Julio langsung pergi tanpa memberi Fiolina kesempatan bicara sedikit pun. Fiolina sangat penasaran. Tanpa menunggu sampai rumah, dia langsung membuka buku itu di taman gedung pengadilan. Halaman pertama sudah membuat Fiolina terkejut. Ada foto Ferdinan bersama Terry. "Mama? Ini foto Mama dan Papa Ferdinan?" gumam Fiolina. Ada tulisan di kanan kiri foto itu. Dan Fiolina mengenalinya sebagai tulisan tangan ibunya. 'Apa kamu tahu ada sebuah samudera yang airnya tidak bisa menyatu? Sulit dipahami oleh logiku bukan? Tapi aku baru sadar, tidak hanya air laut, cinta kita pun tidak bisa menyatu. Haruskah aku mengikhlaskannya ataukah memperjuangkannya?' Itulah yang tertulis di halaman pertama. Jantung Fiolina terasa nyaris melompat dari tempatnya. Apa ini? Mamanya dan papa mertuanya saling mencintai? Tangan Fiolina berkeringat dingin. Dia membalik halamannya. Dia membaca semua tulisan mamanya saat masih muda di buku itu. Dari semua yang dia lihat dan baca, kesimpulannua amat jelas. M
"Aku mau ke Singapura Pa, Ma," ucap Fiolina saat dia sedang makan malam bersama keluarganya di kediaman Chow. "Aku udah keluar dari agensi dan menerima tawaran kerja dari agensi di Singapura. Menurutku agensiku yang sekarang terlalu toxic." "Tapi ini mendadak sekali sayang," ucap Terry. Wanita keturunan Korea yang bernama asli Kim Tae Ri namun di indonesiakan menjadi Terry itu terlihat sedih. "Aku akan pulang setahun dua kali. Dan kita akan video call setiap hari," jawab Fiolina menenangkan ibunya. "Tapi..." "Sudahlah Ma," Bernard menggenggam tangan istrinya. "Biarkah Fiolina menentukan pilihan hidupnya. Jika dengan bekerja di Singapura bisa bikin dia bahagia, kenapa tidak? Kalaupun dia hanya bisa pulang ke Indonesia setiap enam bulan sekali, kita bisa mengunjunginya setiap 3 atau 2 bulan sekali. Tidak akan jadi masalah." "Makasih pa," Fiolina tersenyum dan lega atas dukungan papanya. "Seandainya kamu gak kerasan, jangan ragu untuk resign dan pulang ya," Terry menegaskan. "Dan
"Helow bestie wasap?" ucap Sarah menjawab panggilan telepon Fiolina. "Hai Sar. Lagi apa?" "Lagi nonton netfl*x. Kenapa Fio?" "Aku mau ngomong sesuatu." "Oh. Ngomong aja. Tentang apa?""Tentang kerjaan." "Kerjaan apa?" "Aku mai tanya, kamu sekarang kerja udah di posisi apa?"Sarah tertawa mendengar pertanyaan Fiolina. "Apa maksudmu di posisi apa? Posisi aku di kantor masih tetap kayak dulu, dia tegak berdiri bagai karang di lautan. Gak naik gak turun hahaha!" Sarah menertawakan nasib karirnya yang stagnan. "Oh gitu. Kamu digaji berapa sama perusahaan kamu?" "Cuma UMK Jakarta lebih sedikit. Gak banyak. Kenapa sih?" "Kalau aku tawarkan pekerjaan yang lebih baik mau gak?" "Apa gajinya lebih besar?" "Pasti dong." "Oke, apa?" "Managerku, David, baru aja mengundurkan diri karena dia harus kembali ke kampung halamannya buat merawat orang tuanya. Apa kamu mau menggantikan dia?" "Hah? Kamu nyuruh aku jadi manager kamu? Serius? Maksudku serius pake banget nih?" "Serius dong. Aku a
