"Mas, Rena akan selalu bersama Mas, kita hadapi bersama. Kita bicarakan dengan semua keluarga, kita cari jalan keluar untuk masalah ini." Aku mendekati lelaki yang sejak tiga tahun lalu menjadi Imamku itu. Menggenggam tangannya erat.
"Tapi, katakan padaku. Kenapa Mas Aris tak membantah ucapanku? seolah memang Mas pernah meniduri gadis itu.""Apa kau akan percaya padaku? sedangkan yang terlihat tak seperti itu. Dan lagi mas juga masih bingung, sengaja mas bersikap seperti itu. Karena mas belum menemukan jalan keluar lain." jawab pria itu."Logika saja mas, mana ada kucing nolak dikasih ikan, singa nolak dikasih daging segar," ucapku."Tapi, mas bukan kucing, apalagi singa.""Tapi, tetap saja tindakan mas ini salah, banyak hati dipertaruhkan di sini. Harusnya tak sampai seperti ini, apalagi sebuah pernikahan lain hadir di tengah sebuah hubungan pernikahan.""Mas tau mas salah, mas bingung," jawab pria itu, terlihat sekali dia sed"Begini, Rena akan buat surat pernyataan, yang isinya tentang keringanan hutang, nanti kita cari tau, gimana supaya Indah tandatangani surat itu."Aku mulai menjelaskan ke Mas Aris, termasuk peran Ibu di sini, dan juga Mas Aris harus baik pada gadis itu."Mas, paham kan?" Mas Aris mengangguk. "Tapi sebelumnya, buat Indah mau menyerahkan surat pernyataan utang Mas, yang asli. Itu tugas Mas," jelasku.Sejenak Mas Aris terdiam, terlihat sedang memikirkan sesuatu."Jadi suaminya Indah beneran?""Iya, ya itu caranya buat ambil surat itu dari dia, tanyakan juga apa ada salinannya. Pokoknya pintar-pintar Mas Aris Lah buat meyakinkan dia," terangku lagi."Yakin?" Mas Aris menatapku berbeda."Yakin.""Tapi …." Mas Aris menggaruk kepalanya.Aku menatapnya dengan seksama."Jangan pernah berpikir bisa melakukan hal itu dengan wanita lain, itu tak akan terjadi setelah hari ini," ucapku.Mas Aris tampak terkejut mendengarku."Jangan kataka
Drama pagi hari ini akhirnya usai untuk sementara. Aku kembali ke kamar, bersiap untuk berangkat ke kantor. Mas Aris menyusul kemudian, dia menutup pintu rapat."Aku semakin pusing," ucapku sambil memijat kedua pelipis. Semua yang terjadi membuat kepalaku menjadi sakit."Maafkan Mas, ya," pinta Mas Aris untuk kesekian kali. Entah sudah berapa kali pria yang menjadi suamiku itu mengucapkan kalimat yang sama."Sekarang bukan masalah maaf memaafkan, seharusnya segala hal dibicarakan agar tidak terjadi hal seperti ini." Aku mulai mengomel."Setidaknya pelajaran juga untuk Mas Aris jangan mudah percaya pada orang lain, apalagi urusan uang. Teman, bahkan keluarga sendiri sering bermasalah karena hal itu. Untuk lain kali, tolong lebih terbuka, aki istri Mas, harusnya Mas Sharing dulu denganku, bicara dulu. Kalau ada masalah kita bisa pecahkan bersama-sama, kita cari jalan keluar bersama. Jangan kek gini, ini bukan masalah kecil."Panjang lebar aku mengomel pagi itu, sambil menyapukan make up
PoV Indah.Cinta, siapa yang bisa meminta akan dilabuhkan pada siapa. Begitu juga dengan rasa cinta yang ada dalam hatiku, mengaguminya sejak pertama kali melihatnya. Sosok rupawan itu telah cukup lama mengusik hatiku, bahkan sejak aku masih duduk di bangku SMU.Jatuh cinta pada pria dewasa, aku sendiri tak tau kenapa. Hanya saja setiap waktu setiap saat hasrat tertuju padanya. Sebagai anak pemilik perusahaan tempat Mas Aris bekerja, aku dengan bebas dan sesuka hati keluar masuk kantor Papa.Pria itu sama sekali tak menganggapku, aku semakin penasaran dibuatnya. Semua bisa aku miliki, berarti cinta Mas Aris juga bisa aku dapatkan. Semakin aku mendekat semakin pria itu membuat jarak. Kenyataan dia memiliki istri tak mengurungkan niatku. Diri ini justru semakin tertantang, untuk dapat mendekapnya dalam pelukan. Pendekatan Tidak membuahkan hasil, hingga akhirnya keberuntungan berpihak padaku. Waktu itu aku tak sengaja mendengar pembicaraan Papa den
