Dengan ngos-ngosan Wira keluar dari taxi pergi ke tempat kecelakaan yang ternyata tak jauh dari rumahnya, di sana masih ada beberapa orang yang berkerumun membicarakan kecelakaan nahas itu."Maaf, Pak, permisi perempuan yang kecelakaan di sini dibawa ke mana ya?" tanya Wira pada salah satu warga."Sudah di bawa ke RS terdekat, Pak, barusan."Tubuh Wira langsung lunglai, air mata merembes dari matanya."Emang dia keluarga Bapak?" tanya seorang pemuda."Dia istri saya," jawab Wira sambil tertunduk lemah.Orang-orang di sekitar saling pandang, dan menatap iba pada Wira, ada pula yang mengucapkan banyak doa.Wira hanya mengangguk tanpa kata, lidahnya Kelu saking sedihnya.**Tiba di ruang IGD pria yang tingginya seratus enam puluh lima senti itu berlari menembus pintu kaca utama, ia celingukan kiri kanan."Ayah," teriaknya saat menyadari ada Pak Mustafa yang sedang berjalan.Lelaki tua yang masih bugar itu melirik dan menghentikan langkah."Rara di mana, Yah? gimana keadaannya?" tanya Wir
"Aku ... tadi Keluar sebentar.""Sudah pasti dia kencan dengan istri barunya, perempuan itu ga tahu malu malah tinggal lagi di sana, yang jadi lakinya juga lembek dan ga tegas," sahut Pak Mustafa menyindir.Bu Sandra menghirup napas dan membuangnya perlahan lalu diam, percuma terus berkata ia pasti akan kalah oleh keluarga besannya yang masih kaya.Ternyata jadi miskin menyebalkan juga, gerutu Mama Sandra dalam hati.Suasana di ruang tunggu itu hening, hanya dering ponsel Wira yang terdengar, sontak saja semua keluarga meliriknya, merasa risih dengan panggilan yang tiada senyapnya.Merasa tak enak dengan tatapan risih anggota keluarga, ia undur diri hendak mengangkat telepon."Ada apa lagi, Diandra?" tanya Wira bergumam."Wira, kamu di mana sih? kok rumah dikunci? kata tetangga Rara kecelakaan ya? terus gimana aku masuk kalau gitu?" tanya Diandra beruntun.Seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya, ia pulang ke rumah itu tanpa merasa berdosa.Bagaimana lagi, Diandra malas nginap di rumah
"Dan sekarang di hadapan Ayah sebagai wali Rara, saya ingin kembali mengajak putri ayah untuk rujuk, saya janji takkan mengecewakannya lagi, saya janji akan buat dia bahagia dan nerima apapun kekurangannya."Pak Mustafa terdiam, dalam hukum Islam jika seorang suami mengatakan ingin rujuk pada istrinya yang masih dalam masa iddah, maka sang istri wajib menerima ajakan rujuk itu walau tak suka."Gimana ini, Yah?" tanya Bu Denia.Ia tahu betul hukum agama, itu artinya kini Rara telah kembali jadi istri Wira, hanya dengan perkataan dan niat yang tulus saja, ikatan pernikahan itu telah kembali."Ayah, jangan takut dan jangan khawatir. Saya akan berjuang buka usaha baru, saya akan bahagiakan Rara dan menjaganya hingga akhir waktu" sahut Wira meyakinkan.Ia bisa membaca keresahan sang mertua, maka dari itu Wira merangkai kata seindah mungkin agar mereka memberi restu atas keinginannya."Kita lihat saja nanti, jika kamu menyakiti putriku sedikit saja maka aku sendiri yang akan menyewa pengaca
