POV RasyaAsem! Orang-orang itu apa tidak ada kerjaan selain senyum-senyum sambil sesekali mencuri pandang ke sini?! Ck ck ck. Seolah mereka tak pernah melihat lelaki belanja saja. Ish. Benar-benar menyebalkan. Tatapanku kembali terpacak pada celana dalam di hadapanku, bagian tengah ada pintanya dengan renda mengelilingi bagian bawah membentuk segitiga. Ini muat tidak kira-kira buat bocah itu?Aku menghela napas, Ibu ada-ada saja menyuruh anak lelakinya belanja beginian.Akhirnya, kukeluarkan HP lalu menekan nomer Ibu. Tak menunggu lama, panggilan segera diangkat."Hati-hati, Pus. Kalau ada apa-apa di jalan, telepon emasmu. Atau bisa telepon Ibu."Hening."Ya, Le, ada apa?""Berapa ukurannya?" tanyaku tanpa basa-basi sambil melotot galak pada dua perempuan yang be
Aku duduk di samping Mas Rasya dengan jantung berdetak kencang. Ini adalah hari pernikahan kami. Mama yang duduk di dekatku, berkali-kali mengusap wajahku yang berkeringat dingin dengan tisu.Sungguh. Rasanya tegang bukan main. Juga amat gugup. Di seberangku, Qila dalam pangkuan Mas Hanif terus berceloteh riang. Adnan di sebelah Bapak tak henti mengangkat HP ke udara, menciptakan cahaya keperakan yang terus melesat ke arah kami. Entah ke mana Mbak Ratih yang selalu tampak tak menyukaiku itu. Aku tak pernah melihatnya satu Minggu terakhir ini."Saksi?""Saaah."Perasaan sedih yang sejak tadi mendekam di benak tak dapat lagi kubendung, akhirnya meluap dalam butiran air mata. Dadaku sesak bagai ditindih berton-ton benda berat. Aku terisak lirih. Mas Rasya mencondongkan tubuh mendekat lalu mencium keningku sekilas. Tentu, ini hanya formalitas karena semua orang ter
POV Rasya."Kenapa sih, kamu?! Ish."Aku memicingkan mata. Tanpa menjawab, ia menarik selimut hingga menutupi tubuhnya.Kuhela napas dalam saat menyadari arti ucapannya tadi. Sedang datang bulan, katanya? Aku mengerutkan kening. Ish. Seolah aku bakal menggarapnya saja. Jangankan melakukan itu dengannya, hanya tidur seperti ini saja sudah membuatku tak nyaman. Kalau bukan karena dia perempuan, tentu sudah kusuruh tidur di sofa. Ibu juga, bisa-bisanya iseng mengunci pintu kamar tamu.Aku mendesah kuat, kembali menatap layar HP saat terdengar notif beruntun.Ting!Ting!Ting!Kulirik Bocah di sampingku lalu membuka grup WA yang hanya terdiri dari aku, Dewa, Rendi dan Asep.
Aku memicingkan sebelah mata, silau oleh cahaya lampu. Perlahan, kurentangkan tangan dan kaki, mengernyit saat merasakan kakiku tak dapat bergerak bebas. Aku menoleh dan tersentak kaget mendapati diri berada di lengan Mas Rasya sementara satu tangan Mas Rasya melingkari tubuhku.Dengan jantung berdegup kencang dan dada berdebar tak keruan, kuraih tangan Mas Rasya lalu menyingkirkannya dari tubuh. Dengan gerakan perlahan, aku bangkit dan berdiri, sontak membelalak saat tatapan terpacak ke jarum jam. Pukul 06.05. Sebaiknya, lekas salat subuh.Tak menunggu waktu lama, aku segera mengguyur tubuh asal basah dan mengambil wudu, lalu membuka lemari Mas Rasya yang sebagian telah diisi oleh baju-bajuku. Siapa lagi yang menata ini semua jika bukan Ibu? Di mana mukenanya, ya?Aku terlonjak dan refleks menoleh saat tiba-tiba bahuku ditepuk pelan dari belakang.&ldquo
Pov RasyaIsh. Ck. Ck. Dasar bocah. Melihatnya terus menunduk seperti itu membuatku jadi geli ingin tertawa tapi terus menahannya. Ntar bisa-bisa, dia nangis kalau aku sampai tertawa di depannya.“Enak?” tanyaku, pada akhirnya tersenyum geli melihat ekspresinya yang lucu.Tahu apa yang dia lakukan tadi? Bukannya segera mematikan ikan lalu memotonginya buat dimasak, dia malah terus bengong menatap ikan di depannya. Seolah dengan begitu, ikan tahu-tahu sudah matang saja. Pada akhirnya, aku juga yang harus turun tangan. Hais. Mimpi apa, aku, harus menggantikan posisi Rofi? Bocah ini beda banget dengan Ndari yang pintar masak. Kuah tidak cingeng.“Emmp, enak, Mas,” ucapnya dengan wajah terlihat malu. Ya lagian, siapa juga yang menyuruh bohong? Pakai mengaku-ngaku masakanku sebagai masakannya, lagi. Aku tahu benar seperti apa dirinya. Tidak b
