"Di situ tertera nama tokonya, Bu Tut!" Wanita yang seumuran dengan Bu Tut itu semakin geram. "Bisa jadi 'kan kamu cuma minta nota kosong sama pemilik toko. Terus harganya kamu tulis suka-suka!""Susah memang ya, berdebat sama orang miskin kayak kamu!" singgungnya. Semua yang berkumpul dan mendengar ucapan pedas itu, tersinggung. Tetapi, mereka tidak berani bersuara. Sebab wanita yang memamerkan gelang itu adalah orang terkaya di tempat mereka. "Beraninya kamu bicara begitu!" Bu Tut begitu murka. "Heh, dengar ya, perhiasaan saya lebih besar dari punyamu! Harganya nggak nyampe segitu. Ngelawak aja, perhiasaan sekecil itu harganya sepuluh juta. Pamer boleh, Bu! Tapi ya, jangan sampai ngibulin orang juga.""Punya Bu Tut itu besar tapi kualitas emasnya nggak sebagus punya saya ini. Emasnya itu kualitas rendah. Murahan. Itulah, kalau nggak pernah beli perhiasaan mahal nggak usah komentar, Bu! Malu-maluin!""Sembarangan ya, kalau ngomong!" Bu Tut ingin menarik baju wanita itu, tetapi di
"Kalau kamu tidak tau apa yang akan mereka lakukan. Baiklah! Saya akan dengan senang hati memberitahukan.""Ibu-ibu di sini sangat anarkis kalau tau di kampung ini ada perempuan yang menjadi pelakor." Rani menekankan kata-katanya. "Kamu tau, Bu Tut 'kan? Dia itu sangat benci sama pelakor. Dia yang paling menentang keras adanya pelakor. Kamu tau apa yang akan mereka lakukan sama perebut suami orang? Mereka tidak segan-segan menelanj4ngi dan mearaknya keliling kampung. Bahkan mereka akan melakukan hal yang lebih parah lagi. Kamu mau tau apa itu?" Rani berbisik di telinga Winda. Winda hanya terdiam. Sebenarnya dia ingin mengangguk, tetapi malu. Dia tak ingin Rani mengetahui bahwa saat ini dia tengah ketakutan. "Karena saya baik hati. Saya akan memberitahu kamu. Nggak salahnya 'kan untuk kamu berjaga-jaga. Bagian mengerikan yang saya maksud tadi adalah... Mereka akan memasukkan cabe ke lubang kehormatan kamu."Winda menelan salivanya. Matanya terbelalak, membayangkan perkataan Rani. M
"Gimana? Kamu suka nggak sama cincinnya?""Suka banget, Mas!""Syukurlah!""Dari mana, Mas dapat uang? Bukannya semua penghasilan Mas kasih ke aku?""Kamu nggak perlu tau!" Irwan memalingkan wajahnya. Jujur, sikapnya itu membuat Rani sedikit curiga. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang mas sembunyikan?""Nggak ada!""Kalau nggak ada, kenapa Mas nggak mau ngasih tau dapat uang dari mana membelikan aku cincin sebagus ini?""Apalagi cincin ini dari emas putih. Pasti mahal harganya. Ayolah, Mas! Jangan membuat aku berpikir negatif!""Mas malu untuk mengatakannya.""Loh, kenapa mesti malu? Apa Mas mencurinya?"Bola mata Irwan membulat. "Mas nggak akan melakukan itu. Meski tak punya uang sedikit pun.""Lalu, kenapa Mas malu mengatakannya?""Baiklah, Mas akan mengatakan alasannya. Daripada kamu berpikiran yang bukan-bukan tentang Mas!" Irwan menyerah, meski ia tahu bahwa wajar saja Rani berpikir begitu. Karena dia paling anti mendapatkan sesuatu dari hasil yang tidak jelas. Walau pengakuan ini ak
"Masa iya, Bu Tut. Kalau perak mah, nggak akan sekinclong dan sebagus ini bentuknya," bantah ibu itu. "Bu, emas mana ada warnanya putih gitu? Emas 'kan warnanya kuning!""Eh, ada loh, Bu Tut. Emas itu ada yang warnanya putih.""Seumur-umur, saya nggak pernah lihat emas warna putih, Bu! Yang ada warna kuning. Saya tau karena saya punya banyak di rumah," ucap Bu Tut sombong. "Ada, Bu! Saudara saya kemarin ada yang beli. Warnanya putih. Dia bilang emas putih namanya. Katanya, dibanding perak, emas putih itu lebih kinclong dari pada perak. Dan lebih mahal juga, hampir setara harga emas delapan belas karat.""Alah, mau aja dikibulin. Dia itu cuma pengen gaya aja di depan kamu. Padahal dia itu pakai perhiasan perak. Bilangnya aja emas supaya terlihat kaya.""Oh, terimakasih, Bu Tut. Semoga berkat ucapan Bu Tut. Ibu ini nggak jadi ngutang sama saya. Soalnya yang kemarin aja, belum dikembaliin. Saya nggak tega nagihnya, karena setiap ditagih alasannya cucu 'lah sakit, anak 'lah perlu duit.
