Adhim baru selesai melakukan workout di apartemen yang ditinggalinya saat sebuah pesan masuk ke dalam ponsel canggih yang ia letakkan di atas salah satu meja sudut ruangan. Adhim melepas sarung tangan tinju yang baru ia gunakan untuk memukuli samsak tinju warna hitam yang menggantung di tengah ruang olahraga itu lantas menenggak air mineralnya setelah pergi mencari tempat duduk. Laki-laki berambut gondrong yang rambutnya kali ini tampak diikat menggunakan karet itu menyeka keringat yang ada di wajah, leher, dan lengannya dengan handuk kecil lalu meraih ponselnya dari meja dan menyalakannya. Sebuah pesan singkat datang dari saudara sepupunya, Shodiq Emir Bahauddin. Putra pakdenya yang usianya lebih tua dua tahun dari dirinya. Cak Shodiq: Gus Fatih hari ini stay di ndalem. Laki-laki itu menghela napasnya setelah membaca pesan itu. Tidak berniat membalasnya. Ndalem adalah sebutan lain untuk kediaman kiai, bu nyai beserta keluarganya di sebuah pondok pesantren. Dan yang disebut ole
"Kenapa, Bang? Tumben, pagi-pagi lo udah nyuruh anak-anak ngumpul di basecamp?" Aldo yang baru sampai dengan beberapa orang laki-laki di belakangnya menghampiri Adhim yang tampak duduk dengan tangan terlipat di atas sebuah peti kayu yang ada di sebuah ruangan mirip gudang yang luasnya hampir menyerupai lapangan sepak bola itu. Ada sebuah arena kick boxing di salah satu sudut ruangannya dengan berbagai peralatan latihan bela diri, perkakas bengkel, meja-kursi, juga barang-barang lain di tempat yang Aldo sebut basecamp itu. Adhim tidak langsung menjawab. Ia membiarkan Aldo mencari tempat duduk di meja-kursi yang ada di sekitarnya bersama pemuda-pemuda yang lain lalu mulai bersuara. "Gue mau balik ke Kediri," katanya yang langsung membuat Aldo dan pemuda-pemuda yang datang bersamanya saling menatap dengan tatapan bingung. "Maksud lo, Bang?" Aldo bertanya mewakili semuanya. Adhim tersenyum simpul. "Gue mau balik ke Kediri karena ada urusan di rumah. Dan sekarang, tujuan gue ngumpuli
Dua tahun yang lalu Tampilan sebuah layar plasma: Semua orang memiliki ketakutan terbesar masing-masing dalam hidupnya. Aku juga. Dan ketakutan terbesarku, adalah Mamaku. Bukan! Aku tidak benar-benar takut dengan Mama. Tapi aku merasa takut dengan kematiannya. Aku takut dengan apa yang menimpa Mama. Saat semua orang mengatakan Mama meninggal karena bunuh diri---bahkan Papa, laki-laki yang sangat dicintai Mama dan kepadanya Mama mengabdikan seluruh hidupnya, aku tidak mempercayainya. Aku tahu Mamaku. Dan Mamaku tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Dia adalah wanita paling baik yang pernah kutemui selama hidup. Mama yang cantik. Mama yang lemah lembut. Mama yang penuh kasih sayang. Mama yang penyabar. Mama yang perhatian. Mama adalah anugerah terbaik dari Tuhan yang pernah kupunya, juga terenggut dariku dengan begitu kejamnya. Hari itu usiaku masih tujuh belas tahun. Seorang siswi SMA. Hari di mana aku menemukan Mama sudah dalam kondisi tak bernyawa di kamarnya dengan tali ta
June Aldrian Adams POV Melihat Pelita bersikap seolah ia baik-baik saja membuatku merasa buruk. Hatiku sakit. Sekali lagi aku merasa telah gagal melindunginya, melindungi Pelita, perempuan yang kucinta. Firasatku sudah buruk sejak kemarin. Dan hal itu terbukti benar saat pagi-pagi sekali Pelita tidak bisa kuhubungi padahal ponselnya menyala. Ia mengabaikan telepon yang masuk dariku---sesuatu yang sangat jarang terjadi kecuali dirinya sedang sibuk pemotretan. Selama ini, Pelita akan selalu menjawab teleponku meski dirinya sedang meeting atau setidaknya mengirimiku pesan jika dirinya sedang mengikuti kelas di kampus. Dan pagi ini Pelita benar-benar mengabaikannya. Aku juga sempat menelepon Arina dan memintanya menelepon Pelita. Arina menjawab teleponku pada dering percobaan kelima dengan suara serak khas bangun tidur. Siapa tahu Pelita akan merespons temannya, tapi sama saja, Pelita juga tidak mengangkat telepon gadis bersurai kecokelatan hasil pewarna rambut itu. Tanpa membuang-bu