Mendapat perlakuan manis seperti ini, dari Mas Aris bagai mimpi rasanya,bagiku. Wajah itu terlihat sangat tampan, dengan jarak sedekat ini semakin jelas kulihat pesona suamiku ini. Aku mendekatkan wajahku, kemudian memejamkan mata. Berharap dia memberikan ciuman pertamanya untukku. Kenapa pria ini tidak peka, setelah menunggu beberapa saat aku membuka sebelah mataku. Aku mendecak kesal, bisa-bisanya dia malah asyik mengusap-usap ponselnya."Mas …!" Panggilku setengah berseru. "Ada apa?" tanyanya seolah tak terjadi apa-apa. Bagaimana bisa dia mengabaikan bibir ranumku yang telah siap menyambutnya."Ihh," ucapku kesal, Mas Aris malah menggaruk kepalanya."Mas ada pekerjaan kantor, mas kerjain dulu ya," pamit Mas Aris hendak beranjak. "Kerjakan di sini aja, Mas. Indah temenin," ucapku manja. "Mas takut nggak konsen, pengennya liatin kamu terus." "Ihh, Mas bisa aja," ucapku tersipu."Mas, di depan aja.
Sengaja aku tak memberi tahu Mas Aris kalau aku sudah mendapatkan surat itu. Akan kuberitahu malam ini, sebagai kejutan, sekaligus minta hadiahku. Kadang sebel, apa kurangnya aku di banding Rena, kenapa dia tak mau menyentuhku. Aku lebih cantik, lebih muda, dan lebih kaya.Dengan hal ini, aku berharap Mas Aris terbuka mata hatinya dan menyadari betapa besarnya cintaku padanya. Setelah itu, kami bisa bahagia hidup bersama dan melempar Rena jauh. Tak akan lama lagi.••Tak seperti biasa, Mas Aris pulang larut malam, sama seperti Rena. Hanya saja Rena sudah datang dari satu jam yang lalu, ini sudah hampir jam sepuluh, Mas Aris belum datang juga, ponselnya pun mati.Aku sudah bingung. Tapi, Rena terlihat biasa saja, bagaimana Mas Aris lebih memilih istri yang tak peduli padanya dibanding aku. Rena terlihat bercanda dengan Bunda nya di depan tv. Ibu tak terlihat, karena mengaku sakit kepala.Tak berapa lama kudengar mobil Mas Aris datang. Ak
Semua selesai mandi dan bersiap ke kantor aku masih belum selesai juga."Pamerkan masakanmu, pada Rena sama Bundanya. Mereka harus mengakui keunggulan kamu," ucap Bunda padaku. "Tapi, Indah belum selesai. Nggak bisa temenin Mas Aris sarapan," ucapku sedikit kecewa."Nggak papa, biar Ibu yang ladenin sama yang nemenin," ucap Ibu kemudian.Tak berapa lama, semua sudah berkumpul.di meja makan. "Indah, nggak sarapan? Tanya Mas Aris padaku. Diperhatikan seperti itu saja hatiku sudah senang sekali, nampak Rena melihat ke arahku dengan wajah malas. Aku membalasnya dengan senyum kemenangan. Daguku terangkat, lambat laun perhatian Mas Aris pasti aku dapatkan."Belum selesai, Mas duluan saja," balasku manis."Ehem," terdengar Bunda Rena berdehem, melihatku sinis."Nih, masakan mantu kesayangan, terbukti untuk kesekian kalinya, anakmu tak ada apa-apanya," ucap Ibu, kemudian melirik ke arahku dengan senyumnya. Aku membalas dengan senyum yang sama."Halah, palingan rasa alakadarnya," cibir wan
Belum juga lama aku mengobrol dengan Tante Erin, Ibu memintaku cepat-cepat pulang. Kadang menyebalkan sekali wanita itu, andai bukan karena aku mencintai anaknya, malas sekali berhubungan dengan wanita itu.Lama-lama risih juga akhirnya aku berpamitan, Tante Erin hanya tertawa mendengar ceritaku tentang ibu mertuaku itu.Keluar dari cafe segera kulajukan kembali mobilku ke arah pulang. Sedari tadi ponselku tak berhenti berbunyi. Sayang sih sayang, tapi kalau caranya begini, buat pusing.Baru mobilku menepi akan masuk halaman, Ibu mertuaku sudah berdiri di depan pagar. Ya ampun Ibu-Ibu satu ini, benar-benar tidak sabaran sekali. Melihat mobilku datang lekas ia menghampiri dan naik di jok belakang. Sudah persis sopirnya aku dibuat."Kemana Bu? Ke pasar yang dekat simpang tiga saja ya Bu, disana pasarnya bersih kata Bi Eti." Aku melihat Ibu dari spion tengah."Nggak mau, yang Ibu cari gak ada di sana. Cuma ada di pasar yang dekat terminal," jawab perempuan setengah baya itu.Pasar kumuh,
