"Pertama, kamu harus izinkan aku mengajar lagi, kedua, kamu tak boleh meminta nafkah batin sebelum aku ridho, ketiga, setelah Diandra melahirkan suruh dia pergi dari rumah itu beserta anaknya, kamu sanggup?"Wira mengangguk mantap.Syarat yang tak terlalu berat menurutnya.Rara pulang ke rumah mengenakan kursi roda yang di dorong suaminya, Pak Mustafa beserta Bunda Denia ikut mengantar, katanya mereka ingin menginap di sana beberapa hari.Memastikan sang putri baik-baik saja dan bisa menjalani aktivitas seperti biasa, barulah mereka akan pulang dengan lega.Kehadiran mereka tentu saja keuntungan untuk Rara, karena hal itu ia bisa menyudutkan Diandra, sampai jiwanya kerdil dan tersiksa.Entahlah, kini Rara berambisi sekali atas penderitaan orang-orang yang sudah mengkhianatinya, padahal jauh hari ia sudah menghindari rasa dendam yang berusaha menyelusup ke dalam dadanya.Tapi ternyata hati manusia memang lemah, iman di hati Rara tak sekuat baja. Lagi pula siapapun takkan tahan disatuka
bab 20.b Ng"Ah iya, ayamnya juga enak, Ayah mau nambah lagi ah," sahut Pak Mustafa, ia pun mengambil paha ayam yang tersisa satu potong lagi di atas piring."Iya ayo, Bunda juga nambah, mana kenyang makan segitu," sahut Rara.Bunda Denia hanya tersenyum, selera makannya hilang memikirkan nasib sang putri yang malang.Akhirnya semua makanan lezat nan mahal itu habis hanya nasi dan kuah sop yang tersisa, Wira bingung di dalam kamar pasti Diandra kelaparan."Aku mau nonton tv dulu deh sebelum ke kamar," ucap Rara.Sengaja tak masuk kamar, ingin melihat Diandra berani atau tidaknya keluar dari sangkar."Oh ya sudah, ini biar Mas yang bereskan."Rara memasang wajah datar lalu berlalu ke ruang keluarga, ia duduk santai di sofa sambil menonton acara ceramah di Chanel khusus favoritnya."Ayah mau istirahat dulu ya." Pak Mustafa berkata.Rara mengangguk sambil tersenyum."Bunda ingin di sini dulu, mau ngomong sesuatu," ujar Bunda Denia."Oh boleh." Rara mengangguk senang."Nak, Bunda hanya me
"Diandra, kapan kita ketemu lagi? kemarin 'kan ga jadi, jangan lupa kamu, vidio itu takkan terhapus sebelum kita tidur bersama, ayolah jangan buat aku penasaran dengan bentuk tubuhmu yang baru itu, atau Wira akan segera melihat vidionya, dan rumah tanggamu akan segera kandas."Dada Wira bergejolak mendengar pesan voice note dari Kevin, jika tak ada sang mertua di sini, ia pasti sudah berteriak kencang."Vidio apa yang Kevin maksud hah?" tanya Wira pelan tapi penuh penekanan.Berlinang sudah air mata Diandra, aib yang selama ini ditutup rapat-rapat mulai tersingkap. Jika sudah begini bagaimana? Diandra kebingungan."Vidio apa, Diandra?! Jawab!" Suara Wira mulai meninggi.Diandra makin membisu, bingung harus katakan apa."Kalau kamu ga mau kasih tahu, biar aku yang cari tahu sendiri." Dengan bengis Wira melangkah pergi sambil membawa ponsel "Wira, tunggu!" Diandra terisakTeriakkan itu tak dihiraukan olehnya, Wira melangkah pergi naik ke lantai atas, lalu membuka ponsel mahal milik Dia