Mas Rasya yang akhirnya turun tangan, membunuh ikan sekaligus memasaknya, kemudian kami makan bersama. Namun, makan siang itu tak berlangsung lama. Aku memilih segera enyah darinya yang tak henti menatap penuh ejekan. Selain itu, ia memaksa agar aku membuka mulut menerima suapan darinya, membuatku jadi terkenang Mas Rofi. Aku menghela napas dengan tangan bergerak cepat mengusap air mata. Teringat sikap Mas Rasya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, membuatku lagi-lagi ingin menangis. Dasar Mas Rasya menyebalkan! Memperlakukanku seperti anak kecil hanya karena istrinya ini masih suka menangis. Ya siapa juga yang tak menangis jika memiliki suami sepertinya? Dengan Mas Rofi, aku jarang menangis. Teringat perbuatannya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, aku mendengkus sebal.Kuembuskan napas kuat lalu merebah di samping Qila, berbaring miring dengan tangan menyangga kepala, menatap bayiku yang terlelap tanpa beban. Damai rasanya, saat di dekat Qila. Tanganku terangk
Pov RasyaEmbusan angin dingin membuatku terjaga. Kuhela napas sambil bangkit duduk. Dasar Bocah. Bisa-bisanya ke pantai tak menyiapkan keperluannya sama sekali. Bisa-bisanya mengandalkan Ibu. Jadi orang, tak ada pintar-pintarnya. Kubuka tas lalu mengeluarkan kaus, memakainya cepat. Saat akan kembali rebah, kulihat bahunya bergetar. Aku menyipitkan mata. Nangis lagi nih, jangan-jangan. Tobat, tobaat. Apa yang membuatnya sampai menangis begitu?“Kamu kenapa, sih?!”Tak ada sahutan.“Kenapa menangis lagi?!”Tak ada sahutan.“Pus!”Tetap hening. Hanya terdengar samar debur ombak. Akhirnya kusentuh bahunya lalu membalikkan badannya, ternyata dia terlelap. Wajah juga bibirnya tampak begitu pucat. Tanganku bergerak ke arah keningnya. Sangat panas. Tampak tubuhnya menggigil. Aku menghela napas saat teringat tadi dia hanya makan beberapa tusuk sate. Mungkin masuk angin.“Pus, bangun.” Kuguncang tubuhnya pelan.“Pus, bangun.”Dia membuka matanya sedikit. “Mas, peluk aku. Aku kedinginan.”Apa
Ditolak oleh suami sendiri padahal aku hanya minta dipeluk karena semalam memang menggigil kedinginan, rasanya amat menyakitkan. Seolah silet tajam tengah menyayat-nyayat jantungku hingga menjadi kepingan kecil. Sakiit, sekali. Aku hanya minta peluk, hanya, itu pun karena memang benar-benar membutuhkannya. Biasanya saat sakit, Mas Rofi akan memelukku sepanjang malam, kami sama-sama polos tanpa sehelai benang pun. Itu cara efektif agar suhu tubuh kembali turun. Jadi, apa salahnya aku minta dipeluk Mas Rasya? Hanya minta peluk. Ya Allah. Benar-benar tak menyangka ia bisa begitu tega.Aku menghela napas, lalu membuangnya perlahan, berharap dengan begitu rasa menyesakkan di dada segera lenyap. “Buka pintunya, aku mau ganti baju.”Aku mengusap sudut mata, sikapnya semalam begitu menyakitkan sampai aku ingin terus menangis. Kuembuskan napas pelan. “Sabar, Mas, aku sedang pompa ASI.” Padahal sebenarnya, aku tengah membuka google sambil sebentar-sebentar mengusap sudut mata yang basah.Cara