Pov Rena•••Aku masih fokus dengan tumpukan berkas di atas meja, saat terdengar beberapa notif pesan masuk ke ponselku. Tanganku meraih laci dan menariknya. Ponsel kembali bergetar saat aku mengambilnya.Pesan gambar di aplikasi WA dari Ibu, sedikit menunggu karena aku tak mensetting unduh otomatis. Tawa tak dapat kutahan saat melihat gambar-gambar yang Ibu kirimkan. Terlihat foto Indah yang lucu sekaligus menyedihkan. Salut dengan Ibu, yang seakan tak pernah kehilangan akal untuk mengerjai menantu keduanya itu.Aku masih benar-benar tak habis pikir, kenapa ada gadis bodoh seperti Indah. Apa yang diharapkan dari sosok Mas Aris. Apalagi sekarang aku sudah mengunci suamiku itu, yang otomatis hanya bisa bangun saat denganku saja. Indah cantik, kaya, dan masih muda, Mas Aris juga abai padanya.Kalau hanya soal rupa, banyak pria lebih tampan dari Mas Aris. Apa gadis itu terobsesi karena Mas Aris menolaknya. Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tau, apa yang Ia pikirkan. Sekarang lebih baik a
"Itu, Tante Rena, pacarnya Om Kelvin, iya kan Om?!" Gita sama saja dengan Viona. Suka menggoda Omnya. Wajahku kembali menghangat."O." Bibir wanita yang baru datang itu membulat."Butuh apa saja?" tanya Kelvin lagi.Aku menyebutkan aneka bumbu dapur, dan bahan lain yang aku butuhkan. Juga alat yang diperlukan. Panci berukuran lumayan besar telah disiapkan begitu juga bahan yang diperlukan.Untuk Ayam sengaja aku masak lebih dahulu, agar bumbunya meresap. Bukan masalah besar untuk mengerjakan semuanya. Disela memasak Ayam dan bebek rica aku mengeksekusi cabe yang baru dibawa Mbak Sari.Satu wajan penuh sambal sedang aku olah, Kelvin membantu mengikat rambutku dengan karet gelang. Dan juga memasangkan celemek padaku. "Capek sayang?" Kelvin memijat bahuku saat aku sedang mematangkan sambal di wajan."Nggak. Tapi, keringetan." Aku memperlihatkan dahiku padanya. Dia beranjak ke meja menarik beberapa tisu, dan mengelap keringatku."Bund, besok pakai urap juga?" tanyaku pada Bunda Kelvin."R
Obrolan ringan mewarnai perjalan kami. Mobil mulai memasuki komplek perumahan yang menjadi tempat tinggal Kelvin dan keluarganya. Jantungku semakin berdetak dengan kencang, telapak tangan juga terasa dingin. Aku menarik napas dalam dan menghembus perlahan, untuk mengatur hatiku.Mobil mulai sedikit melambat dan akhirnya berhenti. Huff debaran di dadaku semakin sulit aku kendalikan. Aku grogi … Kelvin membunyikan klakson mobil, satu kali. Tak berapa lama pintu pagar terbuka. Mobil kembali bergerak memasuki halaman rumah yang cukup besar itu. "Sayang, sampai." Kelvin memanggilku. Aku masih bergeming, kemudian menyentuh punggung tangannya dengan telapak tanganku yang dingin."Dinginnya," ujar Kelvin, digenggamnya tanganku kemudian."Rasanya nano - nano," ucapku kemudian."Tenang, semua akan baik - baik saja," balas Kelvin sambil mengeratkan genggamannya."Iya, Bismillah." Aku membalas dan berdoa.Aku sedikit menyapukan bedak, yang selalu aku bawa di tas. Hanya samar, agar tampak pucat
