Rara berbalik badan, mata pucat itu menatapnya sedikit tajam."Engga! Kamu berzina dengan perempuan itu hingga hamil, lalu sekarang seenaknya mau kembali padaku? enak betul kamu!" sentak Rara lalu ia menyeringai sinis.Wira menunduk dalam, hatinya dilanda rasa gelisah dan penyesalan."Tapi aku nyesel, Ra," jawab Wira masih menundukkan wajah.Malu sebenarnya mengatakan hal ini, tapi bagaimana lagi dari pada ia memendam rasa itu sendiri."Nyeselmu ga ada gunanya, sekarang lebih baik lepaskan aku, biarkan aku hidup bebas meraih kebahagiaan di luar sana, dan jangan pernah berfikir untuk kembali lagi."Sambil menahan air mata Rara melangkah menjauh, hatinya perih saat bibir tipis itu mengucap kata perpisahan, sedangkan dalam hatinya masih ada setitik cinta yang enggan musnah."Rara!" teriak Wira sambil menyusul.Kini mereka saling berhadapan."Aku minta maaf, aku harus gimana supaya kamu mau memaafkan," tutur Wira dengan raut penuh penyesalan.Rara menyeka air mata yang menetes ke pipi puc
"Kok diem? Ayo, katanya mau salat," titah Rara sedikit membentak.Wira menyeringai seperti orang bo_d*h lalu berkata. "Emang bisa ya salat tanpa kopiah?"Rara mengembuskan napas jengkel."Ya bisa dong, gimana sih kamu ini gitu aja ga tahu. Sana minggir! Lemarinya mau aku rapikan lagi."Akhirnya pria jangkung itu yg takbiratul ihram, setelah rujuk ponselnya berdering lagi, tak ingin Wira terganggu lantas Rara membawa ponsel itu keluar.Ia pun mengangkat panggilan dari Diandra."Halo, Mas, ini udah sore kamu kapan pulang sih?" tanya Diandra dengan nada ketus.Hatinya jengkel, karena sejak siang ia jadi bahan gosip teman-teman mama mertuanya yang sedang asyik arisan di appartemen mewah itu."Mas Wira lagi salat ashar, jangan ganggu dulu," sahut Rara, membuat panas hati Diandra.Hatinya merutuk, mengapa Mas Wira harus ke sana? bukankah tadi ia bilang mau mencari pekerjaan? awas kau, Mas, siap-siap saja pulang ke rumah langsung kuhajar dengan kata-kata pedas."Awas ya kalau elo kecentilan
"Kurang ajar!" teriak Rara.Plakk!Akhirnya satu tamparan melayang ke pipi kinclong Diandra, menimbulkan jejak merah membara, pun dengan pipi sebelah kiri Rara yang tak sama merahnya, juga di sudut bibir menitik setetes darah."Dasar penggoda! Lont*!" teriak Diandra lagi, sukses membangunkan Wira yang tengah tertidur lelap."Ada apa ini?" tanya Wira dengan dada deg-degan, mata merahnya memandang Diandra dan Rara bergantian."Kamu, kamu kenapa, Ra?" Wira berlari menghampiri istri yang sudah ia talak dua Minggu yang lalu."Ditampar sama perempuan itu," jawab Rara sambil menunjuk gundik suaminya.Seketika rahang Wira mengeras, dadanya bergejolak tak terima istrinya diperlakukan kasar bak seorang penjahat."Wira! Dia itu penuh topeng, jilbabnya ini cuma buat nutupi kebusukannya aja tahu ga!" teriak Diandra, sukses mengalihkan perhatian pejalan kaki yang lewat."Diam! Kamu yang penuh topeng!" teriak Wira berhasil membuat Diandra bungkam."Kamu tampar istriku sampai berdarah gini? ga ingat
