Beberapa hari telah berlalu sejak hari pernikahan Erin dan David. Nathan juga sudah kembali dari rumah sakit sejak kemarin. Suasana rumah yang menjadi semakin sepi sejak David tinggal bersama Erin membuat Nathan merasa ditinggalkan jauh. Tatapan mata Nathan beralih ke buah yang ada di meja. ‘Erin suka buah pir… .’ “Kamu sukan pir kan Nathan? Tadi teman ibu nitip ini buat kamu setelah dengar kamu keluar dari rumah sakit,” ucap Amelian sambil tersenyum. “Sampaikan terimakasih Nathan untuk teman ibu.” Nathan melanjutkan makannya tanpa bicara lagi. Ia sebenarnya lebih menyukai apel tapi karena Erin menyukai buah pir, ia pun ikut menyukai buah tersebut. “Mau ibu potongkan buahnya?” “Boleh, tapi nanti Nathan makan di kamar aja sekalian buat camilan waktu belajar.” “Kamu ini masih tahap pemulihan kenapa tetap belajar? Gunakan waktu mu untuk istirahat, ini juga kan masih libur semester,” ucap Amelian dengan ekspresi khawatir. “Biarkan saja bu, Nathan kan sedang menggunakan waktunya d
“Daddy!”Suara seorang bocah kecil terdengar riang dari seberang telepon.“Siapa?” tanya David yang melihat Erin terdiam dengan ponsel di telinga.Erin menatap David selama beberapa detik tanpa menjawab pertanyaan pria itu lalu ia segera mencari earbuds kemudian memberikannya kepada suaminya.David segera memakai earbuds tersebut tanpa bertanya lagi sedangkan Erin mengalihkan pandangannya ke arah pinggir jalan.Jalanan masih terlihat ramai oleh berbagai penjual jajanan dengan gerobak. Suasana tersebut justru berbanding terbalik saat siang hari.“Daddy?” ucap bocah itu mengulangi panggilannya karena tidak mendapat jawaban.“Oh Nicho? Hello sayang.”“Daddy aku merindukan mu, kenapa daddy tidak menelepon ku sekian lama?”“Maaf Nicho sayang, banyak pekerjaan yang harus daddy lakukan.”“Sangat banyak, huh? Okay Nicho mengerti, sekarang nyalakan kamera, Nicho ingin melihat daddy.”“Hmm, apa daddy boleh berbicara dengan mom sebentar?”“Okay. Mom, daddy ingin berbicara.”“Hello David,” sapa N
“Mas David… .” David menoleh ke arah sumber suara. “Ada apa?” Nathan mendekat lalu duduk di seberang David. Tatapan matanya tampak ragu, gerak tubuhnya tampak tidak tenang. “Aku nggak sengaja dengar, Erin mau makan malam disini?” “Ya, rencananya akhir pekan ini jika ibu nggak keberatan, dia akan datang bersama ayahnya,” ucap David menekankan. “Apa aku perlu pergi saat hari itu?” tanya Nathan tanpa memandang ke arah lawan bicaranya. “Memangnya kenapa?” “Mas David dulu pernah bilang supaya aku nggak terlalu sering muncul di hadapan Erin, aku udah melakukan itu… Jadi kalau memang perlu, aku nggak akan ikut makan bersama.” Suasana menjadi hening selama beberapa waktu karena David tidak langsung menjawab ucapan adiknya. Pria bermata coklat itu mengamati Nathan yang masih tertunduk menunggu jawaban. “Karena ini makan malam bersama, tentu saja kamu harus ikut.” Nathan langsung memandang David dengan ekspresi senang. “Beneran?” “Ya,” balas David yang kemudian langsung mengalihkan