Kali ini ia ingin ke dapur hendak menegak minuman dingin di kulkas, susah payah ia turun dari tangga, sambil berpegangan dan langkah perlahan. Akhirnya ia tiba di tujuan.Di meja makan Rara melihat Diandra yang masih terisak di meja makan."Kenapa nangis? Mas Wira cuekin kamu ya?" tanya Rara sambil tersenyum sinis.Diandra menyeka air mata di pipinya secara kasar, tak terima dianggap lemah olehnya."Bukan urusanmu!" tegas Diandra dengan bengis."Memang bukan urusanku, tapi karena kamu masih tinggal di rumahku maka itu jadi urusanku." Rara tersenyum lagi, mengejek tepatnya."Ga usah sombong," balas Diandra sengit."Siapa juga yang sombong." Rara tersenyum manis.Sementara Diandra melengos membuang muka, mood wanita itu ambyar, ditambah harus berhadapan dengan Rara."Oh ya aku tegaskan, tinggal di sini ga gratis, Diandra. Oleh karena itu kamu harus beberes dan bersihkan rumah ini setiap hari."Diandra melirik protes."Aku ini istri Wira ya! Bukan babu!" tegas Diandra ."Aku juga istriny
Wira mondar mandir sendirian sambil menggenggam alat komunikasi di tangannya, pria itu sedang berfikir untuk menghubungi siapa lagi selain sang mertua.Bagaimana pun juga ia harus mengetahui di mana keberadaan Diandra, karena saat ini ia masih sah istrinya secara agama.''Dan anak itu, bagaimana jika anak itu benar darah dagingku?'' Wira bergumam pelan.Wira menengadah mengusir rasa gundah'Selama lima tahun aku mendamba seorang putra, lalu setelah ia hadir haruskah aku mencampakkannya begitu saja karena perbuatan ibunya?'Kini, logika dan kata hatinya sedang bertarung hebat.Ia menelpon teman Diandra yang ada di kontak suaminya. Namun, nihil beberapa orang yang ia hubungi tak ada yang tahu Diandra di mana.Pagi ini Wira sarapan sambil melamun, hanya beberapa suap saja perutnya sudah kenyang. Semua itu karena ia menikmati rasa bimbangnya sendirian."Sayang, Mas berangkat ya, doakan semoga usahaku sukses," ucap Wira sambil berusaha tersenyum."Ya," jawab Rara singkat.Wira mengangguk t
"Dia bilang, 'jangan-jangan Diandra pergi tanpa kabar karena stres kamu memperlakukannya tidak baik di sini' perempuan itu mencurigai aku yang tidak-tidak!""Padahal kenyataannya, dia yang selalu cari gara-gara 'kan, dia yang sering buat kekacauan di sini, bilang sama mertuamu itu!" Rara berkata ketus.Wira mendesah, gagal sudah romantisan dengan istri tercinta, kalau sudah begini rasa sesal kembali menyeruak ke dalam hatinya, menyesal karena sudah kenal dengan Diandra."Iya nanti aku bilang, sabar ya, jangan cemberut gitu dong senyum." Wira berusaha menghibur.Rara membuang muka, ingat perkataan pedas Mamanya Diandra tadi siang.***"Apa kamu tahu tadi Wira nelpon saya pagi-pagi nanyain Diandra? saya kemari ingin memastikan kalau putri saya ada di rumah dalam keadaan baik-baik saja, tapi ternyata dia ga ada, hapenya ga aktif pula.""jangan-jangan Diandra pergi tanpa kabar karena stres kamu memperlakukannya tidak baik di sini?" Tatapan Mama Diandra penuh selidik.Tentu saja Rara merad
Sudah satu bulan Diandra menghilang tanpa kabar dan jejak, perempuan itu sengaja ingin menyiksa batin Wira, membalas semua hinaan yang pernah dilempar ke wajahnya.Sementara Wira semakin hari moodnya kian kacau, bagaimana tidak setiap detik Wira selalu merindukan Diandra yang entah di mana.Namun, hati kecilnya masih tak ingin kehilangan Rara, ia benar-benar dilanda dilema.Guna-guna kiriman Diandra memang sedikit mempengaruhi hari-harinya, beruntung Rara selalu mengingatkan untuk salat, sehingga sihir kiriman sang istri muda tak terlalu membuatnya tersiksa.Sementara Rara selalu gelisah saat tengah malam. Namun, perempuan yang selalu berpakaian syar'i itu selalu dzikir pagi petang.Sehingga bisa menghalau sihir kiriman yang datang "Gimana, Wira? Apa Diandra sudah ada kabar?" tanya Pak Haryadi--papanya Diandra--"Belum, Pa." Wira menunduk pasrah."Terus gimana? anak saya menghilang gara-gara kamu, pokoknya cari dia sampai dapat!"Usai marah-marah Pak Haryadi memutus telponnya. Lela
