"Bagaimana ini, tidak ada sprei yang tersimpan di sini, pasti di kamar ayah semua," gumam Meliana bingung, ia mulai ketakutan kalau mendadak meminta sprei pada ayahnya.
Pagi buta seperti ini yang seharusnya menjadi jalan untuknya berpura-pura justru tidak memihak kepadanya dan Arga, pria itu sedang mandi saat ini untuk mengurangi kecurigaan ayahnya akan rambut basah yang bersamaan.
Tapi, masalah utama terletak di sprei kamar Meliana, tidak mungkin mereka meninggalkan kamar itu tanpa sprei dan membawa sprei kotor itu tanpa sepengetahuan Heri, ini pasti sangat memalukan.
"Arga," panggilnya memelankan suara, membuka pintu kamar mandi itu pelan, bahkan kamar mandi saja di dekat dapur, mereka harus serba pelan di sini agar Heri tidak terbangun.
"Apa?" Arga menoleh, ia sudah selesai dan endak kembali ke kamar.
"Ayo, masuk, aku mau bicara sesuatu."
Arga menurut, tidak ada suara gemericik air di sana, mereka
Pecahkan saja gelas kacanya biar ramai sekalian, mungkin itu kalimat yang tepat untuk mewakili perdebatan Arga dan Neni hari ini.Satu bulan pertama pernikahan Juna dan Rika, mereka berdua endak melakukan bulan madu dan berniat mengajak Arga juga Meliana yang mungkin ingin melakukan babymoon karena dulu tidak ada bulan madu untuk keduanya.Permasalahan besar di masa itu tidak membuat mereka meluangkan waktu sejenak untuk bersenang-senang, terlalu sibuk menghadapi masalah sampai kini Meliana sudah hamil anaknya."Ibu tidak akan mengizinkan kau membawa Amel pergi, ke tempat sepert itu hanya akan membuat dia lelah dan sangat mengkhawatirkan, Arga!" Neni keukeh dengan pendapatnya, ia tidak menghiraukan aksi ngidam atau apa, keselamatan Meliana dan cucunya lebih utama."Tapi, Amel mau dan aku bisa menjaganya, Bu.""Aku tidak peduli, bayinya juga tidak akan bermasalah nanti kalau aku melarang ibunya menuruti kemauan ng
"Hati-hati, jangan sampai bersenang-senang membuat kalian lupa menjaga kesehatan," ujar Meliana berpesan, ia tidak bisa terlalu lama berdiri sehingga hanya bisa memberi pesan pada Rika di kamar saja.Teman baiknya itu akan berbulan madu ke pulau Dewata, hal yang sangat diinginkan para pasangan muda yang baru saja menikah, menghabiskan waktu sembari menikmati keindahan alam di sana."Akan aku belikan oleh-oleh yang banyak dan bagus untuk kau juga bayi ini," ujar Rika sembari mengusap perut Meliana."Buatlah bersenang-senang, aku memberimu uang saku ini bukan untuk membelikan aku oleh-oleh, tapi untuk hadiah pernikahan kalian, aku tidak tahu harus berterima kasih seperti apa padamu, jadi aku beri-""Amel, apa kau kira pertemanan kita ini tidak tulus. Aku akan berbahagia di sana untukmu, membawa benih handal juga untukmu, kau harus ikut bangga melihatku!" pukas Rika menahan tangis, selalu saja begini kalau mereka endak berpisah.
