"Fiolina Chow?" seorang sopir taksi online menghampiri Fiolina yang sedang berdiri di depan gerbang keluarga Glins.
Pertemuannya dengan Glins sudah selesai. Kesimpulannya, dia memiliki beberapa tugas untuk melancarkan rencana tersebut.Fiolina berpikir Glins ternyata super nekat. Rencananya amat gila. Entah berapa kerugian yang akan perusahaan derita jika rencananya berhasil. "Iya. Saya Fiolina," Fiolina kemudian masuk ke mobil taksi online itu.Sebenarnya setiap kali dia naik taksi, dia masih trauma dengan kejadian yang menimpanya dulu. Dia masih ingat bagaimana seorang penculik menyingkirkan sopir yang asli dan menyamar menjadi sopir tersebut agar bisa menculik Fiolina."Mas, mas mau mampir - mampir gak nanti? Misal mau ke pom bensin gitu?" tanya Fiolina kepada sopir taksinya."Hah? Gak mbak kayaknya. Kenapa mbak? Mbak mau mampir kah?""Gak mas. Bagus malah kalau gak mampir - mampir," Fiolina menghela nafas lega.Fiolina sampai di apartemen dengan nafas yang terengah - engah. Dia mendudukkan dirinya di ruang tamu. "Ada apa Bu? Sepertinya sangat capek. Mau saya ambilkan minum?" Annisa menghampiri Fiolina. "Iya, tolong ambilin air putih ya." "Baik Bu."ART itu tidak hanya cekatan namun juga sangat peka, pikir Fiolina. Semua pekerjaannya beres, dan dia sering menawarkan membuat minuman saat Fiolina bersantai atau istirahat. Pastilah dia terlatih sebagai ART profesional. Annisa datang dengan membawa segelas air putih. Fiolina segera meneguk dan menghabiskannya. "Annisa, apa kerjaan kamu masih banyak?" tanya Fiolina. "Sebagian besar udah beres kok Bu, ada apa?" "Kalau gitu coba duduk sini sama saya sebentar." Annisa menurut dan duduk di hadapan Fiolina. "Ada apa Bu?" "Apa kamu pernah mengalami halusinasi?" Annisa mengerutkan keningnya. "Halusinasi itu apa ya Bu?"
Itu adalah Julio. Teriakannya yang terakhir mampu didengar oleh Fiolina yang langsung ambruk ke dalam pelukannya. "Hantu... Hantunya banyak banget Julio!" "Sudah sudah tenang dulu ya. Biiiii.... Bi Annisa..." teriak Julio. Annisa segera muncul untuk memenuhi panggilan Julio. "Bi, tolong ambilin air hangat ya," perintah Julio. Annisa menggangguk dan berlalu untuk mengambil air. "Annisa itu masih muda banget kenapa kamu panggil Bi?" tanya Fiolina. "Kebiasaan dari kecil selalu panggil Bi ke yang kerja di rumah." "Hm..." "Ini Bu airnya," Annisa datang membawa air hangat yang Julio minta. Fiolina meminumnya. "Kamu halusinasi lihat hantu?" Julio memulai obrolannya. "Iya," Fiolina mengangguk. "Mereka sama persis seperti yang aku lihat di video prank barusan.""Kamu cuma kepikiran aja kali. Jangan suka lihat video hantu walaupun cuma prank." "Aku sering lihat kok
Fiolina terbangun dengan nafas yang terengah. Keringatnya membasahi tubuh. Dia linglung untuk sesaat. Dilihatnya sekelilingnya ternyata dia ada di kamar dan Julio sedang duduk di tepi ranjang bersamanya. "Kamu mimpi buruk?" tanya Julio. Fiolina tidak dijawab dan dia malah menangis. Julio mendekap istrinya berusaha untuk menenangkan. "Aku takut Julio. Menakutkan sekali. Apa aku gila?" "Ssst... udah udah. Kamu gak gila kok. Itu cuma mimpi buruk aja. Kamu tenangin diri dulu ya. Cerita ke aku kalau udah tenang.""Aku mimpi aku lagi makan di sebuah restoran. Tiba - tiba restorannya berubah menjadi ruang makan keluarga Young dan ada Oma yang menyindirku terus. Lalu aku disiram sama kepala pelayan kalian. Aku kabur dan aku malah dikejar ular. Saat lari, aku juga dihadang sama penculik itu. Semua memori burukku jadi satu di mimpi itu." "Mungkin kamu terbayang - bayang sama memori buruk kamu sampe itu semua muncul
