-Beberapa hari kemudian...- . . “Kamu akan kembali ke Perancis hari ini?” “Iya bu, urusan Niki disini sudah selesai.” Amelian tampak sedih mendengar perkataan Niki tersebut. “Apa kamu nggak bisa disini lebih lama? Ibu masih kangen… ,” ucap Amelian setengah memohon. “Aku inginnya begitu tapi aku tetap harus kembali. Nicho juga mulai sering menanyakan ku, sepertinya aku terlalu lama jauh darinya.” “Seharusnya kamu bawa dia juga kesini.” “Aku tidak bisa melakukan itu, bu.” “Ibu mengerti kok, tadi itu hanya bercanda,” ucap Amelian memaksa tersenyum. “Niki akan datang lagi saat pernikahan David nanti," ucap Niki mencoba menghibur. Suasana menjadi hening, ekspresi Amelian berubah tidak nyaman setelah mendengar kalimat tersebut. Niki merasa heran saat melihat wajah wanita paruh baya itu. “Ibu kenapa?” tanya Niki memastikan. “Ibu sebenarnya tidak setuju dengan pernikahan David,” ucap Amelian jujur dengan ekspresi sendu. “Kenapa begitu? Bukannya ibu sudah merestui?” Wanita paru
Erin terdiam di meja kerjanya dengan tatapan kosong. Ia merasa telah mengusahakan banyak hal untuk mengalihkan pikiran dan rasa sakit yang masih belum hilang itu, tapi semua seolah percuma. Gadis itu merasa tidak adil karena orang yang menyakitinya terlihat baik-baik saja. Padahal ia berusaha banyak, tapi sampai saat ini ia tidak tahu cara mengobati luka hatinya. ‘Kenapa orang mudah sekali meminta move on? Kenapa mereka nggak memberitahu ku caranya?’ keluh Erin dalam hati. Matanya terpejam selama beberapa waktu. Entah kenapa ia merasa semakin tidak tenang karena mendekati hari pernikahannya walaupun semuanya sudah diperiksa dan disiapkan. Hatinya terasa penuh luka tapi disaat yang sama terasa kosong. /Tok..tok…/ Suara ketukan pintu itu membuyarkan lamunan Erin. “Ya? masuk…” Milley masuk dengan ekspresi datar seperti biasa. “Pak David datang ingin menemui, nona.” “Oh aku lupa memberitahu, kalau ada mas David datang langsung persilakan masuk aja.” “Baik.” Milley keluar lalu ta
Erin terbangun setelah hampir 4 jam tertidur. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Sakit kepalanya sudah hilang dan sekarang ia merasa lebih segar. ‘Sepertinya aku kurang istirahat dan terlalu banyak pikiran,’ gumam Erin dalam hati. Gadis bermata coklat itu menyentuh dahinya. Ia mengangkat sapu tangan berwarna hitam tersebut. “Mas David pakai ini untuk mengompres?” Tatapan mata gadis itu beralih ke baju yang dipakainya. Ia mengernyitkan keningnya tapi tidak mengatakan apa pun. Klek… “Oh, kamu udah bangun?” Gadis itu menatap ke arah ayahnya dengan ekspresi bingung. “Papa baru pulang?” “Iya, ada beberapa hal yang harus papa periksa langsung. Gimana keadaan mu?” “Erin udah sehat kok, maaf papa kerjanya jadi semakin banyak.” Harsano mengelus kepala putrinya. “Kamu jangan memaksakan diri kalau sedang sakit. Kita kan udah sepakat buat jaga kesehatan masing-masing… .” Erin terdiam, ia memang sudah berjanji untuk menjaga kesehatan dan langsung periksa begitu merasa sakit yang tid