Kelebetan masa lalu terbayang, saat Wira menghujaninya dengan banyak cinta, bahkan rela menomor duakan Rara demi dirinya.Diandra rindu masa itu"Aku pergi, setelah Rara kembali semua harus rapi, jangan berantakan gini." Wira mendengus lalu pergi.**Dua Minggu berada di rumah sakit cukup membuat Rara jenuh, ia ingin pulang ke rumah, rindu akan bunga-bunga yang ia tanam terutama bunga rosella.Selama itu pula Wira bolak-balik ke rumah sakit untuk mengurus keperluan Rara, kini Wira sedang merintis bisnis kecil-kecilan, modal dari sang Mama serta pinjaman dari seorang teman cukup untuk menyewa tempat dan mendirikan sebuah restoran."Sayang, Wira sudah mengatakan ingin rujuk denganmu waktu kritis kemarin," ucap Bunda Denia, pelan dan sangat hati-hati.Selama kondisi Rara belum pulih betul, Pak Mustafa melarang siapapun menyampaikan tentang hal ini.Rara membisu karena tercekat, impiannya untuk terbang melayang ke udara sirna lah sudah, ternyata ia akan kembali jadi burung cantik dalam s
"Pertama, kamu harus izinkan aku mengajar lagi, kedua, kamu tak boleh meminta nafkah batin sebelum aku ridho, ketiga, setelah Diandra melahirkan suruh dia pergi dari rumah itu beserta anaknya, kamu sanggup?"Wira mengangguk mantap.Syarat yang tak terlalu berat menurutnya.Rara pulang ke rumah mengenakan kursi roda yang di dorong suaminya, Pak Mustafa beserta Bunda Denia ikut mengantar, katanya mereka ingin menginap di sana beberapa hari.Memastikan sang putri baik-baik saja dan bisa menjalani aktivitas seperti biasa, barulah mereka akan pulang dengan lega.Kehadiran mereka tentu saja keuntungan untuk Rara, karena hal itu ia bisa menyudutkan Diandra, sampai jiwanya kerdil dan tersiksa.Entahlah, kini Rara berambisi sekali atas penderitaan orang-orang yang sudah mengkhianatinya, padahal jauh hari ia sudah menghindari rasa dendam yang berusaha menyelusup ke dalam dadanya.Tapi ternyata hati manusia memang lemah, iman di hati Rara tak sekuat baja. Lagi pula siapapun takkan tahan disatuka
bab 20.b Ng"Ah iya, ayamnya juga enak, Ayah mau nambah lagi ah," sahut Pak Mustafa, ia pun mengambil paha ayam yang tersisa satu potong lagi di atas piring."Iya ayo, Bunda juga nambah, mana kenyang makan segitu," sahut Rara.Bunda Denia hanya tersenyum, selera makannya hilang memikirkan nasib sang putri yang malang.Akhirnya semua makanan lezat nan mahal itu habis hanya nasi dan kuah sop yang tersisa, Wira bingung di dalam kamar pasti Diandra kelaparan."Aku mau nonton tv dulu deh sebelum ke kamar," ucap Rara.Sengaja tak masuk kamar, ingin melihat Diandra berani atau tidaknya keluar dari sangkar."Oh ya sudah, ini biar Mas yang bereskan."Rara memasang wajah datar lalu berlalu ke ruang keluarga, ia duduk santai di sofa sambil menonton acara ceramah di Chanel khusus favoritnya."Ayah mau istirahat dulu ya." Pak Mustafa berkata.Rara mengangguk sambil tersenyum."Bunda ingin di sini dulu, mau ngomong sesuatu," ujar Bunda Denia."Oh boleh." Rara mengangguk senang."Nak, Bunda hanya me
"Diandra, kapan kita ketemu lagi? kemarin 'kan ga jadi, jangan lupa kamu, vidio itu takkan terhapus sebelum kita tidur bersama, ayolah jangan buat aku penasaran dengan bentuk tubuhmu yang baru itu, atau Wira akan segera melihat vidionya, dan rumah tanggamu akan segera kandas."Dada Wira bergejolak mendengar pesan voice note dari Kevin, jika tak ada sang mertua di sini, ia pasti sudah berteriak kencang."Vidio apa yang Kevin maksud hah?" tanya Wira pelan tapi penuh penekanan.Berlinang sudah air mata Diandra, aib yang selama ini ditutup rapat-rapat mulai tersingkap. Jika sudah begini bagaimana? Diandra kebingungan."Vidio apa, Diandra?! Jawab!" Suara Wira mulai meninggi.Diandra makin membisu, bingung harus katakan apa."Kalau kamu ga mau kasih tahu, biar aku yang cari tahu sendiri." Dengan bengis Wira melangkah pergi sambil membawa ponsel "Wira, tunggu!" Diandra terisakTeriakkan itu tak dihiraukan olehnya, Wira melangkah pergi naik ke lantai atas, lalu membuka ponsel mahal milik Dia
