Gadis bertubuh kecil kini tidak lagi mengayuh sepedanya, dengan gontai ia mendorong di atas trotoar. Sesekali menghapus keringat di dahi karena sinar matahari siang itu menerpa tubuh mungilnya. Tidak peduli dengan kulitnya yang kini sudah tidak terawat lagi. Jangankan sekedar untuk memikirkan atau merawat kulit, membeli pakaian saja ia musti memikirkan dua kali.
Mlathi berhenti sembari menghela nafas berat, sedari tadi ia keluar masuk toko berharap akan ada yang menerimanya untuk bekerja. Namun, nihil, semua jawabannya mengecewakan. Zaman sekarang, sangat langkah sebuah toko atau perusahaan menyediakan lowongan kerja. Apalagi untuk dirinya yang hanya tamatan SMA, semakin sulit untuk mencarinya.
Gadis dengan rambut hitam sepinggang itu kembali berjalan mencari tempat teduh untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Ia menuju sebuah warung sekedar membeli minuman dan roti untuk menganjal perutnya yang sejak tadi pagi belum makan secuil apapun.
"Terima kasih, Bu," ucap Mlathi setelah membayar sebotol aqua dan sebungkus roti.
Mlathi duduk di kursi tepatnya di bawah pohon rimbun. Bernapas lega karena akhirnya kerongkongan itu tersiram air. Setelah menghabiskan setengah botol, kini ia membuka bungkusan roti untuk segera ia lahap.
Namun, belum sepenuhnya memasuki mulut, netra hitam itu menangkap sosok anak kecil yang sedang melihat dirinya sembari memegang perut. Mlathi menurunkan tangannya dan mengurungkan niat untuk makan. Sepertinya bocah laki-laki itu sangat lapar dan tidak punya uang untuk membeli makanan. Hati nurani itu seketika muncul, tidak tega melihat anak kecil itu kelaparan.
"Dek, kamu mau makan?" tanya Mlathi lembut. Anak kecil dengan pakaian kumal itu hanya mengangguk.
"Ini untukmu!" Mlathi tanpa ragu memberikan bungkusan roti yang tadi hendak ia makan. Padahal sedari tadi perut itu terus berbunyi.
"Kakak bagaimana? Bukannya Kakak juga kelaparan?" tanya anak kecil itu. Mlathi hanya tersenyum.
"Bukankah hanya roti, Kakak bisa membeli lagi nanti. Ini untukmu, dimakan yah," ucap Mlathi kembali, hingga akhirnya tangan kecil dan kumal itu perlahan mengambil roti kemudian memakannya dengan lahap.
Mlathi tersenyum, hatinya terenyuh melihat nasib malang bocah kecil ini. Bahkan anak sekecil ini saja sudah mengalami nasib yang sangat buruk, bukankah seorang anak kecil itu dianggap malaikat dan membawa keberuntungan tersendiri? Mengapa Tuhan begitu tega memberi nasib buruk pada bocah yang tidak berdosa ini?
Seketika ia merogohkan tasnya, dan mengambil amplop yang tadi ia terima. Dibukanya dan terlihat hanya ada tiga lembar kertas berwarna merah. Mengingat bulan ini kontraknya belum dibayar, sedang kini ia masih belum mendapatkan pekerjaan. Membuat gadis bernetra hitam itu sedikit ragu. Namun, ketika netranya kembali melihat bagaimana bocah kecil itu makan dengan lahapnya semakin membuat hatinya tersentuh.
***
Senja sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Mlathi dengan mendorong kendaraan satu-satunya itu berjalan menuju rumah kontrakannya yang ia tempati dua tahun lalu. Sejak ia memutuskan untuk mengadu nasib di kota yang ternyata dipenuhi dengan orang-orang yang kejam.
Suara deheman membuat gadis lapuk itu mendongak, ia terkejut ketika melihat seorang wanita paruh baya yang memiliki berat badan mungkin mencapai 60-an kg. Menatap tajam ke arahnya. Wanita itu bernama ibu Ratna, pemilik rumah yang sekarang ia tempati.