Usai selesai kelas pada sore hari, Erin langsung pergi untuk menemui David seperti yang sudah ia janjikan semalam. Gadis itu tiba 10 menit lebih awal sebelum David datang dengan ekspresi lelah. “Maaf aku datang terlambat… .” Erin menatap wajah David sekilas lalu ia mengalihkan pandangannya ke es kopi dan potongan brownies yang sudah ia pesan lebih dulu. “Nggak apa-apa, MG.Id akhir-akhir ini memang sangat sibuk karena terpilih jadi tempat produksi sepatu J&L kan?” “Ya, berkat mu… .” “Nggak kok, mereka tetap nggak akan milih MG.Id kalau kualitas produknya nggak sesuai harapan,” ucap Erin yang kemudian menyesap es kopi miliknya. David tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke buku menu. Ia memesan snack ringan yang tidak terlalu mengenyangkan dan juga lemon tea untuk menyegarkan dahaganya. “Jadi apa yang mau mas David bicarakan? Sepertinya sangat rahasia karena mas David memilih tempat yang nggak ramai begini,” tanya Erin setelah semua pesanan pria itu berada di meja. Setelah me
David segera menjemput Erin begitu gadis itu mengatakan sedang tidak enak badan. “Kamu mau ke rumah sakit?” Erin mengggeleng pelan. “Apa mas David bisa membawa ku ke tempat yang jauh?” Pria bermata coklat itu mengernyitkan keningnya. Ia bisa menebak ada sesuatu yang terjadi kepada Erin saat di kampus tadi. “Ada tempat yang ingin kamu datangi?” “Aku ingin ke pantai… .” “Kita ke rumah sakit sebentar untuk memastikan kondisi mu, setelah itu baru kita ke pantai, aku akan izin ke papa nanti.” ucap David menyarankan. “Tapi jangan bilang papa kalau aku sedang sakit,” ucap Erin pelan. Ia tidak membantah saran David untuk ke rumah sakit karena teringat sang ayah. David mengangguk meski sebenarnya tidak setuju dengan permintaan Erin. Ia berpendapat Harsano harus mengetahui kondisi putrinya, tapi di saat yang sama pria itu tidak ingin Erin kesal jika permintaannya tidak dituruti. Mobil hitam itu menuju rumah sakit yang biasa didatangi Erin. Gadis itu memang beberapa kali pernah ke rumah
“Aku denger tadi kamu nyamperin Erin ya?” Gadis berambut panjang itu menoleh ke arah sumber suara. “Wah? Kabarnya cepet banget nyebarnya… .” “Ada apa?” “Kata orang-orang apa?” Emmy bertanya balik dengan ekspresi datar. Nathan menghela nafas panjang. “Minta izin buat macarin mantannya, ngajak ribut, semacam itu… .” Emmy tertawa lalu geleng-geleng kepala. “Apaan sih orang-orang.” “Jadi kenapa kamu nyamperin dia?” “Hmmm, apa aku perlu ngasih tau kak Nathan?” Pria bermata hitam itu menatap Emmy yang tersenyum ke arahnya. Ia tidak mengatakan apa pun lalu duduk di tempat biasa. Melihat Nathan yang terdiam dengan ekspresi kesal membuat Emmy merasa bersalah. “Maaf, maaf. Aku cuma negur Erin dikit karena dia agak keterlaluan ke aku.. .” Pandangan mata Nathan yang semula fokus ke ponselnya beralih ke Emmy lagi. “Keterlaluan ke kamu? Dia bukannya nggak kenal kamu secara langsung?” “Dia nyuruh orang buat nyari tau soal aku.” “Erin begitu?” Emmy memandang pria di seberangnya dengan ek
“Maaf kak Nathan kalau ganggu, aku bingung mau hubungin siapa,” ucap Jessie ragu. “Ada apa?” “Kak Nathan tau Erin dimana nggak? Aku coba hubungin dia, tapi nomornya nggak aktif. Dia tadi pucat banget soalnya dan bilang ke toilet tapi habis itu nggak balik dan nggak aktif nomornya.” Jessie mengucapkan semua kalimat itu dalam satu tarikan nafas karena sedang cemas. Ekspresi Nathan langsung berubah tapi ia mencoba tetap tenang. “Ehmm, setau ku Erin sedang bersama mas David… .” “Oh gitu? Syukurlah, tapi dia nggak kenapa-kenapa kan?” “Aku kurang tau… Emangnya Erin tadi kenapa?” Jessie terdiam selama beberapa waktu. Ia ragu untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. “Ehmm, kak Nathan udah dengar soal Emmy yang nyamperin Erin?” ‘Ah jadi emang karena itu ya?’ gumam Nathan dalam hati sambil memijat pelan kepalanya. “Ya, aku dengar, tapi nggak tau banyak tentang itu.” “Aku juga kurang tau sih kak apa yang mereka omongin, tapi waktu Erin balik setelah ngobrol sama Emmy, dia kelihata