Kali ini ia ingin ke dapur hendak menegak minuman dingin di kulkas, susah payah ia turun dari tangga, sambil berpegangan dan langkah perlahan. Akhirnya ia tiba di tujuan.Di meja makan Rara melihat Diandra yang masih terisak di meja makan."Kenapa nangis? Mas Wira cuekin kamu ya?" tanya Rara sambil tersenyum sinis.Diandra menyeka air mata di pipinya secara kasar, tak terima dianggap lemah olehnya."Bukan urusanmu!" tegas Diandra dengan bengis."Memang bukan urusanku, tapi karena kamu masih tinggal di rumahku maka itu jadi urusanku." Rara tersenyum lagi, mengejek tepatnya."Ga usah sombong," balas Diandra sengit."Siapa juga yang sombong." Rara tersenyum manis.Sementara Diandra melengos membuang muka, mood wanita itu ambyar, ditambah harus berhadapan dengan Rara."Oh ya aku tegaskan, tinggal di sini ga gratis, Diandra. Oleh karena itu kamu harus beberes dan bersihkan rumah ini setiap hari."Diandra melirik protes."Aku ini istri Wira ya! Bukan babu!" tegas Diandra ."Aku juga istriny
Dua tahun kemudian.Diandra telah bebas dari masa hukumannya. Papa dan Mama beserta Tiara yang sudah tumbuh jadi balita ikut serta menjemput kepulangan wanita itu.Diandra dulu tentu berbeda dengan sekarang. Saat ini wanita itu bertubuh kurus dan berwajah kusam. Namun, hal itu bukan suatu masalah bagi dirinya.Prinsip wanita itu telah berubah, yang ada di pikirannya hanya rindu terhadap anak tercinta, ia ingin memeluk dan mencium bocah itu sepuasnya."Oma, takuut, toloong," rengek Tiara, saat Diandra berusaha mendekatinya."Kok takut, dia 'kan Mama kamu," ucap Mama Diandra.Anak berumur empat tahun itu merenung, ia tak terbiasa dengan hadirnya seorang Mama, yang ada dalam hidupnya selama ini hanya oma, opa dan papa."Ga apa-apa, Diandra, anakmu ga terbiasa dengan hadirnya kamu, nanti juga terbiasa pasti sayang kok sama kamu." Mama Diandra menenangkan."Ma, aku minta maaf ya udah buat Mama dan Papa malu selama ini," ucap Diandra dengan wajah sendunya.Mama Diandra mengangguk."Yang pen
Sementara Wira berdiri di hadapan pintu masuk rumah Pak Mustafa, sejak tadi ia berdiri di sana, menunggu tamu yang di dalam keluar, dengan harapan agar Rara kembali jadi miliknyaWira bersender di pintu, tubuhnya mendadak lemas mengetahui sang pujaan hati hendak jadi milik orang lain."Wira," ucap Pak Mustafa saat menyadari ada seseorang yang berdiri di hadapan pintu rumahnya.Sontak semua orang melirik ke arah yang sama, Rara terkejut matanya sempat menghangat, bukan masih cinta melainkan tak tega.Pak Mustafa melangkah keluar seorang diri sementara yang lain menunggu di dalam."Ayo masuk," ajak Pak Mustafa.Tapi Wira malah berdiam diri, enggan masuk lantaran kakinya terasa berat dibawa melangkah."Saya pulang aja, Yah." Wira tersenyum sungkan."Ya sudah hati-hati." Pak Mustafa menepuk bahu WiraSatu bulan semenjak kejadian itu akhirnya ada surat undangan yang datang ke rumah Wira, bertuliskan nama Rara dan Faruq, Wira menghirup napas dalam-dalam saat membacanya."Tuh mantan istrimu