Untuk sesaat Sarah dan Fransisca tidak tahu harus merespon apa. Sampai akhirnya Sarah merentangkan tangannya untuk memeluk Fiolina dan berkata, "Selamat Fio!"Sarah memeluk Fiolina yang masih kaku. Dia melirik ke arah Fransisca yang akhirnya paham bahwa dia juga harus melakukan hal yang sama. Fransisca iku memeluk Fiolina dan berkata, "Selamat Kak! Yey, habis ini aku punya keponakan!" Fiolina masih tegang. Sarah menyadari kerumitan pikiran apa yang sedang terjadi pada sahabatnya. Jadi dia mencoba menenangkan dan menghibur Fiolina semampu yang bisa dia lakukan. "Ini harus dirayakan," ucap Sarah. "Setuju!" teriak Fransisca. "Gimana kalau kita pesan banyak makanan enak buat makan malam?" usul Sarah. "Setuju! Kita pesan yang enak - enak mulai appetizer sampai desert," Fransisca menimpali. "Jangan lupa laksa singapur!" Sarah menjadi sangat bersemangat. "Siap! Aku yg order ya," Fransisca berlari mengambil ponselnya dan mulai memilih makanan yang akan dia pesan. "Ayo bumil, kita ny
"Fio, papa sama mama ada di restoran wok ya. Namanya apa ya, bentar papa lihatin dulu, papa share lokasinya ke kamu," ujar Bernard saat Fiolina meneleponnya. "Oke. Ini Fio udah hampir sampai. Aku tunggu share lokasinya Pa." Fiolina menutup panggilannya. Lima menit lagi dia akan tiba di bandara. "Opa di restoran apa? Aku mau Burger King Ma," ucap Jovan. "Kita temui opa sama oma kamu dulu ya. Nanti kita ke Burger King." "Oke." Sampai di bandara, Fiolina memarkir mobilnya dan segera berjalan menemui kedua orang tuanya di restoran yang dimaksud. "Mama aku mau beli teh boba itu!" Jovan menunjuk sebuah kedai minuman boba yang terlihat cukup ramai dalam perjalanan menuju restoran. "Oke." Fiolina menuntun Jovan ke kedai itu. Mereka memesan dua minuman. Satu untuk Jovan dan satu untuk Fiolina sendiri. "One green tea milk with red bean topping please," ucap seorang perempuan yang baru datang. Dia memesan minuman tepat di samping Fiolina yang sedang menunggu pesanannya datang. Fiolin
Julio tertawa dengan sangat kencang. "Oma, jangan berpikir untuk melakukannya. Aku bukan papa. Dan aku akan menikah dengan wanita yang aku mau." "Kalau begitu cepatlah menikah lagi! Sudah 5 tahun kamu jadi duda. Oma ingin punya cicit." "Apa mau aku bantu adopsi anak dari panti asuhan? Oma bisa memilih cicit yang Oma mau." "Julio! Bukan itu maksudnya. Oma ingin darah daging Oma! Anak kandung kamu!" "Oma kan cuma mau cicit. Siapapun anaknya sama aja. Kalau Oma mau anak kandungku, berarti Oma harus bersabar." Julio kembali menyeruput kopinya dengan santai. Dia tidak akan terbebani oleh tuntutan Oma. Dalam hati, dia masih menyimpan perasaan kepada Fiolina. Namun egonya terlalu tinggi. Sesekali, Julio merasa dadanya sangat sakit karena merindukan Fiolina. Tapi dia bertekad tak akan bersama dengan anak dari Terry. Dan Julio merasa malas untuk menikah lagi. Itu karena hingga detik ini, belum ada wanita lain yang mampu menarik hatinya. "Sebenarnya, akan menguntungkan jika kita bisa me
Hari Jumat yang dinantikan Jovan pun tiba. Mulai pagi, dia bangun dengan penuh semangat membayangkan keseruan di camp memasak yang akan dia ikuti. "Ingat semua pesan Mama ya, selalu bilang ke pengawas kalau merasa sakit, lapar atau apapun yang butuh bantuan. Jangan sungkan, anggap mereka pengganti Mama oke? Dan jangan menganggu anak lain. Sebaliknya, adukan ke pangawas kalau ada yang mengganggumu," Fiolina mengulang- ulang wejangannya kepada Jovan. "Iya Ma. Aku sudah hafal itu. Jangan khawatir." "Nah, ini dia kita sampai," Fiolina menghentikan mobilnya. "Aku turun sekarang." "Hati - hati sayang ya, kiss me," Fiolina menyodorkan pipinya ke wajah Jovan. "Muach," Jovan mengecupnya lalu turun dan melambaikan tangan. Fiolina meninggalkannya dengan perasaan campur aduk. Dia senang Jovan berani, tapi dia juga sedikit patah hati karena harus menahan rindu selama 7 hari. Dia belum pernah berpisah dengan Jovan selama itu. "Jovan gak nangis?" tanya Terry begitu Fiolina tiba lagi di apart