Irwan heran ketika sampai di rumah istrinya menyambutnya dengan senyum yang merekah. "Emm, sepertinya ada yang lagi seneng, nih!" celetuk Irwan. "Iya, Mas! Aku sangat senang banget hari ini!""Apa sih yang membuat istri Mas ini terlihat senang?""Coba Mas tebak apa yang membuatku senang?""Pasti karena sebentar lagi kamu mau ulang tahun 'kan?""Eh, iya ya! Kok, bisa aku lupa? Apa saking senengnya, ya?" Rani terkikik."Oh, bukan ya? Terus apa dong?""Ayo, coba tebak lagi!""Mas nggak tau! Tapi yang pasti hal yang lebih penting dari ulang tahun kamu."Irwan terkejut karena tiba-tiba saja Rani memeluknya. "Makasih ya, Mas!""Sama-sama!" sahut Irwan. "Emang Mas, tau aku berterimakasih untuk apa?""Hehehe, nggak tau!" Irwan mengedikkan bahunya dengan senyum lebar yang menampakkan gigi putihnya. "Ish, dasar!" Rani mencubit pinggang suaminya itu. "Hahaha...! Habis kamu langsung berterimakasih aja. Kalau orang berterimakasih 'kan harus dijawab."Rani cemberut dan memalingkan wajahnya. I
"Hari gini ada yang masih pakai perak? Udah nggak zaman banget!" sindir Bu Tut. Rani diam saja dan terus melanjutkan langkahnya. Selama tidak menyebut namanya, dia tidak perlu tersinggung bukan?Melihat Rani diam saja dan tak tersindir sedikit pun, Bu Tut dan Winda merasa kesal. Mereka memikirkan hal yang sama yaitu ingin memancing kemarahan Rani lagi. Winda ingin mempermalukan Rani dengan cara halus. Berbeda dengan Bu Tut yang bar-bar. "Cincin Mbak Rani bagus, perhiasan baru ya, Mbak?" Winda menaikan tangan bajunya agar gelang yang baru ia beli terlihat oleh Rani. Rani nyeletuk dalam hati ketika melihat prilaku Winda tersebut, "Ngapain, Mbak? Mau nunjukin kalau beli perhiasaan, ya? Kelakuanmu, Mbak! Kayak orang baru punya perhiasaan aja."Karena banyak ibu-ibu juga di situ, Rani memilih untuk berhenti sebentar dan menjawab pertanyaan Winda, "Iya, Mbak! Alhamdulillah! Dikasih sama Mas Irwan!" Rani menjawab dengan santai. Bukannya emosi Rani yang terpancing tapi malah Winda yang ke
Rani tersenyum miring. "Mungkin teman Mbak itu bukan tipe si pria. Bisa saja 'kan si pria itu sebenarnya suka sama wanita yang manja tapi karena wanita itu bukan tipenya jadilah si pria itu beralasan bahwa dia nggak suka wanita manja.""Intinya nggak suka wanita manja itu hanya alasannya saja supaya bisa lepas sama wanita yang tak ia sukai itu!" Rani kembali menimpali. "Lagipula manja itu bukan sebuah patokan bahwa dia akan ditinggal oleh suaminya atau tidak. Bu Tut pun pasti banyak mendengar berita 'kan kalau banyak suami yang lebih memilih pelakor yang kualitasnya jauh di bawah istri sah! Dari segi fisik maupun kemampuan. Bu Tut tau karena apa? Karena sejatinya lelaki itu lebih merasa berguna kalau istrinya itu bergantung padanya bahkan hal remeh sekalipun.""Apalagi, Mas Irwan itu tipe pria yang suka kalau istrinya semakin manja. Dia nggak suka kalau saya terlalu mandiri. Jadi nggak salah 'kan, saya menikmati diperlakukan oleh suami seperti itu?"Mereka terdiam tak dapat membalas