DEG! Jantung Fiolina nyaris keluar dari dadanya. Ternyata benar! Mayat itu adalah mayat Annisa yang seharusnya menjadi ART nya. "Hubungi agensi kembali untuk menanyakan kontak klien itu!""Siap Pak!" Fiolina masih berdiri terpaku, kakinya mendadak membeku. "Kalau diperhatikan sepertinya mayat ini sudah berusia tiga harian. Mobil evakuasi belum datang? Kita harus melakukan otopsi untuk mengetahui kapan tepatnya dia mati dan penyebab kematiannya," ujar salah seorang polisi. Tiga hari? Mayat itu berusia tiga hari? Itu tepat saat di mana harusnya Annisa datang. Kalau itu Annisa yang asli, lalu siapa yang semenjak tiga hari yang lalu melayaninya di rumah? Fiolina mulai ketakutan. Dddrrrtttt... Ponsel Fiolina bergetar. Sarah menelepon. "Ya Sar?" "Kok lama sih Neng? Kamu udah turun kan?" "I- Iya aku udah turun. Aku udah di lobby, aku ke sana sekarang."
Julio mengejar Annisa. Annisa menyadarinya, dia berjalan lebih cepat. Hanya beberapa meter di depan Annisa, terparkir sebuah mobil sedan bercat hitam. Julio mungkin saja sudah bisa meraih Annisa jika saja perempuan itu tidak dengan segera menaiki mobil itu. "Sh*t!" Julio mengumpat. Mobil itu pergi. Julio berniat menghafal plat nomornya namun ternyata plat belakangnya sengaja ditutup. Julio mengutuk dirinya sendiri yang kurang cepat. Mobilnya sendiri jauh di belakang, tak ada kendaraan di sekitarnya yang bisa dia pinjam. Julio sudah kehilangan jejak. "Dia berhasil melarikan diri. Dia pasti udah dengar kalau mayat Annisa yang asli baru aja ketemu," ujar Fiolina yang saat ini sudah berhasil sampai di samping Julio dengan terengah - engah. "Kamu hafalin plat mobil yang bawa dia gak?" tanya Sarah. Julio menggeleng. "Platnya ditutup. Pasti mereka sengaja. Mereka udah menyusun rencananya dengan rapi."
"Jika benar keterangan yang Anda sebutkan tadi, maka pemeriksaan apartemen dapat dikatakan kondisi darurat. Jadi kamu harus melakukan sesegera mungkin," tutur si petugas polisi. "Silahkan. Kami sangat terbuka untuk bekerja sama. Unit kami ada di lantai 12. Mari," Julio memandu para petugas kepolisian menuju ke unit apartemennya. Saat mereka baru saja berdiri di depan pintu lift, secara tiba - tiba terdengar alarm kebakaran yang sangat nyaring. "Ini alarm kebakaran!" teriak salah satu petugas polisi. Julio secara reflek menarik lengan Fiolina dan membawanya berlari keluar gedung. "Hei! Tunggu!" Sarah berteriak dan berlari di belakang mereka. Semua orang juga berlarian keluar gedung untuk menyelamatkan diri. Teriakan mulai terdengar. Sepertinya kebakaran bermula dari satu unit yang lalu merambat ke unit lain. Pihak keamanan apartemen telah menghubungi pemadam kebakaran. Polisi yang kebetulan berada di sana
"Kami akan melakukan pemeriksaan darah. Berdasarkan diagnosis sementara kemungkinan pasien mengkonsumsi zat halusinogen dalam dosis yang tinggi," ucap dokter yang menangani Fiolina. Ya, Julio sudah menduganya. Ini pasti perbuatan Annisa!"Jadi pasien harus rawat inap selama pemeriksaan berlangsung sekaligus agar pasien berada dalam pengawasan." "Baik Dokter," jawab Julio. Julio lalu mengurus segala administrasi yang dibutuhkan. Fiolina dipindahkan ke kamar vvip ditemani oleh Sarah. "Itu Julio datang," ucap Sarah sarah Julio baru saja masuk ke kamar Fiolina. "Gimana keadaan kamu Fio?" Julio menghampiri Fiolina. "Aku udah merasa mendingan. Sarah udah ceritain ke aku. Jadi, sepertinya Annisa masukkan zat halusinogen ke makanan dan minumanku ya?" "Iya. Tapi tenang aja. Kamu akan ditangani dengan baik di sini. Beberapa jam lagi hasil pemeriksaan darahnya akan keluar. Dokter akan langsung memberi pena
