Kaki ini pegal, berkeliling mengikuti kemanapun Mahardika menyapa rekan-rekannya. Beberapa aku mengenalnya, namun banyak juga wajah-wajah asing. Tempat pertemuan ini begitu luas dan dihias megah. Hotel yang menjadi lambang kemewahan di kota ini. Walaupun sesama designer baju, aku tidak terlalu mengikuti acara seperti ini. Semua sudah ditangani tim pemasaran garmen. Bahkan, beberapa menjadi pembeli tetap di Lintang Soul, namun tidak pernah bertemu denganku. "Dika, aku capek sekali. Aku duduk dulu, ya. Kamu lanjutin tebar pesona, sana!" Aku merengut, memaksanya untuk mengerti. Dia terkekeh dan berputar akan mengantarku ke meja kami. Namun, sebelum melangkah ada seseorang memanggil Dika. "Sudah. Tidak usah diantar. Kamu temuin mereka saja. Pasti ada yang penting. Good luck, ya!" Aku mendorong pelan, memaksanya untuk pergi. "Tapi ...." "Sst! Go!" Aku mendelik dan disambut anggukan menyetujuiku. Meja kami lumayan di ujung depan. Aku harus melewati beberapa meja dengan keadaan ka
Hasil pemeriksaan, pergelanganku terkilir saja. Tidak ada yang retak apalagi patah. Awalnya, Mahardika memaksaku untuk di rawat di rumah sakit dengan pengawasan dokter. Namun untuk apa? Semalaman Mahardika menungguiku. Dia tidak mau pulang, bahkan dia rela tidur di sofa sebelah ranjangku. "Ini tanggung jawabku. Kalau aku tidak meninggalkanmu, pasti tidak akan terjadi seperti ini," jawabnya. "Ada Mbak Rahmi." "Tidak, aku harus memastikan sendiri sampai besuk pagi. Aku kawatir, nanti kamu kesakitan saat sendirian." Benar, pada tengah malam aku terbangun. Rasa nyeri menyiksaku. Aku merasa pergelangan kaki berkedut dan membengkak. Tak sadar, aku merintih sambil mengusap kaki ini. "Lintang! Sakit?" teriak Mahardika. Dia terbangun dan dengan sigapnya mengambil kaki ini dan mengusap-usap berusaha mengurangi rasa sakit. Mungkin ini terasa karena pengaruh penghilang rasa sakit sudah habis. "Dika .... Sakit!" "Minum ini, sebentar lagi, pasti sakitnya berkurang," ucapnya setelah meny
"Langit ...."Aku menatap mata yang berangsur-angsur sendu. Mencoba hanyut dalam sorot kehangatan. "Kamu mengharapkan aku tinggal?" ucap Langit seraya menyelipkan rambutku di telinga.Aku yang berpegang erat pundaknya, hanya bisa mengangguk. Lidah ini kelu, seiring dengan degup jantung yang bertalu indah. Terlebih ketika dahi ini dikecup olehnya.Napas hangat yang menerpa wajah, membuat hati ini menuntut perlakuan lebih. Dengan sendirinya, mata ini terpejam dan hanyut dalam sentuhannya. Dengan sendirinya, tangan ini ingin mengalung di lehernya. Memberikan ruangan lebih untuk membersamainya."Auuw!" teriakku mengaduh.Saat tangan ini berpindah, tumpuan tanganku pun terlepas. Pergelangan kaki ini ternyata belum kuat untuk berdiri tegak, dan nyeri kembali menyerang."Kakimu masih sakit? Sini aku periksa!"Pelan, dia mendudukkan aku di sofa, kemudian memastikan keadaan kakiku yang ternyata menghangat kembali. Pertanda, baru saja memaksakan kaki untuk berdiri."Aku ke sini tidak menemui
"Wajah Mbak Lintang cerah sekali. Dari tadi senyum-senyum terus. Padahal lagi sakit," tanya Mbak Rahmi. Dia pulang untuk memastikan makan siangku. Hanya selisih beberapa menit dengan pulangnya Langit."Masak, sih. Biasa saja," jawabku sambil menyeruput jus strawberry sampai tandas. Aku menatap kabinet berpintu cermin, menatap bayanganku yang ternyata benar. Senyuman terbayang di sana. Wajahku bersemburat merah, mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu. Langit.Nama yang kembali memenuhi hati, bahkan di kepala ini hanya teringat sosoknya. Kami tadi saling bercerita. Dia menceritakan bagaimana kehidupannya sebelum disibukkan dengan pekerjaan.Benar cerita Pak Salim, dia dulu anak band. "Aku pegang bass, yah sesekali jadi vokalis," ucapnya sambil tertawa. "Aku hanya penikmat lagu. Oya! aku pernah dengar lagunya Padi. Tetaplah menjadi bintang di langit .... Agar cinta kita abadi ...," ucapku yang diakhiri menyanyikan cuplikan lagu. "Bagaimana kalau ini menjadi lagu kita?""Tidak!"