Jam digital di atas meja sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi Erin masih terjaga di beranda usai pulang dari makan malam bersama keluarga David. Pandangan matanya menatap ke arah langit tanpa bulan dan bintang. Ia merasakan hal aneh setelah melakukan semua hal yang direncanakannya. Ada perasaan senang dan juga sedih di saat yang sama. ‘Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?’ “Apa kamu nggak bisa menahan diri sedikit di depan ayah dan ibu ku?” Erin menoleh lalu mendapati suaminya sudah berdiri sambil mengenakan jaket. “Memangnya apa yang ku lakukan?” “Kamu masih bertanya?” “Aku hanya menolak satu buah karena sedang ingin makan buah lainnya,” balas Erin membela diri. “Kamu melakukan itu dengan sengaja untuk melihat reaksi Nathan kan?" Tatapan mata Erin beralih ke arah lain, ia menghela nafas panjang tanpa menjawab. “Aku nggak keberatan kamu melakukan itu jika tidak ada ayah dan ibu, aku hanya nggak mau mereka melihat kamu sengaja melakukan itu,” ucap David lagi. Ekspresi David
“Erin…” Perempuan yang merasa dipanggil namanya itu menoleh. Ia tampak kaget tapi segera mengendalikan ekspresinya. “Mas David sudah selesai urusannya?” Erin segera bangkit lalu mendekat ke arah David dan memeluknya. Pria tampan berkumis tipis itu segera memahami maksud Erin. “Maaf kalau aku membuat mu menunggu lama.” Tatapan mata David beralih ke arah Daniel yang juga melihat ke arahnya. Namun kedua pria tersebut tidak mengatakan apa-apa. “Ayo pulang,” ucap Erin pelan. Perempuan bermata coklat itu mengalihkan pandangannya ke arah Daniel. “Kak Dani, aku pulang dulu.” Daniel tersenyum. “Ya, hati-hati di jalan, mas David juga…” David menatap Daniel dengan ekspresi datar kemudian mengangguk. Ia menitipkan kunci mobilnya kepada Alen yang baru saja muncul lalu segera berbalik saat Erin menarik lengannya untuk segera pergi dari tempat itu. Selama perjalanan pulang, pasangan tersebut terdiam dalam waktu lama dengan pikirannya masing-masing. Erin hanya memandangi jalanan yang mulai
“Penawaran apa?” David terdiam sejenak memandangi kopi di gelasnya lalu kembali melihat ke arah Daniel yang tampak serius menunggu jawaban darinya. “Saya tidak keberatan jika kamu mendekati Erin.” Suasana menjadi hening sejenak setelah David mengucapkan kalimat itu. Daniel memandang ke arah pria di seberangnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ada kemarahan yang bercampur dengan rasa senang. Pikirannya mencoba menebak apa yang telah terjadi sehingga David mengatakan penawaran seperti itu kepadanya. “Apa Erin mengatakan sesuatu kepada anda?” “Tidak, dia tidak mengatakan apa pun, tapi saya bisa melihat dia lebih nyaman berbicara banyak hal kepada mu.” ‘Melihat? kapan?’ tanya Daniel dalam hati dengan ekspresi bingung. Daniel membenarkan posisi duduknya. “Saya masih tidak mengerti dengan maksud anda, apa Erin mengetahui ini?” “Saya baru akan memberitahunya jika kamu menerima ini beserta syarat yang ada.” Pria muda itu menghela nafas panjang. “Boleh saya tau lebih dulu alasa
Pada pergantian tahun, hujan turun dengan deras saat sore hari lalu berhenti menjelang malam. Meski begitu, banyak orang tetap antusias menyambut tahun baru. Hubungan Erin dan David masih terlihat mesra di depan banyak orang, tapi sebenarnya keduanya saling menjaga jarak dan hanya bicara seperlunya saat sedang berdua setelah pembicaraan waktu itu. Perempuan bermata coklat itu merasa kecewa dengan tindakan David yang membuat kesepakatan lain dengan Daniel. “Aku akan pulang pagi,” ucap Erin sambil merapikan jaketnya. “Perlu ku jemput setelah acaranya selesai?” “Nggak, cukup antar saja, mungkin aku akan diantar pulang Livi atau Jessie.” David mengangguk dan tidak bertanya lagi. Ia mengambil kunci mobilnya begitu melihat Erin sudah siap. Erin akan menghabiskan pergantian tahunnya dengan teman-teman jurusan. Acara bakar-bakar tersebut memang menjadi rutinitas yang selalu diselenggarakan oleh beberapa kelompok orang dari berbagai jurusan. Selama perjalanan menuju tempat acara, Erin