Setelah menyenderkan sepedanya di tembok, Mlathi berjalan mendekati Ibu kos sembari memainkan jemarinya. Perasaannya mulai tidak tenang, keributan dan cacian sebentar lagi akan terlontar dari bibir merah dan tebal itu untuk dirinya. Bagaimanapun selama ini ia selalu mendapatkan perlakuan seperti itu, jadi dirinya sudah sedikit kebal dengan perkataan buruk mengenainya.
"S-selamat malam, Bu Ratna. Eh, mari masuk Bu," ucap Mlathi berbasa basi.
"Siapa kau?! Berani-beraninya mengaturku di rumahku sendiri. Jangan mengalihkan pembicaraan, kau pasti tau betul tujuanku kemari. Ayo mana!" tukas Ratna sembari mengulurkan telapak tangannya meminta sesuatu.
Mlathi nyengir. "Uang kontrakan yah, Bu."
Mlathi mengeluarkan amplop kuning itu kemudian dengan ragu memberikannya pada Ratna. Dengan kasar, wanita gemuk itu menyambar amplop kemudian membukanya. Matanya membulat kala melihat uang di dalamnya, kemudian menatap tajam ke arah Mlathi yang kini menunduk takut.
"Apaan ini! Kau sudah nunggak satu bulan. Total semuanya adalah satu juta, dan kertas selembar ini mana cukup buat bayar kontrakan ini!" bentak Ratna penuh emosi sembari memegang uang sebesar seratus ribu yang tadi ia ambil di dalam amplop kuning itu.
Tentu saja, uang tiga ratus yang Mlathi dapatkan dari mantan bosnya itu habis ia berikan ke anak kecil yang kelaparan tadi dan juga untuk membeli nasi bungkus buat ia makan malam ini.
"Ma-maaf, Bu. Saya cuman punya uang segitu. Saya janji, setelah saya bisa mengumpulkan uang yang banyak, saya akan langsung memberikannya pada Ibu. Tolong beri saya waktu lagi yah Bu. Saya mohon!" pinta Mlathi memohon sembari menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan berdoa dalam hati berharap Ibu kosnya itu akan sedikit luluh.
"Mlathi! Jangan coba untuk membuat saya memberi keringanan lagi padamu! Kau fikir, selama kau tinggal di sini, aku tidak mengeluarkan uang sepersen pun. Tagihan listrik itu harus dibayar!" bentak Ratna lagi, mencoba untuk tidak memberi hati lagi pada gadis kumuh itu.
"Baiklah, kalo begitu saya tidak usah memakai listrik lagi. Matikan saja listriknya asal saya masih bisa tinggal di sini. Saya mohon, Bu. Setelah nanti saya mendapatkan uang, saya akan membayar dengan harga yang normal." Mlathi masih berusaha membujuk, tidak apa malam ini dan seterusnya ia tidur dalam kegelapan. Dari pada ia harus tidur di luar.
"Baiklah! Aku beri kau waktu dua minggu lagi. Jika masih belum bisa membayar, kau harus segera angkat kaki dari kontrakan ini!" ucap Ratna tegas sembari melangkah pergi.
"Terima kasih, Terima kasih," sahut Mlathi senang sembari membungkuk hormat.
Mlathi menatap punggung wanita gemuk itu yang mulai hilang di balik pepohonan. Gadis malang itu bernapas gusar, sembari memegang kepalanya yang sedari tadi terasa sakit. Kedua mata itu mulai berkaca-kaca karena masih belum memenuhi janjinya untuk menjadi orang sukses dan membanggakan kedua orang tuanya. Bahkan kini, hidupnya lebih buruk dari pada saat ia masih tinggal di kampung.
Mlathi segera menghapus air matanya yang berhasil jatuh mengenai pipi yang kini mulai agak gelap dan kasar. Selama nyawa masih ada, tidak ada kata menyerah. Mungkin usaha itu masih belum terlalu banyak untuk menggapai sukses.
Bukankah pepatah mengatakan 'Berakit-rakit kehulu, berenang-renang kemudian.'
Mlathi selalu percaya akan pepatah itu, dan tidak lama lagi keberuntungan akan segera berpihak padanya.