"Dia tetangga baru di gang ini. Bukan tetangga baru juga sih, lebih tepatnya orang lama yang kembali ke kampung halamannya.""Apa kamu tidak pernah melihat orang itu sebelumnya? Kamu 'kan lumayan lama juga waktu itu tinggal di sini sebelum saya datang ke sini.""Emm, kayaknya nggak pernah!" Wanita itu mencoba mengingat apakah dia kenal dengan wanita itu. "Ngomong-ngomong, apakah ada seseorang di sini yang kamu kenal? Sampai membuat kamu datang kemari?""Kenapa? Apa nggak boleh kalau saya berkunjung ke sini lagi?" tanyanya menggoda Rani. "Bukan begitu!" Rani merasa dia salah bicara sebab sudah menanyakan hal itu. "Hahaha...! Nggak usah tegang gitu. Saya ke sini karena mempelai pria itu keluarga saya. Lebih tepatnya keluarga jauh.""Oh, benarkah?" Rani terkejut. "Iya. Itu sebabnya sekarang saya ada di sini.""Em, baiklah! Kalau begitu saya permisi duluan, ya? Mau menemui orang tua si pengantin.""Iya! Hati-hati. Jangan ngelamun kalau wanita itu melakukan hal yang seperti tadi lagi,
"Kenapa wajah kamu bisa hancur gitu?" Pertanyaan Bu Tut begitu mengintimidasi. Ratih menjadi gugup. "A-anu, Bu... Anu..." Ratih bingung memberikan jawaban. "Anu apa? Kenapa wajah kamu bisa seperti ini?" Melihat luka di wajah Ratih yang sama persis seperti foto pelakor yang ditunjukkan oleh Bu Susi, Bu Tut menjadi yakin kalau wanita itu memang benar anaknya. "A-anu, Bu! Tadi Ratih jatuh waktu di tempat kerja.""Jatuh di mana?""Jatuh dari tangga, Bu!" Ratih tersenyum kikuk. "Kamu naik tangga? Bukannya kamu kerja di perusahaan? Kok, naik tangga? Sekelas mall kecil aja pakai lift, kok, perusahaan tempat kamu bekerja malah nggak ada lift?""Liftnya lagi rusak, Bu! Jadi Ratih pakai tangga."Bu Tut mendekati Ratih dengan pandangan tajam. "Nggak usah bohong kamu! Kamu habis jalan sama om-om 'kan?" Bu Tut langsung berkata ke intinya. "Nggak, kok! Bu! Ratih kerja." Tubuh Ratih sudah mengucur keringat dingin. "Kerja, kerja! Nggak usah bohong kamu! Ibu sudah tau semuanya. Ibu sudah lihat
Bu Susi memperlihatkan video seorang wanita yang digrebek di kamar hotel dan di serang oleh istri sahnya."Sini coba saya lihat!" Bu Tut mengambil ponsel Bu Susi untuk melihat video itu dengan lebih jelas.Awalnya dia biasa saja bahkan ikut geram dan mengumpat sebelum tau bahwa wanita yang jadi pelakor di video itu adalah anaknya."Bagus! Hajar aja! Geram banget sama pelakor dan lakinya ini! Terus, Bu! Jangan kasih ampun!" ujar Bu Tut bersemangat.Bu Susi heran kenapa Bu Tut malah ikutan geram dengan video itu? Bukannya terkejut atau berteriak histeris.Bukan karena hasil videonya yang jelek, tapi Bu Tut tidak mengenali pelakor itu karena wajahnya sudah terdapat luka-luka."Terus! Hajar! Kalau perlu potong aja b*tang suaminya dan kasihin ke binat*ng! Masukin cabe juga ke dalam lub*ng buaya si pelakornya! Dasar bin*t*ng kedua orang itu!" ujarnya mengumpat dengan semangat."Loh, Bu Tut, kok nggak kaget? Malah ikutan mengumpat?" tanya Bu Susi heran."Kenapa kamu heran? Bukannya reaksi sa
"Ma-mamah!" ucap Om Heri terbata-bata. BRAKK... Wanita yang ternyata istri dari Om Heri itu menggebrak pintu. Ratih yang terkejut, menyusul keluar. "Siapa, Om?" tanya Ratih. Dia menutupi dirinya dengan selimut hotel dan berjalan keluar. Ratih tak kalah terkejutnya melihat ramainya orang berada di pintu kamarnya. Istri Om Heri memandang Ratih dari ujung kepala sampai kaki. Menatapnya dengan pandangan tajam. "Jadi ini wanita peliharaanmu?" ujarnya pedas. "Mama ngapain ke sini?""Mama? Apa wanita ini istri Om Heri? Tapi, kata Om kemarin dia seorang duda?" Ratih bertanya dalam hati. "Ngapain katamu?" teriak wanita itu. Teriakannya membuat orang-orang keluar dari kamar mereka dan beramai-ramai melihat. "Puas kamu, ya! Sudah main berapa kali dengan wanita ini?" tunjuk nya pada Ratih. "Dasar laki-laki buaya! Perempuan gatal! Kub*n*h kalian!" Istri Om Heri mencoba meraih Ratih, namun dihalangi oleh Om Heri. "Mah, jangan begini dong! Malu dilihat sama orang!" bisik Om Heri. "Apa?
