Siapa yang akan menyangka jika Mami, Papi dan Rani pulang kampung hanya karena ingin bertemu dengan Mario Iswary? Dan kebetulannya lagi, hari ini adalah sidang Mario yang terakhir sebelum vonis. Sara sudah deg-degan. Mengingat semalam ketahuan sedang uwu-uwu dengan Banyu saja, Sara berasa tidak punya muka di depan Mami Lucy dan Rani. Papi Hendra juga pasti tahu karena sehabis kita berbincang hangat di sofa ruang tengah, mami mengomeli Banyu dan menjewer lelaki itu bak anak kecil yang bandel. Walaupun reaksi keluarga Banyu tetap santai, Sara malah semakin malu.Sekarang ditambah mereka semua menghadiri persidangan papanya. Ya meski di sisi lain, Sara senang ketika semua memberikan support moril pada papanya. Akan tetapi, rasa deg-degan, was-was dan cemas sudah menjadi satu dan membuat Sara tidak mampu tersenyum barang sedetik saja. Bagaimana jika sidang kali ini, bukti yang dikeluarkan tidak bisa membuat papanya bebas? Bagaimana juga reaksi kedu
Sara tahu Banyu kesal padanya karena sejak tadi ia mengabaikan suaminya ini. Lagipula, ceriwis sekali padahal situasinya sedang serius. Jangan menyalahkan papi Hendra juga karena pada dasarnya papi Hendra cukup membantu Sara memahami jalannya sidang tadi. Namun, melihat Banyu begini juga sedikit ada rasa bersalah di hati Sara.Ia pun mencoba merayu Banyu untuk jangan ngambek lagi. Tangannya bergelantung manja di lengan Banyu sejak sidang selesai. "Maaf." ujar Sara sambil mendongak dan melihat wajah Banyu dengan ekspresi merasa bersalah.Lelaki itu masih berwajah kaku. "Sayang." panggil Sara begitu mesra. "Maafin aku ya." mohonnya dengan puppy eyes.Siapa yang tahan jika Sara sudah seperti ini? Pertahanan Banyu sepertinya akan segera runtuh. Apalagi dibelakang orang tua Banyu yang kini berbincang dengan Mario dan tim pengacaranya, Sara menyandarkan kepalanya di bahu Banyu. Fix! Banyu kepanasan."Aku gak bermaksud nyuekin kamu. Cuma situasi tadi membuat konsentrasiku gak bisa terpecah
"Yakin gak mau diantar?" tanya Banyu yang baru saja mematikan mesin mobilnya.Sara mengangguk sambil membelakangkan rambutnya dan bersiap untuk keluar. Sejak diperjalanan menuju makam mamanya, Sara juga terlihat agak pendiam dari biasanya. Banyu tahu kegelisahannya soal apa dan ia tidak berniat menganggu privasinya selagi tidak diijinkan atau Sara dengan sadar bercerita. Mungkin perempuan ini butuh waktu."Oke. Aku tunggu sini." ujar Banyu sambil meraih punggung tangan Sara untuk digenggamnya sebentar.Sara keluar dari mobil dan berjalan sendirian memasuki area pemakaman itu. Sudah hampir sore, tapi cuacanya sangat cerah. Siluet kuning keemasan menerpa pucuk-pucuk daun pohon besar dimana dibawahnya ada sebuah makam seorang yang ia rindukan. Teduh menyapanya.Barangkali si penjaga makam sudah memenuhi mandat papanya untuk selalu membersihkan makan sang istri. Terlihat sekelilingnya bersih dengan potongan rumput hijau yang rapi. "Mama ... Sara datang," Ia berjongkok di samping pusara it
