Tidak ada cemburu yang tersirat di sana, Meliana pastikan kondisi Arga sudah membaik pasca munculnya wajah Nia di belakang tubuhnya saat pengajian itu berlangsung.
Arga bahkan sudah sempat mengunjungi makam Nia pagi ini seorang diri, Meliana tidak mendapatkan izin dari Neni karena pengalaman ke luar rumah masih bergitu menakutkan.
Neni khawatir banyaknya jalanan yang tidak rata membuat gejolak di perut itu hingga membuat Meliana kembali lemah, belum lagi kalau sampai ada pendarahan, tentu hal itu pasti Neni minimalisir lebih dulu.
"Sayang, mau aku ambilkan teh?" tawar Arga yang tahu istrinya tengah melamun sejak ia pergi.
Meliana menoleh, ia lupakan bayangan besar dan kelabu di luar jendela itu, ia pun mengangguk.
Secangkir teh herbal bunga yang memang bagus untuk ibu hamil, dua hari sekali Meliana bisa meneguknya hangat-hangat sembari menikmati senja.
Hanya lewat jendela kamar semua hiburan itu Meli
Apa! Maid itu menjadi penengah antara dua wanita yang sama-sama keras kepala, tidak ada yang mau mengalah atas nama yang lebih tua ataupun muda. Baik Rika atau Neni sama-sama menunjukan kekuasaan mereka atas diri Meliana, meng-klaim anak itu akan mirip dengan wajah mereka, bukan wajah Meliana atau Arga yang jelas-jelas orang tua kandung dari bayi itu. "Aku sudah berusaha, tapi aku tidak bisa dan aku tidak boleh menyerah!" Neni bersikeukeh dengan kemampuannya, mengalahkan Rika yang masih belum puas dengan tarikan di ujung dasternya. Mereka saling menarik sampai baju Rika menjadi korbannya, ada robekan di sana yang cukup besar. Rika tidak dan belum mau mengalah, ia justru semakin dibuat berang karena Neni berhasil merusak bajunya. Krek, Aaaarrrrgh, Berhasil, Rika berhasil menarik ujung daster Neni sampai robek setinggi paha, ia bahkan tidak sungkan-sungkan menari untuk meray
Usai sudah perang dunia kelima yang mungkin sudah Neni dan Rika ciptakan, membuat rumah ini tampak damai kembali setelah maaf saling terucap.Mereka bisa berkumpul bersama, bahkan mulai membahas masalah program kehamilan yang nanti akan Rika dan Juna lewati."Setiap pasangan punya jalannya masing-masing, dilihat dari nanti hasil pemeriksaan kalian berdua bagaimana," ujar Meliana, ia bahkan membuka bagaimana proses pemeriksaan yang ia alami selama ini, begitu juga Arga.Rika meminta Meliana untuk menghentikan penjelasan itu, bukan tanpa alasan karena ia merasa tidak kuat membayangkan rasanya.Bila dia melakukan hubungan intim bersama Juna, ada balasan di sana dan Juna bekerja sama dengan baik, tapi dalam pemeriksaan yang Meliana katakan hanya sebuah alat yang mirip dengan milik Juna, Rika cukup ngeri membayangkan daerah intimnya bertemu dengan benda itu."Tidak apa-apa, hanya sebentar untuk memastikan kondisi dan
Rika dengan wajah tertekuknya, ia tarik tangan Juna yang tersadar dan terus saja menguap, ia kira akan seperti Meliana dan Arga ketika pulang dari klinik waktu itu.Juna bukan mengajaknya untuk berputat secara nyata satu kali lagi dengan hasrat yang besar, justru sebaliknya, itu hanya omongan belaka, sekarang pria itu berbaring tidak sadarkan diri di sofa ruang tamu kecil mereka.Neni berikan resep yang harus Rika tebus untuk program itu, pengawasan mulai berlaku hari ini dan Rika harus patuh meskipun ia kesal yang teramat pada wanita bertampilan elegan itu."Juna, kau tidak berniat untuk membantuku, hah?" Rika tarik rambut kecil Juna.Pria itu mengerjap, hanya bergumam, tidak ada respon lebih untuk Rika di sana, Juna masih melekatkan kelopak matanya."Huh, kau bilang akan melakukan program nyata denganku setelah ini, tapi apa, baru satu kali mencoba hal baru saja kau sudah tertidur, hancu
