"Kamu gak kenal sama Fiolina Chow? Apa kamu manusia gua? Bukannya mukanya sering muncul di iklan TV?" Fiolina memandang heran laki - laki itu.
Dari penampilannya, laki - laki itu masih muda dan tampan, tapi dia tidak kenal Fiolina Chow sepertii kakek - kakek yang tidak kenal TV dan internet."Hah?"Fiolina mulai sebal. "Iklan shampo," Fiolina mengibaskan rambutnya."Mie instan," Fiolina memperagakan wajah imut yang dia tampilkan pada iklan mie instan yang fia bintangi."Aku jarang nonton TV. Aku sibuk cari uang," jawab laki - laki itu."Tunggu - tunggu, ini gak bener. Kamu harus tahu. Bentar ya..." Fiolina merogoh tasnya untuk mengambil ponselnya. Dia akan memutar video iklannya agar laki - laki itu bisa melihatnya.Namun, dia tidak bisa menemukan ponselnya. Tangannya merogoh dengan panik. Fioljna bahkan menjungkirkan tasnya. Hanya ada dompet dan sedikit perhiasan yang dia bawa. Tidak ada ponsel."OMG! HaFiolina diantar ke sebuah kamar kecil dan sederhana. Kasurnya hanya ukuran single untuk satu orang. Dan penerangannya sangat minimum. Namun Fiolina bersyukur, setidaknya dia ada tempat berteduh malam ini. "Nak, kalau mau mandi, ini handuknya ya," Nenek membantunya dengan sangat ramah. Fiolina mengangguk, "Makasih Nek. Saya emang mau mandi. Kamar mandinya di sebelah mana ya?" "Ayo Nenek anter." "Iya Nek." Fiolina mengikuti Nenek. Ternyata kamar mandinya ada di luar rumah. Dia harus keluar dari pintu belakang rumah dulu jika mau ke kamar mandi. Fiolina berharap dia tidak ingin buang air pada malam hari. Kamar mandi ini sangat sederhana. Ukurannya sekitar 2 x 3 meter. Hanya ada bak air dari semen berbentuk memanjang, toilet dan sebuah gayung yang terbuat dari batok kelapa. Saat Fiolina mengguyur tubuhnya, dia bergidik. Airnya sangat dingin. Dia mempercepat mandinya agar tidak semakin kedinginan.
[Fransisca, tolong sampaikan ke mama papa, mulai hari ini kalian jangan hubungi atau cari aku lagi] "Hah? Apaan sih Kak Fio ngirim chat kayak gini?" Fransisca heran dengan bunyi pesan yang Fiolina kirimkan. Dia mencoba menelepon Fiolina untuk mendapat penjelasan. Namun, panggilannya tidak dijawab. Akhirnya dia membalas pesan itu. [Apaan sih Kak? Maksudnya apa? Kenapa kami gak boleh hubungi Kak Fio lagi?] Dia menunggu balasan. 1 menit kemudian, dia mendapat balasan yang dia tunggu - tunggu. [Emangnya masih belum jelas hah!? Aku sekarang adalah menantu keluarga Young. Aku udah gak level lagi bergaul sama kalian!] "What!? Sok banget sih Kak Fio!" [Angkat telponku Kak!] [Gak perlu, aku males ngomong sama kalian!] [KAK FIO BENER2 GAK TAU DIRI YA!!! PAPA MAMA TUH SAYANG BANGET SAMA KAK FIO. BAYANGIN PERASAANNYA KALAU TAHU KAK FIO KIRIM CHAT KAYAK GINI. TERSERAH KAK FIO KALAU MAU J
Fiolina merasa sangat bosan. Dia bahkan menawarkan diri untuk membantu Nenek mengupas batok kelapa agar dia punya kegiatan selain berbaring di tempat tidur. Ponselnya tidak ada, jadi Fiolina benar - benar tidak punya aktifitas selain makan dan tidur. "Aw!" Fiolina meringis kesakitan saat tangannya berkali - kali tergores sabut kelapa. Nenek tertawa, "Sudahlah Nak, tanganmu itu terlalu empuk sampai - sampai sabut kelapa saja bisa melukai.""Gak papa Nek. Daripada nganggur." "O ya, kamu sudah menikah?" Fiolina meragu sejenak lalu menjawab, "Belum Nek." Ya, dia berbohong. Toh Nenek tidak akan tahu. Dia lebih suka dianggap belum menikah. Lagipula selama ini dia tidak benar - benar diperlakukan sebagai seorang istri. "Wah kebetulan kalau gitu," respon Nenek dengan senyum nakal mengembang di wajahnya. "Kebetulan kenapa Nek?""Itu... Si Ferdian kan juga belum menikah. Barangkali kali
