"Sarapan di luar aja," ucap Mas Aris, "Sekalian berangkat." Aku mengangguk pelan.
Mas Aris menuju kamar depan untuk mengambil laptop dan tas kerjanya. Aku juga mengambil barangku di kamar."Bund, Rena berangkat dulu. Bu, Rena berangkat " pamitku pada Bunda, kemudian Ibu. Indah masih belum keluar dari kamar mandi. Setelah mas Aris berpamitan, kami berjalan bersisian menuju mobil."Mau makan apa?" tanya Mas Aris."Udah nggak lapar" jawabku."Mas yang lapar.""Terserah mas aja," jawabku."Terserah aku kan?" tanyanya kemudian.Mas Aris tiba-tiba menepikan mobilnya, kemudian membuka layar ponselnya. Tanganya mengusap layar benda pipih itu. Senyum tipis terbit setelahnya.Tak berapa lama mas Aris kembali melajukan kembali mobilnya. Aku sedikit mengernyitkan kening, saat mobil dibelokkan memasuki sebuah hotel."Mau sarapan di sini?" tanyaku heran."Iya," jawab mas Aris.Aku menurAku hanya menatapnya dengan senyum masam, kemudian kembali ke ruang tengah, Ibu belum juga terlihat datang. Bunda masih asyik melihat tayangan infotainment di tv."Bund, itu barang-barang ampe kapan taruk di depan?" tanyaku. Bunda menoleh melihat ke teras depan, kemudian mengangkat bahunya.Aku melangkah ke depan, mengamati barang-barang yang baru dibeli Indah. Sebuah tempat tidur, melihat merek yang melekat di sana jelas itu harganya puluhan juta. Meja rias, lemari pakaian dan beberapa barang lain. Aku menggelengkan kepala pelan, apa dia tak mengukur luas kamarnya. Mana muatlah barang sebanyak ini di masukkan ke dalam kamar."Ngapain?" tanya Ibu, entah kapan dia datang. Suara dan tepukan di bahu cukup membuatku kaget."Nggak, Bu. Cuma bingung mau ditaruh dimana barang sebanyak ini. Kamar kita kan sempit," jawabku."Oh, tenang. Ibu sudah mengaturnya, tadi Ibu sudah nyari orang buat bantu beberes.""Maksud Ibu?""Nih, ya
"Halah, anak mu yang nggak bakalan tahan. Kamu pikir kenapa tadi Rena pulang siang, karena ulang anakmu, yang sudah nggak tahan," ucap Bunda tanpa saring.Mas Aris melihat ke arahku dengan wajah memerah, aku menggeleng. Aku merasa tidak menceritakan apapun. Berarti Bunda menyimpulkan sendiri saat mengendus rambut setengah basahku tadi.Ibu melihat ke arah Mas Aris dan padaku bergantian. Telapak tangan kanan menutup sebagian wajah Mas Aris. Indah beranjak dari duduknya dan bergegas masuk ke kamar. Terdengar pintu terbanting dengan keras."Hahaha." Tawa Bunda terdengar, "Udah, ah. Sudah pasti anakku yang menang. Tidur dulu, hmm wanginya aroma kemenangan."Dengan pandangan dan senyum meremehkan Bunda bangun dari duduknya, dan berjalan ke kamar depan."Jangan sombong, semua bisa terjadi." Ibu mengikuti langkah Bunda masuk ke dalam kamar."Aris, jangan kecewakan Ibu," teriak Ibu sebelum menutup pintu.Mas Aris melihat ke
"Mas, Rena akan selalu bersama Mas, kita hadapi bersama. Kita bicarakan dengan semua keluarga, kita cari jalan keluar untuk masalah ini." Aku mendekati lelaki yang sejak tiga tahun lalu menjadi Imamku itu. Menggenggam tangannya erat."Tapi, katakan padaku. Kenapa Mas Aris tak membantah ucapanku? seolah memang Mas pernah meniduri gadis itu.""Apa kau akan percaya padaku? sedangkan yang terlihat tak seperti itu. Dan lagi mas juga masih bingung, sengaja mas bersikap seperti itu. Karena mas belum menemukan jalan keluar lain." jawab pria itu."Logika saja mas, mana ada kucing nolak dikasih ikan, singa nolak dikasih daging segar," ucapku."Tapi, mas bukan kucing, apalagi singa.""Tapi, tetap saja tindakan mas ini salah, banyak hati dipertaruhkan di sini. Harusnya tak sampai seperti ini, apalagi sebuah pernikahan lain hadir di tengah sebuah hubungan pernikahan.""Mas tau mas salah, mas bingung," jawab pria itu, terlihat sekali dia sed
