"Dia tetangga baru di gang ini. Bukan tetangga baru juga sih, lebih tepatnya orang lama yang kembali ke kampung halamannya.""Apa kamu tidak pernah melihat orang itu sebelumnya? Kamu 'kan lumayan lama juga waktu itu tinggal di sini sebelum saya datang ke sini.""Emm, kayaknya nggak pernah!" Wanita itu mencoba mengingat apakah dia kenal dengan wanita itu. "Ngomong-ngomong, apakah ada seseorang di sini yang kamu kenal? Sampai membuat kamu datang kemari?""Kenapa? Apa nggak boleh kalau saya berkunjung ke sini lagi?" tanyanya menggoda Rani. "Bukan begitu!" Rani merasa dia salah bicara sebab sudah menanyakan hal itu. "Hahaha...! Nggak usah tegang gitu. Saya ke sini karena mempelai pria itu keluarga saya. Lebih tepatnya keluarga jauh.""Oh, benarkah?" Rani terkejut. "Iya. Itu sebabnya sekarang saya ada di sini.""Em, baiklah! Kalau begitu saya permisi duluan, ya? Mau menemui orang tua si pengantin.""Iya! Hati-hati. Jangan ngelamun kalau wanita itu melakukan hal yang seperti tadi lagi,
Sekarang, Rani mulai menjauh bila Winda mendekat. Apabila mereka berpapasan di jalan, mereka tak lagi saling menyapa. Bahkan Irwan pun tak pernah tersenyum atau melihat ke arah Winda kalau bertemu di jalan. Dia mulai memikirkan cara bagaimana membalas perbuatan Winda. *****"Heh, dasar pelit!" Bu Susi, salah satu bestienya Bu Tut menggerutu. "Eh, Susi! Kamu ngatain saya pelit ya?" sambar Bu Tut. Kebetulan ketiga bestie itu sedang berkumpul, dan sedang berebut makanan."Bu Tut apaan sih? Orang baru datang juga langsung kena marah aja." Bu Susi mencebikkan bibirnya"Kamu itu yang kenapa? Datang-datang ngatain orang pelit.""Bu Tut itu salah paham. Saya bukan ngatain Bu Tut.""Terus kamu ngatain siapa?""Itu...! Tetangga saya. Saya lagi kesel sama dia.""Kesel kenapa?""Masa, dia 'kan punya ayam, setiap hari saya yang ngasih makan. Dari ayamnya masih kecil-kecil sampai sudah besar, eh taunya..." Bu Susi kelihatan sangat geram sekali. "Taunya kenapa? Kok, nggak diterusin?" tanya Bu Ir
"Apa maksud kamu?" Gigi-gigi Bu Susi gemelutuk. Terlihat sekali dia sangat kesal kepada Rita yang menurutnya tidak bisa menghargai dia. "Masa Bu Susi nggak ngerti sama ucapan saya?""Bh Susi 'kan selalu ngerasa kalau yang ngasih makan ayam-ayam kami adalah Bu Susi? Tapi apa kami pernah meminta sama Bu Susi untuk memberi ayam kami makan? Nggak 'kan? Lagian juga nasi sisa yang dikasih. Lebih tepatnya yang Bu Susi kasih ke ayam kami itu sudah seperti sampah.""Jaga mulut kamu, ya! Eh, Tami! Anakmu ini sungguh kurang ajar, ya? Apa kamu tidak pernah mengajarinya bagaimana bersikap sama orang yang lebih tua?" ketus Bu Susi dengan nada yang sangat marah. "Bu Susi jangan seenaknya membentak Ibu saya, ya!" Rita berucap setengah berteriak. Membuat tetangga samping rumah mereka keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi. "Sekarang kamu berani ya, meneriaki saya?""Emang kenapa? Bu Susi duluan yang mulai. Apa Bu Susi pikir kami diam saja mendengar hinaan Ibu yang keterlaluan itu?""Saya cuma
"Wah, parah banget kalau begitu. Aku harus bisa menyadarkan Mas Irwan kalau sampai beneran Rani pakai guna-guna untuk menjerat Mas Irwan," gumamnya. "Tapi... Apa yang harus aku katakan sama Mas Irwan? Orang yang kena guna-guna itu 'kan susah untuk dikasih tau!" pikirnya lagi. Winda berpikir keras bagaimana caranya membuat Irwan bisa lepas dari pengaruh Rani. ***Sementara itu, Yanti yang sudah mulai menutup aurat sedang melihat dan memilih baju dan jilbab yang berlalu lalang di beranda media sosialnya. "Kayaknya jilbab ini lucu deh, bahannya juga bagus dari iklannya. Mana harganya murah lagi." Yanti begitu kepincut dengan jilbab berwarna navy yang dia lihat. Yanti menghubungi akun yang menjual jilbab itu. [ Masih ada, Mbak? ][Masih, Mbak! Mbak mau yang mana?][Yang motif ini, Mbak! ] Yanti meng screenshot foto jilbab yang tadi dia taksir. [Oh, ada, Mbak! Mau warna apa? ][Warna navy seperti di foto ada, Mbak? ][Tunggu saya cek dulu! ] Dua menit kemudian si penjual membalas la
