Bruak, bruak, bruak ....
Tangan Arga tak kuasa menahan laju amarah dari ayahnya, berulang kali pria itu bangkit untuk melampiaskan amarahnya pada Neni.
Pengakuan yang menggelikan sekaligus mengerikan itu berulang kali memancing amarahnya, kesetiaan Neni dipertanyakan saat ini juga.
Sampai tengah malam mereka belum berhenti untuk saling beradu ucapan dan melempar benda keras, anggap saja saat ini terjadi kekerasan dalam rumah tangga di sini.
Harto tidak bisa menahan diri lagi, mulut Neni terus mengatakan bahwa Arga bukanlah anak kandung Harto, anak kandung Harto telah Neni butuh dan sengaja ia gugurkan sebelum Harto tahu kalau dirinya hamil.
"Cukup, Ayah!" Arga menahan tubuh besar ayahnya, ia pun sudah berlumuran darah karena menolong Neni dari banyak lemparan benda tumpul ayahnya.
"Biarkan dia melampiaskan amarahnya padaku, aku juga sudah muak dengan rumah tangga pura-pura ini, aku menyesal!" ucap Ne
Meliana sampai tertidur menemani Arga yang tidak mau melepaskan atau sekedar jauh sebentar darinya, mata itu baru terbuka saat isakan Arga kembali terdengar."Ga, ada aku di sini, kamu tenang ya ...."Arga pandangi wajah lembut dan perhatian Meliana, ia terisak kembali menunjukkan betapa hancur dan lemahnya dia saat ini.Satu tangan yang masih ada di atas perut Meliana seolah enggan untuk pergi, Arga menahan tubuh kecil itu dan tidak mau menjauh sedikit pun.Entah apa yang terjadi, sampai detik ini belum ada pesan dari kedua temannya yang mungkin mendapatkan informasi dari Harto.Meliana bahkan tidak melihat atau sekedar mendengar suara heboh dari kedua temannya, tidak mungkin bila tadi saat ia tertidur, kedua temannya itu memutuskan membawa Harto ke rumah sakit."Sayang, boleh aku tinggal sebentar? Aku mau memastikan Rika mengobati ayah dengan benar, boleh ya?"Cukup lama Arga berfikir
Meliana usap lembut wajah yang banyak luka memar itu, suaminya masih terlihat tampan seperti biasanya, ia tidak menyangka kalau hari berat ini akan mereka lalui.Entah kenapa ia bersyukur karena ketika Arga menerima kenyataan pahit ini, Arga ada bersamanya, tidak bisa Meliana bayangkan kalau Arga berada di tangan orang lain atau seorang diri, pria itu bisa saja mengakhiri hidupnya karena sebuah pengakuan yang cukup membuatnya hancur."Kau mau minum atau makan?" tawar Meliana, ada dua potong roti yang tadi Juna bawakan."Aku ingin kau peluk saja, Mel.""Tidak dulu, kau sedang sakit, memelukmu saat ini tidak akan memperbaiki keadaan yang ada. Kau harus makan agar kuat dan bisa kembali pulih, ayah menunggumu untuk merawatnya, sayang," balas Meliana menolak lembut.Samar-samar Arga mengingat, batinnya kembali sesak hingga suapan Meliana bercampur dengan tetesan air matanya.Dengan tenang Meliana hapus ai
Heri masih menggenggam tangan teman baiknya itu, begitu juga Surti yang terus saja mengangguk saat banyak penjelasan Heri sampaikan untuk memperjelas kilasan masa lalu yang menjadikan dendam dan rasa sakit hati pada diri Neni selama ini."Mas Heri benar, Nen. Dia tidak membencimu atau menganggap kau kalah dari Siwi, tapi dia terlalu sayang pada masa depanmu bila bersamanya yang tidak mempunyai apa-apa, kau mempunyai mimpi besar, bila dalam hubungan kekasih tidak bisa dia berikan, itu artinya memaksa kau untuk pergi, Mas Heri tidak mau itu sampai terjadi, dia sangat menyayangimu, mengharapkan kau mendapat kehidupan yang lebih baik bersama Harto waktu itu," tutur Surti, ia baru berucap saat ini.Mata Neni terus menatap pria yang sudah menjadi bait dalam masa lalunya itu, pria yang sampai membuatnya kehilangan arah karena merasa diabaikan dan tidak dicintai, pria yang membuat masa lalunya menjadi kelam hingga berbuat nekad dan kejam.Ia meng