Keesokan paginya, seperti yang telah disepakati, Fiolina diantar oleh Ferdian ke kota. Ferdian tidak membawa sayuran kali ini karena dia sudah berjanji akan full menemani Fiolina sampai bisa menemui keluarganya dengan aman. "Kata Nenek, kamu bukan orang asli desa sana ya?" tanya Fiolina memecah keheningan di dalam mobil. "Iya." "Katanya sebelum ini kamu tinggal di kota?" "Iya.""Hmm... kota mana?" "Jakarta." "Jakarta mana?""Kalau itu rahasia." "Sok misterius," Fiolina mencibir. "Eh itu, pertigaan depan belok kiri. Rumahnya paling ujung." "Oke." "Tada.. ini dia rumah keluargaku. Fiyuuuuh kangen banget sama rumah ini. Gede kan rumahku?" ucap Fiolina begitu sampai di depan gerbang rumah keluarga Chow. Ferdian berdecak. "Biasa aja." Memang, Ferdian tidak terlihat terkesan. Padahal Fiolina mengira, Ferdian akan mengagumi rumahnya. Fiolina mu
Julio menunggu dengan tidak sabar. Sudah 24 jam semenjak dia menyebarkan berita bohong mengenai Fiolina, tapi dia belum mendapat telepon atau apapun dari wanita itu. Dia berharap Fiolina datang kepadanya, marah - marah dan memintanya untuk atau bahkan mengklarifikasi bahwa berita itu tidak benar. Namun, hingga detik ini, Fiolina belum muncul juga. Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Julio. "Masuk!" Ferdinan muncul dari balik pintu dengan wajah kusut. "Mau bicara soal Fiolina?" Tebak Julio yang sudah sangat tahu alasan di balik wajah kusut itu. "Tentu saja. Di mana dia? Kenapa kamu menyebarkan berita itu?" "Kalau aku tahu di mana dia aku gak akan bikin berita itu." "Apa maksudmu?" "Fiolina kabur." "Hah! Pasti kamu memperlakukan dia terlalu buruk! Bahkan Fiolina tidak kabur saat diperlakukan semena - mena oleh Omamu." Julio bersikap cuek dan
"Apa masih jauh?" tanya Ferdian ketika dia mengemudikan mobilnya menuju rumah Sarah. "Dikit lagi nyampe kok," jawab Fiolina. "Nah setelah toko sembako ini lurus aja mungkin 200 meteran," Fiolina menerangkan lagi ketika dia melihat sebuah toko sembako yang dia kenal."Mana? Ini udah 200 meteran nih." "Masak udah 200 meteran sih?" protes Fiolina karena tidak percaya mereka sudah berjalan 200 meter. "Iya udah lah. Udah 200 meter lebih dari toko sembako tadi." "Masih di depan dikit. Terus Fer dikit lagi. Nah nah, ini ini sebelah kiri yang rumah pagar coklat." Mereka akhirnya berhenti pada sebuah rumah sederhana berpagar coklat yang Fiolina maksud. Ferdian geleng - geleng kepala. "Ini sih 700 meteran hampir satu kilo. 200 apanya?" "Masak sih sejauh itu?" Fiolina masih tidak percaya. Ferdian tidak berminat berdebat dengan Fiolina perkara jarak itu. Dia cukup paham bahwa perempuan tidak bisa
"Wow, lihat siapa yang ada di sini, Fiolina istriku tersayang. Terimakasih Sarah, keputusanmu sangat benar dengan memberitahuku keberadaan Fiolina," ejek Julio. "Siapa laki - laki ini? Apa dia pacar barumu?" Julio memandang Ferdian dengan sinis. Ferdian tersenyum miring, dia tidak mau repot - repot menjawab Julio. "Ayo pulang!" Julio menarik lengan Fiolina. Fiolina menepisnya. "Lelaki sejati gak akan memaksa perempuan," ucap Ferdian. "Jangan ikut campur!" Julio menarik lengan Fiolina kembali. Kali ini Ferdian bangkit dan menahan tangan Julio, "Hentikan! Bersikaplah gentleman!" Julio tidak ada waktu untuk meladeni Ferdian. Dia memberi kode kepada bodyguardnya untuk mendorong dan mengepung Ferdian. Sementara dia menarik Fiolina keluar. Ferdian ternyata tidak selemah itu. Dia bisa menahan serangan dari para bodyguard Julio. Dia memukul dan menendang satu persatu bodyguard yang berjumlah
