin bersemu merah karena malu.Ara berbalik menghadap Mlathi sepenuhnya, ia memegang tangan wanita itu. "Mlathi, setelah orang tua kami bercerai, akulah sumber kekuatan Eric saat ia begitu rapuh. Saat ia menyerah akan kehidupannya. Tapi, setelah aku sakit, ia pasti begitu menderita dan frustasi. Aku bahkan tidak sanggup membayangkannya saat tida
Waktu terus berputar tanpa lelah, musim terus berganti hingga kini musim semi telah tiba. Kota Jakarta yang terkenal akan kemacetan lalu lintas akibat banyaknya manusia yang beraktivitas setiap harinya. Terus bergerak mengikuti roda waktu. Hingga ... satu bulan telah berlalu. Hari Minggu, tepat pada tanggal 3 Oktober 2021. Tanggal merah yang dimanfaatkan kebanyakan orang untuk bersantai atau sekedar jalan-jalan santai untuk menghilangkan penat setelah bekerja begitu keras beberapa hari. Sesosok lelaki tegap menatap lurus ke cakrawala yang terbentang di depannya, dengan sesekali menyeruput kopi latte kesukaannya. Ia terus menarik napas sedalam-dalamnya lalu mengembuskannya perlahan. Menikmati udara sejuk pagi hari itu. Kepalanya menoleh ketika seseorang memelukmya dari belakang. Kemudian ia memegang tangan yang ada di pinggangnya. "Kau sudah bangun?" tanyanya. Terasa anggukan kepala dari belakang sebagai jawaban.
"Apa kau ingin mengatakan jika lelaki itu tidak bersalah? Maksudmu, ia bukanlah penyebab Kakakku kehilangan semangatnya, hah. Itu yang ingin kau katakan?" Eric mulai melepaskan tangannya dari tubuh Mlathi, ia menatap tidak percaya jika Mlathi lebih membela lelaki brengsek itu. "Bukan, bukan itu maksudku Eric. Ku mohon, dengarkan dulu penjelasanku," ucap Mlathi yang berusaha menghilangkan kesalahpahaman Eric. "Penjelasan apa lagi yang ingin kau katakan. Hah?" Eric bangkit lalu berjalan menuju jendela di ruangan itu, hatinya masih diselimuti rasa dendam sehingga lelaki itu sama sekali tidak ingin mendengarkan hal baik tentang lelaki brengsek yang telah menghancurkan hidup kakaknya. Tatapan Mlathi teralih ke arah kedua tangan Eric yang masih mengepal di sisi tubuhnya. Ia mengembus napas berat, agaknya ia sedikit sulit untuk membuka sisi gelap Eric. Tidak peduli apapun itu alasannya, Mlathi harus mengembalikan kebahagiaan kepad
Karena ponsel Mlathi tidak bisa dihubungi, Eric langsung pergi ke rumah sakit untuk memastikan alasan istrinya itu menemui Kakaknya. Langkah tegapnya terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan sedikit cepat. Entah kenapa ia merasa jiwanya terpanggil dan ingin segera sampai ke sana. Saat tangannya terangkat hendak menyentuh knop pintu, suara lelaki dari dalam membuat Eric memaku di tempat. Ia mengintip dari sela pintu yang terbuka sedikit. Eric tidak bisa mengenali siapa lelaki itu karena posisinya yang membelakanginya. Terlihat juga Mlathi yang berdiri tidak jauh dari mereka. Kedua alis Eric menyatu. "Kenapa Mlathi membiarkan pria itu mendekati Kakak? Apa ia mengenalinya?" gumam Eric. "Ara, Sayang. Ini bukanlah bayangan. Ini aku, Kevin kekasihmu." Kedua mata Eric seketika membulat ketika mendengar kalimat itu. Tanpa dicegah amarahnya langsung memuncak dengan kedua rahangnya telah mengeras. Jadi, lelaki di dalam adalah kekasih