Mereka sama-sama terdiam."Sepertinya kita harus ruqyah mandiri, Mas, aku dengar dari temanku kalau Diandra itu sering pergi ke dukun, bukan suudzon sih, tapi 'kan mungkin aja semua keanehan yang terjadi diantara kita itu gara-gara ulahnya."Wira masih diam mencerna perkataan istrinya."Zulfa yang cerita sama aku, Mas. Kalau Diandra itu sering ke dukun yang deket rumahnya, terserah sih mau percaya apa engga, dan aku yakin dia ga mungkin pergi gitu aja tanpa buat masalah." Rara bersuara lagi."Aku pusing, Ra. aku tidur duluan." Wira berbaring membelakangi sang istri, lalu menutupi dirinya dengan selimut hingga ujung kepala.Rara mendesah pelan, kesal saja Wira seperti tak percaya dengan ucapannya.Akhirnya Rara pun tertidur setelah sebelumnya berwudhu dan baca doa, setelah mengalami gangguan yang aneh, perempuan itu jadi lebih hati-hati, dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan-Nya.**"Diandra.""Diandra."Tengah malam Wira mengigau memanggil istri keduanya, Rara pun terbangun karena men
Dua tahun kemudian.Diandra telah bebas dari masa hukumannya. Papa dan Mama beserta Tiara yang sudah tumbuh jadi balita ikut serta menjemput kepulangan wanita itu.Diandra dulu tentu berbeda dengan sekarang. Saat ini wanita itu bertubuh kurus dan berwajah kusam. Namun, hal itu bukan suatu masalah bagi dirinya.Prinsip wanita itu telah berubah, yang ada di pikirannya hanya rindu terhadap anak tercinta, ia ingin memeluk dan mencium bocah itu sepuasnya."Oma, takuut, toloong," rengek Tiara, saat Diandra berusaha mendekatinya."Kok takut, dia 'kan Mama kamu," ucap Mama Diandra.Anak berumur empat tahun itu merenung, ia tak terbiasa dengan hadirnya seorang Mama, yang ada dalam hidupnya selama ini hanya oma, opa dan papa."Ga apa-apa, Diandra, anakmu ga terbiasa dengan hadirnya kamu, nanti juga terbiasa pasti sayang kok sama kamu." Mama Diandra menenangkan."Ma, aku minta maaf ya udah buat Mama dan Papa malu selama ini," ucap Diandra dengan wajah sendunya.Mama Diandra mengangguk."Yang pen
Sementara Wira berdiri di hadapan pintu masuk rumah Pak Mustafa, sejak tadi ia berdiri di sana, menunggu tamu yang di dalam keluar, dengan harapan agar Rara kembali jadi miliknyaWira bersender di pintu, tubuhnya mendadak lemas mengetahui sang pujaan hati hendak jadi milik orang lain."Wira," ucap Pak Mustafa saat menyadari ada seseorang yang berdiri di hadapan pintu rumahnya.Sontak semua orang melirik ke arah yang sama, Rara terkejut matanya sempat menghangat, bukan masih cinta melainkan tak tega.Pak Mustafa melangkah keluar seorang diri sementara yang lain menunggu di dalam."Ayo masuk," ajak Pak Mustafa.Tapi Wira malah berdiam diri, enggan masuk lantaran kakinya terasa berat dibawa melangkah."Saya pulang aja, Yah." Wira tersenyum sungkan."Ya sudah hati-hati." Pak Mustafa menepuk bahu WiraSatu bulan semenjak kejadian itu akhirnya ada surat undangan yang datang ke rumah Wira, bertuliskan nama Rara dan Faruq, Wira menghirup napas dalam-dalam saat membacanya."Tuh mantan istrimu