Di dalam mobil Ferdian. Fiolina merasa perutnya sangat sakit. Awalnya dia kira dia bisa menahannya, tapi semakin lama perutnya semakin sakit tidak karuan. "Kamu kenapa Fio?" "Perutku sakit banget! Apa karena lari - lari tadi ya? Tapi ini sakit banget aku gak kuat!" "Tahan tahan! Kita ke rumah sakit sekarang ya," Ferdian memutar balik mobilnya dan mengemudi ke arah rumah sakit. 2Saat sedang kesakitan menahan perutnga, tiba - tiba Fiolina merasa ada yang keluar dari vag*na-nya. Dia mengarahkan pandangannya ke arah bawah dan terkejut saat melihat darah telah mengalir di pahanya. "Hah! Kok aku pendarahan sih!""Hah? Ya Ampun! Tahan ya, dikit lagi kita nyampe rumah sakit. Gimana perutmu sekarang?""Perutku malah udah gak sakit sekarang," Fiolina mengelur perutnya yang sudah tidak sakit. Tidak sampai 3 menit kemudian, mereka tiba di rumah sakit. Ferdinan berhenti di depan UGD dan beberapa perawat dengan sigap membantu Fiolina. "Pasien keguguran. Saya harus melakukan USG untuk memeri
2 hari kemudian. "Argh! Kenapa gaunnya begini? Ini... ini sobek!" teriak seorang penata rias yang akan turut mendandani Fiolina untuk upacara pemberkatan hari ini. Fiolina dengan panik menghampiri penata rias itu. Fiolina terperangah melihat gaun pernikahannya yang sudah sobek. "Astaga! Kenapa bisa begini?" keluh Fiolina. Terry berlari menghampiri setelah mendengar kehebohan di kamar Fiolina. "Ada apa?" tanyanya. "Ma, lihat ini gaunku sobek!" "Ya Tuhan! Siapa yang melakukan ini sih?" Nicole menampakkan ekspresi sebal. "Ma, apa yang harus aku lakukan?" rengek Fiolina.Nicole terlihat berpikir sejenak. Dia lalu membongkar lemari Fiolina dan mengeluarkan sebuah kotak. "Ini, pakai ini aja," ucap Terry sambil menyerahkan gaun pernikahan lawas Fiolina dari dalam kotak. Fiolina meragu."Udah gak papa. Ini masih bagus." "Iya aku tahu ini masih bagus. Tapi ini gaun pernikahanku dan Julio dulu. Bagaimana perasaan Ferdian kalau tahu?""Ferdian akan tahu keadaannya. Gaun kamu robek dan
TING TONG! Bel pintu rumah Nicole berbunyi. Ibu kandung dari Julio itu jarang menerima tamu. Dia tidaj punya banyak teman terlebih setelah dia menjalani beberapa tahun hidupnya untuk perawatan di rumah sakit jiwa. Keadaannya sekarang tentu jauh lebih baik. Dia sudah ikhlas dan hari - harinya jauh lebih bahagia. Sekarang, dia banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi sebanyak yang dia mampu. Pagi ini dia juga sedang menulis puisi saat seseorang membunyikan bel pintu rumahnya. Dengan segera dia bangkit dari kursi santainya lalu membuka pintu. "Nicole, apa kabar?" tamu itu menyapa Nicole. "Terry? Ada apa?" Terry melah menangis dan berlutut di hadapan Nicole. "Maaf, maafkan aku... tolong maafkan aku." Nicole bingung dengan sikap Terry yang tiba - tiba. Terry memeluk kakinya seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya. "Terry, cukup, kenapa kamu begini? Ayo masuk, jangan di luar rumah," Nicole membantu Terry berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Terry duduk
