Share

8

Author: FitriSoh
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Pov Rasya

 

Aku terperanjat bangun saat terdengar gedoran keras berulang-ulang ditingkahi teriakan si nenek heboh. Aku menatap jam dinding. Pukul 6. Perasaan baru saja lelap, sudah pagi saja. 

 

"Le! Cepat bangun, Le!" Tok tok tok! Brak! Brak! Braak!

 

Suara itu kembali menggaung memecah pagi. Kasihan tetangga jadi terganggu gara-gara ulah perempuan itu yang sudah bikin masalah saja. 

 

"Oalah, Le, Le, dibangunin kok gak bangun-bangun gimana, too!"

 

Siapa yang tidak bangun kalau bunyinya berisik begitu? Heran, pagi-pagi sudah menyatromi tempat tinggal anaknya saja. Walau bunyinya begitu berisik dan sangat mengganggu, tetap saja aku bergelung selimut tebal berusaha menebalkan telinga. Acuhkan saja, nanti juga capek sendiri dan pulang ke rumahnya. 

 

Brak! Brak! Brak! "Le! Ini ibumu, durhaka kamu, Le!"

 

Aku mendesah sebal. Tetangga-tetangga juga tahu kalau dia ibuku apalagi aku, sudah hafal benar suara cemprengnya itu. Heboh. Ibu super menyebalkan. Sangat sangat menyebalkan. Sudah berulangkali aku mengatakan tak ingin menikah dengan si Bocah manja itu, tetap saja memaksa. Semalam, Ibu sebentar-sebentar terus menghubungi mengingatkan kalau aku harus ke rumah si bocah manja itu mengajaknya ngedate. Gila. Aku sama dia? Aku benar-benar tak habis pikir Bapak bisa punya ide untuk menikahkan kami. Seolah tak ada perempuan lain saja. 

 

Entahlah. Sejak pertama kali Rofi mengajak Bocah itu ke rumah, aku langsung tak menyukainya karena sifatnya yang manja. Ditinggal Rofi ke pasar sebentar bocah itu sudah panik bukan main, seolah aku yang menemaninya saat itu bakal menggigitnya. Kunasihati Rofi agar mengakhiri hubungan dengannya, tapi adikku itu mengatakan kalau Bocah itu cinta pertamanya. Dua tahun baru bisa menaklukkannya. Aiish. Gombal banget seperti di drama.

 

"Le, bapakmu ngunyah garam kalau tidak dibuka juga!"

 

Itu suara Bapak. Aku menyentak napas kesal. Pakai main ancam segala.

 

Karena suara Ibu dan Bapak yang terus sambung-menyambung semakin heboh, akhirnya aku beranjak menuju ruang tamu, mengintip dari lubang kunci. Tampak Ibu dan Bapak yang tengah membawa bungkus garam dapur ukuran sedang. Tobat. Tobaat. Kenapa aku bisa memiliki orang tua yang selalu kompak dan suka mengancam? Untung, sayang, kalau tidak, sudah kutinggal minggat keluar kota dua orang tua keras kepala itu.

 

"Le, cepet to, buka! Bapakmu sudah mau makan garam ini, lho!" kata Ibu sambil terus mengetuk pintu. Kusentak napas sebal lalu memutar kunci. Ibu langsung mendelik saat pintu mengayun membuka. Bapak menyentak tubuhnya ke sofa.

 

"Dari tadi dibangunin juga." Ibu menatapku kesal. Aku sudah biasa dengan sikapnya yang seperti ini.

 

"Mana Adnan, Bu?" Tanyaku sambil mengenyakkan diri di sofa yang langsung disambut pelototan Ibu. 

 

"Kamu ini bagaimana, to! Siapa yang nyuruh duduk? Cepat siap-siap!" Ibu menyentak napas. "Adnan masih tidur. Tenang ada Mbak Iin. Ayo cepetan!" Ibu terlihat tak sabar. Ia menatap jam dinding dan melotot galak.