Nenek dari pihak Diandra yang memberikan nama itu, mereka berdua mengurus bayi Tiara dengan dengan didikan yang baik, tak ingin anak ini tumbuh liar seperti ibunya."Ma, aku udah transfer ke rekening Mama ya kalau Tiara kenapa-napa telpon aku aja," ujar Wira saat ia mengunjungi anaknya.Pria itu tak ingkar janji, hingga anak itu tumbuh dan bisa berjalan ia tetap memberi nafkah dan kasih sayang, setiap akhir pekan ia menyempatkan waktu untuk bertemu anaknya.Mengajak jalan-jalan atau membawanya menginap di rumah Mama Sandra, wanita itu teramat gembira jika sang cucu datang menginap di rumahnya.Tak ada benci seperti sebelumnya. Tiara benar-benar dilimpahi kasih sayang dari ayah dan kakek neneknya."Wira, kapan kamu nikah lagi? kalian sudah dua tahun bercerai, masa iya kamu menduda terus," ucap Mama Sandra.Wira terdiam, hatinya masih tertutup belum ada wanita yang bisa menggantikan Rara."Nanti saja, Ma, belum dapat yang sreg di hati." Wira tersenyum.Mama Sandra mendesah, lagi-lagi pu
Sidang pertama sukses, Rara beserta pengacara bersalaman sebagai ungkapan terima kasih. Di ruang mediasi Wira sempat membela diri, tak ingin bercerai. Namun, berkat bantuan Bu Lala pengacaranya akhirnya hakim berpihak pada mereka."Ra, please, berfikir ulang," ujar Wira saat sudah keluar dari ruang sidang."Maaf, Mas. Ini yang terbaik. Aku ga mau hidup ngebatin terus," ucap Rara lalu segara meninggalkannya.Sakit sekali hati Wira, begitu pula dengan Rara. Mereka sama-sama merasakan sakit akibat perpisahan ini.Waktu cepat berlalu, sekarang tiba saatnya Diandra melahirkan, pihak lapas yang mengabari Wira, selaku ayah dari bayi itu.Wira menagajak Mamanya dan Pak Dirga, karena kedua orang tua itu memaksa ikut, ingin melihat cucu pertama mereka.Walaupun sempat membenci, tapi dalam hatinya masing-masing mereka penasaran dengan wajah anak itu, dan tak dapat dipungkiri ada setitik sayang untuk anak itu."Bayinya perempuan, Mas. Lihatlah hidung dan bibirnya mirip denganmu," ucap Diandra lir
"Atas kasus apa?" tanya lelaki yang kini berjanggut sedikit tebal itu, maklum jarang mengurus wajah karena sibuk dengan berbagai masalah."Kasus prostitusi dan satu lagi dia juga terjerat kasus nark*ba, dia digrebek saat lagi pesta s*bu bersama seorang pria."Jantung Wira serasa mau copot mendengar kabar itu, ia langsung menduga soal penemuan barang haram di restorannya, apa mungkin itu juga ulah Diandra?"Saya ga ngerti, dia itu 'kan sudah menikah lagi hamil pula kok bisa-bisanya pakai barang haram itu?" Pak Haryadi memijat kening."Apa kalian ada masalah?" tanyanya lagi dengan raut putus asa.Wira masih diam, antara harus memberitahu mertuanya atau tidak."Kalian ada masalah apa sih?" Pak Haryadi bertanya lagi."Iya, Pa, Diandra kabur dari rumah karena berantem sama aku. Aku meragukan anak yang dikandungnya, karena ada lelaki yang bernama Kevin yang dicurigai ayah dari bayi itu." Wira terpaksa membeberkan.Ia sudah lelah menanggung masalahnya sendirian. Ternyata setelah berzina itu
Hari ini Wira dapat bernapas lega, pasalnya polisi mengabarkan ada penemuan sidik jari orang lain di plastik yang membungkus benda har*m itu.Tak hanya itu, ada dua orang saksi yakni yang sedang makan melihat seorang perempuan asing masuk ke dapur restoran, kini polisi sedang memburu wanita itu."Jadi, sekarang kamu sudah terbukti bukan pengedar ataupun pemakai benda haram itu?" tanya Mama Sandra, ia sampai bolak balik ke rumah anaknya."Iya, Ma. Alhamdulillah. Jadi kasus ini sebenarnya jebakan aja supaya restoran aku sepi."Mama Sandra dan Papa Dirga bernapas lega."Sekarang selesaikan masalahmu yang lain," timpal Papa Dirga.Wira melirik sang ayah."Papa sudah tahu masalahmu antara kalian bertiga, selesaikan secepatnya dan pilih salah satu," lanjutnya dengan sedikit ketegasan."Papa tahu dari mana masalah di hotel itu?" tanya Wira penasaran."Dari temen Papa, kebetulan kemarin katanya kamarnya bersebalahan, jadi ia mengetahui keributan yang terjadi."Wira merasa malu, masalah pribad