"Tanya aja sama orangnya." Wira mendengkus lalu melangkah keluar kamar, di depan pintu lelaki bermata jernih itu berbalik lalu berkata."Awas ya kalau kamu macam-macam atau berbuat kasar lagi sama Rara, aku ga segan-segan usir kamu dari sini!"Diandra menatap penuh kecewa, lelaki yang dulu begitu memujanya, kini telah banyak berubah, fikirannya melayang memikirkan cara agar lelaki itu tunduk kembali padanya.Segerombolan wanita berhijab syar'i mengetuk pintu rumah Rara, Wira yang sedang di ruang tamu pun terpaksa membukanya."Assalamualaikum, maaf apa Rara ada di rumah?" tanya salah satu diantara mereka."Wa'alaikumus'salam, ada di kamarnya, bentar aku panggilkan dulu."wanita berjumlah empat orang itu mengangguk semua, dan menunggu di teras lumayan lama."Maa syaa Allah, Aisyah, Fatma, Khalila, Zulfa." Rara menyebut teman pengajiannya satu persatu, lalu mereka saling merangkul karena rindu."Ayo masuk, suamiku udah ke atas kok."Mereka masuk dan duduk di ruang tamu, sementara Rara ke
"Elo bilang apa sama Wira?!" tanya Diandra melalui sambungan teleponIa sampai pergi ke gudang belakang demi untuk menghajar mantannya yang rese itu via telepon, kalau bertemu langsung ia takut semua akan ketahuan."Gue ga ngomong apa-apa, cuma keceplosan," jawab Kevin santai seperti di pantai.Diandra mulai resah tak karuan, kenapa lelaki setengah bule ini harus kembali ke Indonesia? padahal beberapa tahun ini Diandra merasa aman hidup jauh darinya."Keceplosan apaan emangnya?! Jangan macam-macam Lo ya."Diandra berbisik dengan nada geram, jika lelaki itu ada di depan mata, mungkin ia sudah mencakar wajah bulenya habis-habisan."Udahlah, ga usah dibahas gue capek." Lelaki di seberang sana terdengar menguap.Tentu saja Diandra jengkel di buatnya."Cepet katakan, Kevin! Lo ngomong apa sama Wira?!" teriak Diandra kalap.Dadanya ngos-ngosan menahan amarah yang membuncah."Gue cuma bilang anggap aja anak itu anak Wira, makanya kalau punya hape itu di password biar suami Lo ga bisa ngutak-
"Jangan macam-macam, Kevin! Gue bisa nekat akhiri hidup lo kalau sampai berani ngelakuin itu," ancam Diandra penuh emosi."Terus aku harus takut gitu? sebelum mati gue pastikan Vidio ini sudah sampai ke WA Wira, gimana?" tanya Kevin memberikan penawaran.Diandra mendongkak dengan rahang mengeras, tak menyangka akan seperti ini efek buruk pergaulan bebas di masa lalunya.Aku harus gimana?Haruskah kuturuti semua maunya?Tapi aku tak bisa, bagaimanapun juga aku tak ingin buat Wira kecewa.Hatinya terus berkata-kata."Diandra, kok diem? udah jangan banyak mikir ini yang terakhir kok, abis ini lo bisa hapus Vidio yang ada di kamera gue, atau lo boleh cek hape gue, pastiin semuanya bersih," ujar Kevin.Diandra masih bungkam tak kuasa mengiyakan ajakan lelaki yang menurutnya kurang ajar itu. Karena hati yang terdalamnya menolak mentah-mentah.Tapi di sisi lain Diandra juga takut dengan ancaman lelaki blasteran itu, ia tak ingin suaminya tahu bahwa dirinya pernah menjadi pekerja s*ks komers*
"Diandra! Begini ternyata kelakuanmu di belakangku hah?!""Kamu bilang mau nginap di rumah Mama dan Papamu, tahunya malah menginap di hotel dengan lelaki ini!"Teriakkan itu sontak membuat leher Kevin dan Diandra berputar, wanita yang mengenakan dres longgar selutut dipadukan dengan cardigan warna senada itu terperangah.Tubuh Diandra bergetar menatap sosok lelaki di hadapannya."Wi-wira," gumamnya sambil menutup mulut dan dada."Kamu menjijikan, Diandra!" teriak Wira, untung saja di sekitar tak ada orang yang lewat.Sementara Kevin hanya diam dalam kepasrahan, menjelaskan pun ia merasa akan percuma, Wira pasti takkan percaya."Engga, Wira, semua ini ga seperti yang kamu fikirkan," tutur Diandra sambil menghampiri dengan langkah pelan.Sementara Wira mematung penuh amarah, tatapannya tajam seperti singa yang hendak menerkam mangsa.Rahangnya mengeras, disertai dengan kepalan tangan yang makin menguat."Wira, aku ... aku emang mau ke rumah Mama tapi di jalan Kevin nelpon ngajak ketemu