Klek,Meliana tahu suaminya itu sengaja menjatuhkan botol kosong bekas air minumnya untuk mencari perhatian, terbangun dari tidur dan tidak melihat Meliana ada di dekatnya.Ia ingin tertawa pasalnya Arga seperti anak kecil kalau sedang sakit seperti ini, lucu dan menggemaskan, Meliana seperti sedang mengasuh anak kecil sakit.Tapi, benar sekali karena Arga adalah bayi besanya.Membahas bayi, Meliana jadi teringat akan program kesehatan dan kesuburan yang telah ia jalani sejak berpisah dari Natan, beberapa bulan ini tidak rutin, nanti akan ia ulangi lagi dengan rasa senang karena kabar baik dari Neni sudah ia dapatkan."Sayang," sapanya."Jangan memanggilku seperti itu!" melengos, tidak mau melihat Meliana."Oh, marah ya? Oke, kalau gitu, aku akan kembali ke luar ruangan ya ...."Dua langkah kaki Meliana terdengar, Arga bergumam dan sengaja ia keraskan agar Meliana mendengarn
Bila tadi Rika sudah mendapatkan anggukan dari Neni akan tawaran yang ingin Meliana sampaikan.Kini tugas beralih pada Meliana di mana ia harus mencari hati yang lapang dari ayah mertua dan suaminya akan kehadiran Neni dengan sejuta luka yang tercipta.Meliana duduk tepat di samping Arga lebih dulu, pria itu baru saja bertemu kembali dengan dokter yang mengatasi rasa takut juga trauma dalam jiwanya."Apa kau sebaik itu sampai mau merawat dan menerimanya?" tanya Arga memalingkan wajahnya, ia bahkan tidak ingin melihat wajah Neni lagi.Wanita kejam dan tidak punya hati nurani itu tidak pantas berada di rumah atau ia anggap dengan sebutan ibu.Bahkan bila ada yang harus ia rawat, Arga akan memilih Harto saja sebagai ayahnya."Arga, siapa tahu lewat jalan ini DIA memberikan kita kesempatan untuk menciptakan hubungan yang baik dan keluarga yang utuh, maafkan dia, apa yang terjadi j
"Apa kau sesenang itu melihatku tidak bisa memakai celana begini, hem?" tanya Arga malu, ia sedikit geram juga karena Meliana tergelak kencang melihat ia kesusahan memakai celana.Meliana sampai berpegangan pada tepian ranjang, ia tidak bisa menahan gelak tawa yang terus memuncak pada dirinya itu."Ahahahahah, maafkan aku, sayang. Tapi, kau lucu sekali," ujar Meliana berusaha untuk berhenti tertawa.Arga sudah berusaha keras untuk menaikkan celananya, tapi begitu ia memindahkan kedua tangan untuk bergantian, justru celana itu kembali melorot dan menampilkan celana dalam berwarna kelabu dengan motif awan pilihan Meliana itu.Usai sudah perjuangannya hari ini, banyak keringat yang bercucuran hingga tubuhnya pegal-pegal, begitu sulit menyeimbangkan tubuh yang sudah lama tidak melemah, Arga ingin menyerah, tapi wanita yang tengah tertawa menjadi pembangkit semangatnya."Aku bantu, sayangku, sini!" Meliana berjalan me