***
Ponsel yang masih memiliki tombol, di jaman era globalisasi yang semakin berkembang ini. Tentu ponsel model seperti itu sudah jauh ketinggalan dan sangat sulit ditemukan. Namun, seorang Mlathi masih merawat baik ponsel jadul yang ketinggalan jaman itu. Baginya ponsel itu sudah cukup baik jika masih bisa digunakan untuk menelpon, meski terkadang selalu hinaan yang ia dapat ketika memakai ponsel seperti itu, namun tidak cukup untuk membuat Mlathi mencampakkannya.
Mlathi segera mengangkat ponsel itu ketika ada panggilan masuk yang ternyata dari Karin mantan rekan kerjanya.
"Ya, hallo," sapa Mlathi dalam keadaan setengah sadar.
Kedua mata itu langsung terbuka sempurna ketika mendengar penuturan dari seberang.
"Benarkah!" serunya berbinar kemudian segera duduk.
"Tidak apa, apapun itu asalkan bisa menghasilkan uang. Aku bisa melakukannya," ucapnya dengan nada yang begitu senang.
"Baiklah, besok pagi aku akan pergi ke sana untuk melamar. Terima kasih Karin, kau baik sekali." Setelah mengucapkan selamat malam. Mlathi menutup telepon itu dengan senyum yang terus mengembang.
Setidaknya setelah apa yang terjadi hari ini, semuanya berakhir dengan kabar baik. Berharap setelah ini tidak ada lagi kendala untuk mengumpulkan uang yang banyak.
Nada dering kembali berbunyi dari ponselnya, sebuah pesan dari Karin. Segera mungkin Mlathi membukanya untuk membaca pasan itu yang ternyata berisi sebuah alamat perusahaan yang membuka lowongan kerja.
"Perusahaan Gold Grub." Bibir tipis itu membaca nama perusahaan itu. Dahinya mengerinyit ketika merasa nama perusahaan ini tidak asing di telinganya.
Seketika Mlathi menutup mulutnya menggunakan telapak tangannya ketika ia baru mengingat bahwa perusahaan itu adalah perusahaan yang terkenal, perusahaan yang di dambakan semua orang untuk bisa berkesempatan bekerja di sana. Senyum itu semakin mengembang, jika besok pagi ia bisa masuk dan diterima bekerja ke dalam perusahaan dengan bangunan megah itu, maka hidupnya telah berada dalam keberuntungan.
"Apapun yang terjadi, besok aku harus menggapai keberuntungan itu!"
Matahari kembali datang, kembali melakukan tugasnya tanpa merasa lelah. Di sebuah kamar hotel VVIP, seorang wanita dengan senyum yang terus mengembang sembari memorinya terus bermain memikirkan kejadian tadi malam. Tidak disangka, bos dingin dan super cuek itu ternyata begitu gesit dan ganas di atas ranjang. Bahkan untuk seorang wanita yang sudah biasa melakukan hal seperti itu bisa kewalahan dan merasa puas terhadap gerakan-gerakan yang menggairahkan itu.Jemari lentiknya perlahan bermain di wajah putih nan tegas itu yang masih tertidur di sampingnya, dengan tubuh mungil yang kini telah tertutup selimut tebal."Sayang, mulai kini selamanya kau akan menjadi milikku! Kau tidak akan bisa berbuat seenaknya lagi!" gumam Mirsya tersenyum miring sembari mengalihkan pandangannya ke sebuah kamera tersembunyi.Mirsya terlonjak saat tangan kekar memegang pergelangan tangannya dengan erat, sedikit terasa nyeri hingga terdengar suara ringisan.