Meliana tergelak kencang melihat wajah Neni yang penuh dengan coretan putih itu, lebih parah dari sang suami dan kedua ayahnya."Ahahahahah, aku bisa gila melihat ibu begitu, ahahahahaha," Meliana tergelak.Beruntung dia sedang hamil, kalau saja tidak, dipastikan Neni akan menguncir mulutnya dengan banyak karet nasi bungkus itu.Arga hanya menunduk, Neni sudah berjanji akan menuruti kemauan Meliana asalkan tidak ke luar rumah dan aman, termasuk menertawakan dirinya yang kalah malam ini."Sudah, masuk sana dan tidur, ini sudah malam!" titah Neni mengakhiri acara malam ini.Semua bergerak masuk, meninggalkan Heri yang bertugas membereskan sisa permainan mereka.Neni yang melihat itu sontak meminta izin pada suaminya untuk berbicara sebentar dengan Heri.Bukan soal permintaan Meliana dan izin darinya untuk tinggal di sini selama dua hari, tapi hal lain.&n
"Hah, kau yakin? Itu bukan mimpi kan?" Rika hampir melompat dari bath up mendengar kabar dari Meliana pagi ini.Busa yang menempel di tubuhnya hampir juga membuat ponsel itu terjadi karena licin, harapan yang sempat berubah menjadi debu untuk Meliana dulu akhirnya tercapai juga.Heri dan Neni bisa berteman baik kembali seperti halnya Meliana dan Arga, hanya saja hubungan mereka tidak terikat dengan cinta seperti anak-anak mereka sekarang.Intinya mereka benar-benar membuat kabar bahagia sampai ke pelosok negeri, pertengakaran sahabat lama itu telah musnah, bahkan Heri tidak perlu meminta izin lagi bila ingin menemui Meliana."Aku tidak percaya ini dan rasanya aku ingin segera pulang, kau tahu aku sudah membelikan banyak barang untuk calon keponakanku itu!" Rika berseru sekali lagi karena terlalu bersemangat.Diam mendengarkan,"Apa, kenapa kau menanyakan aku? Kau kira bulan madu itu hanya bergulung d
Arga ke luar ruangan dengan langkah memburu, ia pastikan tidak ada hadwal lain setelah ini dan dirinya bisa kembali pulang untuk menemui sang istri.Ah, hal yang ia tunggu-tunggu akhirnya terlihat juga.Setelah pernikahan Rika dan di sana Neni memberi restu di depan umum, hari ini ia mendapatkan laporan di mana Neni berlaku sangat lembut pada Meliana."Sayang, sedang apa?" tanya Arga, ia hubungi sang istri."Aku? Aku sedang bersama ibu di kamar, memilih souvenir dan mengganggunya menulis rekapan untuk acara syukuran, kenapa?""Tidak, apa kalian mau pesan sesuatu?" sahut Arga seraya bertanya.Meliana terdengar menanyakan masalah itu pada Neni, dirinya sedang tidak ingin apapun saat ini."Arga, kami sedang tidak ingin apa-ap, kau pulang saja kalau sudah selesai, kata ibu ... dia malas menemani aku yang pengganggu ini, ahahahah," jawab Meliana, ia pun tergelak
Meliana tidak paham akan apa yang terjadi, ia hanya melihat bayangan Arga membawa benda keras panjang berwarna coklat dengan suara Neni yang menggelegar memberi perintah.Entah itu apa, Meliana yang baru tersadar hanya mampu meraih ponselnya untuk melihat pesan yang masuk, siapa tahu ada pesan yang belum sempat ia baca dan itu menjadi alasan ibu mertuanya marah besar."Rika," ucap Meliana, sontak ia membekap mulutnya sendiri.Bagaimana ini? Bahkan di sana ada keterangan di mana Rika mengaku telah berani memanggil ibu Arga dengan sebutan nenek lampir, hal yang tentunya gawat, padahal beberapa hari lalu Neni sempat mengatakan pada Meliana kalau sudah tidak sabar ingin bertemu Rika dan Juna."Anak ini memang ya, merusak suasana saja!" gumam Meliana, tapi dia bisa apa, semua melarangnya untuk turun ranjang sendiri, harus dengan bantuan Arga atau maid.Meliana pandang langit-langit kamar itu, beralih pada jendela di k
"Apa kau merasakan sakit, sayang?" tanya Arga sembari melipat selimutnya.Ya, kehamilan Meliana sudah dikatakan aman, maka itu kemarin malam ia mendapatkan izin untuk menjenguk anaknya di dalam sana.Ia teramat rindu, tapi sesuai dengan peraturan yang dokter katakan, tidak boleh banyak dan hanya satu kali untuk sapaan saja mengingat kandungan lemah Meliana yang bisa saja kambuh sewaktu-waktu.Saat ini bisa saja kuat karena tidak banyak fikiran yang Meliana jadikan beban, Arga bisa menyentuhnya, tapi bila diberi kelelahan sedikit saja, maka dipastikan Arga sendiri nantinya yang susah karena tidak bisa menyentuh istri dan mengunjungi anaknya."Mel," panggil Arga karena tidak mendapatkan jawaban, istrinya itu justru menggoda dengan berpura-pura tidur."Amel!"Baiklah, Meliana membuka mata kalau suaminya sudah bersuara keras seperti itu, menandakan kalau Arga panik dan bisa saja membawanya ke rumah sakit