Rika sengaja datang lebih pagi di rumah utama itu, ia ingin melihat seberapa berani Neni menunjukkan batang hidungnya dengan Meliana yang kini memegang kuasa penuh di rumah Arga.Bukan bangunan mewah seperti rumah yang hancur dan ia tinggalkan sejenak itu, tapi rumah sederhana yang cukup nyaman dan mungkin di bawah standart Neni yang sudah lama melejit menjadi orang berkecukupan.Neni tampak menarik kursi rodanya sendiri menuju ruang tamu, bertemu Rika yang sontak menampilkan seringainya, kalau tidak ada Meliana dan ada perintah untuk balas dendam, ia pastikan tangan itu mencekik leher Neni sampai putus, ia ingin wanita itu mati sebelum kembali pulih.Dia bukan Meliana yang mudah percaya dan berhati lembut, tapi dia bisa jauh lebih licik dari Neni bila wanita itu berulah lagi, tidak akan ada yang tahu kapan ular itu kembali memiliki bisa mematikan yang bisa membuat Meliana hancur."Apa malammu cukup nyenyak, Bu Neni?" tanya R
Sengaja Meliana sibakkan rambut basahnya ke depan wajah Arga, itu bentuk pembalasan karena suaminya memaksa lagi saat pagi tiba dan dia harus mengulangi mandinya.Kesal, tapi ia izinkan karena itu bukti cintanya pada sang suami yang berangsur-angsur pulih.Meliana adalah mood booster Arga, bila Meliana menuruti semua maunya, dia akan melakukan juga seperti apa yang Meliana mau."Kau jadi pergi bersama Rika saja?" tanya Arga memastikan, ia ingin ikut, sayangnya tidak berdaya.Meliana mengangguk, ia bantu suaminya dulu merapikan baju setelah itu ia bersiap diri untuk pergi berbelanja.Orang yang menghuni rumah ini semakin bertambah, itu artinya bahan makanan mereka juga harus sedia banyak, begitu juga buah dan camilan yang harus tersedia untuk menemani waktu luang selama Arga dan yang lain belum pulih total."Jangan cemberut begitu, aku tidak meninggalkanmu di rumah sendirian kan? Ada ibu dan ayah yang
Natan dan semua masa lalu itu sudah berlalu kini, bahkan maaf yang sempat tertunda dan termaafkan tanpa diminta sudah berlayar juga hari itu.Meliana tatap lembar kosong di tangannya, itu milik Kirana seutuhnya, dia dan Arga telah berjanji untuk menutup masa lalu dan mengukir kenangan indah baru bersama.Biarlah cerita buruk yang mereka lewati di masa itu menjadi dogeng untuk anaknya sebelum tidur tanpa dia tahu siapa peran sesungguhnya di dalam sana.Hari ini, yang ada di depan Kirana hanyalah keluarga yang bahagia, keluarga yang mengenal banyak karakter yang lengkap di mana pembuat senyum dan keributan bercampur menjadi satu."Sayang, mana Kiran?" Arga memeluk pinggang yang kembali ramping itu, mengecup singkat pipi merah istrinya."Dia ada di kamar ibu, hari ini giliran ibu yang menjaganya. Dia menjadi rebutan di rumah ini, kenapa?" Meliana goyangkan sedikit tubuhnya, ke kanan dan kiri sampai Arga mengikutinya
"Kita harus pergi dari rumah ini, kamu dan aku!" Natan menatap lurus istrinya, tekadnya sudah bulat untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang ibunya.Fira masih belum paham apa maksud suaminya itu setelah semalam tak kembali ke kamar dan mereka terdiam cukup lama."Cepat, Fir!" titahnya mengeraskan suara."Iya, tapi dengarkan aku dulu!"Tidak, Natan tidak mau mendengarkan apapun dari Fira, intinya hari ini juga mereka harus ke luar dari rumah itu meskipun banyak larangan yang mengecam keduanya.Fira kemasi baju-baju yang sudah Natan pilihkan, ia kemudian berhenti sebentar saat ibu mertuanya berdiri di depan kamar mereka."Hentikan, Natan!" pinta sang ibu."Tidak, mau apa Ibu? Aku akan hidup sendiri bersama istriku, sudah cukup kekacauan yang Ibu buat, kali ini aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan menuruti kemauan Ibu untuk meningga