"Gombal banget, sih." Aku menggigit bibir, menahan senyum. Jujur hatiku bagai hamparan taman bunga, dengan bunga yang beraneka warna dan bermekaran dengan sempurna. "Itu ungkapan hati, Yang." Setengah berbisik, Kelvin mendekatkan bibirnya ke telingaku. Hanya setengah berbisik karena tetap terdengar oleh kedua wanita di depanku, yang tengah sibuk membungkus parcel. Terlihat keduanya saling sikut dan menahan tawa.Wajahku menghangat, Kelvin membuatku salah tingkah. "Mbak, saya tunggu di kasir depan, ya," ucapku, untuk mengalihkan fokusku dari Kelvin."Baik, Kakak." Keduanya menjawab hampir bersamaan.Aku dan Kelvin beranjak, sambil sesekali berhenti melihat aneka camilan yang terpajang di display. Mengambil beberapa yang terlihat enak. "Banyak banget?" tanya Kelvin melihat keranjangku kembali penuh."Buat anak - anak di resto, sama buat nemenin kerja," jawabu. "Ayank, nggak pengen?" tanyaku kemudian."Kalau pengen, kan tinggal nyebrang." Sambil menjawab, pria itu mengangkat alisnya
"Mau kemana kita?" tanya Kelvin kemudian, saat kami sudah berada di dalam mobil."Pulang saja, Oh … ya, ke toko buah dulu ya."Kelvin mengajakku ke rumahnya, besok pagi - pagi sekali, aku tak akan mungkin mendapatkan toko yang buka sepagi itu."Mau belanja buah?" tanyanya kemudian."Iyap." Aku menjawab singkat.Mobil melaju keluar dari area parkir resto. Tak jauh dari resto ada toko buah, yang cukup besar, berdiri bersebelahan dengan toko roti. Kesanalah kami menuju sekarang.Tidak memerlukan waktu yang lama, mobil berbelok masuk area parkir toko yang kami tuju. Seorang tukang parkir datang untuk mengarahkan. Kami turun selepas Kelvin mematikan mesin mobil.Aku baru saja keluar mobil, saat aku dengar seperti ada yang memanggil namaku. Aku menghentikan langkah kemudian menajamkan pendengaran."Sayang, ada apa?" tanya Kelvin saat melihatku celingukan."Kayak ada yang manggil." Aku menjawab, masih dengan mengedarkan pandangan."Rena." Aku dan Kelvin bersamaan menoleh ke arah kiri be
Siang setelah selesai tugas di rumah sakit, Kelvin menemaniku untuk membuat laporan di kantor polisi. Cukup menyita waktu, untung sore Kelvin tak membuka praktek, karena sabtu sore dia libur. Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab. Bukti rekaman CCTV juga akan menjadi barang bukti. Tentang ada orang lain dibalik kejadian ini atau tidak masih diselidiki."Capek ya?" tanya Kelvin padaku. Sesaat setelah kami masuk mobil, selepas keluar dari kantor polisi."Mayan, Ayang juga pasti capek." Aku memiringkan tubuh, menghadap ke arahnya dengan mengangkat satu kaki."Aku cowok, Yang. Kemana ini kita?" tanyanya kemudian."Balik resto ya, malam minggu mesti ramai. Ayang mau nemenin?" tanyaku kemudian."Boleh, aku temenin." Kelvin mengusap puncak kepalaku. Sebuah senyum manis terukir di bibirnya yang tampak kebiruan."Masih sakit?" Tanganku mengusap kulit memar itu."Nggak, Sayang. Kan tadi dah diobatin." Kelvin mengecup tanganku. Hatiku kembali berdebar mengingat kejadian tadi pagi."Udah y
Aku melepas alas kaki, sudah lama sekali aku tak melatihnya, tenagaku juga pasti tak seperti dulu lagi. Saat aku baru melepas alas kaki, sebuah bogem mentah mengenai wajah sang pahlawan kesiangan. Semua berteriak histeris terutama pegawai perempuan. Ini bukan sedang syuting film India dimana satu orang bisa mengalahkan puluhan orang. Tapi, apapun itu … bukan saatnya untuk jadi penonton.Baru aku beranjak memasang kuda - kuda terdengar suara mobil polisi mendekat. Beberapa polisi datang. Aku menoleh ke arah sang pahlawan kesiangan, darah segar keluar dari sudut bibirnya. Dia yang kesakitan kenapa aku yang lemas. Aku terduduk, saat mulai menyadari apa yang baru saja terjadi. Mataku mengedar ke arah pegawai, aku tak bisa membayangkan, kalau mereka tadi benar - benar dihajar oleh para pria berbadan tegap itu."Sayang, kamu nggak papa?" Pahlawanku terlihat panik melihatku, yang seolah tanpa tenaga."Stop, aku bisa sendiri. Bantu berdiri saja." Saat dia terlihat akan mengangkat tubuhku."