Tidak ada cemburu yang tersirat di sana, Meliana pastikan kondisi Arga sudah membaik pasca munculnya wajah Nia di belakang tubuhnya saat pengajian itu berlangsung.Arga bahkan sudah sempat mengunjungi makam Nia pagi ini seorang diri, Meliana tidak mendapatkan izin dari Neni karena pengalaman ke luar rumah masih bergitu menakutkan.Neni khawatir banyaknya jalanan yang tidak rata membuat gejolak di perut itu hingga membuat Meliana kembali lemah, belum lagi kalau sampai ada pendarahan, tentu hal itu pasti Neni minimalisir lebih dulu."Sayang, mau aku ambilkan teh?" tawar Arga yang tahu istrinya tengah melamun sejak ia pergi.Meliana menoleh, ia lupakan bayangan besar dan kelabu di luar jendela itu, ia pun mengangguk.Secangkir teh herbal bunga yang memang bagus untuk ibu hamil, dua hari sekali Meliana bisa meneguknya hangat-hangat sembari menikmati senja.Hanya lewat jendela kamar semua hiburan itu Meli
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.Kalau saja waktu bisa
Pletak,Surti sentil kening anaknya yang tengah hamil muda itu, seperti biasa dan Juna sudah paham itu, di mana ibu mertua dan istrinya akan bertengkar setiap kali mereka bertemu.Sungguh, tidak akan pernah ada kedamaian di pertemuan mereka sebelum saling bersorak dan memprotes."Apa cucuku tumbuh baik di perut berlemak ini?" tanya Surti."Sur, kau ini!" Heri sudah lelah menegurnya, bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral, padahal baru saja tiba.Surti mengetuk perut Rika sebelum memutuskan untuk duduk ke samping Heri.Banyak barang yang mereka bawa dari kampung untuk anak Meliana, mereka harus pergi ke rumah sakit sekarang mengingat Heri ingin segera menggendong cucu pertamanya itu."Aku tidak bekerja, Bu. Tenang saja, kita akan berangkat setelah Rika mandi," ujar Juna.Plak,Beruntung Heri tahan laju tangam Su
"Ibuuuuu," panggil Meliana merintih, ia tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ada. Kedua tangannya terus meremat dan kini berpindah ke sisi ranjang dengan kedua kaki yang sudah tertekuk naik. Penyanggah di sana terpasang dengan baik, dokter dan timnya sudah bersiap di bawah beserta alat medis untuk penanganan berikutnya. Kali ini penanganan pasien khusus di mana ditemani oleh dua orang sekaligus, Meliana tidak mau melepas tangan Neni ataupun Arga, dia mengunci kuat dengan mata basahnya saat tangan itu dipaksa pindah ke sisi ranjang. Neni meminta kelonggaran dengan alasan yang sama di mana hanya dia ibu dari Meliana, bahkan cerita masa lalu terukir di sana, bergelimang dan terdengar hingga berlinang air mata. "Ibu, Arga!" Meliana memanggil sekali lagi saat gelombang dahsyat itu menyerangnya. Arga mendekat, ia usap kening dan kecup dalam di sana, tidak ada yang bisa ia lakukan selain dua hal it
Heri tak berhenti mengirimkan doa untuk anaknya yang tengah berjuang itu, begitu juga Surti yang ada di dekatnya, menyiapkan segala hal yang mungkin bisa mereka bawa ke rumah Arga, mereka akan menggantikan posisi Neni dan Harto di rumah itu mengingat Rika juga sedang hamil muda, butuh kekuatan pendamping agar tidak terlalu larut dalam suasana mencekam yang ada.Sementara di rumah sakit,Arga usap punggung dan perut bawah istrinya tanpa henti, matanya sudah sangat berat, tapi rintihan Meliana membuatnya kuat seketika.Arga tak hentinya melantunkan doa yang bisa membantu istrinya tenang, sedangkan Neni untuk sementara duduk karena tubuhnya ikut lemas.Semakin bertambah pembukaan Meliana, rasa sakit itu semakin dahsyat, semua berharap yang terbaik, entah itu normal atau nanti Meliana harus caesar, tidak masalah.Neni hanya ingin menantu dan cucunya itu sehat bersama, selamat dan bisa berada di dekatnya segera.