Banyu dan Sara baru pulang dari kantor, sedikit lebih malam karena pekerjaan Banyu ternyata cukup banyak meski sudah dibantu Ardi. Ini semua karena Banyu menemani Sara di persidangan seharian dan ikut makan siang."Tahu gini, tadi aku pakai taksi aja ke makam mama. Gak perlu minta antar. Kerjaan kamu ternyata menumpuk begitu." ujar Sara sambil berjalan bergandengan memasuki rumah."It's okay. Lagian aku juga gak bakalan ijinin kamu pergi sendiri."Saat sampai di ruang tengah, ternyata papi Hendra duduk di sana sedang menonton sebuah film. Sara pun berinisiatif untuk menghampirinya dan menyalaminya. "Papi kok belum tidur? Mami sama Rani kemana?" tanya Sara."Nungguin kalian. Mami sama Rani pergi belanja, dari tadi belum pulang."Sara menoleh ke arah Banyu dan lelaki itu masih terdiam di tempatnya tanpa ada tanda-tanda mau mendekat atau menyalami papinya."Maaf, Pi. Tadi Sara ikut Banyu ke Artblue, kerjaannya banyak jadi
Banyu menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Baru saja ditinggal mandi sebentar, Sara sudah molor dengan bibir sedikit terbuka. Dasar, seperti capung tapi lucu.Ujung-ujungnya, Banyu tersenyum dan menyelimuti tubuh Sara serta menyeting suhu AC. Ia lantas mencium puncak kepala Sara. Sungguh ada debaran yang tidak pernah bisa hilang ketika ia atau Sara berperilaku seperti suami dan istri sungguhan. Sentuhan-sentuhan yang mengandung cinta itu terus membuat Banyu merasa nyaman. Ya, memang mereka sudah mengakui perasaan satu sama lain, dan rasanya perasaan sebahagia ini wajar terjadi. Ia sungguh bahagia memiliki satu sama lain dan hidup dalam sebuah ikatan yang sakral.Akan tetapi, ada sedikit rasa mengganjal di hati Banyu untuk kelangsungan hubungan mereka berdua. Sesuatu itu masih bercokol kuat dikepalanya dan kini membuatnya mengusap kasar wajahnya. Ia pun meninggalkan kamar dan masuk ke dalam ruang kerjanya, membawa serta si Kikut.Banyu menyandarkan punggungnya di kursi kerja samb
Banyu sedang sibuk saat ponselnya di atas meja bergetar. Nama yang akhir-akhir ini ia sukai, muncul dan menari-nari. Dengan senyum sumringah, ia pun segera mengangkatnya."Hai, Honey." sapa Banyu."Sayang, lunch yuk? Aku udah ada di Mall, kamu bisa kan nyusul ke sini?""Sekarang?""Tahun depan sih. Ya sekarang, Bay!"Banyu terkekeh mendengar Sara kesal di seberang sana. "Ya udah, aku beresin kerjaan bentar, terus nyusul kamu ke sana. Kamu sama siapa?""Nanti juga tahu. Buruan ya, aku tunggu.""Yes, Honey. Apa sih yang enggak buat kamu."Sara terkekeh. "Jangan gombal! Aku tutup teleponnya dan cepetan beresin kerjanya."Bibir Banyu terbuka untuk menanggapi, tapi sambungan telah terputus duluan.Sara melambaikan tangannya saat Banyu masuk ke salah satu restoran ternama di dalam Mall. Lelaki itu tersenyum hangat seperti biasanya saat melihat istrinya duduk manis menunggunya.Banyu memeluk Sara sekilas dan mengecup puncak rambutnya. "Udah lama?" tanyanya."Lumayan, but it's okay. Kayaknya
Sara menghela napasnya. Kalau satu dua kali mungkin masih oke. Ini berkali-kali dan hampir setiap hari ia bertemu dengan tante Ana yang selalu berusaha merebut hatinya. Seolah-olah tante Ana sudah siap saja mau menikah dengan papanya dan jadi ibu tirinya. Sungguh sangat membuat Sara risih."Sabar, Hon. Sebentar lagi aku sampai." ujar Banyu di telepon.Sara mencuri kesempatan pamit ke toilet saat mami Lucy dan Tante Ana melakukan perawatan wajah. Ia menelepon Banyu dan curhat bahwa ia sangat tidak nyaman dengan keberadaan tante Ana. Apalagi Babal sedang diskusi konten dengan Ajeng —manajer marketing Elemera Skin."Oke. Aku tunggu." Banyu pun memutus sambungan teleponnya. Sepuluh menit setelahnya, Banyu datang. Karena kantor Elemera skin ada di dalam Mall, maka Banyu dengan mudah menemukan Sara. "Loh, Bay. Kok di sini? Ini kan belum jam makan siang." ujar mami Lucy yang kaget anaknya menyusul."Memang gak boleh Mi nyamperin istrinya?""Oh, tentu boleh dong Bay. Bagus kalau begitu. Perh