DEG! Jantung Fiolina berasa hampir copot. Dia bersyukur Jovan tidak ikut. "Stt! bukankah itu keluarga Young di meja sebelah?" bisik Terry. Sontak Bernard dan juga Ferdian melirik ke meja sebelah. Namun mereka tahu untuk tidak menatap terlalu lama. "Iya benar itu mereka. Berikan sapaan sewajarnya kalau mereka menoleh. Selebihnya kita nikmati saja makan malam kita," ucap Bernard lirih. Julio juga sedikit terkejut saat dia tanpa sengaja melirik ke meja sebelahnya dan melihat ada keluarga chow di sana. Pandangannya tertuju pada Fiolina yang menurutnya semakin cantik. Namun dia mendadak sebal saat melihat siapa yang duduk di samping Fiolina. Julio berusaha untuk mengabaikan. "Itu Fiolina dan keluarganya," bisik Glins kepada Julio. "Ya aku tahu," ucap Julio. Oma mendengar apa yang Glins bisikkan kepada Julio. Dia pun menoleh dan bertemu tatap dengan Bernard. Untuk sopan santun, Oma mengangukkan kepalanya dan tersenyum untuk menyapa mereka. Bernard pun menganggukkan kepalanya da
2 hari kemudian. "Argh! Kenapa gaunnya begini? Ini... ini sobek!" teriak seorang penata rias yang akan turut mendandani Fiolina untuk upacara pemberkatan hari ini. Fiolina dengan panik menghampiri penata rias itu. Fiolina terperangah melihat gaun pernikahannya yang sudah sobek. "Astaga! Kenapa bisa begini?" keluh Fiolina. Terry berlari menghampiri setelah mendengar kehebohan di kamar Fiolina. "Ada apa?" tanyanya. "Ma, lihat ini gaunku sobek!" "Ya Tuhan! Siapa yang melakukan ini sih?" Nicole menampakkan ekspresi sebal. "Ma, apa yang harus aku lakukan?" rengek Fiolina.Nicole terlihat berpikir sejenak. Dia lalu membongkar lemari Fiolina dan mengeluarkan sebuah kotak. "Ini, pakai ini aja," ucap Terry sambil menyerahkan gaun pernikahan lawas Fiolina dari dalam kotak. Fiolina meragu."Udah gak papa. Ini masih bagus." "Iya aku tahu ini masih bagus. Tapi ini gaun pernikahanku dan Julio dulu. Bagaimana perasaan Ferdian kalau tahu?""Ferdian akan tahu keadaannya. Gaun kamu robek dan
TING TONG! Bel pintu rumah Nicole berbunyi. Ibu kandung dari Julio itu jarang menerima tamu. Dia tidaj punya banyak teman terlebih setelah dia menjalani beberapa tahun hidupnya untuk perawatan di rumah sakit jiwa. Keadaannya sekarang tentu jauh lebih baik. Dia sudah ikhlas dan hari - harinya jauh lebih bahagia. Sekarang, dia banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi sebanyak yang dia mampu. Pagi ini dia juga sedang menulis puisi saat seseorang membunyikan bel pintu rumahnya. Dengan segera dia bangkit dari kursi santainya lalu membuka pintu. "Nicole, apa kabar?" tamu itu menyapa Nicole. "Terry? Ada apa?" Terry melah menangis dan berlutut di hadapan Nicole. "Maaf, maafkan aku... tolong maafkan aku." Nicole bingung dengan sikap Terry yang tiba - tiba. Terry memeluk kakinya seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya. "Terry, cukup, kenapa kamu begini? Ayo masuk, jangan di luar rumah," Nicole membantu Terry berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Terry duduk