Malam itu, Meliana siapkan makanan kesukaan suaminya, perut yang membesar mungkin menghalanginya untuk bergerak cepat, tapi tidak membuat Meliana lantas malas untuk melayani suaminya.Arga masih mendapatkan apa yang ia mau, termasuk hak berkunjung pada buah hatinya itu."Dia makin suka bergerak ya, sayang?" tanya Arga sembari mengusap perut besar itu, menerima suapan dari sang istri yang terlihat mengembang akhir-akhir ini, apalagi bagian pipi Meliana. Meliana mengangguk, "Dia suka nyapa orang kayaknya, sampai kalau ada abang sayur itu waktu pagi, aku sama ibu kan milih, dia ikut gerak nonjol ke kanan atau kiri gitu loh, Ga," ungkapnya."Beneran? Penasaran aku sama dia jadinya, nggak sabar Ayah ketemu kamu, Dek sayang." Satu kecupan mendarat di perut buncit itu.Meliana terkekeh, anaknya itu terbilang sangat aktif, tapi saat mereka melakukan USG, dia sama sekali tidak menampilkan wa
Harto buka pintu kamar yang sontak tertutup rapat itu, Neni tampak di dalam sana dengan mata yang basah.Wanita itu berusaha menenangkan diri setelah mengomel di depan seolah memberi sambutan pada Rika dan Juna."Kabar baik yang kau dengar, lalu kenapa kau menangis?" tanya Harto.Neni menoleh, "Aku hanya terlalu senang dan aku tidak mau menunjukkannya pada anak-anak itu," jawabnya."Astaga, mereka kira kau tidak suka sampai Rika menangis di pelukan Amel."Klek,Belum selesai Harto berbicara dengan Neni, Meliana yang baru saja ia sebut itu masuk ke kamar, ia balikkan tubuhnya lalu mengulas senyum di sana."Boleh aku bicara dengan Ibu?" tanyanya."Kenapa? Kau mau berceramah padaku apa?" tuduh Neni ketus, tapi satu tangannya terulur meminta Meliana mendekat.Meliana sambut tangan itu, ia lantas duduk ke samping Neni dan berhadapa
Masih ingat dibenak Rika akan kejadian bulan lalu di mana dirinya harus berlari keliling rumah Arga tanpa alas kaki sebanyak sepuluh kali karena melakban mulut Neni dengan sengaja.Ia masih keukeh sampai hari ini untuk tidak terlalu banyak bicara pada ibu Arga dan ibu mertua Meliana itu, sekedarnya saja dan tetap melakukan apa yang Neni anjurkan selama proses programnya."Apa aku harus bersujud kepadanya, hah?" Rika berkacak pinggang."Kau tahu semua ini berkat bimbingan dan bantuan darinya, kenapa kau kejam sekali?" balas Juna, menyerah sudah kalau Rika mengibarkan bendera perang pada Neni.Aku harus apa dan aku masa bodoh, itu yang ada dibenak dua orang yang sedang mondar-mandir di depan rumah.Mereka endak berangkat ke klinik untuk pemeriksaan lanjutan, satu bulan pertama proses program kehamilan ini, mendekati hari datang bulan berikutnya, Rika wajib kontrol untuk memeriksakan kandunga