Selang beberapa menit, pegawai dengan berkerudung merah itu kembali menghampiri kami, meletakkan kembali liontin itu di atas etalase kaca di depan kami. "Laku berapa, Mbak?" tanya Lidya. "Maaf, Ibu, perhiasannya palsu. Kami tidak memperjualbelikan perhiasan palsu.""Itu asli, Mbak!" pekikku dan Lidya secara serempak. Cepat aku dan Lidya saling berpandangan dengan raut wajah bingung, terkejut menjadi satu. "Iya, Mbak. Pihak kami sudah mengeceknya, bukan hanya satu kali. Jika Mbak dan Mas tidak percaya dengan yang saya katakan, bisa coba menjual ke toko emas yang lain," ucap karyawan toko itu. Aku menghela napas panjang. "Ya sudah, Lid. Kita jual di toko lain saja. Mungkin di sini alatnya kurang canggih, tidak bisa mendeteksi perhiasan mahal," ucapku. Bergegas kuraih tangan Lidya lalu menariknya untuk segera pergi. Tak kupedulikan gerutuan karyawan itu. "Mas, kok bisa palsu ya?""Halah ... jangan percaya dulu, mungkin mereka nggak bisa mendeteksi ini perhiasan asli atau palsu. Seca
Kuhentikan laju kendaraanku di depan pintu gerbang. Bergegas kuketuk dengan telapak tangan terbuka itu untuk memanggil seseorang yang ada di dalam.Beberapa menit menunggu, akhirnya terdengar seseorang sedang berusaha membuka pintu itu. Tak berselang lama pintu itu terbuka, hanya sebatas tubuh perempuan berdaster motif bunga-bunga itu."Cari siapa, Mas?" tanya perempuan itu. Mungkin dia belum mengenaliku, mengingat aku jarang sekali berkunjung ke sini. "Saya pemilik kontrakan ini," jawabku. "Oh, Pak Pandu?" "Hm ...," jawabku sembari menganggukkan kepala. "Syukurlah Bapak cepat sekali datang kesininya. Semua orang di dalam keadaannya sedang kacau. Pada bingung. Untunglah Bapak segera ke sini," ucap perempuan itu sembari membuka pintu gerbang lebih lebar lagi. Aku kembali mencerna kalimat yang keluar dari bibir perempuan itu. Apa maksudnya? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?Kubawa masuk kendaraan roda duaku. Saat baru saja aku masuk, terlihat dengan jelas, beberapa orang sepert
Pov Lidya*Kejadian ini dimulai saat Lidya meninggalkan Pandu saat akan digelarnya acara pernikahan*Siapa yang tidak terkejut saat mengetahui fakta yang begitu mencengangkan. Fakta yang ternyata Mas Pandu– calon suamiku telah menjadikan aku sebagai jaminan atas hutang-hutangnya. Dan lebih parahnya lagi hutang itu dilakukan pada seorang germ*.Yang menjadikan aku semakin kesal, kenapa Mas Pandu tidak mengatakannya terlebih dahulu kalau hutang itu berurusan dengan seorang germ*. Andai dia mengatakan yang sejujurnya, lebih baik acara pernikahan diadakan secara sederhana saja. Aku merebahkan tubuh dengan posisi membelakangi Mas Pandu. Tak kupedulikan lelaki itu yang terus berusaha membujukku. Aku melihat jam yang ada di dinding, jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Suara dengkuran halus terdengar dari belakangku. Lelaki itu bisa tertidur lelap, sedangkan kedua mataku masih terjaga meskipun rasa kantuk sebenarnya telah mendera. Bayangan buruk terus berkelebatan di kelopak matak