Setelah rapi dengan stelan jas biru dongker dengan dasi arsir putih tergantung rapi di bawah kerah kemeja putihnya. Kini, lelaki dengan paras yang memesona melangkah masuk ke sebuah gedung pencakar langit. Di setiap langkah kakinya, semakin membuat lelaki itu berkharisma dan elegan. Semua para pegawai membungkuk hormat ketika lelaki itu melewati mereka."Selamat pagi, Tuan!" sapa Tony yang tidak lain adalah orang terpercaya sekaligus asisten pribadi Eric.Eric hanya menampilkan senyum tipisnya sembari masuk ke dalam lift, diikuti oleh Tony di belakangnya. Setelah masuk, Tony segera menekan tombol 20, tepat dimana ruangan CEO itu berada."Tuan, hari ini. Seorang klien ingin bertemu dengan Anda di lapangan golf," tutur Tony yang hanya dijawab anggukan oleh Eric."Siapkan semua keperluanku." Titah Eric dengan tatapan lurus ke depan tanpa ekspresi."Baik."Di sisi lain, seorang gadis yang kini berstatus sebagai OB s
Eric menghempaskan tubuhnya di atas kursi kekuasaanya sembari mendengus kesal. Tidak disangka hari ini seorang OB bisa membuat moodnya menjadi buruk.'Kau seperti seorang office boy, apakah kau ke sini untuk mengantar kopi para pegawai?'Kalimat gadis OB itu kembali terngiang di telinganya, membuat wajah putih glowing itu terlihat memerah. Rahangnya mengeras sembari kedua tangan itu telah terkepal kuat."Berani sekali gadis dekil itu mengataiku seorang office boy!" gumamnya geram dengan gigi yang telah menggelatuk.Ketukan pintu membuat Eric menoleh kemudian berkata datar. "Masuk!"Seorang lelaki berjas dengan ciri khas tahi lalat kecil di samping dagu, membuat lelaki itu sungguh manis. Tony berjalan menghampiri bosnya dengan dokumen di tangannya."Tuan, Anda yakin ingin membatalkan pertemuan ini. Klien kita kali ini bukan klien biasa," tutur Tony mencoba agar Eric kembali berpikir dengan keputusannya yang tiba-tiba berubah
Mlathi berjalan terburu-buru menuju ruangan si bos dengan secangkir kopi di tangannya. Seketika langkahnya memelan saat kedua maniknya melihat wanita cantik yang tadi juga masuk ke ruangan Eric. Dahinya mengerinyit ketika melihat wanita itu sedikit kesal.'Apakah ia habis bertengkar dengan kekasihnya? Ah bahkan, aku tidak tau namanya siapa?!' pikir Mlathi sembari menggeleng. Ia menampilkan senyum ketika mereka kembali saling bertemu.Wanita dengan lipstik merah merona itu hanya menatap tajam sembari mendengus tidak suka, membuat Mlathi hanya menaikkan kedua bahunya tidak acuh.Mlathi kembali berjalan cepat menuju ruangan si bos. 'Bukankah hanya secangkir kopi, ini tidak terlalu sulit, 'kan. Bahkan tidak butuh waktu lima menit, aku sudah mendapatkannya.' girang Mlathi dalam hati sembari mengetuk pintu ketika telah sampai."Masuk!" Suara berat nan tegas terdengar dari dalam, membuat ia perlahan membuka pintu dan masuk."
Mlathi mendorong sepedanya melewati gang menuju rumahnya. Dengan langkah gontai dan sesekali merenggangkan leher dan pinggangnya karena masih terasa sakit setelah mendapatkan sikap usil dari bos arogannya itu.Mlathi menyenderkan sepedanya pada tembok bercat putih yang telah memudar, kemudian segera mencari anak kunci rumah untuk membuka pintu itu. Setelah terbuka, Mlathi segera berlari ke kamarnya dan merebahkan tubuh kecilnya ke atas kasur."Uh, leganya. Tubuhku berasa retak tak bertulang, bahkan betis kakiku terasa dikuliti dengan kasar," rengek Mlathi sembari memijit betis kakinya dan sesekali memukul betis itu."Lelaki arogan itu benar-benar membuat hidupku semakin sulit, jika bukan karena ia si bos besar, aku pasti telah mencakar wajahnya itu! Aku rasa tidak akan ada wanita yang bisa bertahan lama hidup dengannya. Bahkan jika aku diberi miliyaran uang pun untuk menikahinya, aku tidak akan pernah mau, tidak!" ucap Mlathi sembari menggeleng