 

"Bu, lebih baik pikir-pikir dulu perjodohan ini. Ibu kan tahu bocah itu seperti apa. Ibu tidak bosan apa punya mantu dia lagi?" Aku mencoba menghasut pikiran Ibu yang biasanya mudah sekali terpengaruh. 

 

"Dia manja dan kekanak-kanakkan. Ibu juga bilang begitu dulu." Aku mengingatkan ucapan Ibu saat pertama Rofi membawa bocah itu ke rumah. 

 

Dulu, Ibu begitu keberatan anak kesayangannya menikahi bocah manja. Tapi tak bisa berbuat banyak karena Rofi sakit sampai seminggu. Obatnya ya itu, nikah sama si Bocah itu. Heran. Apa sih istimewanya? Sudah manja, kekanak-kanakan, tidak bisa apa-apa lagi. Pernah Ibu menyuruhnya menggorengkan ikan karena Mbak Iin pulang kampung, yang ada, itu makanan jadi seperti arang. Aku menikah sama dia? Aku bergidik ngeri.

 

Tangan Ibu yang mengibas di udara mengagetkanku. "Ibu sudah terlanjur sayang sama si Pus. Makanya, kamu harus nikahin dia sebelum keduluan orang lain. Ayo cepat, kok malah duduk terus, to Le, Le!"

 

Memang benar-benar jelmaan nenek lampir mungkin ibuku ini. 

 

"Ayo cepat!" Ibu menarik tanganku menuju kamar mandi. Sebentar-sebentar menggedor pintu menyuruh cepat keluar.

 

"Pakai baju itu!" Ibu menunjuk baju yang terbungkus plastik transparan begitu aku keluar dari kamar mandi. Aku membukanya dan menggelengkan kepala, lalu menghela napas dalam mencoba sabar. Aku memakai baju ini?

 

Astagaa. Aku bukan anak ABG lagi. Umurku 32 tahun 25 Juli nanti.

 

"Nah, sudah." Ibu mengusap-usap rambutku. "Ganteng kamu. Buat Pus klepek-klepek sama kamu, ya?"

 

Aku mendenmgus sebal. "Malas!"

 

Ibu langsung melotot. Ia berjalan keluar saat kuisyaratkan mau memakai jins.

 

"Ayo, Le, cepat!" Teriak Ibu saat aku keluar dari pintu dan menguncinya. Tangannya keluar dari jendela mobil dan melambai-lambai. Sesekali, Ibu tersenyum lebar pada tetangga yang melintas.

 

"Ibu kenapa kok naik?" Aku menatap Ibu lalu ganti menatap Bapak yang bersikap cuek. Bungkus garam dia pegang erat. Ampun, deh, orang tua seperti ini. Tobat. Tobaat.

 

"Ibu mau ikut sampai Tanggerang, kangen ibu sama Qila."

 

"No no no! Tidak bisa ibu harus turun di sini!"

 

"Ibu kan kangen sama Qila."

 

"Ibuu." Aku menatapnya dengan jengkel. Ibu mengerucutkan bibirnya. Ibu mendekatkan kepala ke arah Bapak lantas berbisik. "Nanti kita naik ojek aja Pak E seperti kemarin. Lebih cepat juga."

 

"Aku dengar, Bu. Cepat keluar!"

 

Ibu kembali mengerucutkan bibir. Bapak tersenyum mengejek. Kalau campur bersama mereka berdua, nih, kesabaranku lagi-lagi berada diujung tanduk. Rasanya aku mau meledak-ledak saja pengen marah. Tapi Ibu tak seberapa jika dibandingkan dengan bocah itu. Bahkan hanya dengan melihat tingkahnya saja aku sudah muak. Lalu aku mau ngedate sama dia?

 

"Ya, wes, ibu keluar. Jangan lupa belikan makanan untuk calon mertuamu." Pesan Ibu sebelum turun.