"Ini perintah, bukan tawaran! Semua ini demi kebaikan kamu, Lid!""Kebaikan apa yang akan Lidya peroleh dengan menikahi lelaki tua yang pantasnya menjadi kakek dan akan dijadikan istri kelima itu, Ma?!" Aku mengatakan kalimat itu bersungut-sungut. "Ma ... lihatlah, Lidya masih muda. Apa pantas menikah dengan band*t tua itu?!""Jaga ucapan kamu, Lid!" desis Mama sesaat setelah melirik ke arah depan. Mungkin ia takut jika perkataanku didengarkan oleh tamu agungnya itu. Aku menghembuskan napas kasar. "Lid, semua demi kebaikan kamu. Dengan menikah sama Pak Gunawan, kamu akan terbebas dari ancaman sebagai jaminan hutang itu. Sebagai bonusnya, hidup kamu akan lebih terjamin." Terdengar Mama menghembuskan napas berat. "Sama-sama menjadi madu, kenapa kamu harus menolak?"Seketika emosi langsung naik ke puncak kepalaku. Aku menatap Mama dengan pandangan tak percaya. "Ma ... Mas Pandu sama lelaki tua pilihan Papa dan Mama itu sangat jauh berbeda. Bagaikan langit dan bumi. Lantas apa kata m
Pov Pandu***Berkali-kali aku membuka aplikasi berwarna hijau itu. Ingin sekali aku menghubungi Andi, namun, saat mengingat aku sempat memukulnya dengan cepat aku keluar dari aplikasi tersebut. Berkali-kali aku keluar masuk dari aplikasi berlogo telepon dan berwarna hbijau itu. Dengan menekan harga diri, aku langsung menekan tombol panggil. Semua ini hanya demi Lidya dan juga bayi yang dikandung olehnya. Panggilan sudah berdering tapi tak kunjung diangkat, hingga pada akhirnya telepon terputus sendiri. Aku menekan kembali menu panggil untuk ke dua kali. "Halo ...." Suara Andi terdengar begitu datar saat panggilan terangkat. "Maaf ya soal kemarin.""Hm ....""Ndi, boleh minta tolong?" "Apa? Lu mau minta tolong sama gw, sedangkan kemarin lu nonjok gw?" sungut Andi dari seberang sana. Aku menelan saliva dengan susah payah. "Kan aku sudah minta maaf, Ndi."Hening. Tak ada jawaban dari seberang sana. "Ndi ....""Kenapa?""Boleh aku pinjam uangmu buat bayar hutang ke germ* itu?
Sebelum aku memasuki pintu gerbang itu, aku melihat ke segala penjuru. Keadaan begitu sepi. Apalagi terlihat Pak Karmin meletakkan kepalanya di atas meja dengan kedua mata yang terpejam. Aku mengetuk-ngetuk pintu kaca itu, memastikan jika Pak Karmin benar-benar terlelap. Aku tersenyum sinis, lalu kubuka sedikit pintu gerbang itu lalu melongokkan kepala ke dalam. Terlihat Vita sedang berada di teras rumah dengan posisi memunggungiku. Beberapa saat aku memastikan jika itu benar-benar Vita. Dengan perlahan dan hati-hati bergegas aku membuka sedikit pintu gerbang itu hingga akhirnya tubuhku bisa menyelinap masuk, meskipun dengan posisi miring sekali pun. Takutnya jika aku membuka pintu gerbang itu dengan sedikit lebar, akan menimbulkan suara yang membuat Vita menyadari lalu menoleh ke arahku. Aku berjalan mengendap-endap menuju ke sana. Sesekali aku menyembunyikan tubuhku di balik pot besar, atau di balik tanaman yang rimbun. Terdengar dengan lirih Vita menyanyikan lagu nina bobok un
Lidya keluar mobil lalu berjalan untuk membuka pintu penumpang. Aku menyandarkan punggung di sandaran kursi sembari memejamkan sejenak kedua mata ini."Maaaasss Panduuuuu ....!"Teriakan Lidya seketika membuatku terkejut hingga mataku terbuka dengan lebar."Kenapa?" tanyaku sembari menolehkan kepala untuk menatap ke arah Lidya.Raut wajah itu terlihat begitu ... entah."Lihatlah bayi yang kamu culik itu!" sungut Lidya dengan wajah yang terlihat begitu kesal.Sontak aku menempelkan jari telunjuk pada bibirku, meminta Lidya agar tidak teriak seperti itu apalagi menyebut kata penculik di tempat umum seperti ini.Aku menoleh ke segala penjuru. Ada beberapa orang yang menatap ke arah Lidya.Bergegas aku sedikit bangkit dari tempat dudukku untuk melihat ke arah di mana Daffa berada. Seketika aku dibuat terkejut saat melihat bonekah yang hampir mirip bayi itu tergeletak di sana dengan mengenakan pakaian bayi yang kutahu itu milik Daffa dan juga mengenakan topi yang milik Daffa juga.Lidya me
