"Pak, ada ibu?" tanya seorang anak gadis yang baru masuk ke halaman rumah. Pak Burhan yang hendak masuk, kembali menoleh ke belakang. Ia menatap dan mengira-ngira siapa daun muda itu. Wajahnya agak mirip dengan Bu Melvi istrinya. Tapi, hidungnya lebih mancung dan kulitnya lebih cerah. Hanya saja untuk anak seusianya badannya agak bongsor atau boros."Ada, adek siapa ya?" tanya Pak Burhan seraya menghampiri gadis itu dengan tatapan beringas. Ia bagai menemukan mangsa baru.Gadis itu memandang tak suka pada Pak Burhan. "Saya Tiana, anaknya Bu Melvi," jelas Tiana membuat ayah tirinya kecewa.Pak Burhan hanya pernah melihat anak itu sekilas saat awal menikah. Jadi, tidak begitu hafal dengannya. Berbulan-bulan menikah, anak itu juga tidak pernah datang ke rumah. Wajar saja dirinya lupa. Tiana tinggal dengan ayahnya yang merupakan mantan suami Bu Melvi. Ia lebih betah di sana dibanding bersama ibunya."Ada, Dek, ayo masuk!" ajak Pak Burhan dengan semangat. Tiana mengikuti langkah Pak B
Fitri sedang menyuapi Bu Fatimah makan siang. Keadaan Bu Fatimah sebenarnya sudah mulai membaik, hanya saja ia yang memaksa untuk menyuapi. Alasannya kalau dirinya sakit, ibunya juga selalu perhatian dan menyuapinya makan."Ibu harus makan yang banyak. Biar cepat sembuh," ucap Fitri disela-sela menyuapi makan ibunya. Bu Fatimah hanya tersenyum tipis mendengar ucapan putrinya. Walaupun ia diberi ujian suami yang selingkuh, untungnya anak-anaknya sangatlah baik. "Makasih ya, Fit," ucap Bu Fatimah setelah selesai makan. Suaranya masih terdengar lesu karena masih sakit. "Sama-sama, Bu," jawab Fitri dengan senyum manis. Farid telah berangkat ke toko sejak pagi tadi. Sementara Qintan masih ada di rumah Bu Fatimah untuk menjaganya dikala Fitri kuliah."Bu, boleh aku tanya?" tanya Fitri ragu."Tentu, kalau bisa akan Ibu jawab," jawab Bu Fatimah yang juga penasaran dengan pertanyaan putrinya. "Soal surat-surat berharga Ibu, gimana? Dengar-dengar Ayah menggadaikan tanah di desa sebelah ke
Flash back.Waktu mondok."Dek Fatimah, aku mencintaimu," ucap Rahmat yang sedang piket di dapur umum belakang rumah salah satu dewan pondok.Kebetulan Fatimah sedang piket beberes di rumah dewan tersebut. Sementara Rahmat sedang piket masak nasi untuk santri. "Kalau benar, datang ke orang tuaku. Karena ... aku tak berniat pacaran," ujar Bu Fatimah kala itu."Baik, tunggu aku, nanti aku akan langsung bertemu orang tuamu!" Rahmat kemudian pergi melanjutkan masak di dapur umum tersebut.Rahmat adalah sosok santri sederhana dan mau bekerja keras. Disela kegiatan mengaji ia juga menjadi seksi usaha pondok, yang memajukan usaha koperasi di tempatnya menimba ilmu.Seminggu setelah kejadian itu, Rahmat pulang ke kampungnya karena ayahnya meninggal. Kemudian, ia tak kembali lagi ke pondok.Hati Fatimah sebenarnya telah dicuri Rahmat sejak lama. Bahkan sebelum kejadian itu. Merasakan rindu dan sakit dengan perginya pencuri hati.'Kemana kamu, Mas Rahmat. Andai saja aku bisa memilih, lebih bai