Nenek dari pihak Diandra yang memberikan nama itu, mereka berdua mengurus bayi Tiara dengan dengan didikan yang baik, tak ingin anak ini tumbuh liar seperti ibunya."Ma, aku udah transfer ke rekening Mama ya kalau Tiara kenapa-napa telpon aku aja," ujar Wira saat ia mengunjungi anaknya.Pria itu tak ingkar janji, hingga anak itu tumbuh dan bisa berjalan ia tetap memberi nafkah dan kasih sayang, setiap akhir pekan ia menyempatkan waktu untuk bertemu anaknya.Mengajak jalan-jalan atau membawanya menginap di rumah Mama Sandra, wanita itu teramat gembira jika sang cucu datang menginap di rumahnya.Tak ada benci seperti sebelumnya. Tiara benar-benar dilimpahi kasih sayang dari ayah dan kakek neneknya."Wira, kapan kamu nikah lagi? kalian sudah dua tahun bercerai, masa iya kamu menduda terus," ucap Mama Sandra.Wira terdiam, hatinya masih tertutup belum ada wanita yang bisa menggantikan Rara."Nanti saja, Ma, belum dapat yang sreg di hati." Wira tersenyum.Mama Sandra mendesah, lagi-lagi pu
Sidang pertama sukses, Rara beserta pengacara bersalaman sebagai ungkapan terima kasih. Di ruang mediasi Wira sempat membela diri, tak ingin bercerai. Namun, berkat bantuan Bu Lala pengacaranya akhirnya hakim berpihak pada mereka."Ra, please, berfikir ulang," ujar Wira saat sudah keluar dari ruang sidang."Maaf, Mas. Ini yang terbaik. Aku ga mau hidup ngebatin terus," ucap Rara lalu segara meninggalkannya.Sakit sekali hati Wira, begitu pula dengan Rara. Mereka sama-sama merasakan sakit akibat perpisahan ini.Waktu cepat berlalu, sekarang tiba saatnya Diandra melahirkan, pihak lapas yang mengabari Wira, selaku ayah dari bayi itu.Wira menagajak Mamanya dan Pak Dirga, karena kedua orang tua itu memaksa ikut, ingin melihat cucu pertama mereka.Walaupun sempat membenci, tapi dalam hatinya masing-masing mereka penasaran dengan wajah anak itu, dan tak dapat dipungkiri ada setitik sayang untuk anak itu."Bayinya perempuan, Mas. Lihatlah hidung dan bibirnya mirip denganmu," ucap Diandra lir
"Atas kasus apa?" tanya lelaki yang kini berjanggut sedikit tebal itu, maklum jarang mengurus wajah karena sibuk dengan berbagai masalah."Kasus prostitusi dan satu lagi dia juga terjerat kasus nark*ba, dia digrebek saat lagi pesta s*bu bersama seorang pria."Jantung Wira serasa mau copot mendengar kabar itu, ia langsung menduga soal penemuan barang haram di restorannya, apa mungkin itu juga ulah Diandra?"Saya ga ngerti, dia itu 'kan sudah menikah lagi hamil pula kok bisa-bisanya pakai barang haram itu?" Pak Haryadi memijat kening."Apa kalian ada masalah?" tanyanya lagi dengan raut putus asa.Wira masih diam, antara harus memberitahu mertuanya atau tidak."Kalian ada masalah apa sih?" Pak Haryadi bertanya lagi."Iya, Pa, Diandra kabur dari rumah karena berantem sama aku. Aku meragukan anak yang dikandungnya, karena ada lelaki yang bernama Kevin yang dicurigai ayah dari bayi itu." Wira terpaksa membeberkan.Ia sudah lelah menanggung masalahnya sendirian. Ternyata setelah berzina itu
Hari ini Wira dapat bernapas lega, pasalnya polisi mengabarkan ada penemuan sidik jari orang lain di plastik yang membungkus benda har*m itu.Tak hanya itu, ada dua orang saksi yakni yang sedang makan melihat seorang perempuan asing masuk ke dapur restoran, kini polisi sedang memburu wanita itu."Jadi, sekarang kamu sudah terbukti bukan pengedar ataupun pemakai benda haram itu?" tanya Mama Sandra, ia sampai bolak balik ke rumah anaknya."Iya, Ma. Alhamdulillah. Jadi kasus ini sebenarnya jebakan aja supaya restoran aku sepi."Mama Sandra dan Papa Dirga bernapas lega."Sekarang selesaikan masalahmu yang lain," timpal Papa Dirga.Wira melirik sang ayah."Papa sudah tahu masalahmu antara kalian bertiga, selesaikan secepatnya dan pilih salah satu," lanjutnya dengan sedikit ketegasan."Papa tahu dari mana masalah di hotel itu?" tanya Wira penasaran."Dari temen Papa, kebetulan kemarin katanya kamarnya bersebalahan, jadi ia mengetahui keributan yang terjadi."Wira merasa malu, masalah pribad