Eric benar-benar sudah kehilangan otak untuk berpikir karena pengaruh alkohol yang begitu banyak. Meski Mlathi telah terisak bahkan memohon, namun lelaki yang telah dikuasai dengan nafsu yang bergejolak tidak mengubris hal itu. Eric membuka kancing kemejanya dengan kasar lalu melepaskan dan melempar ke sembarang tempat. Hingga memperlihatkan otot-otot dada yang begitu menggiurkan, namun Mlathi tidak berpikir ke arah situ, yang terus ia pikirkan adalah bagaimana nasibnya setelah melewati malam ini.Mlathi sudah mengerahkan seluruh tenaganya agar bisa lepas dari jeratan lelaki brengsek itu. Namun, tenaga Eric begitu besar hingga ia kewalahan untuk melawan. Sekarang hanya rintihan memohon belas kasih agar lelaki itu melepaskan dirinya."T-tuan tolong lepaskan saya, sadarlah Tuan! Anda sudah melewati batasnya!" teriak Mlathi saat Eric hendak mencumbui bibirnya lagi.Namun, Eric tidak mengubris dan kembali melakukan aksinya, yang ada di otaknya s
Setelah beberapa jam Eric bermain dengan tubuh Mlathi, setelah merasa puas dan lelah. Eric dengan santainya melemparkan tubuhnya ke samping wanita yang terus terisak sembari menahan rasa sakit.Kini kedua mata Mlathi bengkak dan merah karena terus menangis tanpa henti. Dengan tubuh yang sangat lemah, ia berusaha menggapai selimut tebal di ujung kakinya kemudian menutupi seluruh tubuhnya yang kini tanpa sehelai benangpun. Wanita itu memiringkan tubuhnya dari lelaki yang telah merenggut kesuciannya dengan paksa.Tidak tahu lagi sudah ke berapa kali ia menetes air bening itu, hingga kini kedua matanya terasa sakit bahkan untuk memejamkannya saja. Mlathi terus terisak dengan perasaan yang hancur, entah nasib apa yang akan ia dapatkan setelah ini. Jika kedua orang tuanya tahu mengenai kejadian ini, maka hanya kutukan dan caci maki yang akan ia dapatkan dari mereka. Sungguh begitu miris takdir yang diberikan Tuhan padanya.Setelah beberapa menit mena
"Baiklah, jika tidak ada lagi pendapat. Rapat pagi ini kita tutup sampai di sini. Saya akan memberikan keputusan di pertemuan minggu depan!" Suara berat nan tegas itu langsung membuat semua orang yang ada di ruangan itu segera membereskan semua berkas dan menunduk hormat ketika bos besar mereka melangkah pergi yang kemudian disusul oleh asistennya."Woahh, tampan sekali! Mata tajamnya itu benar-benar membuat semua hati para wanita klepek-klepek!" seru seorang karyawan wanita sembari menatap punggung Eric dengan binar kekaguman."Kau benar, bahkan aku hampir tidak fokus saat menatap langsung wajahnya itu, hatiku terus berdetak dengan cepat. Andai dia milikku," sahut wanita lain di sebelahnya dengan helaan kasar."Mustahil! Lelaki berhati dingin seperti bos besar itu sangat sulit disentuh. Bahkan sekretarisnya yang memiliki lekuk tubuh aduhai saja tidak bisa mengalihkan tatapan datar si bos. Aku penasaran, wanita beruntung mana yang akan berhasil me
Mereka bertiga telah terpasang sabuk pengaman di tubuh. Semua kursi telah diisi oleh semua pengunjung. Elvina berada diantara lelaki kecil, dengan ekpresi takut, ia memegang erat sabuk pengaman di sampingnya. Alvin menoleh dan terlihat khawatir. "El, jika kau merasa takut, kita berhenti sekarang. Ok," ujar Alvin. Dengan menarik napas dalam, Elvina menggeleng. "Kita sudah naik, daripada turun lebih baik kita mencobanya." Dua orang pengawas lelaki berkeliling memastikan jika semua peserta wahana itu telah terpasang sabuk dengan aman. "Kalian semua sudah siap. Kita mulai sekarang," teriak lelaki berseragam itu dengan lantang. Semua para peserta wahana serempak berkata siap. Setelah itu, benda panjang itu mulai bergerak ke atas. Perlahan namun pasti dan akhirnya mulai bergerak dengan cepat. Suara teriakan langsung memenuhi sekitaran ketika wahana itu terbang dengan menjungkir-balikkan, seolah merasa tubuh