‘Kenapa Daniel menatapnya dengan ekspresi seperti itu?’ Nathan terdiam di tempatnya dengan raut wajah bingung. Ia hanya mengamati tanpa berani mendekati kedua orang tersebut. Pembicaraan di antara Erin dan Daniel memang tidak didengar oleh Nathan. Namun ia paham betul arti dari tatapan dan ekspresi tersebut. Firasatnya mengatakan ada yang aneh, tapi ia tidak ingin asal berasumsi tentang apa yang baru saja dilihatnya. Pria bermata hitam itu berusaha lebih mendekat lagi dengan hati-hati. “Apa aku boleh meminta sesuatu?” “Tergantung apa yang kak Dani minta.” “Sekali aja, apa kamu bisa luangin waktu untuk ku? Setelah itu aku nggak akan berusaha lagi.” ‘Luangin waktu? Berusaha lagi?’ tanya Nathan dalam hati. Percakapan dua orang tersebut mulai terdengar samar karena suasana yang semakin ramai. Nathan berusaha mendekat lagi tapi Erin tiba-tiba menoleh. “Ada apa?” Ekspresi Erin berubah. “Nggak, kayaknya kita pergi terlalu lama, nanti Jessie dan Livi malah nunggu.” “Aku hampir lup
Suasana menjadi hening usai David membenarkan apa yang ditanyakan Erin. Pria tersebut tidak mengatakan hal lain dan membiarkan istrinya memahami pengakuannya. Erin tampak terkejut dengan apa yang didengarnya meski sudah mendengar hal tersebut dari Niki terlebih dahulu. Ia memandang ke arah cincin di jari kanannya dengan ekspresi cemas sekaligus lega. ‘Jadi, sebenarnya aku dan mas David saling menyukai?’ “Itu hanya akan membuat mu semakin bingung saat mengambil keputusan kan?” tanya Davis setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama. Pandangan mata Erin beralih ke arah David. “Nggak… bukan begitu, aku hanya sedang berpikir.” “Jangan mempertimbangkan tentang ini, jangan pikirkan aku, kita bisa lakukan sesuai rencana.” “Nggak, tunggu dulu,” balas Erin dengan ekspresi cemas. Perempuan tersebut sejak tadi berusaha menyusun kalimat yang ingin dikatakan. Namun otaknya kali ini terasa sulit berfungsi sebagaimana mestinya. “Erin, dengar, aku mengatakan itu bukan untuk membuat mu bingung,
Semua asumsi dan pikiran buruk memenuhi kepalanya. David menghela nafas panjang lagi lalu memijat dahinya pelan. Ia berusaha tidak memikirkan semua itu lebih dulu. Setelah membereskan barang-barang milik Erin, pria tersebut langsung pergi berbelanja bahan masakan dan membeli buah-buahan kesukaan istrinya. Meski ia dalam keadaan tidak tenang, pria tersebut tetap memasak karena ingin menyambut kepulangan istrinya dengan hangat. Erin terbangun menjelang sore hari ketika Harsano sudah pulang ke rumah. Semua makanan yang dimasak David sudah tersedia lengkap di meja makan. “Sepertinya aku tidur sangat lama? Kenapa papa atau mas David nggak membangunkan ku?” “Perjalanan dari Italia kan sangat jauh, tentu saja kamu harus cukup istirahat,” balas Harsano dengan senyum yang dipaksakan. ‘Kenapa papa ekspresinya begitu?’ “Ayo makan,” ucap Harsano memperbaiki ekspresinya. Makan malam yang diselenggarakan lebih awal tersebut berlangsung cukup hangat. Namun Erin merasa ada yang lain dari eksp