"Begini, Rena akan buat surat pernyataan, yang isinya tentang keringanan hutang, nanti kita cari tau, gimana supaya Indah tandatangani surat itu."Aku mulai menjelaskan ke Mas Aris, termasuk peran Ibu di sini, dan juga Mas Aris harus baik pada gadis itu."Mas, paham kan?" Mas Aris mengangguk. "Tapi sebelumnya, buat Indah mau menyerahkan surat pernyataan utang Mas, yang asli. Itu tugas Mas," jelasku.Sejenak Mas Aris terdiam, terlihat sedang memikirkan sesuatu."Jadi suaminya Indah beneran?""Iya, ya itu caranya buat ambil surat itu dari dia, tanyakan juga apa ada salinannya. Pokoknya pintar-pintar Mas Aris Lah buat meyakinkan dia," terangku lagi."Yakin?" Mas Aris menatapku berbeda."Yakin.""Tapi …." Mas Aris menggaruk kepalanya.Aku menatapnya dengan seksama."Jangan pernah berpikir bisa melakukan hal itu dengan wanita lain, itu tak akan terjadi setelah hari ini," ucapku.Mas Aris tampak terkejut mendengarku."Jangan kataka
Drama pagi hari ini akhirnya usai untuk sementara. Aku kembali ke kamar, bersiap untuk berangkat ke kantor. Mas Aris menyusul kemudian, dia menutup pintu rapat."Aku semakin pusing," ucapku sambil memijat kedua pelipis. Semua yang terjadi membuat kepalaku menjadi sakit."Maafkan Mas, ya," pinta Mas Aris untuk kesekian kali. Entah sudah berapa kali pria yang menjadi suamiku itu mengucapkan kalimat yang sama."Sekarang bukan masalah maaf memaafkan, seharusnya segala hal dibicarakan agar tidak terjadi hal seperti ini." Aku mulai mengomel."Setidaknya pelajaran juga untuk Mas Aris jangan mudah percaya pada orang lain, apalagi urusan uang. Teman, bahkan keluarga sendiri sering bermasalah karena hal itu. Untuk lain kali, tolong lebih terbuka, aki istri Mas, harusnya Mas Sharing dulu denganku, bicara dulu. Kalau ada masalah kita bisa pecahkan bersama-sama, kita cari jalan keluar bersama. Jangan kek gini, ini bukan masalah kecil."Panjang lebar aku mengomel pagi itu, sambil menyapukan make up
PoV Indah.Cinta, siapa yang bisa meminta akan dilabuhkan pada siapa. Begitu juga dengan rasa cinta yang ada dalam hatiku, mengaguminya sejak pertama kali melihatnya. Sosok rupawan itu telah cukup lama mengusik hatiku, bahkan sejak aku masih duduk di bangku SMU.Jatuh cinta pada pria dewasa, aku sendiri tak tau kenapa. Hanya saja setiap waktu setiap saat hasrat tertuju padanya. Sebagai anak pemilik perusahaan tempat Mas Aris bekerja, aku dengan bebas dan sesuka hati keluar masuk kantor Papa.Pria itu sama sekali tak menganggapku, aku semakin penasaran dibuatnya. Semua bisa aku miliki, berarti cinta Mas Aris juga bisa aku dapatkan. Semakin aku mendekat semakin pria itu membuat jarak. Kenyataan dia memiliki istri tak mengurungkan niatku. Diri ini justru semakin tertantang, untuk dapat mendekapnya dalam pelukan. Pendekatan Tidak membuahkan hasil, hingga akhirnya keberuntungan berpihak padaku. Waktu itu aku tak sengaja mendengar pembicaraan Papa den
Mendapat perlakuan manis seperti ini, dari Mas Aris bagai mimpi rasanya,bagiku. Wajah itu terlihat sangat tampan, dengan jarak sedekat ini semakin jelas kulihat pesona suamiku ini. Aku mendekatkan wajahku, kemudian memejamkan mata. Berharap dia memberikan ciuman pertamanya untukku. Kenapa pria ini tidak peka, setelah menunggu beberapa saat aku membuka sebelah mataku. Aku mendecak kesal, bisa-bisanya dia malah asyik mengusap-usap ponselnya."Mas …!" Panggilku setengah berseru. "Ada apa?" tanyanya seolah tak terjadi apa-apa. Bagaimana bisa dia mengabaikan bibir ranumku yang telah siap menyambutnya."Ihh," ucapku kesal, Mas Aris malah menggaruk kepalanya."Mas ada pekerjaan kantor, mas kerjain dulu ya," pamit Mas Aris hendak beranjak. "Kerjakan di sini aja, Mas. Indah temenin," ucapku manja. "Mas takut nggak konsen, pengennya liatin kamu terus." "Ihh, Mas bisa aja," ucapku tersipu."Mas, di depan aja.