"Dek, bangun! Katanya mau berangkat menemui gurumu!" Pak Burhan mengguncang tubuh Bu Melvi di pagi buta. "Entar siangan, Mas. Aku masih ngantuk banget ini!" Bu Melvi malah berbalik dan membelakangi Pak Burhan. Memang tidak biasanya ia bangun jam segitu sejak menikah. Mereka selalu bangun jika matahari sudah meninggi. "Padahal aku ingin segera bertemu guru itu, biar tokoku cepat laris," gerutu Pak Burhan yang tak digubris sama sekali oleh Bu Melvi. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau istrinya sudah berkata. "Siapin sarapan dulu, gih! Biar nanti aku bangun tinggal sarapan terus berangkat!" titah Bu Melvi tanpa menoleh ke arah suaminya.Pak Burhan menurut dan lekas pergi ke dapur. Ia hanya bisa masak nasi goreng ala-ala sendiri, jadilah itu yang dimasaknya. Tapi, rasanya lumayan enak. Setelah selesai, Pak Burhan memanggil Bu Melvi untuk sarapan. Tapi, karena masih terlalu pagi Bu Melvi enggan untuk bangun. Ia masih betah bergelung di bawah selimutnya yang tebal. "Baru j
Mobil menyusuri jalanan yang lebarnya hanya sekitar tiga meter, belum beraspal, dan jarang kendaraan. Di sisi jalan jarak antara rumah satu dan yang lainnya sangat jauh. Tidak seperti di kota yang berdempet dan sesak."Kapan sampainya ini udah di pelosok desa begini loh, Dek?" tanya Pak Burhan sembari menatap ke depan. Badannya sudah pegal-pegal karena terus duduk di dalam mobil. Rasanya ia tak ingin ke tempat itu untuk kedua kalinya. "Sabar kenapa sih. Lagian aku ini yang nyetir, ribut banget," sahut Bu Melvi dengan ketus. Setelah satu jam dari jalan sepi itu, mereka tiba di sebuah rumah dari anyaman bambu. Halamannya cukup luas dengan pasir pantai yang hitam. "Sudah sampai, cepat turun!" titah Bu Melvi sembari keluar dari mobil. Pak Burhan mengikuti istrinya. Sejenak ia merenggangkan badan yang terasa begitu pegal. Mereka lalu berjalan ke pintu masuk rumah. Rumah itu sederhana dan rapi, seperti rumah desa pada umumnya. Tidak seperti rumah dukun dalam cerita-cerita film horor.
"Ya Allah, sebenarnya ada apa ini? Kenapa rasanya hatiku tidak nyaman begini? Ada apa dengan suamiku?" gumam Bu Fatimah lirih. Ia tengah berada di kamar sendiri. Namun, merasa tidak enak hati sejak kemarin. Ia belum tahu persis penyebabnya. Hanya saja pikirannya tiba-tiba teringat suaminya."Fit, kapan kamu mau ke sana lagi?" tanya Bu Fatimah lembut.Hanya Fitri yang bisa menjadi matanya saat ini. Ia begitu khawatir pada suaminya. Bagaimanapun Pak Burhan masih berstatus sebagai pendamping hidupnya. "Aku lagi sibuk ujian, Bu. Malas kalau harus tinggal di sana, nanti ajalah ya Bu? Aku mau fokus ujian dulu," jawab Fitri dengan berat hati. Ia menatap ibunya penuh harap. Sehingga dengan terpaksa Bu Fatimah mengiyakan."Semoga ujian kamu lancar ya, Sayang." Bu Fatimah membelai kepala putrinya. "Aamiin ...." Fitri tersenyum lebar mendengar ucapan ibunya. Tak lama kemudian, pintu utama diketuk. Rupanya Qintan yang sudah nyelonong masuk sebelum dibukakan. "Bu, udah siap?" tanya Qintan de
Bu Fatimah terdiam sejenak. Rasanya tak enak mengungkapkan alasan dari penamaan surat itu. Seperti membuka aib suaminya sendiri. "Bicarakan saja Fatimah. Ini termasuk dari salah satu ghibah yang diperbolehkan," ucap Bang Furqon meyakinkan adiknya. "Jadi begini, suami saya selalu berkata malu jika orang tahu itu dari uang saya. Juga beralasan untuk masa depan anak. Katanya gak masalah atas nama siapapun suratnya. Tapi, nyatanya satu surat tanah kebun digadai demi istri barunya. Saya tidak mau semuanya habis," jelas Bu Fatimah panjang lebar.Pak Dinan mengangguk-ngangguk sambil melihat lihat beberapa surat berharga di tangannya. Semuanya atas nama Pak Burhan. "Saya akan bantu sebisanya. Semoga saja prosesnya cepat selesai. Sehingga semuanya akan utuh menjadi milik Ibu." Pak Dinan menjawab dengan tenang. "Amiinn, semoga saja." Bu Fatimah dan yang lainnya turut mengaminkan. Sebenarnya Pak Dinan telah banyak menangani kasus seperti ini. Jadi, bukan hal baru baginya. Mereka kemudian k