"Fiolina, Fio! Bangun Nak!" Terry membangunkan Fiolina yang saat tengah malam dia dapati tertidur di lantai kamarnya, tersungkur dengan mengenakan gaun pengantin. Fiolina mengerjapkan matanya. Dia terbangun dengan tubuh yang lemas. "Kamu kenapa tidur di sini? Dan kenapa kamu pakai gaun ini? Mama tadinya mau kasih tahu kamu kalau Jovan udah tidur sama Papa kamu di kamar kami. Tapi... kamu..." "Aku gak papa Ma. Aku ketiduran karena kecapekan," Fiolina hendak bangkit berdiri, namun Terry menahannya. "Fio, mata kamu sangat bengkak. Kamu habis menangis?" Fiolina menggeleng. "Jangan bohong. Mama ini ibu kamu. Mama tahu kalau kamu lagi sedih. Kamu habis menangis kan? Kenapa Nak?" Fiolina menggeleng lagi. Tapi kali ini dia tidak mampu menahan air matanya lagi. Sekuat apapun Fiolina, setegar apapun dia, dia tidak pernah bisa menutupi kesedihannya di depan ibunya. Karena baginya ibunya adalah tempat ternyaman untuknya berkeluh kesah. Terry tak banyak bertanya, dia seketika merangkul Fio
"Jovan.. hati - hati! Pelan - pelan yang naik tangganya," teriak Fiolina. Jovan hanya mengangkat satu tangannya membentuk tanda 'OK' lalu lanjut menaiki tangga perosotan yang mungkin sudah dua puluh kali dia naiki. Tidak jauh ada area bermain, ada Ferdian yang sedang duduk sambil memegang bola kaki. Dia beristirahat setelah setengah jam penuh bermain bola bersama Jovan.Julio mengawasi dari dalam mobilnya yang berjarak kurang lebih 50 meter dari mereka. Dia merasa hatinya sakit, Jovan adalah anak kandungnya dan sekarang Ferdian bermain dengan bebas bersama anak itu sedangkan dirinya harus sembunyi - sembunyi hanya untuk memandangnya bermain. Dia ingin anaknya. Dia juga ingin istrinya kembali. Tapi egonya terlalu besar untuk menjadi menantu Terry. Julio pulang dengan beban berat di dalam hatinya. Sepulang dari bermain di taman bersama Fiolina dan Ferdian, Jovan dikagetkan dengan rumah Keluarga Chow yang penuh dengan bingkisan. "Wow, apa ini Oma?" tanyanya. "Seseorang mengirim
Fiolina melihat sekeliling playground dan tidak menemukan Sarah dan Jovan. Dia tidak mendengar teriakan Jovan yang memanggilnya sebelum ini. Jadi, dia menelepon Sarah. Sarah menjawab panggilannya. "Halo, Fiolina, hm... ini Jovan lagi sama aku. Kali lagi...." Julio menarik ponsel Sarah dan mengambil alihnya. "Halo Fiolina. Jovan dan Sarah sedang bersama aku. Lihatlah ke arah jam 10." "Julio?" "Ya aku Julio."Fiolina panik. Dia menoleh ke arah jam 10 dan mendapati ada Jovan, Sarah, Julio dan Glins! Dia segera mendatangi mereka sambil memikirkan kebohongan apa yang akan dia ucapkan kepada Julio. "Kalian sedang apa di sini?" ucap Fiolina basa - basi. Tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar. "Jovan, apa dia mama kamu?" tanya Julio kepada Jovan. "Iya. Dia mama," jawab Jovan. Julio menatap tajam ke arah Fiolina. Fiolina berusaha menghindari tatapannya. "Jovan, berapa usia kamu?" "Hm... sebentar. Usiaku empat tahun," jawabnya sambil memperagakan angka lima dengan jari -
"Yang benar?" ucap Julio. Julio pun berlutut agar dia sejajar dengan anak laki - laki yang menabraknya barusan. "Benar juga, kita sangat mirip," ucap Julio. "Oke, aku akui Om memang ganteng. Tapi Om tua dan aku masih kecil," celatuk Jovan. Julio dan Glins tertawa renyah. Julio sengaja mengajak Glins ke mall hari ini untuk membelikannya barang - barang yang Glins mau sebagai ganti kalung yang dia berikan pada Javeline. Tidak disangka seorang anak kecil berlarian dan menabrak Julio dengan keras. "Itu sudah pasti," ucap Julio. "Maksudku, kamu mirip Om waktu Om masih kecil dulu." "Oh begitu rupanya," ujar Jovan. "Tapi, kalau dilihat - lihat pun, sekarang kalian tetap mirip," komentar Glins. "Kalian cocok sebagai ayah dan anak." "Benar juga. Ngomong - ngomong di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian?" tanya Julio. "Itu dia masalahnya. Aku tersesat. Mama sedang belanja dan menitipkan aku pada tante. Tante ke toilet dan aku pergi dari playground diam - diam karena mengejar kereta