"Pasien terlalu banyak mengkonsumsi racun yang mengandung antikolinergik dosis tinggi. Racun ini memicu halusinasi menakutkan yang berasal dari memori pengkonsumsinya," terang Dokter pada sore harinya. "Untungnya penggunaan tersebut dihentikan sekarang, jika tidak efek halusinasinya akan semakin parah, pasien bisa mengalami mimpi buruk dan mengingau, gagal ginjal hingga depresi yang menyebabkan keinginan untuk bunuh diri," lanjut Sang Dokter. "Apakah istri saya bisa kembali normal 100% Dok?" tanya Julio. Hatinya mulai terbakar oleh kemarahan kepada Annisa dan siapapun yang menyuruh perempuan itu untuk meracuni Fiolina. Membayangkan Fiolina sampai bunuh diri akibat racun itu, Julio semakin tidak kuasa menahan amarahnya. "Ya tentu, sangat bisa. Kami akan menetralkan racunnya dan nanti setelah hasil lab menunjukkan darahnya sudah bersih, pasien baru boleh pulang." "Terimakasih Dokter." "Mungkin itu beneran Billy. Billy beberap
2 hari kemudian. "Argh! Kenapa gaunnya begini? Ini... ini sobek!" teriak seorang penata rias yang akan turut mendandani Fiolina untuk upacara pemberkatan hari ini. Fiolina dengan panik menghampiri penata rias itu. Fiolina terperangah melihat gaun pernikahannya yang sudah sobek. "Astaga! Kenapa bisa begini?" keluh Fiolina. Terry berlari menghampiri setelah mendengar kehebohan di kamar Fiolina. "Ada apa?" tanyanya. "Ma, lihat ini gaunku sobek!" "Ya Tuhan! Siapa yang melakukan ini sih?" Nicole menampakkan ekspresi sebal. "Ma, apa yang harus aku lakukan?" rengek Fiolina.Nicole terlihat berpikir sejenak. Dia lalu membongkar lemari Fiolina dan mengeluarkan sebuah kotak. "Ini, pakai ini aja," ucap Terry sambil menyerahkan gaun pernikahan lawas Fiolina dari dalam kotak. Fiolina meragu."Udah gak papa. Ini masih bagus." "Iya aku tahu ini masih bagus. Tapi ini gaun pernikahanku dan Julio dulu. Bagaimana perasaan Ferdian kalau tahu?""Ferdian akan tahu keadaannya. Gaun kamu robek dan
TING TONG! Bel pintu rumah Nicole berbunyi. Ibu kandung dari Julio itu jarang menerima tamu. Dia tidaj punya banyak teman terlebih setelah dia menjalani beberapa tahun hidupnya untuk perawatan di rumah sakit jiwa. Keadaannya sekarang tentu jauh lebih baik. Dia sudah ikhlas dan hari - harinya jauh lebih bahagia. Sekarang, dia banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi sebanyak yang dia mampu. Pagi ini dia juga sedang menulis puisi saat seseorang membunyikan bel pintu rumahnya. Dengan segera dia bangkit dari kursi santainya lalu membuka pintu. "Nicole, apa kabar?" tamu itu menyapa Nicole. "Terry? Ada apa?" Terry melah menangis dan berlutut di hadapan Nicole. "Maaf, maafkan aku... tolong maafkan aku." Nicole bingung dengan sikap Terry yang tiba - tiba. Terry memeluk kakinya seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya. "Terry, cukup, kenapa kamu begini? Ayo masuk, jangan di luar rumah," Nicole membantu Terry berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Terry duduk