Qintan dan Bu Fatimah sampai di rumah menjelang isya. Banyak hal yang mereka bicarakan di sana. Sehingga memakan waktu cukup lama. "Bunda, Mbak, betah banget di rumah paman. Jadi, gimana ceritanya?" tanya Fitri dengan antusias setelah menyalami tangan ibu dan kakak iparnya. "Belum juga duduk," jawab Qintan sembari menjatuhkan bobot di sofa. Bu Fatimah pun duduk di sana. Ia menghela napas sejenak. Fitri menyediakan minum untuk ibunya. "Alhamdulillah, Ibu rasanya lebih tenang. Apalagi aset kalian sudah aman. Setidaknya kalaupun rumah tangga Ibu di ujung tanduk, kalian akan tetap dapat bagian," tutur Bu Fatimah dengan senyum tulus. Baginya sekarang anak-anaknya yang terpenting. Masalah suaminya sudah nomor sekian. "Alhamdulillah ... Oh ya, Bu aku mau cerita. Tapi, belum sempat dari kemarin," ungkap Fitri teringat sesuatu. Ibunya sekarang sudah nampak lebih tenang. Bahkan mungkin jika harus kehilangan sosok suami sekalipun. Jadi, ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan hal yang di
31Bu Melvi membuka matanya. Ia baru saja sadar dari bius yang disuntikkan ke tubuhnya. Netranya mengedar kesana-kemari. Ia tak mengenal tempat itu. "Duh, di mana aku?" gumam Bu Melvi dengan kepala yang masih terasa berat. Ia kembali menajamkan penglihatan. Ruangan itu nampak seperti gudang. Banyak barang-barang bekas di sana. Belum lagi debu yang begitu tebal dan membuat sesak pernapasan. Bu Melvi tidak bisa lari kemanapun. Tangan dan kakinya terikat ke sebuah kursi. Perutnya juga mulai keroncongan karena belum makan sejak pagi. "Hai, Dek Melvi sayang ...." Tiba-tiba sebuah suara bariton terdengar menggema di ruangan tersebut. Pak Bastoni mendekat dengan ditemani dua bodyguard-nya. "Gimana? Mau terus di sini atau kita ke hotel?" tanya Pak Bastoni dengan tatapan nakal yang memuakkan. "Aku udah gak mau punya hubungan sama kamu, Mas! Aku capek! Gak liat waktu harus keluar cuma buat muasin kamu!" pekik Bu Melvi dengan emosi. Ya, kadang permintaan lelaki hidung belang ini membuatn
Qintan dan Bu Fatimah sampai di rumah menjelang isya. Banyak hal yang mereka bicarakan di sana. Sehingga memakan waktu cukup lama. "Bunda, Mbak, betah banget di rumah paman. Jadi, gimana ceritanya?" tanya Fitri dengan antusias setelah menyalami tangan ibu dan kakak iparnya. "Belum juga duduk," jawab Qintan sembari menjatuhkan bobot di sofa. Bu Fatimah pun duduk di sana. Ia menghela napas sejenak. Fitri menyediakan minum untuk ibunya. "Alhamdulillah, Ibu rasanya lebih tenang. Apalagi aset kalian sudah aman. Setidaknya kalaupun rumah tangga Ibu di ujung tanduk, kalian akan tetap dapat bagian," tutur Bu Fatimah dengan senyum tulus. Baginya sekarang anak-anaknya yang terpenting. Masalah suaminya sudah nomor sekian. "Alhamdulillah ... Oh ya, Bu aku mau cerita. Tapi, belum sempat dari kemarin," ungkap Fitri teringat sesuatu. Ibunya sekarang sudah nampak lebih tenang. Bahkan mungkin jika harus kehilangan sosok suami sekalipun. Jadi, ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan hal yang di