Tetap saja Wira tak bergeming, semua alasan yang diucapkan tak masuk akal pikirannya.Semenjak Diandra menelpon diam-diam di gudang belakang tadi siang, sejak saat itulah Wira curiga jika istrinya ini ada main-main dengan kawan lamanya."Wira, aku tuh sayang sama kamu. Walaupun kamu udah bangkrut tapi aku tetep di samping kamu 'kan? aku ketemu Kevin itu untuk kebaikan kita berdua, supaya dia mau join bisnis bareng kita," tutur Diandra lagi.Tapi sayang, kini taxi yang membawanya sudah sampai di depan gerbang rumah orang tua Diandra."Ayo turun!" titah Wira dengan tegas."Engga! Kita pulang aja, selesaikan masalah ini berdua," jawab Diandra masih tetap dalam mobil."Aku bilang turun! Aku ini bukan anak kecil, Diandra! Yang bisa luluh hanya dengan kata-kata dusta!" sentak Wira membuat sopir taxi terkejut.Pria tua dan kurus di depan kemudi sana memperhatikan dari kaca spion tengah, ia ingin bicara tapi takut dikatakan ikut campur."Aku ga bohong, Wira. Please jangan libatkan orang tuaku
Dua tahun kemudian.Diandra telah bebas dari masa hukumannya. Papa dan Mama beserta Tiara yang sudah tumbuh jadi balita ikut serta menjemput kepulangan wanita itu.Diandra dulu tentu berbeda dengan sekarang. Saat ini wanita itu bertubuh kurus dan berwajah kusam. Namun, hal itu bukan suatu masalah bagi dirinya.Prinsip wanita itu telah berubah, yang ada di pikirannya hanya rindu terhadap anak tercinta, ia ingin memeluk dan mencium bocah itu sepuasnya."Oma, takuut, toloong," rengek Tiara, saat Diandra berusaha mendekatinya."Kok takut, dia 'kan Mama kamu," ucap Mama Diandra.Anak berumur empat tahun itu merenung, ia tak terbiasa dengan hadirnya seorang Mama, yang ada dalam hidupnya selama ini hanya oma, opa dan papa."Ga apa-apa, Diandra, anakmu ga terbiasa dengan hadirnya kamu, nanti juga terbiasa pasti sayang kok sama kamu." Mama Diandra menenangkan."Ma, aku minta maaf ya udah buat Mama dan Papa malu selama ini," ucap Diandra dengan wajah sendunya.Mama Diandra mengangguk."Yang pen
Sementara Wira berdiri di hadapan pintu masuk rumah Pak Mustafa, sejak tadi ia berdiri di sana, menunggu tamu yang di dalam keluar, dengan harapan agar Rara kembali jadi miliknyaWira bersender di pintu, tubuhnya mendadak lemas mengetahui sang pujaan hati hendak jadi milik orang lain."Wira," ucap Pak Mustafa saat menyadari ada seseorang yang berdiri di hadapan pintu rumahnya.Sontak semua orang melirik ke arah yang sama, Rara terkejut matanya sempat menghangat, bukan masih cinta melainkan tak tega.Pak Mustafa melangkah keluar seorang diri sementara yang lain menunggu di dalam."Ayo masuk," ajak Pak Mustafa.Tapi Wira malah berdiam diri, enggan masuk lantaran kakinya terasa berat dibawa melangkah."Saya pulang aja, Yah." Wira tersenyum sungkan."Ya sudah hati-hati." Pak Mustafa menepuk bahu WiraSatu bulan semenjak kejadian itu akhirnya ada surat undangan yang datang ke rumah Wira, bertuliskan nama Rara dan Faruq, Wira menghirup napas dalam-dalam saat membacanya."Tuh mantan istrimu