 

Aku menjambak rambut frustrasi. Lalu mengemudi kencang. Lebih cepat sampai dan ngedate bareng si bocah itu lebih baik. Aku akan lebih cepat pulang juga. Kata Ibu, yang terpenting, mereka diberi bukti foto kalau aku memang benar-benar pergi dengan si Bocah itu.

 

Kutepikan mobil lalu melangkah mendekati penjual martabak manis dan susu kedelai. Sambil menunggu, aku duduk di kursi menatap ke sana-kemari. Seperti biasa, pasar Kam selalu ramai oleh perempuan-perempuan yang kebanyakan mengenakan daster tengah membeli sayuran. Sejajar denganku berdiri, tampak seorang cowok tanggung sedang menjajakan pakaian. Suaranya begitu heboh menyemarakkan pagi. Tampak ibu-ibu mengerubungi, memilah-milah sambil menawar.

 

"Mas, bunganya sekalian," kata seorang bapak yang duduk tak jauh dariku. Dihadapannya, tampak beragam bunga segar warna-warni. Ekspresi bapak itu yang begitu berharap membuatku tak tega. Kubayangkan kalau seandainya dia adalah Bapak. Aku meraih satu buket lalu mengulurkan selembar seratus ribu.

 

Kurogoh saku celana saat HP yang bergetar membuatku geli. "Ya, Bu," kataku sambil mengangkatnya.

 

"Kok kamu masih di dekat sini to, Le."

 

Lupa lagi mematikan GPS. Langsung kumatikan telepon dan menonaktifkannya. Dengan begini, tak akan diganggu Ibu. Yaelah, seperti Adnan saja pakai diawasi.

 

Begitu pesanan selesai dibuatkan, aku segera naik dan mengemudikannya kencang. Sesekali, tatapanku turun ke bawah memperhatikan bunga warna-warni. Buat apa juga ini bunga? Aku mendesah saat ingat ucapan Rofi kalau istrinya sangat menyukai bunga warna-warni. Hampir tiap hari, adikku itu membeli bunga untuk Bocah itu. 

 

Aku bergidik saat tiba-tiba teringat ucapan Ibu si bocah itu. Katanya, aku dan Rofi masih satu produk. Seolah aku bakal mau 'tidur' dengnnya saja 

 

Bahkan hanya dengan membayangkannya saja, aku sudah merinding sendiri. Dua kali melihatnya manja-manjaan di ruang tamu rumah Ibu membuatku merinding.

 

Akhirnya, aku sampai ditujuan. Baru saja turun, tiba-tiba seseorang menarik kerah bajuku, membuatku tersentak dan langsung membalikkan badan. Ternyata, si preman Bocah itu.

 

"Awas lo kalau sampai buat adek gue nangis!"

 

Aku hanya mendengkus. Lalu berjalan menuju rumah saat ibu Bocah itu melambai di depan pintu dengan wajah terlihat riang gembira. Aku dipersilakan duduk, sementara dia langsung berlari menaiki tangga.

 

"Pita! Pitaaa!" Panggilnya. Rempong banget, mirip Ibu. Selalu klop saat mereka bertemu.

 

Sampai  jenuh aku menunggu si Bocah itu muncul. Langsung kuulurkan bunga saat ia masuk ke dalam mobil, menatap keluar dengan wajah tak nyaman. 

 

"Dari ibu."

 

Cukup lama, mobil yang kukendarai hanya berputar-putar. Kemana seharusnya membawa si Bocah ini pergi? Sempat terbersit mengajaknya ke kebun raya Bogor lalu meninggalkannya. Dia itu tak hafal jalan.

 

"Mas kita mau ke mana?" Ia menoleh padaku. 

 

"Berisik. Nanti juga tahu!" Padahal, aku juga bingung mau mengajaknya ke mana. Saat melihat warung bakso, aku langsung menepikan mobil dan turun meninggalkannya.