Bu Fatimah terdiam sejenak. Rasanya tak enak mengungkapkan alasan dari penamaan surat itu. Seperti membuka aib suaminya sendiri. "Bicarakan saja Fatimah. Ini termasuk dari salah satu ghibah yang diperbolehkan," ucap Bang Furqon meyakinkan adiknya. "Jadi begini, suami saya selalu berkata malu jika orang tahu itu dari uang saya. Juga beralasan untuk masa depan anak. Katanya gak masalah atas nama siapapun suratnya. Tapi, nyatanya satu surat tanah kebun digadai demi istri barunya. Saya tidak mau semuanya habis," jelas Bu Fatimah panjang lebar.Pak Dinan mengangguk-ngangguk sambil melihat lihat beberapa surat berharga di tangannya. Semuanya atas nama Pak Burhan. "Saya akan bantu sebisanya. Semoga saja prosesnya cepat selesai. Sehingga semuanya akan utuh menjadi milik Ibu." Pak Dinan menjawab dengan tenang. "Amiinn, semoga saja." Bu Fatimah dan yang lainnya turut mengaminkan. Sebenarnya Pak Dinan telah banyak menangani kasus seperti ini. Jadi, bukan hal baru baginya. Mereka kemudian k
"Ya Allah, sebenarnya ada apa ini? Kenapa rasanya hatiku tidak nyaman begini? Ada apa dengan suamiku?" gumam Bu Fatimah lirih. Ia tengah berada di kamar sendiri. Namun, merasa tidak enak hati sejak kemarin. Ia belum tahu persis penyebabnya. Hanya saja pikirannya tiba-tiba teringat suaminya."Fit, kapan kamu mau ke sana lagi?" tanya Bu Fatimah lembut.Hanya Fitri yang bisa menjadi matanya saat ini. Ia begitu khawatir pada suaminya. Bagaimanapun Pak Burhan masih berstatus sebagai pendamping hidupnya. "Aku lagi sibuk ujian, Bu. Malas kalau harus tinggal di sana, nanti ajalah ya Bu? Aku mau fokus ujian dulu," jawab Fitri dengan berat hati. Ia menatap ibunya penuh harap. Sehingga dengan terpaksa Bu Fatimah mengiyakan."Semoga ujian kamu lancar ya, Sayang." Bu Fatimah membelai kepala putrinya. "Aamiin ...." Fitri tersenyum lebar mendengar ucapan ibunya. Tak lama kemudian, pintu utama diketuk. Rupanya Qintan yang sudah nyelonong masuk sebelum dibukakan. "Bu, udah siap?" tanya Qintan de
Mobil menyusuri jalanan yang lebarnya hanya sekitar tiga meter, belum beraspal, dan jarang kendaraan. Di sisi jalan jarak antara rumah satu dan yang lainnya sangat jauh. Tidak seperti di kota yang berdempet dan sesak."Kapan sampainya ini udah di pelosok desa begini loh, Dek?" tanya Pak Burhan sembari menatap ke depan. Badannya sudah pegal-pegal karena terus duduk di dalam mobil. Rasanya ia tak ingin ke tempat itu untuk kedua kalinya. "Sabar kenapa sih. Lagian aku ini yang nyetir, ribut banget," sahut Bu Melvi dengan ketus. Setelah satu jam dari jalan sepi itu, mereka tiba di sebuah rumah dari anyaman bambu. Halamannya cukup luas dengan pasir pantai yang hitam. "Sudah sampai, cepat turun!" titah Bu Melvi sembari keluar dari mobil. Pak Burhan mengikuti istrinya. Sejenak ia merenggangkan badan yang terasa begitu pegal. Mereka lalu berjalan ke pintu masuk rumah. Rumah itu sederhana dan rapi, seperti rumah desa pada umumnya. Tidak seperti rumah dukun dalam cerita-cerita film horor.