"Fiolina, Fio! Bangun Nak!" Terry membangunkan Fiolina yang saat tengah malam dia dapati tertidur di lantai kamarnya, tersungkur dengan mengenakan gaun pengantin. Fiolina mengerjapkan matanya. Dia terbangun dengan tubuh yang lemas. "Kamu kenapa tidur di sini? Dan kenapa kamu pakai gaun ini? Mama tadinya mau kasih tahu kamu kalau Jovan udah tidur sama Papa kamu di kamar kami. Tapi... kamu..." "Aku gak papa Ma. Aku ketiduran karena kecapekan," Fiolina hendak bangkit berdiri, namun Terry menahannya. "Fio, mata kamu sangat bengkak. Kamu habis menangis?" Fiolina menggeleng. "Jangan bohong. Mama ini ibu kamu. Mama tahu kalau kamu lagi sedih. Kamu habis menangis kan? Kenapa Nak?" Fiolina menggeleng lagi. Tapi kali ini dia tidak mampu menahan air matanya lagi. Sekuat apapun Fiolina, setegar apapun dia, dia tidak pernah bisa menutupi kesedihannya di depan ibunya. Karena baginya ibunya adalah tempat ternyaman untuknya berkeluh kesah. Terry tak banyak bertanya, dia seketika merangkul Fio
"Jovan.. hati - hati! Pelan - pelan yang naik tangganya," teriak Fiolina. Jovan hanya mengangkat satu tangannya membentuk tanda 'OK' lalu lanjut menaiki tangga perosotan yang mungkin sudah dua puluh kali dia naiki. Tidak jauh ada area bermain, ada Ferdian yang sedang duduk sambil memegang bola kaki. Dia beristirahat setelah setengah jam penuh bermain bola bersama Jovan.Julio mengawasi dari dalam mobilnya yang berjarak kurang lebih 50 meter dari mereka. Dia merasa hatinya sakit, Jovan adalah anak kandungnya dan sekarang Ferdian bermain dengan bebas bersama anak itu sedangkan dirinya harus sembunyi - sembunyi hanya untuk memandangnya bermain. Dia ingin anaknya. Dia juga ingin istrinya kembali. Tapi egonya terlalu besar untuk menjadi menantu Terry. Julio pulang dengan beban berat di dalam hatinya. Sepulang dari bermain di taman bersama Fiolina dan Ferdian, Jovan dikagetkan dengan rumah Keluarga Chow yang penuh dengan bingkisan. "Wow, apa ini Oma?" tanyanya. "Seseorang mengirim
Fiolina melihat sekeliling playground dan tidak menemukan Sarah dan Jovan. Dia tidak mendengar teriakan Jovan yang memanggilnya sebelum ini. Jadi, dia menelepon Sarah. Sarah menjawab panggilannya. "Halo, Fiolina, hm... ini Jovan lagi sama aku. Kali lagi...." Julio menarik ponsel Sarah dan mengambil alihnya. "Halo Fiolina. Jovan dan Sarah sedang bersama aku. Lihatlah ke arah jam 10." "Julio?" "Ya aku Julio."Fiolina panik. Dia menoleh ke arah jam 10 dan mendapati ada Jovan, Sarah, Julio dan Glins! Dia segera mendatangi mereka sambil memikirkan kebohongan apa yang akan dia ucapkan kepada Julio. "Kalian sedang apa di sini?" ucap Fiolina basa - basi. Tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar. "Jovan, apa dia mama kamu?" tanya Julio kepada Jovan. "Iya. Dia mama," jawab Jovan. Julio menatap tajam ke arah Fiolina. Fiolina berusaha menghindari tatapannya. "Jovan, berapa usia kamu?" "Hm... sebentar. Usiaku empat tahun," jawabnya sambil memperagakan angka lima dengan jari -
"Yang benar?" ucap Julio. Julio pun berlutut agar dia sejajar dengan anak laki - laki yang menabraknya barusan. "Benar juga, kita sangat mirip," ucap Julio. "Oke, aku akui Om memang ganteng. Tapi Om tua dan aku masih kecil," celatuk Jovan. Julio dan Glins tertawa renyah. Julio sengaja mengajak Glins ke mall hari ini untuk membelikannya barang - barang yang Glins mau sebagai ganti kalung yang dia berikan pada Javeline. Tidak disangka seorang anak kecil berlarian dan menabrak Julio dengan keras. "Itu sudah pasti," ucap Julio. "Maksudku, kamu mirip Om waktu Om masih kecil dulu." "Oh begitu rupanya," ujar Jovan. "Tapi, kalau dilihat - lihat pun, sekarang kalian tetap mirip," komentar Glins. "Kalian cocok sebagai ayah dan anak." "Benar juga. Ngomong - ngomong di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian?" tanya Julio. "Itu dia masalahnya. Aku tersesat. Mama sedang belanja dan menitipkan aku pada tante. Tante ke toilet dan aku pergi dari playground diam - diam karena mengejar kereta