Hari demi hari berlalu tanpa menunggu siapa pun siap dengan perubahan atau sesuatu yang terjadi pada waktu yang akan datang. Nathan semakin sering mengurung diri mendekati hari pernikahan David dan Erin yang tinggal menghitung hari. Meski mengatakan hanya memikirkan kebahagiaan Erin, sebenarnya dalam hati ia tidak rela terhadap pernikahan tersebut. Rasa sakit melihat seseorang yang dicintai bersama orang lain dan tertawa membuat Nathan semakin mengerti besarnya kesalahan yang sudah ia lakukan. Penyesalannya semakin membesar seiring waktu dan hatinya mulai semakin melemah. Semuanya sudah terlambat, meski ia sungguh-sungguh berubah dan memperbaiki diri, hati yang telah ia hancurkan tidak akan kembali seperti semula. Apalagi setelah David memperingatkan dirinya agar tidak terlalu sering muncul di hadapan Erin. Kondisi pikiran Nathan menjadi semakin memburuk. /Tok…tok…/ Nathan melangkah malas lalu membuka pintu kamarnya. “Ada apa bu?” Amelian memperhatikan putra bungsunya yang se
Suasana menjadi hening usai David membenarkan apa yang ditanyakan Erin. Pria tersebut tidak mengatakan hal lain dan membiarkan istrinya memahami pengakuannya. Erin tampak terkejut dengan apa yang didengarnya meski sudah mendengar hal tersebut dari Niki terlebih dahulu. Ia memandang ke arah cincin di jari kanannya dengan ekspresi cemas sekaligus lega. ‘Jadi, sebenarnya aku dan mas David saling menyukai?’ “Itu hanya akan membuat mu semakin bingung saat mengambil keputusan kan?” tanya Davis setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama. Pandangan mata Erin beralih ke arah David. “Nggak… bukan begitu, aku hanya sedang berpikir.” “Jangan mempertimbangkan tentang ini, jangan pikirkan aku, kita bisa lakukan sesuai rencana.” “Nggak, tunggu dulu,” balas Erin dengan ekspresi cemas. Perempuan tersebut sejak tadi berusaha menyusun kalimat yang ingin dikatakan. Namun otaknya kali ini terasa sulit berfungsi sebagaimana mestinya. “Erin, dengar, aku mengatakan itu bukan untuk membuat mu bingung,
Semua asumsi dan pikiran buruk memenuhi kepalanya. David menghela nafas panjang lagi lalu memijat dahinya pelan. Ia berusaha tidak memikirkan semua itu lebih dulu. Setelah membereskan barang-barang milik Erin, pria tersebut langsung pergi berbelanja bahan masakan dan membeli buah-buahan kesukaan istrinya. Meski ia dalam keadaan tidak tenang, pria tersebut tetap memasak karena ingin menyambut kepulangan istrinya dengan hangat. Erin terbangun menjelang sore hari ketika Harsano sudah pulang ke rumah. Semua makanan yang dimasak David sudah tersedia lengkap di meja makan. “Sepertinya aku tidur sangat lama? Kenapa papa atau mas David nggak membangunkan ku?” “Perjalanan dari Italia kan sangat jauh, tentu saja kamu harus cukup istirahat,” balas Harsano dengan senyum yang dipaksakan. ‘Kenapa papa ekspresinya begitu?’ “Ayo makan,” ucap Harsano memperbaiki ekspresinya. Makan malam yang diselenggarakan lebih awal tersebut berlangsung cukup hangat. Namun Erin merasa ada yang lain dari eksp