Tangan Sara sudah mengepal kuat menahan emosi yang tidak mungkin ia lampiaskan di sini. Sampai-sampai Banyu merangkulnya dan mengusap lembut bahu Sara supaya lebih tenang."Bay, boleh tinggalin aku sebentar? Aku mau ngobrol sama tante Ana.""Are you serious?" Sara mengangguk. Setelah beberapa saat, mungkin emosinya mereda, tapi kali ini ia sungguhan harus bicara dengan tante Ana. Sebelum semuanya semakin jauh dan tidak bisa ia kendalikan lagi."Oke, aku tunggu di depan." ujar Banyu mengecup puncak kepala Sara tepat saat tante Ana berjalan menghampiri mereka.Banyu mengangguk sekilas saat berpapasan dan tante Ana menepuk bahu Banyu, menyapanya."Bay."Tante Ana tersenyum kepada Sara dan hampir memeluk Sara, tapi Sara memundurkan badannya dan menunduk membenahi rambutnya. Ia mendudukkan diri di kursi tuang tunggu itu. Di susul dengan tante Ana."Sara sayang. Kamu juga ada di sini.""Harusnya saya yang bi
"Ish! Salah siapa sih kamu buru-buru, sampai gak lihat jalan?"Sara meniup-niup kening Banyu. Lelaki itu kemarin baru saja mendapatkan lima jahitan akibat menabrak pinggiran pintu dan bocor."Aku panik Hon waktu dengar Bumi nangis kejer. Jadi aku lari gak lihat-lihat. Mana baru bangun tidur di sofa, terus ingetnya masih rumah lama.""Ck! Bumi nangis kan wajar sayang. Kalau gak minta susu ya gak nyaman. Kamu gak perlu sepanik itu." Kini, Sara mengusap pelan perban sekitar perban itu dan menyelipkan rambut ikal Banyu ke belakang.Tangan Banyu melingkar di pinggang Sara yang berdiri di depannya. "Iya, maaf. Lain kali aku hati-hati."Banyu mendongak dan menatap istrinya yang serius sekali meniup luka Banyu tersebut. "Honey, Kiss me a little, please!" katanya dengan nada berbisik."Gak bisa, kita harus segera keluar sekarang. Itu udah rame loh. Gak sopan membuat mereka nunggu." tolak Sara.Banyu memberengut. "Satu k
"Kenapa, Hon?" tanya Banyu saat Sara terlihat menghela napas kasar seraya menyurukkan kepalanya di dada Banyu."Papa pasti kesepian di rumah. Biasanya kita selalu makan malam bersama, terus ngobrol di ruang tengah. Atau aku bantuin Papa mengurus beberapa hal di ruang kerjanya sambil ngerjain endorsment."Tangan Banyu membelai kepala Sara dengan sayang. "Kamu bisa telpon Papa, Hon. Atau mau aku telponin?"Sara menggeleng. "Papa udah tidur jam segini."Ini memang sudah pukul sebelas malam, dan Mario selalu tidur sebelum sepuluh malam. Beliau selalu menerapkan jam tidur sehat supaya bisa bekerja lebih produktif esok harinya. Ya tidak heran, Mario kan pemilik perusahaan kesehatan."Sayang, aku kepikiran sesuatu." Sara mendongak menatap Banyu.Lelaki itu pun menaikkan kedua alisnya, bertanya. "Apa?""Boleh gak Kikut dikasihkan ke Papa, biar gak kesepian banget kalau punya hewan peliharaan."Banyu melotot. "Sara, wala