Dia pulang membawa kecemasan dan rasa sesal yang menggunung, dari tangan dan isi kepalanya, Meliana masuk dan terbuang dari rumah ini.Anak lelakinya yang malang, setelah menikah dengan Fira untuk kedua kalinya, Natan tampak tak berselera dan tak punya pandangan hidup.Sungguh, berbeda saat Natan bersama Meliana dulu, selalu ada hal baru yang membuatnya marah, tapi Natan suka itu.Pandangannya masih tertuju pada Natan, wajahnya kian menua dan kebahagiaan seolah terampas dari hidupnya.Bukan salah Meliana atau Natan, tapi salahnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab atas kehidupan putranya sendiri.Ia kira akan lebih baik memisahkan gadis seperti Meliana dari anaknya, yang terjadi saat ini justru sebaliknya, rumah ini terbangun asal ide dan usulan Meliana, setiap sudutnya masih mengingatkan dan bisa mereka dengar gelak tawa Meliana di sana.Kalau saja waktu bisa
Pletak,Surti sentil kening anaknya yang tengah hamil muda itu, seperti biasa dan Juna sudah paham itu, di mana ibu mertua dan istrinya akan bertengkar setiap kali mereka bertemu.Sungguh, tidak akan pernah ada kedamaian di pertemuan mereka sebelum saling bersorak dan memprotes."Apa cucuku tumbuh baik di perut berlemak ini?" tanya Surti."Sur, kau ini!" Heri sudah lelah menegurnya, bahkan sudah menghabiskan satu botol air mineral, padahal baru saja tiba.Surti mengetuk perut Rika sebelum memutuskan untuk duduk ke samping Heri.Banyak barang yang mereka bawa dari kampung untuk anak Meliana, mereka harus pergi ke rumah sakit sekarang mengingat Heri ingin segera menggendong cucu pertamanya itu."Aku tidak bekerja, Bu. Tenang saja, kita akan berangkat setelah Rika mandi," ujar Juna.Plak,Beruntung Heri tahan laju tangam Su
"Ibuuuuu," panggil Meliana merintih, ia tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang ada. Kedua tangannya terus meremat dan kini berpindah ke sisi ranjang dengan kedua kaki yang sudah tertekuk naik. Penyanggah di sana terpasang dengan baik, dokter dan timnya sudah bersiap di bawah beserta alat medis untuk penanganan berikutnya. Kali ini penanganan pasien khusus di mana ditemani oleh dua orang sekaligus, Meliana tidak mau melepas tangan Neni ataupun Arga, dia mengunci kuat dengan mata basahnya saat tangan itu dipaksa pindah ke sisi ranjang. Neni meminta kelonggaran dengan alasan yang sama di mana hanya dia ibu dari Meliana, bahkan cerita masa lalu terukir di sana, bergelimang dan terdengar hingga berlinang air mata. "Ibu, Arga!" Meliana memanggil sekali lagi saat gelombang dahsyat itu menyerangnya. Arga mendekat, ia usap kening dan kecup dalam di sana, tidak ada yang bisa ia lakukan selain dua hal it
Heri tak berhenti mengirimkan doa untuk anaknya yang tengah berjuang itu, begitu juga Surti yang ada di dekatnya, menyiapkan segala hal yang mungkin bisa mereka bawa ke rumah Arga, mereka akan menggantikan posisi Neni dan Harto di rumah itu mengingat Rika juga sedang hamil muda, butuh kekuatan pendamping agar tidak terlalu larut dalam suasana mencekam yang ada.Sementara di rumah sakit,Arga usap punggung dan perut bawah istrinya tanpa henti, matanya sudah sangat berat, tapi rintihan Meliana membuatnya kuat seketika.Arga tak hentinya melantunkan doa yang bisa membantu istrinya tenang, sedangkan Neni untuk sementara duduk karena tubuhnya ikut lemas.Semakin bertambah pembukaan Meliana, rasa sakit itu semakin dahsyat, semua berharap yang terbaik, entah itu normal atau nanti Meliana harus caesar, tidak masalah.Neni hanya ingin menantu dan cucunya itu sehat bersama, selamat dan bisa berada di dekatnya segera.