"Aku mengerti, tapi aku pernah gagal, pernah disakiti. Dan, itu membuatku merasa takut, untuk memulai lagi sebuah komitmen dalam sebuah ikatan yang sakral." Aku menjelaskan alasanku. Dari dalam hati terdalam, masih ada trauma akan sebuah hubungan rumah tangga."Tenang, aku dokter segala penyakit. Termasuk sakit hati, segala lukamu di masa lalu, aku berjanji akan menyembuhkannya."Senyum terkembang di bibir itu. Tak pernah bisa benar - benar bisa serius bicara dengannya."Terus aja, ini ibarat kata, sudah diangkat tinggi terus dihempas ke bumi," ujarku."Kok bisa?""Ya, bisalah. Tadi sudah bicara serius eh absurd lagi." Aku menjawab.Kelvin tertawa."Serius tak selalu mengerutkan kening, Sayang. Aku serius dengan ucapanku tadi." Kelvin menjelaskan."Aku serius dengan hubungan ini, aku serius ingin mengobati rasa sakit hatimu, aku serius ingin selalu menjagamu, dan aku serius ingin menjadi imammu." Kelvin kembali menambahkan."Secepat ini?" tanyaku ragu."Nunggu apa?" tanyanya, aku men
"Beberapa hadiah, Mas Aris kirimkan. Barang - barang branded. Aku menolaknya, dia memaksa. Hingga sewaktu dia di ruangan, selepas acara di resto, Indah datang. Dia mengamuk melihat Mas Aris bersamaku. Sebelumnya juga pernah bertemu di salon. Dia, merendahkan dan mencibirku, bagaimana bisa janda sepertiku berada di salon mahal."Aku menarik napas dalam dan menghembuskan perlahan. "Saat mengamuk itulah, dikira aku minta - minta uang dan hadiah pada Mas Aris. Indah kembali menghinaku. Hingga aku bisa membalikkan keadaan, aku bilang kalau Mas Aris-lah yang belum bisa move on dariku. Mas Aris mengakui, itu sepertinya yang membuat Indah semakin marah. Hingga akhirnya pagi tadi, dia kembali membuat ribut." Kembali aku menjeda, Kelvin mengusap punggungku."Aku merasa, Indah sengaja mencari masalah denganku. Itu sebabnya aku pasang banyak CCTV di resto. Jujur aku merasa takut, dia memiliki banyak uang. Tau sendiri kan, uang cukup berkuasa. Aku hanya takut kalau dia sampai membuat masalah unt
Seperti kemarin, hari ini juga semua bahan habis, padahal stok sudah di tambah. Bahkan harus tutup lebih cepat dari biasanya, karena semua menu utama kosong. Baru jam delapan lewat, restoran terpaksa harus ditutup."Wow, luar biasa hari ini. Meski pagi dah mau di ajak gelut." Sania menghempaskan bobot tubuhnya di kursi depan mejaku."Yang paket meriah, penjualan naik terus." Sania kembali menambahkan. "Pada bilang, baru nemu makanan enak tapi murah, dengan porsi mantap."Paket meriah, memang baru keluar bulan ini. Paket yang terdiri dari ayam bakar atau goreng ukuran sedang, urap sayur tambah lalapan dan sambal, plus minuman. Dengan harga cukup murah. "Mbak, kalau yang depan ini. Kita buat jadi dua lantai, gimana?" saran Sania.Aku terdiam sesaat, mulai membayangkan usulan Sania. Bagus usulnya, bisa menambah kapasitas. Hanya, saja harus mengatur waktunya. Pengerjaannya tidak mungkin hanya sehari, dua hari. "Oke juga, nanti mbak cari referensi dulu. Yang bisa ngerjain, bagus, rapi,