"Tadi itu aku lihat Ratih loh, Mas!""Ratih siapa? Temen kamu?""Ih, bukan! Itu loh, Ratih anaknya Bu Tut.""Terus kenapa kalau kamu lihat dia? Kayak nggak pernah lihat aja sampai heboh begitu!" Sambil berjalan, sesekali Irwan bercanda dengan anaknya. "Tadi itu dia sama seorang laki-laki, Mas! Om-om gitu! Gandengan pula! Mesra banget.""Kamu yakin kalau itu dia? Jangan asal tuduh loh, Yank!""Iya, Mas! Aku yakin! Aku nggak bakalan lupa sama wajah wanita yang sudah mencoba menggoda suami aku.""Kemarin, Bu Tut bilang kalau Ratih itu kerja sebagai asisten bos. Apa iya, ya Mas? Kok, lebih kayak sugar baby gitu?""Sugar baby? Apa itu, Yank?""Itu loh, Mas! Simpanan om-om!""Astaghfirullah! Hush, udah! Kami nggak usah kepo! Dosa tau mencari aib orang!""Astaghfirullah! Maaf, Mas! Habisnya aku kepo!" ujar Rani sambil nyengir meski suaminya tidak melihat karena tertutup masker."Biarkan saja dia! Kamu nggak usah ikut campur. Meski ibu dan dia pernah membuat kita kesal dan pernah memfitnah k
"Ah, iya nih, Bu! Bagus nggak?""Wah, bagus Bu Tut. Kayaknya habis dapat rejeki nomplok nih sampai bisa beli cincin.""Iya, Bu! Saya habis dikasih sama Ratih. Kemarin dia habis gajian dan ngasih saya satu juta. Makanya saya bisa beli cincin sebagus ini," ujar Bu Tut."Beruntung banget ya, Bu Tut. Coba saja anak saya bisa ngasih saya uang banyak kayak gitu.""Iya, Bu! Akhirnya Ratih bisa berbakti juga sama orang tua. Semenjak dia cerai bahkan masih sama suaminya saja, kami orang tuanya yang ngasih makan.""Hah, yang bener, Bu?""Iya! Makanya, waktu si Jono terkena kasus, saya suruh cerai aja sekalian. Punya suami nggak bisa diandelin, buat apa?""Bener, Bu! Zaman sekarang makan cinta mah, nggak bakalan kenyang.""Nah, makanya itu. Laki zaman sekarang pengennya punya istri cantik. Padahal dia sendirinya cuma laki-laki kere. Nggak bisa memenuhi keperluan istrinya. Dia kira makan tampang aja kenyang?""Bener tuh, Bu Tut!""Ya, sudah! Saya pulang dulu ya, Bu-ibu!""Iya, Bu!""Enak ya, Bu T
"Ma-maksud, Om! Melayani apa? Menyediakan makan minum untuk Om, gitu?""Jangan pura-pura nggak tau, Ratih! Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu ngerti apa yang saya maksud!" Om Heri menyesap rok*k yang terjepit di jarinya. "Tapi... Saya..." Ratih seakan ragu. Namun, tak dipungkiri dia sangat tergiur dengan uang itu. "Kalau kamu mau, uang sebesar sepuluh juta yang ada di amplop itu akan menjadi milikmu! Tetapi... Kalau kamu nggak mau, tidak apa-apa! Saya tidak keberatan tapi uang ini saya ambil kembali."Ratih menelan salivanya. Dia bingung dan juga bimbang, antara menerima atau menolak tawaran itu. "Saya tidak akan memberikan tawaran ini dia kali. Dan kalau kamu menolak uang ini, saya rasa kamu akan menjadi orang yang paling rugi." Om Heri mencoba menggoyahkan pertahanan Ratih. "Kamu tau? Sekarang susah untuk mendapatkan pekerjaan mudah dalam waktu yang singkat. Tidak mudah pula mendapatkan uang sebesar ini dalam satu hari. Apa kamu yakin mau menolak tawaran ini?" Lagi, Om Heri semak