"Hadeuh kamu ini. Perempuan itu kalau lagi ngambek diomongin apapun ga bakalan mudeng, yang ada di kepalanya cuma kecewa, kamu sabar dong tunggu kepalannya dingin dulu."Pak Mustafa hafal betul karakter wanita, ia belajar banyak dari istrinya, anaknya, juga kakak dan saudara yang lain.Wira mengacak rambut, kalau begini semakin bertambah lah beban di kepalanya."Kamu pulang sana, kalau Rara udah baikan dia pasti mau ditemui, sekarang biarkan dia merenung sendiri."Wira mangut-mangut. "Ya sudah saya pulang, tapi sampaikan sama Rara kalau saya sayang padanya, Ayah jelaskan pada dia kalau yang dia lihat itu cuma fitnah alias jebakan Diandra."Pak Mustafa melengos.'Sudah dibilangin ga bakalan mudeng masih saja ngeyel,' gerutu hatinya.Wira pulang ke rumah, di sana ia disambut oleh Mama dan papanya."Wira apa benar kamu pakai nark*ba?" tanya Mama Sandra dengan tatapan menyelidik.Kabar penemuan barang har*m di restoran anaknya langsung menyebar pesat hingga sampai dengan cepat ke telingan
Wira dan beberapa orang karyawannya baru saja selesai mengikuti proses penyelidikan di Polsek setempat, dari hasil tes urin mereka memang tak terbukti sebagai pengguna barang har4m tersebut.Oleh sebab itu polisi masih melakukan proses penyelidikan yang lain, untuk mengungkap siapa pemilik benda haram dengan berat yang lumayan itu.Untuk sementara ini Wira dan rekan-rekannya masih ditetapkan sebagai saksi bukan tersangka."Kamal, kamu ingat apakah ada orang yang masuk ke dapur kita?" tanya Wira pada chef kepercayaannya.Kali ini mereka sedang rapat, restoran jadi sepi dan dipasang garis polisi. Untuk sementara waktu usahanya itu ditutup terlebih dulu."Engga, Pak. Tapi saya memang sempat curiga waktu abis kembali dari toilet ada seseorang yang keluar dari dapur, saya kira itu costumer yang lagi cari pelayan."Wira tercenung lalu menatap lelaki di sampingnya dengan serius."Apa dia laki-laki? atau perempuan?" tanya Wira dengan mata tak berkedip."Ga jelas, Pak. Dia pake sweeter warna h
"Oh jadi kamu jebak aku hingga sampai ke sini?" tanya Wira dengan tatapan penasaran.Diandra terbahak-bahak."Itu kamu tahu." Diandra menyeringai puas.Wanita itu memang tak bisa ditebak isi hatinya, sebentar bisa menangis lalu sedetik kemudian bisa tertawa."Cepat buka pintunya!" Dengan bringas Wira memukul-mukul pintu dengan keras Sementara Diandra tersenyum, sekuat apapun pintu ditendang itu takkan terbuka tanpa titahnya."Nanti aku bukain, Wira. Sekarang mending kita santai-santai dulu di sini." Diandra duduk di kasur sambil tumpang kaki.Paha mulusnya terlihat jelas, walau sedang berbadan dua, tapi pesonanya masih bercahaya."Menjijikan! Aku ga sudi kalau harus duduk di tempat itu," jawab Wira.Fikiran lelaki itu kacau."Kok ga sudi sih cuma duduk doang kok, atau mau lebih." Diandra tertawa lagi."Buka pintunya, Diandra!" teriak Wira menggema."Aku bilang juga tunggu dulu.""Cepat buka pintunya." Wira melangkah dan hampir mencekik leher Diandra, hingga wanita itu terbaring di ka