Ditolak oleh suami sendiri padahal aku hanya minta dipeluk karena semalam memang menggigil kedinginan, rasanya amat menyakitkan. Seolah silet tajam tengah menyayat-nyayat jantungku hingga menjadi kepingan kecil. Sakiit, sekali. Aku hanya minta peluk, hanya, itu pun karena memang benar-benar membutuhkannya. Biasanya saat sakit, Mas Rofi akan memelukku sepanjang malam, kami sama-sama polos tanpa sehelai benang pun. Itu cara efektif agar suhu tubuh kembali turun. Jadi, apa salahnya aku minta dipeluk Mas Rasya? Hanya minta peluk. Ya Allah. Benar-benar tak menyangka ia bisa begitu tega.Aku menghela napas, lalu membuangnya perlahan, berharap dengan begitu rasa menyesakkan di dada segera lenyap. “Buka pintunya, aku mau ganti baju.”Aku mengusap sudut mata, sikapnya semalam begitu menyakitkan sampai aku ingin terus menangis. Kuembuskan napas pelan. “Sabar, Mas, aku sedang pompa ASI.” Padahal sebenarnya, aku tengah membuka google sambil sebentar-sebentar mengusap sudut mata yang basah.Cara
Pov RasyaEmbusan angin dingin membuatku terjaga. Kuhela napas sambil bangkit duduk. Dasar Bocah. Bisa-bisanya ke pantai tak menyiapkan keperluannya sama sekali. Bisa-bisanya mengandalkan Ibu. Jadi orang, tak ada pintar-pintarnya. Kubuka tas lalu mengeluarkan kaus, memakainya cepat. Saat akan kembali rebah, kulihat bahunya bergetar. Aku menyipitkan mata. Nangis lagi nih, jangan-jangan. Tobat, tobaat. Apa yang membuatnya sampai menangis begitu?“Kamu kenapa, sih?!”Tak ada sahutan.“Kenapa menangis lagi?!”Tak ada sahutan.“Pus!”Tetap hening. Hanya terdengar samar debur ombak. Akhirnya kusentuh bahunya lalu membalikkan badannya, ternyata dia terlelap. Wajah juga bibirnya tampak begitu pucat. Tanganku bergerak ke arah keningnya. Sangat panas. Tampak tubuhnya menggigil. Aku menghela napas saat teringat tadi dia hanya makan beberapa tusuk sate. Mungkin masuk angin.“Pus, bangun.” Kuguncang tubuhnya pelan.“Pus, bangun.”Dia membuka matanya sedikit. “Mas, peluk aku. Aku kedinginan.”Apa
Mas Rasya yang akhirnya turun tangan, membunuh ikan sekaligus memasaknya, kemudian kami makan bersama. Namun, makan siang itu tak berlangsung lama. Aku memilih segera enyah darinya yang tak henti menatap penuh ejekan. Selain itu, ia memaksa agar aku membuka mulut menerima suapan darinya, membuatku jadi terkenang Mas Rofi. Aku menghela napas dengan tangan bergerak cepat mengusap air mata. Teringat sikap Mas Rasya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, membuatku lagi-lagi ingin menangis. Dasar Mas Rasya menyebalkan! Memperlakukanku seperti anak kecil hanya karena istrinya ini masih suka menangis. Ya siapa juga yang tak menangis jika memiliki suami sepertinya? Dengan Mas Rofi, aku jarang menangis. Teringat perbuatannya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, aku mendengkus sebal.Kuembuskan napas kuat lalu merebah di samping Qila, berbaring miring dengan tangan menyangga kepala, menatap bayiku yang terlelap tanpa beban. Damai rasanya, saat di dekat Qila. Tanganku terangk
Pov RasyaIsh. Ck. Ck. Dasar bocah. Melihatnya terus menunduk seperti itu membuatku jadi geli ingin tertawa tapi terus menahannya. Ntar bisa-bisa, dia nangis kalau aku sampai tertawa di depannya.“Enak?” tanyaku, pada akhirnya tersenyum geli melihat ekspresinya yang lucu.Tahu apa yang dia lakukan tadi? Bukannya segera mematikan ikan lalu memotonginya buat dimasak, dia malah terus bengong menatap ikan di depannya. Seolah dengan begitu, ikan tahu-tahu sudah matang saja. Pada akhirnya, aku juga yang harus turun tangan. Hais. Mimpi apa, aku, harus menggantikan posisi Rofi? Bocah ini beda banget dengan Ndari yang pintar masak. Kuah tidak cingeng.“Emmp, enak, Mas,” ucapnya dengan wajah terlihat malu. Ya lagian, siapa juga yang menyuruh bohong? Pakai mengaku-ngaku masakanku sebagai masakannya, lagi. Aku tahu benar seperti apa dirinya. Tidak b