Ekspresi Elisa masih tampak tetap teduh. Namun ada sedikit rasa cemas yang terpancar dari sorot matanya. “Lalu apa yang kamu inginkan?” “Aku hanya nggak mau membohongi semua orang lebih lama lagi, nek.” Wanita tua di sebelah Erin tersebut tersenyum. “Kali ini nenek tidak akan memaksakan satu hal, nenek akan mendukung apa pun keputusan mu.” “Aku akan coba berpikir lagi.” “Kamu bisa membicarakan itu dengannya, katakan secara jujur lalu ambil keputusan setelah kamu tidak lagi bimbang.” Elisa bangkit dari tempat duduknya lalu mengusap kepala Erin sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar tersebut. Erin menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan ekspresi sendu. Semua perasaan yang muncul membuat ia semakin bingung. ‘Walau mendengar semuanya, kenapa aku tetap terus teringat kalau mas David membantu ku karena merasa berhutang budi?’ Ia bukannya tidak bisa melihat ketulusan Dav
“Ini tentang David kan?” tanya Elisa lagi. Pupil mata Erin membesar setelah mendengar ucapan sang nenek. Namun ia tidak mengiyakan secara langsung tebakan Elisa. “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, kali ini nenek tidak akan sembarangan berkomentar,” ucap Elisa meyakinkan. Tatapan mata tua itu tampak teduh, tapi tetap tidak berhasil meyakinkan Erin untuk bercerita lebih dulu. Erin sudah terlanjur menganggap sang nenek membenci David. Baginya menceritakan tentang pria tersebut hanya akan membawa hal yang lebih buruk. Elisa masih menunggu dengan tenang selama selama beberapa waktu. Namun Erin tetap diam dengan ekspresi ragu. “David beberapa kali menghubungi nenek untuk menanyakan keadaan mu...,” ucap Elisa setelah cukup lama terdiam di tempatnya. “Mas David menghubungi nenek?” “Ya.” “Kenapa? Mas David kan bisa bertanya langsung ke Erin…” “Kamu menghindarinya, jadi dia bertanya langsung ke nenek.” Pandangan mata Erin beralih ke arah lain dengan ekspreii gelisah. ‘Jadi mas D
Niki menatap Erin dalam waktu lama. Ia beberapa kali menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya pelan. “Sudahlah, itu bukan urusan ku juga. Semoga semua rencana mu berjalan lancar.” Wanita bermata hazel itu bermaksud melangkah pergi, tapi Erin menahan pergelangan tangannya. “Tunggu, jelaskan dulu.” “Untuk apa?” Erin melepaskan genggaman tangannya. “Tolong jelaskan dulu, paling nggak, aku bisa tau hal yang sebenarnya.” “Apa David nggak mengatakannya padamu?” Perempuan di seberang Niki itu menggenggam tangannya sendiri sambil berusaha mempertahankan ekspresi datarnya. “Sepertinya udah, tapi ku pikir itu hanya ucapan asal untuk menenangkan ku.” “Asal? Apa kamu nggak bisa membedakan bagaimana raut wajah seseorang saat mengatakan hal yang sesungguhnya?!” Intonasi suaranya meninggi. Niki tidak bisa menahan emosinya karena menghadapi Erin yang memilih buta akan semua hal di sekelilingnya. “Aku nggak mau salah paham…,” balas Erin beralasan. Ada jeda yang cukup panjang sebelum
Waktu berlalu cepat, tidak terasa Erin sudah berada di Italia selama hampir 4 bulan lamanya. Musim dingin kali ini datang lebih cepat dari tahun sebelumnya. Salju putih menyelimuti banyak kota sejak awal bulan. Erin tetap menjalani hari demi hari dengan baik. Belajar tentang bisnis, ikut memberi solusi pada masalah-masalah yang sedang terjadi pada perusahaan yang dikelola tante dan neneknya. Meski Erin sering teringat David, ia tetap melakukan semua kegiatannya dengan sempurna. Ia berusaha mengatur otaknya agar membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Bertambahnya usia dan pertemuannya dengan berbagai orang dengan latar belakang berbeda juga membuat ia banyak belajar tentang kehidupan. Perempuan itu menyadari banyak hal. Semua yang sudah dilakukannya dan balas dendamnya yang tidak membawa manfaat apa pun pada akhirnya akan melukai banyak orang, termasuk dirinya sendiri. “Kamu beneran mau berangkat sendiri? Tidak perlu nenek temani?”