Papa, Sara, dan Banyu duduk berjejer di dalam satu pesawat. Mereka akan balik ke ibu kota sore ini setelah Sara diperbolehkan pulang oleh dokter.Sementara Babal, Ardi dan Disha, masih mau menikmati liburan mereka. Biarlah tim penggembira itu bersenang-senang, sebelum Babal akan Sara repotkan selama kehamilannya ini. Mungkin Ardi dan Disha juga akan kerepotan karena Banyu tampak akan menjadi suami super posesif dan siaga nantinya. Ya bagaimana tidak? Banyu punya beban untuk meyakinkan Papa Mario atas tanggung jawab dan perhatian penuhnya terhadap Sara.Meski suasananya sudah lebih mencair, Sejak masuk ke dalam pesawat, Mario sama sekali belum berbicara apapun dengan Banyu. Membuat Sara gemas sendiri."Papa tahu gak? Seberapa bahagia Sara hari ini?"Mario menaikkan kedua alisnya saat putrinya membungkus lengannya dengan manja."Sara bahagia banget Pa. Dua lelaki kesayangan Sara kini kembali. Momen-momen yang selalu Sara impikan saat Papa m
Sara tidak bisa diam di kamar. Babal dan Ardi bahkan sudah meminta Sara untuk duduk dan berbaring dengan tenang demi kesehatannya, tapi Sara terus menolak. Ia tidak bisa diam saja melihat Banyu dan papa bicara di luar sana. Ada rasa takut. Bagaimana jika Banyu akan menuruti apa yang papanya mau seperti waktu di rumah Papa itu. Ia baru saja mengurai benang kusut dengan Banyu dan akan memulai semuanya kembali. Mengarungi rumah tangga dengan pengalaman baru mempersiapkan diri jadi orang tua. Kali ini ia tidak mau mengulangi hal buruk kemarin lagi. Berpisah dengan Banyu meski hanya seminggu, rasanya sudah sangat menyiksanya. Terserah jika orang berkata ia budak cinta paling tolol. Nyatanya, Banyu tidak pernah gagal membuatnya mabuk kepayang dan jatuh cinta sedalam-dalamnya. Ia tidak bisa terpisah dengan Banyu.Kemudian ia teringat sesuatu. Sara pun menyuruh Babal mengambilkan ponselnya dan menelepon Mbok Na. Sara harus memastikan sesuatu."Mbak Sara!! Astaga!
Babal menggigit bibirnya dengan gelisah, sementara Ardi mengusap wajahnya kasar, sama paniknya dengan Babal tatkala melihat Mario Iswary sudah berdiri tegak di depan ranjang itu, melihat tajam dua orang yang masih bergelung di atas sana."Gawat!" bisik Babal setelah mereka membuka pintu kamar itu dan hanya bisa mematung juga di belakang Mario.Ardi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil komat-kamit mulut mbah dukun baca mantra, dengan segelas air lalu pasien di sembur. Ah! ia frustasi melihat pemandangan ini.Sepasang pasutri kembali kasmaran itu pun mulai terusik. Sara mulai membuka matanya dan pupilnya melebar kaget. Lalu, Banyu juga terusik dan akhirnya terbangun dan otomatis seperti melihat hantu di depannya. Dengan wajah kusut, rambut berantakan dan baju tipis saringan tahu, Banyu melompat dari ranjang itu. "Papa." ujarnya dengan suara serak.Sialan Banyu! Sudah tahu itu papa Mario, bukan hulk, masih menvalidasi pula dengan ekspresi tidak berdosanya.Situasi macam apa ini?Di sela
Sara tidak pernah terbayangkan akan merasakan perasaan hangat ini lagi. Kemarin, ia sungguh bertekad melepaskan Banyu setelah perceraian selesai dan melupakan semua momen kebersamaannya dengan Banyu. Sekalipun ternyata prosesnya sangat sakit. Diam-diam, ia sering menangis sendirian di tengah malam. Ada perasaan hampa menyelimutinya saat sadar fakta mereka tidak akan bersama, melewati hari, bercanda gurau dan saling memadu kasih lagi. Di lubuk hati yang paling dalam, Sara tidak ingin ini terjadi. Sara mencintai Banyu. Masih mencintai lelaki itu bahkan saat Banyu membohonginya soal perjanjian dengan papanya.Namun, memang semuanya terlalu rumit.Sara sangat sayang dengan Papanya. Sejak dulu, ia selalu menurut apa yang papanya bilang. Ia tidak pernah menjadi anak yang pembangkang dan terbukti, berbakti dengan orang tua membuat hidupnya lebih mudah, lebih tenang hatinya dan damai. Ia akan melakukan apapun untuk papanya, terlebih setelah dinyatakan bebas. Sara