"Hadeuh kamu ini. Perempuan itu kalau lagi ngambek diomongin apapun ga bakalan mudeng, yang ada di kepalanya cuma kecewa, kamu sabar dong tunggu kepalannya dingin dulu."Pak Mustafa hafal betul karakter wanita, ia belajar banyak dari istrinya, anaknya, juga kakak dan saudara yang lain.Wira mengacak rambut, kalau begini semakin bertambah lah beban di kepalanya."Kamu pulang sana, kalau Rara udah baikan dia pasti mau ditemui, sekarang biarkan dia merenung sendiri."Wira mangut-mangut. "Ya sudah saya pulang, tapi sampaikan sama Rara kalau saya sayang padanya, Ayah jelaskan pada dia kalau yang dia lihat itu cuma fitnah alias jebakan Diandra."Pak Mustafa melengos.'Sudah dibilangin ga bakalan mudeng masih saja ngeyel,' gerutu hatinya.Wira pulang ke rumah, di sana ia disambut oleh Mama dan papanya."Wira apa benar kamu pakai nark*ba?" tanya Mama Sandra dengan tatapan menyelidik.Kabar penemuan barang har*m di restoran anaknya langsung menyebar pesat hingga sampai dengan cepat ke telingan
Wira dan beberapa orang karyawannya baru saja selesai mengikuti proses penyelidikan di Polsek setempat, dari hasil tes urin mereka memang tak terbukti sebagai pengguna barang har4m tersebut.Oleh sebab itu polisi masih melakukan proses penyelidikan yang lain, untuk mengungkap siapa pemilik benda haram dengan berat yang lumayan itu.Untuk sementara ini Wira dan rekan-rekannya masih ditetapkan sebagai saksi bukan tersangka."Kamal, kamu ingat apakah ada orang yang masuk ke dapur kita?" tanya Wira pada chef kepercayaannya.Kali ini mereka sedang rapat, restoran jadi sepi dan dipasang garis polisi. Untuk sementara waktu usahanya itu ditutup terlebih dulu."Engga, Pak. Tapi saya memang sempat curiga waktu abis kembali dari toilet ada seseorang yang keluar dari dapur, saya kira itu costumer yang lagi cari pelayan."Wira tercenung lalu menatap lelaki di sampingnya dengan serius."Apa dia laki-laki? atau perempuan?" tanya Wira dengan mata tak berkedip."Ga jelas, Pak. Dia pake sweeter warna h
"Oh jadi kamu jebak aku hingga sampai ke sini?" tanya Wira dengan tatapan penasaran.Diandra terbahak-bahak."Itu kamu tahu." Diandra menyeringai puas.Wanita itu memang tak bisa ditebak isi hatinya, sebentar bisa menangis lalu sedetik kemudian bisa tertawa."Cepat buka pintunya!" Dengan bringas Wira memukul-mukul pintu dengan keras Sementara Diandra tersenyum, sekuat apapun pintu ditendang itu takkan terbuka tanpa titahnya."Nanti aku bukain, Wira. Sekarang mending kita santai-santai dulu di sini." Diandra duduk di kasur sambil tumpang kaki.Paha mulusnya terlihat jelas, walau sedang berbadan dua, tapi pesonanya masih bercahaya."Menjijikan! Aku ga sudi kalau harus duduk di tempat itu," jawab Wira.Fikiran lelaki itu kacau."Kok ga sudi sih cuma duduk doang kok, atau mau lebih." Diandra tertawa lagi."Buka pintunya, Diandra!" teriak Wira menggema."Aku bilang juga tunggu dulu.""Cepat buka pintunya." Wira melangkah dan hampir mencekik leher Diandra, hingga wanita itu terbaring di ka