Nenek dari pihak Diandra yang memberikan nama itu, mereka berdua mengurus bayi Tiara dengan dengan didikan yang baik, tak ingin anak ini tumbuh liar seperti ibunya."Ma, aku udah transfer ke rekening Mama ya kalau Tiara kenapa-napa telpon aku aja," ujar Wira saat ia mengunjungi anaknya.Pria itu tak ingkar janji, hingga anak itu tumbuh dan bisa berjalan ia tetap memberi nafkah dan kasih sayang, setiap akhir pekan ia menyempatkan waktu untuk bertemu anaknya.Mengajak jalan-jalan atau membawanya menginap di rumah Mama Sandra, wanita itu teramat gembira jika sang cucu datang menginap di rumahnya.Tak ada benci seperti sebelumnya. Tiara benar-benar dilimpahi kasih sayang dari ayah dan kakek neneknya."Wira, kapan kamu nikah lagi? kalian sudah dua tahun bercerai, masa iya kamu menduda terus," ucap Mama Sandra.Wira terdiam, hatinya masih tertutup belum ada wanita yang bisa menggantikan Rara."Nanti saja, Ma, belum dapat yang sreg di hati." Wira tersenyum.Mama Sandra mendesah, lagi-lagi pu
Sidang pertama sukses, Rara beserta pengacara bersalaman sebagai ungkapan terima kasih. Di ruang mediasi Wira sempat membela diri, tak ingin bercerai. Namun, berkat bantuan Bu Lala pengacaranya akhirnya hakim berpihak pada mereka."Ra, please, berfikir ulang," ujar Wira saat sudah keluar dari ruang sidang."Maaf, Mas. Ini yang terbaik. Aku ga mau hidup ngebatin terus," ucap Rara lalu segara meninggalkannya.Sakit sekali hati Wira, begitu pula dengan Rara. Mereka sama-sama merasakan sakit akibat perpisahan ini.Waktu cepat berlalu, sekarang tiba saatnya Diandra melahirkan, pihak lapas yang mengabari Wira, selaku ayah dari bayi itu.Wira menagajak Mamanya dan Pak Dirga, karena kedua orang tua itu memaksa ikut, ingin melihat cucu pertama mereka.Walaupun sempat membenci, tapi dalam hatinya masing-masing mereka penasaran dengan wajah anak itu, dan tak dapat dipungkiri ada setitik sayang untuk anak itu."Bayinya perempuan, Mas. Lihatlah hidung dan bibirnya mirip denganmu," ucap Diandra lir
"Atas kasus apa?" tanya lelaki yang kini berjanggut sedikit tebal itu, maklum jarang mengurus wajah karena sibuk dengan berbagai masalah."Kasus prostitusi dan satu lagi dia juga terjerat kasus nark*ba, dia digrebek saat lagi pesta s*bu bersama seorang pria."Jantung Wira serasa mau copot mendengar kabar itu, ia langsung menduga soal penemuan barang haram di restorannya, apa mungkin itu juga ulah Diandra?"Saya ga ngerti, dia itu 'kan sudah menikah lagi hamil pula kok bisa-bisanya pakai barang haram itu?" Pak Haryadi memijat kening."Apa kalian ada masalah?" tanyanya lagi dengan raut putus asa.Wira masih diam, antara harus memberitahu mertuanya atau tidak."Kalian ada masalah apa sih?" Pak Haryadi bertanya lagi."Iya, Pa, Diandra kabur dari rumah karena berantem sama aku. Aku meragukan anak yang dikandungnya, karena ada lelaki yang bernama Kevin yang dicurigai ayah dari bayi itu." Wira terpaksa membeberkan.Ia sudah lelah menanggung masalahnya sendirian. Ternyata setelah berzina itu
Hari ini Wira dapat bernapas lega, pasalnya polisi mengabarkan ada penemuan sidik jari orang lain di plastik yang membungkus benda har*m itu.Tak hanya itu, ada dua orang saksi yakni yang sedang makan melihat seorang perempuan asing masuk ke dapur restoran, kini polisi sedang memburu wanita itu."Jadi, sekarang kamu sudah terbukti bukan pengedar ataupun pemakai benda haram itu?" tanya Mama Sandra, ia sampai bolak balik ke rumah anaknya."Iya, Ma. Alhamdulillah. Jadi kasus ini sebenarnya jebakan aja supaya restoran aku sepi."Mama Sandra dan Papa Dirga bernapas lega."Sekarang selesaikan masalahmu yang lain," timpal Papa Dirga.Wira melirik sang ayah."Papa sudah tahu masalahmu antara kalian bertiga, selesaikan secepatnya dan pilih salah satu," lanjutnya dengan sedikit ketegasan."Papa tahu dari mana masalah di hotel itu?" tanya Wira penasaran."Dari temen Papa, kebetulan kemarin katanya kamarnya bersebalahan, jadi ia mengetahui keributan yang terjadi."Wira merasa malu, masalah pribad