Mengetahui mereka akan segera menjadi orang tua adalah sesuatu yang mengejutkan bagi Sara, bahkan Banyu. Apalagi mereka sedang di luar pulau dan di tempat yang asing. Sesuatu perasaan yang sangat aneh. Sara terus menangis karena terharu, bimbang, dan banyak ketakutan serta kekhawatiran yang mendiami pikirannya. Namun, Banyu dengan setia menemani Sara melalui proses penerimaan dengan keadaan baru ini. Hampir satu jam, Sara menangis dan bicara ngalor-ngidul soal kecemasannya akan menjadi ibu. Kini, air matanya telah berhenti. Hidungnya merah dan matanya sembab. Kerinduan Banyu yang telah terakumulasi seminggu lebih ini, justru membuatnya gemas melihat Sara yang begini. Ia sungguh ingin mencium Sara terus menerus dan menghujaninya dengan sayang, melepas kerinduannya kepada istrinya ini. Sekarang tentu saja bukan saatnya kangen-kangenan. Banyu harus tetap menjadi suami siaga untuk Sara, ditengah kelabilan Sara ini. "Sara, kamu udah melewatkan makan siang. Sekarang kamu harus makan malam.
"Jadi ... surat siapa yang dikirim ke rumah?"Keduanya tampak memandang bingung satu sama lain. Terutama Banyu yang sangat tidak paham dengan cerita Sara. Bagaimana mungkin ada surat dari pengadilan yang tiba-tiba ada di rumah Sara, sementara Banyu saja tidak berniat menceraikan Sara. Tidak sedikitpun ia menginjak lantai pengadilan untuk menggugatnya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk terus memperjuangkan Sara, bagaimanapun sulitnya menghadapi Mario dan kerasnya hati Sara saat ini. Di tengah keheningan dengan pikiran masing-masing itu, suara pintu kamar terdengar. Sontak keduanya memalingkan wajah ke arah pintu. Lalu muncullah seorang dokter laki-laki paruh bawa yang rambutnya sudah putih semua tapi wajahnya tampak seperti umur tiga puluhan. Cukup good looking dan pasti membuat semua perawat dan dokter perempuan di sini ketar-ketir. Andai Sara tidak sedang berstatus terombang-ambing begini, sudah pasti ia mengaku naksir dokter tersebut.Dokter
Sara menepis tangan Banyu saat mau membantunya turun dari kapal. Sebagai gantinya, ia lebih menarik Babal dan menerima bantuan lain dari Disha di sebelah kanannya. Tadi, kaki Sara sempat kram karena ia memang tidak banyak melakukan pemanasan sebelum naik ke Padar. Sungguh kesalahan fatal. Sekarang, ia harus merepotkan banyak orang untuk membantunya begini. Ambulan sudah siap ketika mereka turun di pelabuhan dan Sara diminta untuk tiduran di brankar. Sara pikir hanya Babal dan Disha yang ikut naik ambulan itu, rupanya Ardi dan Banyu juga ikut naik. Bahkan Banyu dengan sigap duduk di sebelah kanan dada Sara mendahului Disha.Bibir Sara sudah hampir protes dan meminta Bantu keluar, tapi pintu ambulan itu sudah ditutup oleh petugas medisnya. Mau tidak mau, Sara harus menerima situasi berdekatan dengan Banyu. Ia menutupi matanya dengan lengan karena pusing itu kembali menderanya. Selain itu juga untuk menghindari melihat Banyu.Dalam kurun waktu dela