Aku memicingkan sebelah mata, silau oleh cahaya lampu. Perlahan, kurentangkan tangan dan kaki, mengernyit saat merasakan kakiku tak dapat bergerak bebas. Aku menoleh dan tersentak kaget mendapati diri berada di lengan Mas Rasya sementara satu tangan Mas Rasya melingkari tubuhku.Dengan jantung berdegup kencang dan dada berdebar tak keruan, kuraih tangan Mas Rasya lalu menyingkirkannya dari tubuh. Dengan gerakan perlahan, aku bangkit dan berdiri, sontak membelalak saat tatapan terpacak ke jarum jam. Pukul 06.05. Sebaiknya, lekas salat subuh.Tak menunggu waktu lama, aku segera mengguyur tubuh asal basah dan mengambil wudu, lalu membuka lemari Mas Rasya yang sebagian telah diisi oleh baju-bajuku. Siapa lagi yang menata ini semua jika bukan Ibu? Di mana mukenanya, ya?Aku terlonjak dan refleks menoleh saat tiba-tiba bahuku ditepuk pelan dari belakang.&ldquo
POV Rasya."Kenapa sih, kamu?! Ish."Aku memicingkan mata. Tanpa menjawab, ia menarik selimut hingga menutupi tubuhnya.Kuhela napas dalam saat menyadari arti ucapannya tadi. Sedang datang bulan, katanya? Aku mengerutkan kening. Ish. Seolah aku bakal menggarapnya saja. Jangankan melakukan itu dengannya, hanya tidur seperti ini saja sudah membuatku tak nyaman. Kalau bukan karena dia perempuan, tentu sudah kusuruh tidur di sofa. Ibu juga, bisa-bisanya iseng mengunci pintu kamar tamu.Aku mendesah kuat, kembali menatap layar HP saat terdengar notif beruntun.Ting!Ting!Ting!Kulirik Bocah di sampingku lalu membuka grup WA yang hanya terdiri dari aku, Dewa, Rendi dan Asep.
Aku duduk di samping Mas Rasya dengan jantung berdetak kencang. Ini adalah hari pernikahan kami. Mama yang duduk di dekatku, berkali-kali mengusap wajahku yang berkeringat dingin dengan tisu.Sungguh. Rasanya tegang bukan main. Juga amat gugup. Di seberangku, Qila dalam pangkuan Mas Hanif terus berceloteh riang. Adnan di sebelah Bapak tak henti mengangkat HP ke udara, menciptakan cahaya keperakan yang terus melesat ke arah kami. Entah ke mana Mbak Ratih yang selalu tampak tak menyukaiku itu. Aku tak pernah melihatnya satu Minggu terakhir ini."Saksi?""Saaah."Perasaan sedih yang sejak tadi mendekam di benak tak dapat lagi kubendung, akhirnya meluap dalam butiran air mata. Dadaku sesak bagai ditindih berton-ton benda berat. Aku terisak lirih. Mas Rasya mencondongkan tubuh mendekat lalu mencium keningku sekilas. Tentu, ini hanya formalitas karena semua orang ter
POV RasyaAsem! Orang-orang itu apa tidak ada kerjaan selain senyum-senyum sambil sesekali mencuri pandang ke sini?! Ck ck ck. Seolah mereka tak pernah melihat lelaki belanja saja. Ish. Benar-benar menyebalkan. Tatapanku kembali terpacak pada celana dalam di hadapanku, bagian tengah ada pintanya dengan renda mengelilingi bagian bawah membentuk segitiga. Ini muat tidak kira-kira buat bocah itu?Aku menghela napas, Ibu ada-ada saja menyuruh anak lelakinya belanja beginian.Akhirnya, kukeluarkan HP lalu menekan nomer Ibu. Tak menunggu lama, panggilan segera diangkat."Hati-hati, Pus. Kalau ada apa-apa di jalan, telepon emasmu. Atau bisa telepon Ibu."Hening."Ya, Le, ada apa?""Berapa ukurannya?" tanyaku tanpa basa-basi sambil melotot galak pada dua perempuan yang be
Aku menatap ke sana-kemari dengan jantung berdetak kencang. Sesekali mengusap mata yang tak henti meneteskan air bening. Aku tak mengenali jalan ini. Mobil melaju pelan masuk ke dalam kompleks, terlihat rumah-rumah berderet dengan pepohonan rimbun."Mas, kita mau ke mana?" Aku kembali memperhatikan jalanan yang sepi dengan dada bergemuruh. Ini di mana? Aku sama sekali tak tahu daerah ini.Mobil keluar dari kompleks, aku menghela napas panjang."Sebentar lagi sampai Blok M."Perasaan takut kembali menerjang benakku. Kuusap cepat air mata di pipi sambil lagi-lagi menatap jalanan. Sepi."Mas mau ngapain ngajak aku ke Blok M? Mas bilang, mau anterin aku pulang, kan?!" Tanyaku tak dapat menyembunyikan perasaan panik. Mas Dewa mengerlingkan mata dengan senyum menggoda."Ke hotel," katanya singkat, membuat dada