Mobil BMW seri 2 berwarna hitam itu melintas dengan kecepatan normal di tengah kendaraan lainnya. Tampak dua anak kembar duduk di jok belakang.Bocah laki-laki bersikap santai dengan tangan menyedekap di depan dada, sedang bocah perempuan itu mengedarkan pandangannya ke luar jendela. Melihat ramainya kota Jakarta."Lihat, orang itu hebat sekali dalam memainkannya," ujar Elvina takjub ketika melihat antraksi seorang badut sedang memutarkan beberapa bola tanpa henti.Alvano yang mendengar langsung melihat dengan ekor matanya, ia berdecak dengan senyum miringnya."Ck, apanya yang hebat? Mereka bisa melakukan itu karena telah berlatih keras selama bertahun-tahun. Aku juga bisa jika begitu," sahut Alvano memandang remeh.Elvina yang mendengar menatap jengkel ke arah saudaranya itu. "Kau memang selalu begitu. Hanya bisa mengatakan omong kosong tanpa pembuk
Lima tahun kemudian ....Seorang anak perempuan merangkak dengan hati-hati ke atas kasur. Ia terkekeh pelan melihat saudara kembarnya masih tertidur lelap, ada ide muncul untuk mengusil saudaranya.Gadis kecil itu mengulur tangannya yang memegang sebuah bulu merak lalu menggosoknya ke telinga sang kakak. Hingga membuat bocah lelaki itu mengeliat tidak nyaman. Gadis kecil itu tertawa pelan dan kembali menggosoknya ke lubang hidung sang kakak.Respon sama kembali terulang, bocah lelaki itu mengipas tangannya ke depan hidung untuk menyingkirkan benda yang mengusik tidurnya. Tentu saja hal itu mengundang tawa sang gadis."Aisshh, pergilah. Mengganggu saja," geram bocah lelaki itu yang masih belum membuka mata.Masih belum puas, sang gadis kecil kembali menggosok bulu merak itu ke telinga sang kakak lebih liar. Membuat bocah lelaki itu tidak
Tampak di ruang tamu, Mlathi sedang fokus membenahi dasi di kemeja Eric. Lelaki di depannya terus menatap wajah sang istri dengan tangan melingkar di pinggangnya."Kau sungguh tidak apa-apa jika aku tinggalkan? Apalagi sekarang kelahiranmu sebentar lagi," ucap Eric khawatir seraya tangannya mengelus lembut perut sang istri yang telah membesar."Tidak apa-apa, jangan khawatir. Bukankah ada Grace? Pergilah dan bekerjalah dengan tenang, ok. Apalagi hari ini kau ada rapat penting, kan?" Mlathi berucap dengan nada penuh keyakinan. Ia terus tersenyum untuk menghilangkan kecemasan sang suami.Eric menghela napas pelan, lalu menuntun Mlathi duduk di atas sofa. Ia menekukkan kedua lututnya ke lantai lalu mendekatkan wajahnya ke perut buncit sang istri."Juniorku, jangan nakal yah selagi Papa tidak ada. Jangan membuat Mama kalian merasa kesakitan, ok," ujar Eric menasehati hingga membua
Setelah dua minggu keberangkatan Ara dan Kevin ke Islandia, negara di mana keluarga besarnya berasal. Karena perusahaan yang dipimpin Kevin mengalami kendala saat itu dan membutuhkannya. Jadi, ia terpaksa untuk pulang lebih awal setelah tiga hari pernikahan mereka. Cahaya matahari menyerbu masuk melewati tirai putih transparan itu, hingga membuat sang wanita yang sedang terlelap tidur di pelukan suaminya mengerjap. Ia langsung mengangkat tangannya untuk melindungi wajahnya dari paparan cahaya. Wanita itu menoleh, menatap lebih lekat wajah sang suami yang masih terlelap. Wajah tegas itu begitu teduh saat tidur. Membuat si wanita melekukkan bibirnya. "Good morning, Suamiku," bisik Mlathi tepat di dekat telinga sang suami lalu mengecup pipinya. Spontan membuat lelaki yang masih memejamkan mata itu tersenyum, lalu mengeratkan pelukannya. "Kenapa kau sangat suka memandangi wajahku saat baru bangun, hm?" tanya Eric yang belum mem