David langsung mengunjungi rumah orang tuanya setelah pulang kerja. Namun hanya ada Nicho karena saat itu Niki belum kembali.“Halo paman,” sapa Nicho sambil tersenyum begitu melihat David sampai di rumah tersebut.“Paman?”“Ya, mama sudah memberitahu ku dan melarang ku memanggil paman dengan sebutan daddy lagi…”Amelian menatap bocah kecil tersebut dengan ekspresi bingung. Ia juga cukup terkejut saat Nicho memanggil David dengan sebutan paman.Wanita tua itu memilih menyimpan rasa penasarannya lalu melangkah menuju dapur untuk meyiapkan makan malam.“Hmm begitu? Jadi Nicho tidak mau memanggil daddy lagi?” tanya David yang kemudian duduk di sebelah bocah tersebut.Bocah kecil itu menatap David dalam waktu lama lalu tersenyum. “Nicho tidak ingin merepotkan paman lebih banyak lagi.”Jawaban tersebut tidak menjawab pertanyaan David. Namun pria berkumis tipis itu tahu betul bahwa itu adalah keputusan yang sudah disepakati oleh Niki dan Nicho.Meski ada rasa tidak nyaman yang muncul dalam
Erin mematung di tempatnya saat mendengar pertanyaan David dari seberang telepon. Ia tidak menyangka akan ditanya tentang hal itu. ‘Kenapa mas David bertanya itu? Apa nenek mengatakan sesuatu? Tentu nggak, aku sudah memintanya untuk berpura-pura nggak tau…’ “Erin?” tanya David memastikan sambungan teleponnya tidak terputus. “Ya… aku masih disini…” “Jadi nenek mu tahu tentang itu?” tanya David lagi. “Nggak… kenapa mas David mikir begitu?” Hening, David yang tidak langsung menjawab semakin membuat Erin merasa cemas. ‘Apa mas David tau sesuatu?’ “Kamu udah janji mau jawab jujur…,” ucap David setelah terdiam cukup lama. “Aku sudah menjawab jujur, mas…” “Erin… kita udah sepakat untuk mengakhiri semua dengan cara baik, aku juga butuh mengetahui keadaan sebenarnya…” Perempuan bermata coklat itu menggenggam erat ponselnya. Matanya terpejam sedangkan ekspresinya tampak semakin cemas. “Kita bicarakan itu nanti ya? Aku sudah harus pergi ke kantor sebentar lagi…” /klik…/ Erin langsu
Penampilan Nathan terlihat berbeda dari biasanya. Itu pertama kalinya Emmy melihat Nathan memakai jas. Jas hitam tersebut membuat penampilan Nathan tampak lebih dewasa. Penataan rambutnya sekarang juga membuat pria itu terlihat semakin tampan. Kalau David memiliki tampilan pria matang yang menantang, Nathan justru terlihat sebagai pria muda segar yang tenang. “Emmy?” Perempuan berambut pendek itu langsung menggelengkan kepalanya pelan saat menyadari sudah terlalu lama menatap Nathan. “Ah maaf, aku sedang melamun…” “Tumben?” “Biasalah… ngomong-ngomong penampilan kak Nathan sekarang terlihat beda, aku sampai nggak mengenali…” “Aku nggak mau terus-terusan dibilang ngikutin penampilan mas David…” Emmy mengernyitkan keningnya. Tanpa sadar ia mulai membandingkan penampilan David dengan Nathan sebelumnya. Perempuan itu beberapa kali memang pernah melihat tampilan Nathan yang serupa dengan kakaknya. Namun ia tidak menilai buruk karena berpikir Nathan melakukan itu karena mengidolaka