Sengaja aku tak memberi tahu Mas Aris kalau aku sudah mendapatkan surat itu. Akan kuberitahu malam ini, sebagai kejutan, sekaligus minta hadiahku. Kadang sebel, apa kurangnya aku di banding Rena, kenapa dia tak mau menyentuhku. Aku lebih cantik, lebih muda, dan lebih kaya.Dengan hal ini, aku berharap Mas Aris terbuka mata hatinya dan menyadari betapa besarnya cintaku padanya. Setelah itu, kami bisa bahagia hidup bersama dan melempar Rena jauh. Tak akan lama lagi.••Tak seperti biasa, Mas Aris pulang larut malam, sama seperti Rena. Hanya saja Rena sudah datang dari satu jam yang lalu, ini sudah hampir jam sepuluh, Mas Aris belum datang juga, ponselnya pun mati.Aku sudah bingung. Tapi, Rena terlihat biasa saja, bagaimana Mas Aris lebih memilih istri yang tak peduli padanya dibanding aku. Rena terlihat bercanda dengan Bunda nya di depan tv. Ibu tak terlihat, karena mengaku sakit kepala.Tak berapa lama kudengar mobil Mas Aris datang. Ak
"Itu, Tante Rena, pacarnya Om Kelvin, iya kan Om?!" Gita sama saja dengan Viona. Suka menggoda Omnya. Wajahku kembali menghangat."O." Bibir wanita yang baru datang itu membulat."Butuh apa saja?" tanya Kelvin lagi.Aku menyebutkan aneka bumbu dapur, dan bahan lain yang aku butuhkan. Juga alat yang diperlukan. Panci berukuran lumayan besar telah disiapkan begitu juga bahan yang diperlukan.Untuk Ayam sengaja aku masak lebih dahulu, agar bumbunya meresap. Bukan masalah besar untuk mengerjakan semuanya. Disela memasak Ayam dan bebek rica aku mengeksekusi cabe yang baru dibawa Mbak Sari.Satu wajan penuh sambal sedang aku olah, Kelvin membantu mengikat rambutku dengan karet gelang. Dan juga memasangkan celemek padaku. "Capek sayang?" Kelvin memijat bahuku saat aku sedang mematangkan sambal di wajan."Nggak. Tapi, keringetan." Aku memperlihatkan dahiku padanya. Dia beranjak ke meja menarik beberapa tisu, dan mengelap keringatku."Bund, besok pakai urap juga?" tanyaku pada Bunda Kelvin."R
Obrolan ringan mewarnai perjalan kami. Mobil mulai memasuki komplek perumahan yang menjadi tempat tinggal Kelvin dan keluarganya. Jantungku semakin berdetak dengan kencang, telapak tangan juga terasa dingin. Aku menarik napas dalam dan menghembus perlahan, untuk mengatur hatiku.Mobil mulai sedikit melambat dan akhirnya berhenti. Huff debaran di dadaku semakin sulit aku kendalikan. Aku grogi … Kelvin membunyikan klakson mobil, satu kali. Tak berapa lama pintu pagar terbuka. Mobil kembali bergerak memasuki halaman rumah yang cukup besar itu. "Sayang, sampai." Kelvin memanggilku. Aku masih bergeming, kemudian menyentuh punggung tangannya dengan telapak tanganku yang dingin."Dinginnya," ujar Kelvin, digenggamnya tanganku kemudian."Rasanya nano - nano," ucapku kemudian."Tenang, semua akan baik - baik saja," balas Kelvin sambil mengeratkan genggamannya."Iya, Bismillah." Aku membalas dan berdoa.Aku sedikit menyapukan bedak, yang selalu aku bawa di tas. Hanya samar, agar tampak pucat
"Gombal banget, sih." Aku menggigit bibir, menahan senyum. Jujur hatiku bagai hamparan taman bunga, dengan bunga yang beraneka warna dan bermekaran dengan sempurna. "Itu ungkapan hati, Yang." Setengah berbisik, Kelvin mendekatkan bibirnya ke telingaku. Hanya setengah berbisik karena tetap terdengar oleh kedua wanita di depanku, yang tengah sibuk membungkus parcel. Terlihat keduanya saling sikut dan menahan tawa.Wajahku menghangat, Kelvin membuatku salah tingkah. "Mbak, saya tunggu di kasir depan, ya," ucapku, untuk mengalihkan fokusku dari Kelvin."Baik, Kakak." Keduanya menjawab hampir bersamaan.Aku dan Kelvin beranjak, sambil sesekali berhenti melihat aneka camilan yang terpajang di display. Mengambil beberapa yang terlihat enak. "Banyak banget?" tanya Kelvin melihat keranjangku kembali penuh."Buat anak - anak di resto, sama buat nemenin kerja," jawabu. "Ayank, nggak pengen?" tanyaku kemudian."Kalau pengen, kan tinggal nyebrang." Sambil menjawab, pria itu mengangkat alisnya