Ekspresi Elisa masih tampak tetap teduh. Namun ada sedikit rasa cemas yang terpancar dari sorot matanya. “Lalu apa yang kamu inginkan?” “Aku hanya nggak mau membohongi semua orang lebih lama lagi, nek.” Wanita tua di sebelah Erin tersebut tersenyum. “Kali ini nenek tidak akan memaksakan satu hal, nenek akan mendukung apa pun keputusan mu.” “Aku akan coba berpikir lagi.” “Kamu bisa membicarakan itu dengannya, katakan secara jujur lalu ambil keputusan setelah kamu tidak lagi bimbang.” Elisa bangkit dari tempat duduknya lalu mengusap kepala Erin sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar tersebut. Erin menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan ekspresi sendu. Semua perasaan yang muncul membuat ia semakin bingung. ‘Walau mendengar semuanya, kenapa aku tetap terus teringat kalau mas David membantu ku karena merasa berhutang budi?’ Ia bukannya tidak bisa melihat ketulusan Dav
“Ini tentang David kan?” tanya Elisa lagi. Pupil mata Erin membesar setelah mendengar ucapan sang nenek. Namun ia tidak mengiyakan secara langsung tebakan Elisa. “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, kali ini nenek tidak akan sembarangan berkomentar,” ucap Elisa meyakinkan. Tatapan mata tua itu tampak teduh, tapi tetap tidak berhasil meyakinkan Erin untuk bercerita lebih dulu. Erin sudah terlanjur menganggap sang nenek membenci David. Baginya menceritakan tentang pria tersebut hanya akan membawa hal yang lebih buruk. Elisa masih menunggu dengan tenang selama selama beberapa waktu. Namun Erin tetap diam dengan ekspresi ragu. “David beberapa kali menghubungi nenek untuk menanyakan keadaan mu...,” ucap Elisa setelah cukup lama terdiam di tempatnya. “Mas David menghubungi nenek?” “Ya.” “Kenapa? Mas David kan bisa bertanya langsung ke Erin…” “Kamu menghindarinya, jadi dia bertanya langsung ke nenek.” Pandangan mata Erin beralih ke arah lain dengan ekspreii gelisah. ‘Jadi mas D
Niki menatap Erin dalam waktu lama. Ia beberapa kali menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya pelan. “Sudahlah, itu bukan urusan ku juga. Semoga semua rencana mu berjalan lancar.” Wanita bermata hazel itu bermaksud melangkah pergi, tapi Erin menahan pergelangan tangannya. “Tunggu, jelaskan dulu.” “Untuk apa?” Erin melepaskan genggaman tangannya. “Tolong jelaskan dulu, paling nggak, aku bisa tau hal yang sebenarnya.” “Apa David nggak mengatakannya padamu?” Perempuan di seberang Niki itu menggenggam tangannya sendiri sambil berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. “Sepertinya udah, tapi ku pikir itu hanya ucapan asal untuk menenangkan ku.” “Asal? Apa kamu nggak bisa membedakan bagaimana raut wajah seseorang saat mengatakan hal yang sesungguhnya?!” Intonasi suaranya meninggi. Niki tidak bisa menahan emosinya karena menghadapi Erin yang memilih buta akan semua hal di sekelilingnya. “Aku nggak mau salah paham…,” balas Erin beralasan. Ada jeda yang cukup panjang sebelum
Waktu berlalu cepat, tidak terasa Erin sudah berada di Italia selama hampir 4 bulan lamanya. Musim dingin kali ini datang lebih cepat dari tahun sebelumnya. Salju putih menyelimuti banyak kota sejak awal bulan. Erin tetap menjalani hari demi hari dengan baik. Belajar tentang bisnis, ikut memberi solusi pada masalah-masalah yang sedang terjadi pada perusahaan yang dikelola tante dan neneknya. Meski Erin sering teringat David, ia tetap melakukan semua kegiatannya dengan sempurna. Ia berusaha mengatur otaknya agar membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Bertambahnya usia dan pertemuannya dengan berbagai orang dengan latar belakang berbeda juga membuat ia banyak belajar tentang kehidupan. Perempuan itu menyadari banyak hal. Semua yang sudah dilakukannya dan balas dendamnya yang tidak membawa manfaat apa pun pada akhirnya akan melukai banyak orang, termasuk dirinya sendiri. “Kamu beneran mau berangkat sendiri? Tidak perlu nenek temani?”