"Kirana Adinda Putri Pradipta, nama siapa ini?" tanya Rika mengerutkan keningnya.Rika bolak-balik kertas yang Meliana berikan, dia tidak mengerti sama sekali meskipun sudah banyak kode yang Meliana tunjukkan.Dari mengusap perut sampai mengerlingkan mata dan menunjukkan gerakan kakinya yang sedang memakai sepatu merah muda."Apa sih?" Rika semakin mengerutkan keningnya, bahkan wajah semi pucat karena kelelahan itu tampak menyerah dengan kabar yang Meliana bawa."Kau tidak paham benar?" tanya Meliana, kesal sudah kalau insting Rika yang cepat dulu lenyap seketika.Meliana sentuh kening dan kedua pipi temannya, ada keringat dingin di sana, ia kesampingkan dahulu kertas kusut yang bertuliskan nama anaknya itu, beralih pada kondisi Rika."Kau sakit?" tanya Meliana, ia sudah lima hari ini tidak bertemu Rika karena Juna mengajak istrinya itu menginap di rumah orang tuanya.&nb
Purrrffftt,Rika semburkan minuman yang pagi ini Neni buatkan, selama satu minggu ke depan itulah ritual yang harus Rika lewati bersama Neni.Rencana program kehamilan dengan pemeriksaan lanjutan, selain obat pendukung yang Neni dapatkan dari teman dokternya untuk Rika, ritual terpercaya yang dulu juga Meliana lakukan selama satu bulan penuh juga Rika lewati."Habiskan!" titah Neni menambahkan sekali lagi, sesuai dengan porsi yang harus Rika minum setiap hari.Rika melirik ke arah Meliana yang membantu Arga mengikat dasinya, di ruang tengah dengan wajah yang terus memberi semangat lewat sebuah senyuman.Minuman itu sangat pahit, rasanya pun menurut Rika pantas untuk dibuang ke selokan, tidak layak untuk diminum, tapi waktu itu dia tidak pernah melihat Meliana menyemburkan atau tampil tidak suka, Meliana bahkan meminumnya seperti meminum es teh manis saja."Apa itu sangat tidak
Uwah, berulang kali video itu Neni putar, ia meminta Arga untuk mengirim video lima detik itu ke ponselnya agar bisa ia lihat kapan saja.Neni tak berhenti melihat video itu, bahkan ia membalas lambaian di perut Meliana dengan lambaian nyata tangannya.Ia begitu senang mendapati calon cucunya bergerak di malam hari, membuat Meliana kuwalahan menahan denyutan nyeri saat gerakannya semakin melebar."Arga, beri Ibu video lagi kalau dia bergerak nanti malam," ujar Neni, ia sudah memesan hal itu nomor urutan pertama.Arga mengangguk, ia berjanji dalam hati kalau nanti bisa Meliana bangunkan, kebetulan saja semalam ia baru terlelap hingga mudah Meliana bangunkan, kalau tidak, maka ia tidak tahu yang terjadi apa."Kau pasti dapat, aku akan merekamnya lagi dan mengirim ke kalian semua, yang utama tetap Ibu," jelas Arga, ia mengangguk pada Neni yang tidak mau didahului.Nen
"Apa kau menungguku terlalu lama?" tanya Arga, ia terima sambutan dari istrinya itu dengan satu dekapan hangat dan kecupan lembut.Meliana menggelengkan kepala, ia raih tas dan jas kerja yang sudah Arga lepaskan sejak turun dari mobil, sempat matanya menangkap senyum Neni tadi, tapi wanita itu sepertinya membutuhkan waktu untuk sendiri setelah membuka sebuah cerita pada Meliana.Neni masuk ke kamarnya tanpa mengajak Arga berbicara lebih."Sayang, aku tadi sudah mengurus kepindahan Juna," ungkap Arga."Eh, iya, bagaimana itu, apa aman dan lancar?" balas Meliana gelagapan, ia tidak terlalu fokus.Arga mengangguk seraya mendekat, ia minta Meliana duduk ke pangkuannya agar tangannya bisa memeluk dan mengukur besarnya perut istrinya itu, setiap hari selalu berubah dan bertambah."Apa dia senang tadi?" tanya Arga."Siapa?" Meliana menelisik bingung, jujur, ia masih memikirkan perasaan ibunya,