June Aldrian Adams POV Seperti yang sudah kukatakan, melihat Pelita bersikap seolah dirinya baik-baik saja membuatku merasa buruk. Hatiku sakit dan aku merasa gagal melindunginya. Menjaga Pelita, memastikannya bahagia dan baik-baik saja adalah tujuan hidupku sejak lama. Pukul 06.30, Pelita turun dari kamarnya di lantai dua dengan dandanannya seperti biasa setiap kami akan menemui klien. Jika tidak mengenakan dress panjang yang dilapisi jaket atau kardigan, Pelita biasanya memakai celana jins dengan atasan kemeja atau blus yang kadang juga dilapisi jaket. Dan kali ini, Pelita memakai opsi yang kedua. Ia memakai celana jins hitam dan kemeja kuning bergaris yang dipadukan kerudung cokelat muda. Make up tipis terpoles di wajah cantiknya yang menurutku lebih memesona saat tidak memakai make up dengan kacamata hitam yang bertengger sempurna di atas hidung. Kami duduk saling berhadapan di meja makan saat aku menyuruhnya memakan sarapan yang sudah kusiapkan. Setangkup sandwich isi sayuran
[Den, Aden di mana? Ibu sama Bapak bertengkar lagi. Barang-barang di rumah banyak yang dilempar pecah.] Aldo menghela napas setelah membaca SMS yang masuk ke ponsel miliknya dari salah satu pembantu di rumahnya. Seperti biasa, orang tuanya kembali bertengkar. "Dan, gue pergi dulu, ya. Lagi ada urusan mendadak di rumah," katanya menepuk bahu Bondan yang duduk sambil mengunyah gorengan di sampingnya. Setelah melihat kepergian Adhim yang katanya pulang ke rumahnya di Kediri, Aldo, Bondan, dan beberapa pemuda lain yang mengaku tidak memiliki kegiatan sepakat meluncur ke warung Abah Suta untuk ngopi dan mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan selama Adhim yang notabenennya ketua klub motor mereka tidak ada. Khususnya membicarakan mengenai anak-anak yang tinggal di rumah singgah. Anak-anak itu adalah anak-anak jalanan yang ditolong Adhim dari kekejaman premanisme Bandung, anak-anak yatim piatu yang tidak memiliki rumah dan kel
"Pelita, di sini!" Seorang perempuan berambut panjang dikuncir dengan setelan jins biru tua dan kaos lengan pendek warna putih yang dilapisi kardigan rajut warna moka melambaikan tangan ke arah pintu masuk kafe begitu orang yang ditunggunya terlihat di pandangan. "Di sini, di sini!" ulangnya yang membuat beberapa pengunjung kafe yang lain menatap bergantian ke arahnya dan ke arah seseorang yang baru masuk ke dalam kafe. Keduanya terlalu eye chatching untuk tidak menarik perhatian. Pelita yang baru datang hanya mengulas senyum cerah, melambaikan tangan sebentar sebagai balasan kemudian berjalan ke arah Cecilia, perempuan berambut panjang dikuncir yang barusan menyerukan namanya. "Mbak Cecil, udah lama, ya?" tanyanya sembari menarik kursi untuk duduk. "Enggak. Baru aja. Tuh, mejanya masih kosong belum ada apa-apanya." Pelita memasang senyum lagi. "Oh, ya udah, Mbak. Aku pesenin min
"Pulang kamu gimana? Aku antar, ya! Sekali-kali boleh lah mampir ke tempat kamu! Aku penasaran gimana selera tempat tinggal kamu." Pelita hanya terkekeh kecil menanggapi kata-kata yang dilontarkan Cecilia kepadanya. "Ayolah! Nggak akan nggak, aku nggak akan bocorin alamat kamu ke orang lain! Kita udah kerja sama selama dua tahun nerbitin buku. Tapi di data pribadi penulis yang kamu isi, alamat yang kamu sertakan selalu alamat kamu yang ada di Jogja. Kamu ... sebenarnya orang mana sih? Jogja, Jakarta, atau Bandung?" Pelita tertawa lagi dengan sedikit lebih keras. "Kalau bisa aku pengin liat KTP kamu secara langsung rasanya," tambah Cecil lagi. Yang diajak bicara Cecil kembali tertawa di balik kacamata hitam yang masih dikenakannya. "Buat apa sih, Mbak Cecil?" balas Pelita kemudian. "Aku itu seperti salah satu judul tetralogi novelnya Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa. Anggap aja gitu. Jadi tinggalku bis
Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.
Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru
Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja
Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.
"Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.
"Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.
Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu
Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa
"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-