 

Hanya beberapa menit menunggu pesanan sudah dibuatkan. Aku segera memakan bakso dengan cepat sementara si Bocah di sampingku hanya menyendoki kuahnya saja.

 

Yaelah. Apa enaknya sih makan kuahnya saja? Bakso yang dipotongnya menjadi beberapa bagian ia biarkan begitu saja. Kalau makannya lelet begitu, kapan selesainya? Hari semakin sore dan aku sudah janji mau ketemu sama klien. Aku menatap si Bocah, matanya tampak berkaca-kaca. Tiba-tiba, teringat olehku ia sering makan di teras rumahnya suap-suapan dengan Rofi. Pasti, dia sedang teringat suaminya.

 

Akhirnya kutusukkan sendok garpu ke potongan bakso miliknya kemudian mengarahkan ke mulutnya. 

 

"Apaa?!" kataku tak sabar. Bukannya cepat dimakan malah menatapku terpana.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Babams Tokh
kenapa bab selanjutnya gk bisa dbuka??
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   9

    Dari tadi, mobil hanya berputar-putar. Sebenarnya dia mau mengajak ke mana, sih? Aku meliriknya yang tampak begitu kesal. Lalu menatap ke luar jendela, jalanan sepi. Ini di mana, lagi. Aku sama sekali tak mengenali daerah ini. Sepertinya ini bukan lagi di Tanggerang. Apa jangan-jangan, yang kutakutkan benar Mas Rasya mau membuangku?"Mas kita mau ke mana?" Dengan dada berdebar, aku menoleh padanya."Berisik. Nanti juga tahu!" Sahutnya jutek yang membuat jantungku bertalu kencang. Jangan-jangan, benar, aku mau dibuang.Kuraih HP untuk memastikan GPS aktif. Lalu mengetik pesan pada Mas Hanif.(Mas ngikutin aku, kan?)(Dalam pantauan.)Balasnya.(Sama Mas Fadil apa gak?) Send(Gak. Mbak Rika minta dianterin belanja.)(Oke.)Balasku. Syukurlah kalau Mas Hanif mengikutiku. Aku menoleh ke belakang. Mobil Mas

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   10

    POV RasyaDasar bocah!Aku menatap sebal pada bunga warna-warni di bawah jok. Dibelikan, bukannya berterima kasih malah ditinggal begitu saja. Aku memungutnya hendak membuang keluar tapi seketika mengurungkan niat saat teringat wajah Ibu yang selalu berseri tiap Bapak membawakannya bunga. Masih segar juga, lebih baik berikan Ibu daripada mubazir. Hitung-hitung, menyenangkan hati orang tua."Buat ibu!" kataku saat menemukannya tengah menonton televisi. Ibu langsung meraih bunga yang kuulurkan dan tersenyum kecil. "Tumben baik," katanya sambil menciumnya lalu meletakkannya di meja.Aku duduk di sampingnya sambil menggelengkan kepala. Memang, buat kebutuhan dia sehari-hari, untuk beli baju, arisan, bayar listrik, uang dari mana coba kalau bukan dari anaknya ini? Ibu memang suka menghilang-hilangkan sesuatu yang sebenarnya besar. Padahal, itu adalah wujud perhatian anaknya ini meskipun dia bawelnya tak k

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   11

    "Sana cepat turun," kata Mas Hanif sambil dengan isyarat matanya memintaku turun.Sebenarnya, malas pagi-pagi harus ke rumah Ibu. Semalam, Ibu terus menghubungi Mama mengingatkan kalau aku harus ke Jakarta mencari gaun bersama Mas Rasya, sekalian membawa Qila karena katanya ia kangen. Aku sudah bilang gaun terserah Ibu saja, tapi Ibu tetap saja ngotot menyuruh datang.Maka, di sinilah aku sekarang, di depan rumah Ibu. Di seberang jalan, perempuan tua itu melambai dengan wajah riang."Mas Hanif, jangan lupa awasi aku, yaa."'Siaap, Putri."Aku melotot. "Awas lho, kalau gak," kataku sambil turun lantas melangkah menuju mobil mertua yang pintunya telah dibuka lebar. Ibu langsung mengulurkan tangan ke arah Qila yang tengah menyusu dalam dot begitu aku duduk di sebelahnya."Nanti kalau susu yang itu habis, susu cadangan ada di tas ini ya, Bu." Aku menyerahkan taspink