David langsung mengunjungi rumah orang tuanya setelah pulang kerja. Namun hanya ada Nicho karena saat itu Niki belum kembali.“Halo paman,” sapa Nicho sambil tersenyum begitu melihat David sampai di rumah tersebut.“Paman?”“Ya, mama sudah memberitahu ku dan melarang ku memanggil paman dengan sebutan daddy lagi…”Amelian menatap bocah kecil tersebut dengan ekspresi bingung. Ia juga cukup terkejut saat Nicho memanggil David dengan sebutan paman.Wanita tua itu memilih menyimpan rasa penasarannya lalu melangkah menuju dapur untuk meyiapkan makan malam.“Hmm begitu? Jadi Nicho tidak mau memanggil daddy lagi?” tanya David yang kemudian duduk di sebelah bocah tersebut.Bocah kecil itu menatap David dalam waktu lama lalu tersenyum. “Nicho tidak ingin merepotkan paman lebih banyak lagi.”Jawaban tersebut tidak menjawab pertanyaan David. Namun pria berkumis tipis itu tahu betul bahwa itu adalah keputusan yang sudah disepakati oleh Niki dan Nicho.Meski ada rasa tidak nyaman yang muncul dalam
Erin mematung di tempatnya saat mendengar pertanyaan David dari seberang telepon. Ia tidak menyangka akan ditanya tentang hal itu. ‘Kenapa mas David bertanya itu? Apa nenek mengatakan sesuatu? Tentu nggak, aku sudah memintanya untuk berpura-pura nggak tau…’ “Erin?” tanya David memastikan sambungan teleponnya tidak terputus. “Ya… aku masih disini…” “Jadi nenek mu tahu tentang itu?” tanya David lagi. “Nggak… kenapa mas David mikir begitu?” Hening, David yang tidak langsung menjawab semakin membuat Erin merasa cemas. ‘Apa mas David tau sesuatu?’ “Kamu udah janji mau jawab jujur…,” ucap David setelah terdiam cukup lama. “Aku sudah menjawab jujur, mas…” “Erin… kita udah sepakat untuk mengakhiri semua dengan cara baik, aku juga butuh mengetahui keadaan sebenarnya…” Perempuan bermata coklat itu menggenggam erat ponselnya. Matanya terpejam sedangkan ekspresinya tampak semakin cemas. “Kita bicarakan itu nanti ya? Aku sudah harus pergi ke kantor sebentar lagi…” /klik…/ Erin langsu
Penampilan Nathan terlihat berbeda dari biasanya. Itu pertama kalinya Emmy melihat Nathan memakai jas. Jas hitam tersebut membuat penampilan Nathan tampak lebih dewasa. Penataan rambutnya sekarang juga membuat pria itu terlihat semakin tampan. Kalau David memiliki tampilan pria matang yang menantang, Nathan justru terlihat sebagai pria muda segar yang tenang. “Emmy?” Perempuan berambut pendek itu langsung menggelengkan kepalanya pelan saat menyadari sudah terlalu lama menatap Nathan. “Ah maaf, aku sedang melamun…” “Tumben?” “Biasalah… ngomong-ngomong penampilan kak Nathan sekarang terlihat beda, aku sampai nggak mengenali…” “Aku nggak mau terus-terusan dibilang ngikutin penampilan mas David…” Emmy mengernyitkan keningnya. Tanpa sadar ia mulai membandingkan penampilan David dengan Nathan sebelumnya. Perempuan itu beberapa kali memang pernah melihat tampilan Nathan yang serupa dengan kakaknya. Namun ia tidak menilai buruk karena berpikir Nathan melakukan itu karena mengidolaka