"Mau kemana kita?" tanya Kelvin kemudian, saat kami sudah berada di dalam mobil."Pulang saja, Oh … ya, ke toko buah dulu ya."Kelvin mengajakku ke rumahnya, besok pagi - pagi sekali, aku tak akan mungkin mendapatkan toko yang buka sepagi itu."Mau belanja buah?" tanyanya kemudian."Iyap." Aku menjawab singkat.Mobil melaju keluar dari area parkir resto. Tak jauh dari resto ada toko buah, yang cukup besar, berdiri bersebelahan dengan toko roti. Kesanalah kami menuju sekarang.Tidak memerlukan waktu yang lama, mobil berbelok masuk area parkir toko yang kami tuju. Seorang tukang parkir datang untuk mengarahkan. Kami turun selepas Kelvin mematikan mesin mobil.Aku baru saja keluar mobil, saat aku dengar seperti ada yang memanggil namaku. Aku menghentikan langkah kemudian menajamkan pendengaran."Sayang, ada apa?" tanya Kelvin saat melihatku celingukan."Kayak ada yang manggil." Aku menjawab, masih dengan mengedarkan pandangan."Rena." Aku dan Kelvin bersamaan menoleh ke arah kiri be
Siang setelah selesai tugas di rumah sakit, Kelvin menemaniku untuk membuat laporan di kantor polisi. Cukup menyita waktu, untung sore Kelvin tak membuka praktek, karena sabtu sore dia libur. Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab. Bukti rekaman CCTV juga akan menjadi barang bukti. Tentang ada orang lain dibalik kejadian ini atau tidak masih diselidiki."Capek ya?" tanya Kelvin padaku. Sesaat setelah kami masuk mobil, selepas keluar dari kantor polisi."Mayan, Ayang juga pasti capek." Aku memiringkan tubuh, menghadap ke arahnya dengan mengangkat satu kaki."Aku cowok, Yang. Kemana ini kita?" tanyanya kemudian."Balik resto ya, malam minggu mesti ramai. Ayang mau nemenin?" tanyaku kemudian."Boleh, aku temenin." Kelvin mengusap puncak kepalaku. Sebuah senyum manis terukir di bibirnya yang tampak kebiruan."Masih sakit?" Tanganku mengusap kulit memar itu."Nggak, Sayang. Kan tadi dah diobatin." Kelvin mengecup tanganku. Hatiku kembali berdebar mengingat kejadian tadi pagi."Udah y
Aku melepas alas kaki, sudah lama sekali aku tak melatihnya, tenagaku juga pasti tak seperti dulu lagi. Saat aku baru melepas alas kaki, sebuah bogem mentah mengenai wajah sang pahlawan kesiangan. Semua berteriak histeris terutama pegawai perempuan. Ini bukan sedang syuting film India dimana satu orang bisa mengalahkan puluhan orang. Tapi, apapun itu … bukan saatnya untuk jadi penonton.Baru aku beranjak memasang kuda - kuda terdengar suara mobil polisi mendekat. Beberapa polisi datang. Aku menoleh ke arah sang pahlawan kesiangan, darah segar keluar dari sudut bibirnya. Dia yang kesakitan kenapa aku yang lemas. Aku terduduk, saat mulai menyadari apa yang baru saja terjadi. Mataku mengedar ke arah pegawai, aku tak bisa membayangkan, kalau mereka tadi benar - benar dihajar oleh para pria berbadan tegap itu."Sayang, kamu nggak papa?" Pahlawanku terlihat panik melihatku, yang seolah tanpa tenaga."Stop, aku bisa sendiri. Bantu berdiri saja." Saat dia terlihat akan mengangkat tubuhku."