Malam itu, Meliana siapkan makanan kesukaan suaminya, perut yang membesar mungkin menghalanginya untuk bergerak cepat, tapi tidak membuat Meliana lantas malas untuk melayani suaminya.Arga masih mendapatkan apa yang ia mau, termasuk hak berkunjung pada buah hatinya itu."Dia makin suka bergerak ya, sayang?" tanya Arga sembari mengusap perut besar itu, menerima suapan dari sang istri yang terlihat mengembang akhir-akhir ini, apalagi bagian pipi Meliana. Meliana mengangguk, "Dia suka nyapa orang kayaknya, sampai kalau ada abang sayur itu waktu pagi, aku sama ibu kan milih, dia ikut gerak nonjol ke kanan atau kiri gitu loh, Ga," ungkapnya."Beneran? Penasaran aku sama dia jadinya, nggak sabar Ayah ketemu kamu, Dek sayang." Satu kecupan mendarat di perut buncit itu.Meliana terkekeh, anaknya itu terbilang sangat aktif, tapi saat mereka melakukan USG, dia sama sekali tidak menampilkan wa
Harto buka pintu kamar yang sontak tertutup rapat itu, Neni tampak di dalam sana dengan mata yang basah.Wanita itu berusaha menenangkan diri setelah mengomel di depan seolah memberi sambutan pada Rika dan Juna."Kabar baik yang kau dengar, lalu kenapa kau menangis?" tanya Harto.Neni menoleh, "Aku hanya terlalu senang dan aku tidak mau menunjukkannya pada anak-anak itu," jawabnya."Astaga, mereka kira kau tidak suka sampai Rika menangis di pelukan Amel."Klek,Belum selesai Harto berbicara dengan Neni, Meliana yang baru saja ia sebut itu masuk ke kamar, ia balikkan tubuhnya lalu mengulas senyum di sana."Boleh aku bicara dengan Ibu?" tanyanya."Kenapa? Kau mau berceramah padaku apa?" tuduh Neni ketus, tapi satu tangannya terulur meminta Meliana mendekat.Meliana sambut tangan itu, ia lantas duduk ke samping Neni dan berhadapa
Masih ingat dibenak Rika akan kejadian bulan lalu di mana dirinya harus berlari keliling rumah Arga tanpa alas kaki sebanyak sepuluh kali karena melakban mulut Neni dengan sengaja.Ia masih keukeh sampai hari ini untuk tidak terlalu banyak bicara pada ibu Arga dan ibu mertua Meliana itu, sekedarnya saja dan tetap melakukan apa yang Neni anjurkan selama proses programnya."Apa aku harus bersujud kepadanya, hah?" Rika berkacak pinggang."Kau tahu semua ini berkat bimbingan dan bantuan darinya, kenapa kau kejam sekali?" balas Juna, menyerah sudah kalau Rika mengibarkan bendera perang pada Neni.Aku harus apa dan aku masa bodoh, itu yang ada dibenak dua orang yang sedang mondar-mandir di depan rumah.Mereka endak berangkat ke klinik untuk pemeriksaan lanjutan, satu bulan pertama proses program kehamilan ini, mendekati hari datang bulan berikutnya, Rika wajib kontrol untuk memeriksakan kandunga