Ting... Ponsel Rani berdering menandakan ada pesan masuk. [ Mbak, yang ini berapa harganya? ]Ternyata ada satu pesan masuk dari Yanti. [ Harganya dua ratus ribu, Mbak!][Nanya dulu, nggak apa-apa 'kan, Mbak? ][Iya.]***Sekarang sudah memasuki bulan ke delapan. Perut Rani semakin kelihatan membesar. Rasa iri Winda semakin besar terhadapa Rani. Pagi ini badan Rani terasa sangat sakit. Mungkin karena sudah memasuki bulan lahiran. "Mas, aku mau ke tukang sayur Kang Parto, ya? Mau beli sayur bentar.""Iya, Sayang hati-hati."Karena kesiangan, mereka bagi tugas. Irwan bertugas membersihkan rumah, sebab ia kasihan melihat Rani yang sudah mulai kepayahan membawa perutnya. Dan Rani yang menyiapkan makanan di dapur. Sesampainya di tempat mangkal Kang sayur, Rani mulai memilah sayur apa yang akan dia masak. Dia berencana ingin memasak capcay dan ayam goreng. Sembari memilih sayur, Rani tak sengaja mendengar pembicaraan orang yang berkumpul di sana. Biasalah ibu-ibu kalau sudah ngumpul
"Bu Tut tau nggak, si Rika anaknya Patmi sudah lahiran?""Oh, ya? Masaa?" ujar Bu Tut sembari mencomot cemilan milik ibu-ibu yang lain. "Iya, bener, Bu!""Bukannya nikahnya baru delapan bulan, ya?" Dengan mulut yang masih mengunyah makanan, Bu Tut melanjutkan gosipnya. "Nah, betulkan? Kok, bisa hamilnya kurang sebulan gitu sudah lahiran aja? Menurut, Bu Tut kenapa?""Apalagi kalau bukan karena hamil duluan!" Mata Bu Tut melotot, mulutnya berhenti mengunyah setelah menyadari apa yang barusan ia katakan. "Hah? Parah banget itu anaknya Patmi. Dibiasain bebas sih orangnya.""Nah, Bu Tut pun berpikir begitu 'kan?""Iya, ya! Mana ada orang hamil cuma delapan bulan sudah lahiran aja. Pasti itu mereka sudah nyoblos duluan sebelum nikah. Pas hamil sebulan, baru deh mereka nikah.""Pantas! Saya juga curiga awalnya kenapa si Patmi nikahin anaknya cepat-cepat, padahal 'kan umurnya baru sembilan belas tahun, rupanya hamil duluan, toh?""Mungkin takut perutnya semakin membesar, jadi sebelum keta
"Maafkan Ibu, Rika!" Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Bu Patmi. "Ibu hanya ingin memastikan kalau anak Ibu tidak seperti yang orang-orang sangkakan. Ibu tidak mengerti apa itu prematur. Ibumu yang bodoh ini tidak mengerti bahasa kedokteran. Ibu ingin memastikan supaya bisa menyangkal ucapan mereka, bahwa anak Ibu adalah perempuan baik-baik," terang Bu Patmi. Suaranya bergetar. Anak gadisnya yang baik dan mandiri ini begitu kecewa dengan pertanyaannya. "Huh..!" Rika menghela nafas pelan menetralkan rasa syoknya. Kemudian perlahan dia mendekati Ibunya dan memeluk orang yang telah melahirkan dan membesarkannya itu. "Maafkan Rika, Bu! Tapi percayalah, Bu! Percaya sama Rika. Demi Allah, Rika nggak pernah melakukan itu sebelum halal. Rika dan Mas Dani selalu menjaga tak ingin melakukannya sebelum kami halal," jelas Rika."Mungkin memang salah kalau Rika berpacaran. Tetapi kami nggak pernah jalan dan ketemuan di tempat-tempat sepi.""Tetapi orang-orang bilang, sering lihat kamu sama sua