"Hadeuh kamu ini. Perempuan itu kalau lagi ngambek diomongin apapun ga bakalan mudeng, yang ada di kepalanya cuma kecewa, kamu sabar dong tunggu kepalannya dingin dulu."Pak Mustafa hafal betul karakter wanita, ia belajar banyak dari istrinya, anaknya, juga kakak dan saudara yang lain.Wira mengacak rambut, kalau begini semakin bertambah lah beban di kepalanya."Kamu pulang sana, kalau Rara udah baikan dia pasti mau ditemui, sekarang biarkan dia merenung sendiri."Wira mangut-mangut. "Ya sudah saya pulang, tapi sampaikan sama Rara kalau saya sayang padanya, Ayah jelaskan pada dia kalau yang dia lihat itu cuma fitnah alias jebakan Diandra."Pak Mustafa melengos.'Sudah dibilangin ga bakalan mudeng masih saja ngeyel,' gerutu hatinya.Wira pulang ke rumah, di sana ia disambut oleh Mama dan papanya."Wira apa benar kamu pakai nark*ba?" tanya Mama Sandra dengan tatapan menyelidik.Kabar penemuan barang har*m di restoran anaknya langsung menyebar pesat hingga sampai dengan cepat ke telingan
Wira dan beberapa orang karyawannya baru saja selesai mengikuti proses penyelidikan di Polsek setempat, dari hasil tes urin mereka memang tak terbukti sebagai pengguna barang har4m tersebut.Oleh sebab itu polisi masih melakukan proses penyelidikan yang lain, untuk mengungkap siapa pemilik benda haram dengan berat yang lumayan itu.Untuk sementara ini Wira dan rekan-rekannya masih ditetapkan sebagai saksi bukan tersangka."Kamal, kamu ingat apakah ada orang yang masuk ke dapur kita?" tanya Wira pada chef kepercayaannya.Kali ini mereka sedang rapat, restoran jadi sepi dan dipasang garis polisi. Untuk sementara waktu usahanya itu ditutup terlebih dulu."Engga, Pak. Tapi saya memang sempat curiga waktu abis kembali dari toilet ada seseorang yang keluar dari dapur, saya kira itu costumer yang lagi cari pelayan."Wira tercenung lalu menatap lelaki di sampingnya dengan serius."Apa dia laki-laki? atau perempuan?" tanya Wira dengan mata tak berkedip."Ga jelas, Pak. Dia pake sweeter warna h
"Oh jadi kamu jebak aku hingga sampai ke sini?" tanya Wira dengan tatapan penasaran.Diandra terbahak-bahak."Itu kamu tahu." Diandra menyeringai puas.Wanita itu memang tak bisa ditebak isi hatinya, sebentar bisa menangis lalu sedetik kemudian bisa tertawa."Cepat buka pintunya!" Dengan bringas Wira memukul-mukul pintu dengan keras Sementara Diandra tersenyum, sekuat apapun pintu ditendang itu takkan terbuka tanpa titahnya."Nanti aku bukain, Wira. Sekarang mending kita santai-santai dulu di sini." Diandra duduk di kasur sambil tumpang kaki.Paha mulusnya terlihat jelas, walau sedang berbadan dua, tapi pesonanya masih bercahaya."Menjijikan! Aku ga sudi kalau harus duduk di tempat itu," jawab Wira.Fikiran lelaki itu kacau."Kok ga sudi sih cuma duduk doang kok, atau mau lebih." Diandra tertawa lagi."Buka pintunya, Diandra!" teriak Wira menggema."Aku bilang juga tunggu dulu.""Cepat buka pintunya." Wira melangkah dan hampir mencekik leher Diandra, hingga wanita itu terbaring di ka