"Fiolina, Fio! Bangun Nak!" Terry membangunkan Fiolina yang saat tengah malam dia dapati tertidur di lantai kamarnya, tersungkur dengan mengenakan gaun pengantin. Fiolina mengerjapkan matanya. Dia terbangun dengan tubuh yang lemas. "Kamu kenapa tidur di sini? Dan kenapa kamu pakai gaun ini? Mama tadinya mau kasih tahu kamu kalau Jovan udah tidur sama Papa kamu di kamar kami. Tapi... kamu..." "Aku gak papa Ma. Aku ketiduran karena kecapekan," Fiolina hendak bangkit berdiri, namun Terry menahannya. "Fio, mata kamu sangat bengkak. Kamu habis menangis?" Fiolina menggeleng. "Jangan bohong. Mama ini ibu kamu. Mama tahu kalau kamu lagi sedih. Kamu habis menangis kan? Kenapa Nak?" Fiolina menggeleng lagi. Tapi kali ini dia tidak mampu menahan air matanya lagi. Sekuat apapun Fiolina, setegar apapun dia, dia tidak pernah bisa menutupi kesedihannya di depan ibunya. Karena baginya ibunya adalah tempat ternyaman untuknya berkeluh kesah. Terry tak banyak bertanya, dia seketika merangkul Fio
"Jovan.. hati - hati! Pelan - pelan yang naik tangganya," teriak Fiolina. Jovan hanya mengangkat satu tangannya membentuk tanda 'OK' lalu lanjut menaiki tangga perosotan yang mungkin sudah dua puluh kali dia naiki. Tidak jauh ada area bermain, ada Ferdian yang sedang duduk sambil memegang bola kaki. Dia beristirahat setelah setengah jam penuh bermain bola bersama Jovan.Julio mengawasi dari dalam mobilnya yang berjarak kurang lebih 50 meter dari mereka. Dia merasa hatinya sakit, Jovan adalah anak kandungnya dan sekarang Ferdian bermain dengan bebas bersama anak itu sedangkan dirinya harus sembunyi - sembunyi hanya untuk memandangnya bermain. Dia ingin anaknya. Dia juga ingin istrinya kembali. Tapi egonya terlalu besar untuk menjadi menantu Terry. Julio pulang dengan beban berat di dalam hatinya. Sepulang dari bermain di taman bersama Fiolina dan Ferdian, Jovan dikagetkan dengan rumah Keluarga Chow yang penuh dengan bingkisan. "Wow, apa ini Oma?" tanyanya. "Seseorang mengirim
Fiolina melihat sekeliling playground dan tidak menemukan Sarah dan Jovan. Dia tidak mendengar teriakan Jovan yang memanggilnya sebelum ini. Jadi, dia menelepon Sarah. Sarah menjawab panggilannya. "Halo, Fiolina, hm... ini Jovan lagi sama aku. Kali lagi...." Julio menarik ponsel Sarah dan mengambil alihnya. "Halo Fiolina. Jovan dan Sarah sedang bersama aku. Lihatlah ke arah jam 10." "Julio?" "Ya aku Julio."Fiolina panik. Dia menoleh ke arah jam 10 dan mendapati ada Jovan, Sarah, Julio dan Glins! Dia segera mendatangi mereka sambil memikirkan kebohongan apa yang akan dia ucapkan kepada Julio. "Kalian sedang apa di sini?" ucap Fiolina basa - basi. Tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar. "Jovan, apa dia mama kamu?" tanya Julio kepada Jovan. "Iya. Dia mama," jawab Jovan. Julio menatap tajam ke arah Fiolina. Fiolina berusaha menghindari tatapannya. "Jovan, berapa usia kamu?" "Hm... sebentar. Usiaku empat tahun," jawabnya sambil memperagakan angka lima dengan jari -
"Yang benar?" ucap Julio. Julio pun berlutut agar dia sejajar dengan anak laki - laki yang menabraknya barusan. "Benar juga, kita sangat mirip," ucap Julio. "Oke, aku akui Om memang ganteng. Tapi Om tua dan aku masih kecil," celatuk Jovan. Julio dan Glins tertawa renyah. Julio sengaja mengajak Glins ke mall hari ini untuk membelikannya barang - barang yang Glins mau sebagai ganti kalung yang dia berikan pada Javeline. Tidak disangka seorang anak kecil berlarian dan menabrak Julio dengan keras. "Itu sudah pasti," ucap Julio. "Maksudku, kamu mirip Om waktu Om masih kecil dulu." "Oh begitu rupanya," ujar Jovan. "Tapi, kalau dilihat - lihat pun, sekarang kalian tetap mirip," komentar Glins. "Kalian cocok sebagai ayah dan anak." "Benar juga. Ngomong - ngomong di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian?" tanya Julio. "Itu dia masalahnya. Aku tersesat. Mama sedang belanja dan menitipkan aku pada tante. Tante ke toilet dan aku pergi dari playground diam - diam karena mengejar kereta