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   12

    POV RasyaCk. Ck. Ck. Dasar bocah! Aku bersikap masa bodoh melihat matanya yang berkaca-kaca saat Dewa merebut tas tangannya. Buat apa juga tolongin dia, yang ada, teman-teman malah jadi mengejekku nantinya.Sohib-sohibku tahu benar, sejak dulu, temannya ini tak menyukai perempuan manja itu. Tak jarang, aku mengeluh pada mereka kenapa ada orang model Puspita yang begitu manja. Beberapa kali, aku melihat Puspita suap-suapan dengan Rofi di rumah Ibu sambil menggelendot di lengan mediang adikku. Malu, kan, kalau ada tamu? Aku saja yang melihatnya sampai ilfil. Yaa bedalah kalau di kamar, kan?Langsung kusentak napas kesal saat bertemu tatap dengan Bocah itu, wajahnya begitu memohon. Ck ck ck. Jadi orang, kok, tidak ada pintar-pintarnya. Tepis, kek, tangannya Dewa. Bukannya terus diam menatap kakak iparnya dengan pandangan memelas. Entah kelewat bodoh atau apa tuh, Bocah. Tangan bu

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   13

    Aku menatap ke sana-kemari dengan jantung berdetak kencang. Sesekali mengusap mata yang tak henti meneteskan air bening. Aku tak mengenali jalan ini. Mobil melaju pelan masuk ke dalam kompleks, terlihat rumah-rumah berderet dengan pepohonan rimbun."Mas, kita mau ke mana?" Aku kembali memperhatikan jalanan yang sepi dengan dada bergemuruh. Ini di mana? Aku sama sekali tak tahu daerah ini.Mobil keluar dari kompleks, aku menghela napas panjang."Sebentar lagi sampai Blok M."Perasaan takut kembali menerjang benakku. Kuusap cepat air mata di pipi sambil lagi-lagi menatap jalanan. Sepi."Mas mau ngapain ngajak aku ke Blok M? Mas bilang, mau anterin aku pulang, kan?!" Tanyaku tak dapat menyembunyikan perasaan panik. Mas Dewa mengerlingkan mata dengan senyum menggoda."Ke hotel," katanya singkat, membuat dada

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   14

    POV RasyaAsem! Orang-orang itu apa tidak ada kerjaan selain senyum-senyum sambil sesekali mencuri pandang ke sini?! Ck ck ck. Seolah mereka tak pernah melihat lelaki belanja saja. Ish. Benar-benar menyebalkan. Tatapanku kembali terpacak pada celana dalam di hadapanku, bagian tengah ada pintanya dengan renda mengelilingi bagian bawah membentuk segitiga. Ini muat tidak kira-kira buat bocah itu?Aku menghela napas, Ibu ada-ada saja menyuruh anak lelakinya belanja beginian.Akhirnya, kukeluarkan HP lalu menekan nomer Ibu. Tak menunggu lama, panggilan segera diangkat."Hati-hati, Pus. Kalau ada apa-apa di jalan, telepon emasmu. Atau bisa telepon Ibu."Hening."Ya, Le, ada apa?""Berapa ukurannya?" tanyaku tanpa basa-basi sambil melotot galak pada dua perempuan yang be