"Bu," sapa Arga, tentu saja panggilan itu membuat Neni terkejut.Wanita itu lantas berbalik, ia membawa satu mangkok brokoli yang baru saja ia rebus untuk camilan pagi bersama kedua anak perempuannya itu.Rika dan Meliana, siapa lagi selain mereka karena Harto sudah mengangkat dan menyebut dua anak itu menjadi anak mereka."Kau mau berkata apa?" Neni cukup was-was dengan ekspresi Arga."Tidak ada, aku hanya ingin menyapa Ibu saja, apa itu salah?"Neni membuang muka, tidak biasa, bukan salah, itu lebih tepatnya. Neni panggil Rika yang mulai mengendap-endap masuk, cucian piring kotor sudah menunggunya.Walau Rika bisa memasak sendiri di rumah belakang, bukan berarti hal itu membuat mereka terpisah dan tidak bisa berkumpul atau melakukan aktivitas keluarga bersama.Ya, paling tidak untuk makan pagi bersama."Apa Juna bangun siang hari ini?" tanya A
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.Kalau saja waktu bisa
Pletak,Surti sentil kening anaknya yang tengah hamil muda itu, seperti biasa dan Juna sudah paham itu, di mana ibu mertua dan istrinya akan bertengkar setiap kali mereka bertemu.Sungguh, tidak akan pernah ada kedamaian di pertemuan mereka sebelum saling bersorak dan memprotes."Apa cucuku tumbuh baik di perut berlemak ini?" tanya Surti."Sur, kau ini!" Heri sudah lelah menegurnya, bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral, padahal baru saja tiba.Surti mengetuk perut Rika sebelum memutuskan untuk duduk ke samping Heri.Banyak barang yang mereka bawa dari kampung untuk anak Meliana, mereka harus pergi ke rumah sakit sekarang mengingat Heri ingin segera menggendong cucu pertamanya itu."Aku tidak bekerja, Bu. Tenang saja, kita akan berangkat setelah Rika mandi," ujar Juna.Plak,Beruntung Heri tahan laju tangam Su
"Ibuuuuu," panggil Meliana merintih, ia tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ada. Kedua tangannya terus meremat dan kini berpindah ke sisi ranjang dengan kedua kaki yang sudah tertekuk naik. Penyanggah di sana terpasang dengan baik, dokter dan timnya sudah bersiap di bawah beserta alat medis untuk penanganan berikutnya. Kali ini penanganan pasien khusus di mana ditemani oleh dua orang sekaligus, Meliana tidak mau melepas tangan Neni ataupun Arga, dia mengunci kuat dengan mata basahnya saat tangan itu dipaksa pindah ke sisi ranjang. Neni meminta kelonggaran dengan alasan yang sama di mana hanya dia ibu dari Meliana, bahkan cerita masa lalu terukir di sana, bergelimang dan terdengar hingga berlinang air mata. "Ibu, Arga!" Meliana memanggil sekali lagi saat gelombang dahsyat itu menyerangnya. Arga mendekat, ia usap kening dan kecup dalam di sana, tidak ada yang bisa ia lakukan selain dua hal it
Heri tak berhenti mengirimkan doa untuk anaknya yang tengah berjuang itu, begitu juga Surti yang ada di dekatnya, menyiapkan segala hal yang mungkin bisa mereka bawa ke rumah Arga, mereka akan menggantikan posisi Neni dan Harto di rumah itu mengingat Rika juga sedang hamil muda, butuh kekuatan pendamping agar tidak terlalu larut dalam suasana mencekam yang ada.Sementara di rumah sakit,Arga usap punggung dan perut bawah istrinya tanpa henti, matanya sudah sangat berat, tapi rintihan Meliana membuatnya kuat seketika.Arga tak hentinya melantunkan doa yang bisa membantu istrinya tenang, sedangkan Neni untuk sementara duduk karena tubuhnya ikut lemas.Semakin bertambah pembukaan Meliana, rasa sakit itu semakin dahsyat, semua berharap yang terbaik, entah itu normal atau nanti Meliana harus caesar, tidak masalah.Neni hanya ingin menantu dan cucunya itu sehat bersama, selamat dan bisa berada di dekatnya segera.