"Awas kamu, Rani!" Bu Tut menggerutu setelah mendapatkan vonis hukuman dari Pak RT. "Sialan banget. Ini semua salah kamu, Winda!" ketus Bu Irma. "Loh, kok, Bu Irma nyalahin saya sih?" Winda tentu saja tidak terima dengan tuduhan itu. "Kan, yang ngajakin ke rumah Rani, kalian bertiga, kok, malah salah saya?""Iya! Salah kamu! Seandainya saja kamu memberikan informasi yang benar tidak akan seperti ini kejadiannya," bentak Bu Tut. "Kamu sengaja 'kan? Kamu hanya ingin memanfaatkan kami supaya bisa menuluskan niat jahatmu untuk merebut Irwan dari Rani," cetus Bu Tut. Mata Winda terbelalak karena tebakan Bu Tut memang benar. Namun, dia berusaha mengelak. "Enak saja! Memangnya selama ini saya pernah ngajakin ibu-ibu untuk membenci Rani? Bukannya kebalik? Kan, kalian yang ngajakin saya untuk membenci dia. Saya baru datang lagi kemari, malah kalian yang ngomongin dia yang jelek-jelek.""Tetap saja! Ini semua salah kamu! Kalau saja, kami tidak terhasut oleh omonganmu barusan tidak akan kam
"Aaaakkkhhh!" pekik ke empat orang itu. "Heh...! Kenapa kamu menyiram kami?" pekik Winda. "Apa lagi? Saya menyiram supaya jin dan roh jahat yang melekat di tubuh kalian semua pada kabur!" ketus Rani. "Apa kamu bilang?" Bu Tut dan Winda maju, ingin menjambak Rani, namun segera di tepis oleh Irwan. Dia mendorong Bu Tut yang berada di depan dan menumbruk tubuh Winda yang ada di belakang. "Aakkhh..." pekik Bu Tut, yang terduduk menimpa tubuh Winda. "Auwww!" Winda merintih karena ditindih oleh badan Bu Tut yang dua kali lebih besar darinya. "Hei, kurang ajar ya kamu, Irwan!" teriak Bu Tut. "Mas, kok, kamu malah mendorong kami sih?" Winda berkata manja. "Tolongin, dong!""Cih, buat apa? Kalian memang pantas menerima hal itu.""Kok, kamu jahat gini sih, Mas, sama aku?""Memangnya saya wajib gitu baik sama kamu?" sinisnya. "Pak RT, tolong usir saja mereka ini! Terutama wanita ini! Dia selalu mengganggu istri saya!" tunjuk Irwan kepada Winda. "Sudah! Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Mbak
"Kamu berani mengancam? Apa kamu takut kelakuan busukmu itu terbongkar, ha?""Yang busuk itu bukan kelakuan saya! Tapi, pikiran kalian yang busuk!" cetus Rani. "Sudahlah, Rani! Kamu tidak usah mengelak. Kamu begitu tega mempermainkan Mas Irwan. Sampai hati kamu berbuat begitu. Sudah jelas-jelas kalau kamu selingkuh, bahkan pria ini berani mendatangi rumah kamu," ujarnya seolah prihatin dengan Irwan. "Lihat? Anakmu ini sangat mirip dengan lelaki ini? Ini sudah ada buktinya 'kan?" Winda kembali menimpali. "Dia tidak mirip denganmu atau pun Mas Irwan.""Hahaha...." Rani dan Andra tertawa berbarengan. Membuat Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Winda bingung. "Kamu lihat 'kan, Mas! Dia pasti tak bisa mengelak lagi makanya tertawa. Mas Irwan bisa kok, dapetin yang lebih baik lagi dari Mbak Rani. Masih banyak wanita yang ingin menjadi istri kamu, jadi tidak perlu menutupi kelakuan buruk Mbak Rani.""Termasuk kamu gitu? Yang mau jadi istri Mas Irwan? Kamu 'lah wanita baik itu, begitu 'kan?" cibi