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   15

    Aku duduk di samping Mas Rasya dengan jantung berdetak kencang. Ini adalah hari pernikahan kami. Mama yang duduk di dekatku, berkali-kali mengusap wajahku yang berkeringat dingin dengan tisu.Sungguh. Rasanya tegang bukan main. Juga amat gugup. Di seberangku, Qila dalam pangkuan Mas Hanif terus berceloteh riang. Adnan di sebelah Bapak tak henti mengangkat HP ke udara, menciptakan cahaya keperakan yang terus melesat ke arah kami. Entah ke mana Mbak Ratih yang selalu tampak tak menyukaiku itu. Aku tak pernah melihatnya satu Minggu terakhir ini."Saksi?""Saaah."Perasaan sedih yang sejak tadi mendekam di benak tak dapat lagi kubendung, akhirnya meluap dalam butiran air mata. Dadaku sesak bagai ditindih berton-ton benda berat. Aku terisak lirih. Mas Rasya mencondongkan tubuh mendekat lalu mencium keningku sekilas. Tentu, ini hanya formalitas karena semua orang ter

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   16

    POV Rasya."Kenapa sih, kamu?! Ish."Aku memicingkan mata. Tanpa menjawab, ia menarik selimut hingga menutupi tubuhnya.Kuhela napas dalam saat menyadari arti ucapannya tadi. Sedang datang bulan, katanya? Aku mengerutkan kening. Ish. Seolah aku bakal menggarapnya saja. Jangankan melakukan itu dengannya, hanya tidur seperti ini saja sudah membuatku tak nyaman. Kalau bukan karena dia perempuan, tentu sudah kusuruh tidur di sofa. Ibu juga, bisa-bisanya iseng mengunci pintu kamar tamu.Aku mendesah kuat, kembali menatap layar HP saat terdengar notif beruntun.Ting!Ting!Ting!Kulirik Bocah di sampingku lalu membuka grup WA yang hanya terdiri dari aku, Dewa, Rendi dan Asep.

Latest chapter

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   21

    Ditolak oleh suami sendiri padahal aku hanya minta dipeluk karena semalam memang menggigil kedinginan, rasanya amat menyakitkan. Seolah silet tajam tengah menyayat-nyayat jantungku hingga menjadi kepingan kecil. Sakiit, sekali. Aku hanya minta peluk, hanya, itu pun karena memang benar-benar membutuhkannya. Biasanya saat sakit, Mas Rofi akan memelukku sepanjang malam, kami sama-sama polos tanpa sehelai benang pun. Itu cara efektif agar suhu tubuh kembali turun. Jadi, apa salahnya aku minta dipeluk Mas Rasya? Hanya minta peluk. Ya Allah. Benar-benar tak menyangka ia bisa begitu tega.Aku menghela napas, lalu membuangnya perlahan, berharap dengan begitu rasa menyesakkan di dada segera lenyap. “Buka pintunya, aku mau ganti baju.”Aku mengusap sudut mata, sikapnya semalam begitu menyakitkan sampai aku ingin terus menangis. Kuembuskan napas pelan. “Sabar, Mas, aku sedang pompa ASI.” Padahal sebenarnya, aku tengah membuka google sambil sebentar-sebentar mengusap sudut mata yang basah.Cara

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   20

    Pov RasyaEmbusan angin dingin membuatku terjaga. Kuhela napas sambil bangkit duduk. Dasar Bocah. Bisa-bisanya ke pantai tak menyiapkan keperluannya sama sekali. Bisa-bisanya mengandalkan Ibu. Jadi orang, tak ada pintar-pintarnya. Kubuka tas lalu mengeluarkan kaus, memakainya cepat. Saat akan kembali rebah, kulihat bahunya bergetar. Aku menyipitkan mata. Nangis lagi nih, jangan-jangan. Tobat, tobaat. Apa yang membuatnya sampai menangis begitu?“Kamu kenapa, sih?!”Tak ada sahutan.“Kenapa menangis lagi?!”Tak ada sahutan.“Pus!”Tetap hening. Hanya terdengar samar debur ombak. Akhirnya kusentuh bahunya lalu membalikkan badannya, ternyata dia terlelap. Wajah juga bibirnya tampak begitu pucat. Tanganku bergerak ke arah keningnya. Sangat panas. Tampak tubuhnya menggigil. Aku menghela napas saat teringat tadi dia hanya makan beberapa tusuk sate. Mungkin masuk angin.“Pus, bangun.” Kuguncang tubuhnya pelan.“Pus, bangun.”Dia membuka matanya sedikit. “Mas, peluk aku. Aku kedinginan.”Apa