"Dek, bangun! Katanya mau berangkat menemui gurumu!" Pak Burhan mengguncang tubuh Bu Melvi di pagi buta. "Entar siangan, Mas. Aku masih ngantuk banget ini!" Bu Melvi malah berbalik dan membelakangi Pak Burhan. Memang tidak biasanya ia bangun jam segitu sejak menikah. Mereka selalu bangun jika matahari sudah meninggi. "Padahal aku ingin segera bertemu guru itu, biar tokoku cepat laris," gerutu Pak Burhan yang tak digubris sama sekali oleh Bu Melvi. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau istrinya sudah berkata. "Siapin sarapan dulu, gih! Biar nanti aku bangun tinggal sarapan terus berangkat!" titah Bu Melvi tanpa menoleh ke arah suaminya.Pak Burhan menurut dan lekas pergi ke dapur. Ia hanya bisa masak nasi goreng ala-ala sendiri, jadilah itu yang dimasaknya. Tapi, rasanya lumayan enak. Setelah selesai, Pak Burhan memanggil Bu Melvi untuk sarapan. Tapi, karena masih terlalu pagi Bu Melvi enggan untuk bangun. Ia masih betah bergelung di bawah selimutnya yang tebal. "Baru j
Flash back.Waktu mondok."Dek Fatimah, aku mencintaimu," ucap Rahmat yang sedang piket di dapur umum belakang rumah salah satu dewan pondok.Kebetulan Fatimah sedang piket beberes di rumah dewan tersebut. Sementara Rahmat sedang piket masak nasi untuk santri. "Kalau benar, datang ke orang tuaku. Karena ... aku tak berniat pacaran," ujar Bu Fatimah kala itu."Baik, tunggu aku, nanti aku akan langsung bertemu orang tuamu!" Rahmat kemudian pergi melanjutkan masak di dapur umum tersebut.Rahmat adalah sosok santri sederhana dan mau bekerja keras. Disela kegiatan mengaji ia juga menjadi seksi usaha pondok, yang memajukan usaha koperasi di tempatnya menimba ilmu.Seminggu setelah kejadian itu, Rahmat pulang ke kampungnya karena ayahnya meninggal. Kemudian, ia tak kembali lagi ke pondok.Hati Fatimah sebenarnya telah dicuri Rahmat sejak lama. Bahkan sebelum kejadian itu. Merasakan rindu dan sakit dengan perginya pencuri hati.'Kemana kamu, Mas Rahmat. Andai saja aku bisa memilih, lebih bai
Fitri sedang menyuapi Bu Fatimah makan siang. Keadaan Bu Fatimah sebenarnya sudah mulai membaik, hanya saja ia yang memaksa untuk menyuapi. Alasannya kalau dirinya sakit, ibunya juga selalu perhatian dan menyuapinya makan."Ibu harus makan yang banyak. Biar cepat sembuh," ucap Fitri disela-sela menyuapi makan ibunya. Bu Fatimah hanya tersenyum tipis mendengar ucapan putrinya. Walaupun ia diberi ujian suami yang selingkuh, untungnya anak-anaknya sangatlah baik. "Makasih ya, Fit," ucap Bu Fatimah setelah selesai makan. Suaranya masih terdengar lesu karena masih sakit. "Sama-sama, Bu," jawab Fitri dengan senyum manis. Farid telah berangkat ke toko sejak pagi tadi. Sementara Qintan masih ada di rumah Bu Fatimah untuk menjaganya dikala Fitri kuliah."Bu, boleh aku tanya?" tanya Fitri ragu."Tentu, kalau bisa akan Ibu jawab," jawab Bu Fatimah yang juga penasaran dengan pertanyaan putrinya. "Soal surat-surat berharga Ibu, gimana? Dengar-dengar Ayah menggadaikan tanah di desa sebelah ke
"Pak, ada ibu?" tanya seorang anak gadis yang baru masuk ke halaman rumah. Pak Burhan yang hendak masuk, kembali menoleh ke belakang. Ia menatap dan mengira-ngira siapa daun muda itu. Wajahnya agak mirip dengan Bu Melvi istrinya. Tapi, hidungnya lebih mancung dan kulitnya lebih cerah. Hanya saja untuk anak seusianya badannya agak bongsor atau boros."Ada, adek siapa ya?" tanya Pak Burhan seraya menghampiri gadis itu dengan tatapan beringas. Ia bagai menemukan mangsa baru.Gadis itu memandang tak suka pada Pak Burhan. "Saya Tiana, anaknya Bu Melvi," jelas Tiana membuat ayah tirinya kecewa.Pak Burhan hanya pernah melihat anak itu sekilas saat awal menikah. Jadi, tidak begitu hafal dengannya. Berbulan-bulan menikah, anak itu juga tidak pernah datang ke rumah. Wajar saja dirinya lupa. Tiana tinggal dengan ayahnya yang merupakan mantan suami Bu Melvi. Ia lebih betah di sana dibanding bersama ibunya."Ada, Dek, ayo masuk!" ajak Pak Burhan dengan semangat. Tiana mengikuti langkah Pak B