Javeline menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang Julio barusan lakukan. Bertahun - tahun dia mencintai Julio. Selama ini cintanya selalu bertepuk sebelah tangan, tapi sekarang Julio menyiapkan hadiah mahal untuknya dan melamarnya di depan semua orang. "Iya, aku mau," jawab Javeline dengan raut penuh kebahagiaan Julio lalu memasangkan kalung itu ke lehernya. Saat Julio berada di balik punggung Javeline, dia menatap Glins yang memberinya tatajam tajam. Julio membentuk ekspresi wajah meminta maaf yang membuat Glins memutar matanya. Javeline melirik ke meja sebelah dan melihat wajah datar Fiolina di sana, dia merasa puas. "Permisi aku mau ke toilet dulu," Fiolina meninggalkan mejanya untuk menuju ke toilet. Dia berdiri di depan kaca besar toilet wanita, tidak tahu harus melakukan apa. Akhirnya dia hanya mencuci tangannya untuk membuang waktu. Dia sangat membenci Julio. Laki - laki itu menceraikannya tanpa memberinya kesempatan untuk memahami situasinya. Setelahnya, Julio ba
DEG! Jantung Fiolina berasa hampir copot. Dia bersyukur Jovan tidak ikut. "Stt! bukankah itu keluarga Young di meja sebelah?" bisik Terry. Sontak Bernard dan juga Ferdian melirik ke meja sebelah. Namun mereka tahu untuk tidak menatap terlalu lama. "Iya benar itu mereka. Berikan sapaan sewajarnya kalau mereka menoleh. Selebihnya kita nikmati saja makan malam kita," ucap Bernard lirih. Julio juga sedikit terkejut saat dia tanpa sengaja melirik ke meja sebelahnya dan melihat ada keluarga chow di sana. Pandangannya tertuju pada Fiolina yang menurutnya semakin cantik. Namun dia mendadak sebal saat melihat siapa yang duduk di samping Fiolina. Julio berusaha untuk mengabaikan. "Itu Fiolina dan keluarganya," bisik Glins kepada Julio. "Ya aku tahu," ucap Julio. Oma mendengar apa yang Glins bisikkan kepada Julio. Dia pun menoleh dan bertemu tatap dengan Bernard. Untuk sopan santun, Oma mengangukkan kepalanya dan tersenyum untuk menyapa mereka. Bernard pun menganggukkan kepalanya da
Hari Jumat yang dinantikan Jovan pun tiba. Mulai pagi, dia bangun dengan penuh semangat membayangkan keseruan di camp memasak yang akan dia ikuti. "Ingat semua pesan Mama ya, selalu bilang ke pengawas kalau merasa sakit, lapar atau apapun yang butuh bantuan. Jangan sungkan, anggap mereka pengganti Mama oke? Dan jangan menganggu anak lain. Sebaliknya, adukan ke pangawas kalau ada yang mengganggumu," Fiolina mengulang- ulang wejangannya kepada Jovan. "Iya Ma. Aku sudah hafal itu. Jangan khawatir." "Nah, ini dia kita sampai," Fiolina menghentikan mobilnya. "Aku turun sekarang." "Hati - hati sayang ya, kiss me," Fiolina menyodorkan pipinya ke wajah Jovan. "Muach," Jovan mengecupnya lalu turun dan melambaikan tangan. Fiolina meninggalkannya dengan perasaan campur aduk. Dia senang Jovan berani, tapi dia juga sedikit patah hati karena harus menahan rindu selama 7 hari. Dia belum pernah berpisah dengan Jovan selama itu. "Jovan gak nangis?" tanya Terry begitu Fiolina tiba lagi di apart