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   19

    Mas Rasya yang akhirnya turun tangan, membunuh ikan sekaligus memasaknya, kemudian kami makan bersama. Namun, makan siang itu tak berlangsung lama. Aku memilih segera enyah darinya yang tak henti menatap penuh ejekan. Selain itu, ia memaksa agar aku membuka mulut menerima suapan darinya, membuatku jadi terkenang Mas Rofi. Aku menghela napas dengan tangan bergerak cepat mengusap air mata. Teringat sikap Mas Rasya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, membuatku lagi-lagi ingin menangis. Dasar Mas Rasya menyebalkan! Memperlakukanku seperti anak kecil hanya karena istrinya ini masih suka menangis. Ya siapa juga yang tak menangis jika memiliki suami sepertinya? Dengan Mas Rofi, aku jarang menangis. Teringat perbuatannya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, aku mendengkus sebal.Kuembuskan napas kuat lalu merebah di samping Qila, berbaring miring dengan tangan menyangga kepala, menatap bayiku yang terlelap tanpa beban. Damai rasanya, saat di dekat Qila. Tanganku terangk

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   18

    Pov RasyaIsh. Ck. Ck. Dasar bocah. Melihatnya terus menunduk seperti itu membuatku jadi geli ingin tertawa tapi terus menahannya. Ntar bisa-bisa, dia nangis kalau aku sampai tertawa di depannya.“Enak?” tanyaku, pada akhirnya tersenyum geli melihat ekspresinya yang lucu.Tahu apa yang dia lakukan tadi? Bukannya segera mematikan ikan lalu memotonginya buat dimasak, dia malah terus bengong menatap ikan di depannya. Seolah dengan begitu, ikan tahu-tahu sudah matang saja. Pada akhirnya, aku juga yang harus turun tangan. Hais. Mimpi apa, aku, harus menggantikan posisi Rofi? Bocah ini beda banget dengan Ndari yang pintar masak. Kuah tidak cingeng.“Emmp, enak, Mas,” ucapnya dengan wajah terlihat malu. Ya lagian, siapa juga yang menyuruh bohong? Pakai mengaku-ngaku masakanku sebagai masakannya, lagi. Aku tahu benar seperti apa dirinya. Tidak b

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   17

    Aku memicingkan sebelah mata, silau oleh cahaya lampu. Perlahan, kurentangkan tangan dan kaki, mengernyit saat merasakan kakiku tak dapat bergerak bebas. Aku menoleh dan tersentak kaget mendapati diri berada di lengan Mas Rasya sementara satu tangan Mas Rasya melingkari tubuhku.Dengan jantung berdegup kencang dan dada berdebar tak keruan, kuraih tangan Mas Rasya lalu menyingkirkannya dari tubuh. Dengan gerakan perlahan, aku bangkit dan berdiri, sontak membelalak saat tatapan terpacak ke jarum jam. Pukul 06.05. Sebaiknya, lekas salat subuh.Tak menunggu waktu lama, aku segera mengguyur tubuh asal basah dan mengambil wudu, lalu membuka lemari Mas Rasya yang sebagian telah diisi oleh baju-bajuku. Siapa lagi yang menata ini semua jika bukan Ibu? Di mana mukenanya, ya?Aku terlonjak dan refleks menoleh saat tiba-tiba bahuku ditepuk pelan dari belakang.&ldquo