Pov Author***Jantung Pandu seketika berdebar lebih kencang, pun juga dirasakan oleh Lidya saat melihat dua orang lelaki bertubuh tegap dan berseragam khas seorang polisi itu berdiri di depannya. Sesaat Lidya dan Pandu saling berpandangan, mereka menelan salivanya dengan begitu susah payah. Tentunya dengan jantung yang berdetak lebih kencang, bergegas Pandu mengangkat kakinya kuat-kuat lalu berlari sekuat tenaganya. Meninggalkan Lidya yang hanya berdiri mematung. Sepasang kaki perempuan itu serasa menancap dengan kuat di lantai berkeramik putih itu. Bahkan, terlihat dengan jelas tubuh perempuan itu bergetar karena rasa takut yang terasa mencekik. Berbeda dengan kedua lelaki berseragam polisi itu, menyadari targetnya tengah berusaha kabur, dengan cepat mereka mengejar ke mana arah larinya si target. "Berhenti!" teriak salah satu polisi. Teriakan itu tertangkap di telinga Pandu, namun ia tak memperdulikannya. Pandu terus berlari dan berlari. Kali ini yang ada di kepalanya hanya
Pov Pandu**Bertahun-tahun lamanya aku mendekam di balik jeruji besi karena kasus penculikan anak yang tak jadi itu. Selama bertahun-tahun itu pula aku hidup dalam penuh perasaan penyesalan. Apalagi aku hanya bisa memantau perkembangan Daffa melalui foto-foto yang ditunjukkan oleh Mama yang tentu saja membuat diri ini semakin sesak tiada terkira. Andai, andai dan andai. Andai aku tak melakukan perselingkuhan itu, pasti sampai saat ini aku hidup bahagia bersama keluarga kecilku. Hidup bersama Vita dan juga Daffa. Namun, penyesalan hanya tinggallah penyesalan. Tak berguna. Hukuman dengan beberapa tahun hidup di balik jeruji besi bagiku tak ada apa-apanya dibandingkan hidup dalam kungkungan sebuah penyesalan.Memang, kehancuran seorang lelaki akan terjadi jika ia telah menyakiti pasangannya. Dan aku telah membuktikannya. Soal Lidya, aku sudah tak tahu lagi bagaimana kabarnya. Perempuan itu tengah hidup bahagia di sana. Ia sedang menikmati perannya sebagai seorang psk. Tak bisa
Pov Author**Dua orang polisi ditugaskan untuk berpura-pura menjadi pelanggan yang tengah mencari gadis belia pada Mami Zessy. Tentunya hal ini ada campur tangan dari Indah. Indah beralasan di hadapan mami Zessy jikalau kedua polisi yang tengah menyamar itu adalah salah seorang kenalannya yang berniat untuk mencari jasa esek-esek. Oleh sebab itulah Indah mengajaknya ke tempat dirinya bekerja dan bernaung selama ini. Kedua polisi yang menyamar itu pun masuk ke dalam club rahasia milik mami Zessy tanpa adanya kendala yang berarti. Cukup lancar sebab Indah lah jalur mereka masuk ke dalam sana. Hingga akhirnya kedua polisi itu benar-benar berada di dalam club di mana di dalamnya benar-benar seperti apa yang Indah ceritakan saat pelaporan kemarin. Diam-diam kedua polisi itu merekam setiap kejadian dan perbuatan orang-orang yang ada di dalamnya. Mulai dari penari striptis, para ladies escort peneman para pria hidung belang, serta model bug*l yang siap disewa bagi siapa yang berani memb
Mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Mami Zessy, seketika membuat dadaku terasa bergemuruh dengan hebat dan tanpa sadar tanganku terkepal dengan kuat. "Bagaimana pun caranya, kalian harus berhasil menyingkirkan Indah secepatnya. Perempuan itu sudah tak guna. Penyakitan pula. Jika penyakit yang diidap oleh Indah terdengar oleh pelanggan, takutnya nanti akan memberikan nilai buruk," ucap Mami Zessy yang seketika membuat jantung berdegup dengan kencang. "Kenapa tidak disuruh pergi saja, Bos? Nggak perlu repot-repot melenyapkan dia kan," ungkap salah satu orang yang ada di sana. Aku hapal betul siapa pemilik suara itu. Parto. Ya, suara itu adalah Parto. Anak buah Mami Zessy. "Kalau dia keluar begitu saja, dia bisa menyebarkan keberadaan lokalisasi ini. Bisa gawat jika ada polisi yang dengar," ucap Mami Zessy. Kali ini nada suaranya sedikit meninggi. Tentu karena tak suka dengan apa yang dikatakan oleh anak buahnya itu. "Baik, Bos. Secepatnya kami akan membereskan
Pov Indah**Mataku mengerjap beberapa kali saat samar-samar aku mendengar suara yang sangat aku kenal sedang menggerutu. Sejenak aku diam, mengumpulkan kesadaranku yang sepenuhnya belum kembali. Aku memindai ke segala sudut ruangan. Ternyata aku sedang di dalam kamar milikku. "Bukankah aku tadi sedang melayani tamu?" batinku bertanya pada diri sendiri. Ya, aku ingat betul. Tadi aku melayani tamu dalam keadaan kepala yang begitu pusing. Tubuh terasa begitu tak sehat. Sekelebat aku teringat jika aku tadi pingsan saat akan memulai tugasku. Aku menatap Mami Zessy yang tengah berdiri dengan posisi memunggungiku. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Dengan gerakan pelan, aku bangkit dari pembaringan. Baru saja tubuhku ingin bangkit, tiba-tiba kepala terasa berdenyut sakit. Seketika kembali kurebahkan tubuhku sembari kupijit pelipisku dengan pelan. Mendengar suara yang kutimbulkan dari pergerakanku, seketika membuat tubuh Mami Zessy memutar. Kini pandangan kami salin
Pov Indah**"Kamu udah denger kalau Lidya telah meninggal secara mengenaskan?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu teman seprofesiku itu seketika membuatku tersentak kaget. "Maksud kamu mati mengenaskan bagaimana?" tanyaku sembari menatapnya dengan bingung. "Lidya meninggal sewaktu melayani pelanggan yang memiliki kelainan seks. Kamu tahu kan Om Handoko? Nah, itu dia orangnya," ucapnya yang semakin membuat keningku berkerut. Ya, aku tahu saat Om Handoko berjalan mesra dengan sebelah tangan merangkul pinggang Lidya menuju ke arah kamar. Banyak yang mengidam-idamkan dibooking oleh Om Handoko karena uangnya yang berlimpah, apalagi setiap ke sini, Om Handoko selalu menyewa kamar VVIP. Dan sempat ada kabar jika siapa pun yang melayani lelaki itu, pasti akan diberikan bonus yang terbilang begitu banyak. Tak ayal juga kalau Om Handoko juga terkadang berani membayar dua kali lipat. Wajar saja jika Om Handoko memberikan bonus sebanyak itu, pada para ladies yang hanya menemaninya
Pov Author**Jarum jam di dinding sedang menunjukkan pukul sepuluh malam. Hanya detak jarum jam yang memecah keheningan malam, sedangkan di sudut kamar di mana meja rias itu berada, Lidya sedang duduk di depan cermin sembari memoleskan aneka make up ke wajah cantiknya. Perempuan itu menghabiskan waktunya lebih lama untuk mempercantik dirinya di malam ini, karena akan ada tamu yang selalu ia tunggu-tunggu kedatangannya. Tentu saja Lidya ingin terlihat paripurna di depan pria yang akan membayar jasanya malam ini. Ia merupakan pelanggan paling royal. Pria itu akan membayar Lidya mahal. Tidak hanya itu, Lidya juga akan mendapatkan uang jutaan rupiah untuk bonus jika Lidya berhasil memuaskan hasratnya. Selama bertahun-tahun bekerja menjadi pemuas napsu, Lidya sudah lebih dari lima kali melayani pelanggannya yang akan ia temui malam ini.Lidya tak pernah kapok dengan lelaki ini. Ya, lelaki yang malam ini akan menyewanya adalah salah satu pelanggannya yang memiliki kelainan seks. Sesuai