Javeline menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang Julio barusan lakukan. Bertahun - tahun dia mencintai Julio. Selama ini cintanya selalu bertepuk sebelah tangan, tapi sekarang Julio menyiapkan hadiah mahal untuknya dan melamarnya di depan semua orang. "Iya, aku mau," jawab Javeline dengan raut penuh kebahagiaan Julio lalu memasangkan kalung itu ke lehernya. Saat Julio berada di balik punggung Javeline, dia menatap Glins yang memberinya tatajam tajam. Julio membentuk ekspresi wajah meminta maaf yang membuat Glins memutar matanya. Javeline melirik ke meja sebelah dan melihat wajah datar Fiolina di sana, dia merasa puas. "Permisi aku mau ke toilet dulu," Fiolina meninggalkan mejanya untuk menuju ke toilet. Dia berdiri di depan kaca besar toilet wanita, tidak tahu harus melakukan apa. Akhirnya dia hanya mencuci tangannya untuk membuang waktu. Dia sangat membenci Julio. Laki - laki itu menceraikannya tanpa memberinya kesempatan untuk memahami situasinya. Setelahnya, Julio ba
DEG! Jantung Fiolina berasa hampir copot. Dia bersyukur Jovan tidak ikut. "Stt! bukankah itu keluarga Young di meja sebelah?" bisik Terry. Sontak Bernard dan juga Ferdian melirik ke meja sebelah. Namun mereka tahu untuk tidak menatap terlalu lama. "Iya benar itu mereka. Berikan sapaan sewajarnya kalau mereka menoleh. Selebihnya kita nikmati saja makan malam kita," ucap Bernard lirih. Julio juga sedikit terkejut saat dia tanpa sengaja melirik ke meja sebelahnya dan melihat ada keluarga chow di sana. Pandangannya tertuju pada Fiolina yang menurutnya semakin cantik. Namun dia mendadak sebal saat melihat siapa yang duduk di samping Fiolina. Julio berusaha untuk mengabaikan. "Itu Fiolina dan keluarganya," bisik Glins kepada Julio. "Ya aku tahu," ucap Julio. Oma mendengar apa yang Glins bisikkan kepada Julio. Dia pun menoleh dan bertemu tatap dengan Bernard. Untuk sopan santun, Oma mengangukkan kepalanya dan tersenyum untuk menyapa mereka. Bernard pun menganggukkan kepalanya da
Hari Jumat yang dinantikan Jovan pun tiba. Mulai pagi, dia bangun dengan penuh semangat membayangkan keseruan di camp memasak yang akan dia ikuti. "Ingat semua pesan Mama ya, selalu bilang ke pengawas kalau merasa sakit, lapar atau apapun yang butuh bantuan. Jangan sungkan, anggap mereka pengganti Mama oke? Dan jangan menganggu anak lain. Sebaliknya, adukan ke pangawas kalau ada yang mengganggumu," Fiolina mengulang- ulang wejangannya kepada Jovan. "Iya Ma. Aku sudah hafal itu. Jangan khawatir." "Nah, ini dia kita sampai," Fiolina menghentikan mobilnya. "Aku turun sekarang." "Hati - hati sayang ya, kiss me," Fiolina menyodorkan pipinya ke wajah Jovan. "Muach," Jovan mengecupnya lalu turun dan melambaikan tangan. Fiolina meninggalkannya dengan perasaan campur aduk. Dia senang Jovan berani, tapi dia juga sedikit patah hati karena harus menahan rindu selama 7 hari. Dia belum pernah berpisah dengan Jovan selama itu. "Jovan gak nangis?" tanya Terry begitu Fiolina tiba lagi di apart