"Aku mengerti, tapi aku pernah gagal, pernah disakiti. Dan, itu membuatku merasa takut, untuk memulai lagi sebuah komitmen dalam sebuah ikatan yang sakral." Aku menjelaskan alasanku. Dari dalam hati terdalam, masih ada trauma akan sebuah hubungan rumah tangga."Tenang, aku dokter segala penyakit. Termasuk sakit hati, segala lukamu di masa lalu, aku berjanji akan menyembuhkannya."Senyum terkembang di bibir itu. Tak pernah bisa benar - benar bisa serius bicara dengannya."Terus aja, ini ibarat kata, sudah diangkat tinggi terus dihempas ke bumi," ujarku."Kok bisa?""Ya, bisalah. Tadi sudah bicara serius eh absurd lagi." Aku menjawab.Kelvin tertawa."Serius tak selalu mengerutkan kening, Sayang. Aku serius dengan ucapanku tadi." Kelvin menjelaskan."Aku serius dengan hubungan ini, aku serius ingin mengobati rasa sakit hatimu, aku serius ingin selalu menjagamu, dan aku serius ingin menjadi imammu." Kelvin kembali menambahkan."Secepat ini?" tanyaku ragu."Nunggu apa?" tanyanya, aku men
"Beberapa hadiah, Mas Aris kirimkan. Barang - barang branded. Aku menolaknya, dia memaksa. Hingga sewaktu dia di ruangan, selepas acara di resto, Indah datang. Dia mengamuk melihat Mas Aris bersamaku. Sebelumnya juga pernah bertemu di salon. Dia, merendahkan dan mencibirku, bagaimana bisa janda sepertiku berada di salon mahal."Aku menarik napas dalam dan menghembuskan perlahan. "Saat mengamuk itulah, dikira aku minta - minta uang dan hadiah pada Mas Aris. Indah kembali menghinaku. Hingga aku bisa membalikkan keadaan, aku bilang kalau Mas Aris-lah yang belum bisa move on dariku. Mas Aris mengakui, itu sepertinya yang membuat Indah semakin marah. Hingga akhirnya pagi tadi, dia kembali membuat ribut." Kembali aku menjeda, Kelvin mengusap punggungku."Aku merasa, Indah sengaja mencari masalah denganku. Itu sebabnya aku pasang banyak CCTV di resto. Jujur aku merasa takut, dia memiliki banyak uang. Tau sendiri kan, uang cukup berkuasa. Aku hanya takut kalau dia sampai membuat masalah unt
Seperti kemarin, hari ini juga semua bahan habis, padahal stok sudah di tambah. Bahkan harus tutup lebih cepat dari biasanya, karena semua menu utama kosong. Baru jam delapan lewat, restoran terpaksa harus ditutup."Wow, luar biasa hari ini. Meski pagi dah mau di ajak gelut." Sania menghempaskan bobot tubuhnya di kursi depan mejaku."Yang paket meriah, penjualan naik terus." Sania kembali menambahkan. "Pada bilang, baru nemu makanan enak tapi murah, dengan porsi mantap."Paket meriah, memang baru keluar bulan ini. Paket yang terdiri dari ayam bakar atau goreng ukuran sedang, urap sayur tambah lalapan dan sambal, plus minuman. Dengan harga cukup murah. "Mbak, kalau yang depan ini. Kita buat jadi dua lantai, gimana?" saran Sania.Aku terdiam sesaat, mulai membayangkan usulan Sania. Bagus usulnya, bisa menambah kapasitas. Hanya, saja harus mengatur waktunya. Pengerjaannya tidak mungkin hanya sehari, dua hari. "Oke juga, nanti mbak cari referensi dulu. Yang bisa ngerjain, bagus, rapi,