"Wah, Kak, kau benar-benar cantik," puji Mlathi dengan tatapannya tak berkedip lurus ke pantulan cermin.Tubuh Ara yang ramping telah dibaluti dengan gaun putih menjuntai hingga menyapu lantai. Gaun yang dirancang oleh desainer ternama tampak begitu elegan, kecantikan Ara semakin bersinar dengan bantuan sedikit make up. Senyum yang sudah lama hilang itu tidak menyurut saat tatapannya menelusuri penampilannya hari ini."Aku yakin, setelah Kakak ipar melihatmu. Ia pasti sudah tidak bisa menahan diri lagi," lanjut Mlathi seraya geleng-geleng kepala. Membuat Ara semakin bersemu merah karena malu.Ara berbalik menghadap Mlathi sepenuhnya, ia memegang tangan wanita itu. "Mlathi, setelah orang tua kami bercerai, akulah sumber kekuatan Eric saat ia begitu rapuh. Saat ia menyerah akan kehidupannya. Tapi, setelah aku sakit, ia pasti begitu menderita dan frustasi. Aku bahkan tidak sanggup membayangkannya saat tida
Waktu terus berputar tanpa lelah, musim terus berganti hingga kini musim semi telah tiba. Kota Jakarta yang terkenal akan kemacetan lalu lintas akibat banyaknya manusia yang beraktivitas setiap harinya. Terus bergerak mengikuti roda waktu. Hingga ... satu bulan telah berlalu. Hari Minggu, tepat pada tanggal 3 Oktober 2021. Tanggal merah yang dimanfaatkan kebanyakan orang untuk bersantai atau sekedar jalan-jalan santai untuk menghilangkan penat setelah bekerja begitu keras beberapa hari. Sesosok lelaki tegap menatap lurus ke cakrawala yang terbentang di depannya, dengan sesekali menyeruput kopi latte kesukaannya. Ia terus menarik napas sedalam-dalamnya lalu mengembuskannya perlahan. Menikmati udara sejuk pagi hari itu. Kepalanya menoleh ketika seseorang memelukmya dari belakang. Kemudian ia memegang tangan yang ada di pinggangnya. "Kau sudah bangun?" tanyanya. Terasa anggukan kepala dari belakang sebagai jawaban.
"Apa kau ingin mengatakan jika lelaki itu tidak bersalah? Maksudmu, ia bukanlah penyebab Kakakku kehilangan semangatnya, hah. Itu yang ingin kau katakan?" Eric mulai melepaskan tangannya dari tubuh Mlathi, ia menatap tidak percaya jika Mlathi lebih membela lelaki brengsek itu. "Bukan, bukan itu maksudku Eric. Ku mohon, dengarkan dulu penjelasanku," ucap Mlathi yang berusaha menghilangkan kesalahpahaman Eric. "Penjelasan apa lagi yang ingin kau katakan. Hah?" Eric bangkit lalu berjalan menuju jendela di ruangan itu, hatinya masih diselimuti rasa dendam sehingga lelaki itu sama sekali tidak ingin mendengarkan hal baik tentang lelaki brengsek yang telah menghancurkan hidup kakaknya. Tatapan Mlathi teralih ke arah kedua tangan Eric yang masih mengepal di sisi tubuhnya. Ia mengembus napas berat, agaknya ia sedikit sulit untuk membuka sisi gelap Eric. Tidak peduli apapun itu alasannya, Mlathi harus mengembalikan kebahagiaan kepad
Karena ponsel Mlathi tidak bisa dihubungi, Eric langsung pergi ke rumah sakit untuk memastikan alasan istrinya itu menemui Kakaknya. Langkah tegapnya terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan sedikit cepat. Entah kenapa ia merasa jiwanya terpanggil dan ingin segera sampai ke sana. Saat tangannya terangkat hendak menyentuh knop pintu, suara lelaki dari dalam membuat Eric memaku di tempat. Ia mengintip dari sela pintu yang terbuka sedikit. Eric tidak bisa mengenali siapa lelaki itu karena posisinya yang membelakanginya. Terlihat juga Mlathi yang berdiri tidak jauh dari mereka. Kedua alis Eric menyatu. "Kenapa Mlathi membiarkan pria itu mendekati Kakak? Apa ia mengenalinya?" gumam Eric. "Ara, Sayang. Ini bukanlah bayangan. Ini aku, Kevin kekasihmu." Kedua mata Eric seketika membulat ketika mendengar kalimat itu. Tanpa dicegah amarahnya langsung memuncak dengan kedua rahangnya telah mengeras. Jadi, lelaki di dalam adalah kekasih