Walaupun dengan tertatih, aku sudah bisa berpindah tempat. Katanya kalau cidera seperti yang aku alami, memang tidak boleh bergerak berlebih. Namun, tetap disarankan tidak diam karena akan membuat kaki menjadi kaki.Mbak Rahmi tetap bersikap sama, kawatir dan ingin menungguiku terus. Sama seperti dulu ketika aku mengalami kemalangan yang beruntun. Hanya bersamalah aku ditemani, dan tentu dengan support Mahardika sahabatku.Pernah Mbak Rahmi mengira aku dan Mahardika berpacaran. Akan tetapi setelah aku jelaskan dia mengerti, lebih tepatnya berusaha mengerti.“Kalau laki-laki seperti Mas Dika sampai menyisihkan waktu sedemikian, itu tidak mungkin tidak ada alasannya. Kalau bukan cinta,” ucap Mbak Rahmi kala itu.“Alasannya kasih sayang, Mbak. Kami bersahabat untuk selamanya. Aku pun akan bersikap sama dengan apa yang dia lakukan, ” jelasku memaksanya untuk mengangguk.Sejak itu, apapun yang terjadi kepadaku, Mbak Rahmi seperti mata-matanya Dika. Kecuali saat penyamaran kemarin, aku su
-Hidup itu pilihan, begitu juga cinta-***"Lintang! Nih pesananmu!" teriak Dika setiba di rumah. Langsung membuka bungkusan tempe mendoan dan diletakkan di piring lebar.Dia langsung menghampiriku yang duduk di sofa. Mengamati dan mengacak lembut rambut ini sambil berkata, "Kok lesu? Masih terasa sakit?"Tersenyum aku menatapnya dan menggeleng. Dia sangat perhatian kepadaku. Kasih sayang yang tidak berubah dari dulu. Aku merasa dimanjakan olehnya di setiap waktu."Kenapa menatapku begitu? Ada yang salah dengan wajahku," tanyanya sambil meraba-raba wajah, kemudian mengaca di cermin kabinet.Aku menggapai tangannya dan mendongak sambil berucap, "Dika .... Maafkan aku, ya. Aku selalu merepotkanmu dan terlalu egois. Hanya kamu yang berusaha mengerti perasaanku, sedangkan aku ...."Spontan, Mahardika duduk dan merangkul pundakku. "Hei….Kenapa kamu?”"A-aku merasa jahat kepadamu. Sungguh, aku tidak berniat mempermainkan atau memanfatkan perasaan. A-ku merasa kamu adalah saudaraku, teman hi
"Dika ...!" teriakku histeris. Dia tergopoh-gopoh menghampiriku yang terduduk lemas. Di tanganku masih menggenggap ponsel yang baru saja menggelap layarnya. Bersamaan gelapnya hati ini setelah menerima kabar."Ada apa Lintang?! Kenapa kamu teriak?" Matanya menatap ponsel yang aku tunjukkan, dan menatapku kembali tidak mengerti."Langit! Langit kecelakaan! Sekarang, dia di rumah sakit. Baru saja telpon dari sana," ucapku dengan tangan bergetar. Aku seperti terlempar pada saat itu, ketika menerima kabar kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuaku. Saat itu seperti sekarang, aku bersama Dika sedang menyelesaikan pekerjaan. Waktunya juga sama, malam hari. "Dika .... Bagaimana ini? Bagaimana kalau Langit ...." Aku tidak sanggup berandai-andai.Tangisku pecah seketika, Mahardika langsung merengkuhku dalam pelukannya. Mencoba menenangkan dan menghiburku, bahwa yang aku bayangkan belum tentu benar.Dengan tergesa, kami berangkat ke rumah sakit yang di sebutkan tadi. Lumayan jauh da
--Tidak ada yang terjadi secara kebetulan, semua sudah diatur Sang Semesta. Termasuk pertemuan aku, kamu dan dia--***Hari-hariku dipenuhi Langit, Langit, dan Langit.Hampir setiap hari sepulang dari pabrik, dia ke rumah. Padahal jarak rumah kami lumayan jauh, walaupun masih satu kota. Alasannya, karena ibunya--dulu, aku sebut Den Ajeng--masih di Jogja. Alasan aneh, apa hubungannya ibu sama pacar? Kata terakhir ini yang membuat hatiku berdesir. Pacar.Ah, istilah yang terlalu kekanakan. Aku lebih suka menyebutnya teman dekat yang spesial.Memang, bersamanya aku merasa bahagia, tetapi untuk melangkah lebih jauh, rasanya belum berani. Aku tidak yakin dengan hubungan ini. Hanya sekadar dijalani dan menunggu bermuara kemana. Aku tidak berani berjanji lebih."Bukankan kamu mencintaiku?" tanya Langit, mempertanyakan hubungan kami.Sore itu, kami duduk santai di sunbed pinggir kolam. Dua sunbed dijadikan satu. Menikmati bulan purnama yang bulat sempurna terpantul di air kolam. Sinarnya