Malam itu, Meliana siapkan makanan kesukaan suaminya, perut yang membesar mungkin menghalanginya untuk bergerak cepat, tapi tidak membuat Meliana lantas malas untuk melayani suaminya.Arga masih mendapatkan apa yang ia mau, termasuk hak berkunjung pada buah hatinya itu."Dia makin suka bergerak ya, sayang?" tanya Arga sembari mengusap perut besar itu, menerima suapan dari sang istri yang terlihat mengembang akhir-akhir ini, apalagi bagian pipi Meliana. Meliana mengangguk, "Dia suka nyapa orang kayaknya, sampai kalau ada abang sayur itu waktu pagi, aku sama ibu kan milih, dia ikut gerak nonjol ke kanan atau kiri gitu loh, Ga," ungkapnya."Beneran? Penasaran aku sama dia jadinya, nggak sabar Ayah ketemu kamu, Dek sayang." Satu kecupan mendarat di perut buncit itu.Meliana terkekeh, anaknya itu terbilang sangat aktif, tapi saat mereka melakukan USG, dia sama sekali tidak menampilkan wa
Harto buka pintu kamar yang sontak tertutup rapat itu, Neni tampak di dalam sana dengan mata yang basah.Wanita itu berusaha menenangkan diri setelah mengomel di depan seolah memberi sambutan pada Rika dan Juna."Kabar baik yang kau dengar, lalu kenapa kau menangis?" tanya Harto.Neni menoleh, "Aku hanya terlalu senang dan aku tidak mau menunjukkannya pada anak-anak itu," jawabnya."Astaga, mereka kira kau tidak suka sampai Rika menangis di pelukan Amel."Klek,Belum selesai Harto berbicara dengan Neni, Meliana yang baru saja ia sebut itu masuk ke kamar, ia balikkan tubuhnya lalu mengulas senyum di sana."Boleh aku bicara dengan Ibu?" tanyanya."Kenapa? Kau mau berceramah padaku apa?" tuduh Neni ketus, tapi satu tangannya terulur meminta Meliana mendekat.Meliana sambut tangan itu, ia lantas duduk ke samping Neni dan berhadapa
Masih ingat dibenak Rika akan kejadian bulan lalu di mana dirinya harus berlari keliling rumah Arga tanpa alas kaki sebanyak sepuluh kali karena melakban mulut Neni dengan sengaja.Ia masih keukeh sampai hari ini untuk tidak terlalu banyak bicara pada ibu Arga dan ibu mertua Meliana itu, sekedarnya saja dan tetap melakukan apa yang Neni anjurkan selama proses programnya."Apa aku harus bersujud kepadanya, hah?" Rika berkacak pinggang."Kau tahu semua ini berkat bimbingan dan bantuan darinya, kenapa kau kejam sekali?" balas Juna, menyerah sudah kalau Rika mengibarkan bendera perang pada Neni.Aku harus apa dan aku masa bodoh, itu yang ada dibenak dua orang yang sedang mondar-mandir di depan rumah.Mereka endak berangkat ke klinik untuk pemeriksaan lanjutan, satu bulan pertama proses program kehamilan ini, mendekati hari datang bulan berikutnya, Rika wajib kontrol untuk memeriksakan kandunga