"Kamu kerja di sini?" tanya Pak Gunawan dengan raut wajah mencemooh saat sudah berdiri di hadapanku. Aku mengalihkan pandanganku. Ternyata si tua bangka ini selain doyan kawin juga suka jajan kayak gini. Emang keterlaluan. Udah mau bau kamboja, eh malah berkilah. Nggak sadar umur kayaknya ini orang."Kalau kamu dulu mau nikah sama aku, kamu nggak bakalan jadi pelac*r di sini. Sok-sokan nolak. Padahal kalau kamu mau nikah denganku, hidupmu bakalan enak." Aku hanya mencebikkan bibirku saat mendengarkan penuturan lelaki itu sembari memutar bola mata malas. Terlihat Pak Gunawan seperti sedang mencari seseorang tak berselang lama ia berjalan menuju ke arah Mami Zessy. Terjadi perbincangan di antara mereka lalu tak berselang lama Pak Gunawan kembali mendekat ke arahku. "Sekarang layanin aku," ucap Pak Gunawan sembari menarik tanganku begitu saja. Aku menepis cekalan tangan yang sudah dipenuhi oleh keriput itu. Mendapatkan penolakanku, tentu saja membuat Pak Gunawan langsung menolehkan
"Pelayanan kamu sungguh memuaskan. Tak menyesal saya bayar kamu mahal," bisik lelaki yang baru pertama kali membooking jasaku. Aku tersenyum samar lalu berkata, "Sering-sering ke sini ya." Aku memainkan jemariku di dada lelaki itu sembari sesekali mencubit kecil dada yang ditumbuhi beberapa bulu halus di bagian sana. Ya, aku dan dia saat ini sedang merebahkan tubuh di ranjang setelah merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kugunakan lengan lelaki itu sebagai bantalan kepalaku. "Pasti," ucapnya kemudian. Bergegas aku bangkit dari pembaringan lalu beringsut dari ranjang dan mengambil satu per satu pakaianku yang tercecer di lantai kamar ini. Aku mulai menggunakan baju-bajuku dengan posisi memunggungi lelaki itu. "Kamu nggak pulang? Masih betah di sini?" ucapku sembari mengerling nakal ke arahnya setelah semua baju sudah kukenakan. Sedangkan ia masih merebahkan tubuhnya dengan kedua lengan ditekuk ke belakang sebagai bantal, sembari menatapku dan tersenyum samar. "Sebenarnya aku masi
Pov Pandu**"Meskipun saya hanya seorang pembantu, saya juga harus memilih soal pasangan lah, Pak. Masa iya saya mau dijadikan istri kedua?""Pembantu?" tanya kami serempak. Lidya mengangguk cepat. "Iya, saya bekerja di sini sebagai pembantu. Tentunya atas keinginan saya sendiri. Bukan karena seperti yang dikatakan oleh dia kalau saya dijadikan alat pelunas hutang. Ini saya baru pulang belanja." Lidya memperlihatkan kantong kresek yang ada di tangannya. Terkejutlah aku dengan pengakuan yang Lidya kemukakan. Bagaimana mungkin ia mengatakan jika aku hanyalah sekedar teman yang sempat ingin memilikinya namun ia menolak? Bagaimana mungkin ia mengatakan jika ia di sini bekerja hanya sebagai pembantu. Aku yakin, pasti ada yang tidak beres di sini. Pasti Lidya disuruh dan diancam agar tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku yakin Lidya dalam pengaruh tekanan. "Sayang, kamu jangan takut. Ada dua polisi di sini. Bicaralah dengan jujur. Katakan jika kamu diculik dan dijadikan psk di sini.