Javeline menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang Julio barusan lakukan. Bertahun - tahun dia mencintai Julio. Selama ini cintanya selalu bertepuk sebelah tangan, tapi sekarang Julio menyiapkan hadiah mahal untuknya dan melamarnya di depan semua orang. "Iya, aku mau," jawab Javeline dengan raut penuh kebahagiaan Julio lalu memasangkan kalung itu ke lehernya. Saat Julio berada di balik punggung Javeline, dia menatap Glins yang memberinya tatajam tajam. Julio membentuk ekspresi wajah meminta maaf yang membuat Glins memutar matanya. Javeline melirik ke meja sebelah dan melihat wajah datar Fiolina di sana, dia merasa puas. "Permisi aku mau ke toilet dulu," Fiolina meninggalkan mejanya untuk menuju ke toilet. Dia berdiri di depan kaca besar toilet wanita, tidak tahu harus melakukan apa. Akhirnya dia hanya mencuci tangannya untuk membuang waktu. Dia sangat membenci Julio. Laki - laki itu menceraikannya tanpa memberinya kesempatan untuk memahami situasinya. Setelahnya, Julio ba
DEG! Jantung Fiolina berasa hampir copot. Dia bersyukur Jovan tidak ikut. "Stt! bukankah itu keluarga Young di meja sebelah?" bisik Terry. Sontak Bernard dan juga Ferdian melirik ke meja sebelah. Namun mereka tahu untuk tidak menatap terlalu lama. "Iya benar itu mereka. Berikan sapaan sewajarnya kalau mereka menoleh. Selebihnya kita nikmati saja makan malam kita," ucap Bernard lirih. Julio juga sedikit terkejut saat dia tanpa sengaja melirik ke meja sebelahnya dan melihat ada keluarga chow di sana. Pandangannya tertuju pada Fiolina yang menurutnya semakin cantik. Namun dia mendadak sebal saat melihat siapa yang duduk di samping Fiolina. Julio berusaha untuk mengabaikan. "Itu Fiolina dan keluarganya," bisik Glins kepada Julio. "Ya aku tahu," ucap Julio. Oma mendengar apa yang Glins bisikkan kepada Julio. Dia pun menoleh dan bertemu tatap dengan Bernard. Untuk sopan santun, Oma mengangukkan kepalanya dan tersenyum untuk menyapa mereka. Bernard pun menganggukkan kepalanya da
Hari Jumat yang dinantikan Jovan pun tiba. Mulai pagi, dia bangun dengan penuh semangat membayangkan keseruan di camp memasak yang akan dia ikuti. "Ingat semua pesan Mama ya, selalu bilang ke pengawas kalau merasa sakit, lapar atau apapun yang butuh bantuan. Jangan sungkan, anggap mereka pengganti Mama oke? Dan jangan menganggu anak lain. Sebaliknya, adukan ke pangawas kalau ada yang mengganggumu," Fiolina mengulang- ulang wejangannya kepada Jovan. "Iya Ma. Aku sudah hafal itu. Jangan khawatir." "Nah, ini dia kita sampai," Fiolina menghentikan mobilnya. "Aku turun sekarang." "Hati - hati sayang ya, kiss me," Fiolina menyodorkan pipinya ke wajah Jovan. "Muach," Jovan mengecupnya lalu turun dan melambaikan tangan. Fiolina meninggalkannya dengan perasaan campur aduk. Dia senang Jovan berani, tapi dia juga sedikit patah hati karena harus menahan rindu selama 7 hari. Dia belum pernah berpisah dengan Jovan selama itu. "Jovan gak nangis?" tanya Terry begitu Fiolina tiba lagi di apart