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   16

    POV Rasya."Kenapa sih, kamu?! Ish."Aku memicingkan mata. Tanpa menjawab, ia menarik selimut hingga menutupi tubuhnya.Kuhela napas dalam saat menyadari arti ucapannya tadi. Sedang datang bulan, katanya? Aku mengerutkan kening. Ish. Seolah aku bakal menggarapnya saja. Jangankan melakukan itu dengannya, hanya tidur seperti ini saja sudah membuatku tak nyaman. Kalau bukan karena dia perempuan, tentu sudah kusuruh tidur di sofa. Ibu juga, bisa-bisanya iseng mengunci pintu kamar tamu.Aku mendesah kuat, kembali menatap layar HP saat terdengar notif beruntun.Ting!Ting!Ting!Kulirik Bocah di sampingku lalu membuka grup WA yang hanya terdiri dari aku, Dewa, Rendi dan Asep.

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   15

    Aku duduk di samping Mas Rasya dengan jantung berdetak kencang. Ini adalah hari pernikahan kami. Mama yang duduk di dekatku, berkali-kali mengusap wajahku yang berkeringat dingin dengan tisu.Sungguh. Rasanya tegang bukan main. Juga amat gugup. Di seberangku, Qila dalam pangkuan Mas Hanif terus berceloteh riang. Adnan di sebelah Bapak tak henti mengangkat HP ke udara, menciptakan cahaya keperakan yang terus melesat ke arah kami. Entah ke mana Mbak Ratih yang selalu tampak tak menyukaiku itu. Aku tak pernah melihatnya satu Minggu terakhir ini."Saksi?""Saaah."Perasaan sedih yang sejak tadi mendekam di benak tak dapat lagi kubendung, akhirnya meluap dalam butiran air mata. Dadaku sesak bagai ditindih berton-ton benda berat. Aku terisak lirih. Mas Rasya mencondongkan tubuh mendekat lalu mencium keningku sekilas. Tentu, ini hanya formalitas karena semua orang ter

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   14

    POV RasyaAsem! Orang-orang itu apa tidak ada kerjaan selain senyum-senyum sambil sesekali mencuri pandang ke sini?! Ck ck ck. Seolah mereka tak pernah melihat lelaki belanja saja. Ish. Benar-benar menyebalkan. Tatapanku kembali terpacak pada celana dalam di hadapanku, bagian tengah ada pintanya dengan renda mengelilingi bagian bawah membentuk segitiga. Ini muat tidak kira-kira buat bocah itu?Aku menghela napas, Ibu ada-ada saja menyuruh anak lelakinya belanja beginian.Akhirnya, kukeluarkan HP lalu menekan nomer Ibu. Tak menunggu lama, panggilan segera diangkat."Hati-hati, Pus. Kalau ada apa-apa di jalan, telepon emasmu. Atau bisa telepon Ibu."Hening."Ya, Le, ada apa?""Berapa ukurannya?" tanyaku tanpa basa-basi sambil melotot galak pada dua perempuan yang be

  • Nikah Dengan Kakak Ipar   13

    Aku menatap ke sana-kemari dengan jantung berdetak kencang. Sesekali mengusap mata yang tak henti meneteskan air bening. Aku tak mengenali jalan ini. Mobil melaju pelan masuk ke dalam kompleks, terlihat rumah-rumah berderet dengan pepohonan rimbun."Mas, kita mau ke mana?" Aku kembali memperhatikan jalanan yang sepi dengan dada bergemuruh. Ini di mana? Aku sama sekali tak tahu daerah ini.Mobil keluar dari kompleks, aku menghela napas panjang."Sebentar lagi sampai Blok M."Perasaan takut kembali menerjang benakku. Kuusap cepat air mata di pipi sambil lagi-lagi menatap jalanan. Sepi."Mas mau ngapain ngajak aku ke Blok M? Mas bilang, mau anterin aku pulang, kan?!" Tanyaku tak dapat menyembunyikan perasaan panik. Mas Dewa mengerlingkan mata dengan senyum menggoda."Ke hotel," katanya singkat, membuat dada

DMCA.com Protection Status