Rika ke depan ingin memanggil ibunya. "Ibu ada apa sih, ribut-ribut? Anak aku lagi tidur," bisik Rika di telinga ibunya. Terlihat sekali wajah Bu Patmi kesal. "Eh, Rika! Saya mau nanya sama kamu. Kok, bisa kamu sudah lahiran aja. Kamu nikah 'kan, baru sekitar delapan bulanan?""Saya lahiran prematur, Bu!" Rika berusaha seramah mungkin menjawab. Mengingat Bu Tut seumuran dengan ibunya. Tentu dia harus bersikap sopan bukan? Apalagi sudah mengenal tabiat Bu Tut. Asal sopan saja dulu. "Prematur? Apa itu prematur? Apa itu bahasa zaman sekarang untuk anak yang hamil di luar nikah?" Bu Tut menarik sudut atas bibirnya dengan pandangan meremehkan kepada Bu Patmi dan Rika. Meski sudah mendengar omongan itu dari ibunya, tetap saja Rika yang mendengarnya secara langsung dari mulut Bu Tut sedikit merasa kesal. "Bukan, Bu! Prematur itu bayi yang lahir di umur kehamilan di bawah empat puluh minggu, dan saya mengalami kontraksi saat usia kehamilan saya baru berusia tiga puluh empat minggu," jel
"Kenapa wajah kamu bisa hancur gitu?" Pertanyaan Bu Tut begitu mengintimidasi. Ratih menjadi gugup. "A-anu, Bu... Anu..." Ratih bingung memberikan jawaban. "Anu apa? Kenapa wajah kamu bisa seperti ini?" Melihat luka di wajah Ratih yang sama persis seperti foto pelakor yang ditunjukkan oleh Bu Susi, Bu Tut menjadi yakin kalau wanita itu memang benar anaknya. "A-anu, Bu! Tadi Ratih jatuh waktu di tempat kerja.""Jatuh di mana?""Jatuh dari tangga, Bu!" Ratih tersenyum kikuk. "Kamu naik tangga? Bukannya kamu kerja di perusahaan? Kok, naik tangga? Sekelas mall kecil aja pakai lift, kok, perusahaan tempat kamu bekerja malah nggak ada lift?""Liftnya lagi rusak, Bu! Jadi Ratih pakai tangga."Bu Tut mendekati Ratih dengan pandangan tajam. "Nggak usah bohong kamu! Kamu habis jalan sama om-om 'kan?" Bu Tut langsung berkata ke intinya. "Nggak, kok! Bu! Ratih kerja." Tubuh Ratih sudah mengucur keringat dingin. "Kerja, kerja! Nggak usah bohong kamu! Ibu sudah tau semuanya. Ibu sudah lihat
Bu Susi memperlihatkan video seorang wanita yang digrebek di kamar hotel dan di serang oleh istri sahnya."Sini coba saya lihat!" Bu Tut mengambil ponsel Bu Susi untuk melihat video itu dengan lebih jelas.Awalnya dia biasa saja bahkan ikut geram dan mengumpat sebelum tau bahwa wanita yang jadi pelakor di video itu adalah anaknya."Bagus! Hajar aja! Geram banget sama pelakor dan lakinya ini! Terus, Bu! Jangan kasih ampun!" ujar Bu Tut bersemangat.Bu Susi heran kenapa Bu Tut malah ikutan geram dengan video itu? Bukannya terkejut atau berteriak histeris.Bukan karena hasil videonya yang jelek, tapi Bu Tut tidak mengenali pelakor itu karena wajahnya sudah terdapat luka-luka."Terus! Hajar! Kalau perlu potong aja b*tang suaminya dan kasihin ke binat*ng! Masukin cabe juga ke dalam lub*ng buaya si pelakornya! Dasar bin*t*ng kedua orang itu!" ujarnya mengumpat dengan semangat."Loh, Bu Tut, kok nggak kaget? Malah ikutan mengumpat?" tanya Bu Susi heran."Kenapa kamu heran? Bukannya reaksi sa
"Ma-mamah!" ucap Om Heri terbata-bata. BRAKK... Wanita yang ternyata istri dari Om Heri itu menggebrak pintu. Ratih yang terkejut, menyusul keluar. "Siapa, Om?" tanya Ratih. Dia menutupi dirinya dengan selimut hotel dan berjalan keluar. Ratih tak kalah terkejutnya melihat ramainya orang berada di pintu kamarnya. Istri Om Heri memandang Ratih dari ujung kepala sampai kaki. Menatapnya dengan pandangan tajam. "Jadi ini wanita peliharaanmu?" ujarnya pedas. "Mama ngapain ke sini?""Mama? Apa wanita ini istri Om Heri? Tapi, kata Om kemarin dia seorang duda?" Ratih bertanya dalam hati. "Ngapain katamu?" teriak wanita itu. Teriakannya membuat orang-orang keluar dari kamar mereka dan beramai-ramai melihat. "Puas kamu, ya! Sudah main berapa kali dengan wanita ini?" tunjuk nya pada Ratih. "Dasar laki-laki buaya! Perempuan gatal! Kub*n*h kalian!" Istri Om Heri mencoba meraih Ratih, namun dihalangi oleh Om Heri. "Mah, jangan begini dong! Malu dilihat sama orang!" bisik Om Heri. "Apa?
"Tadi itu aku lihat Ratih loh, Mas!""Ratih siapa? Temen kamu?""Ih, bukan! Itu loh, Ratih anaknya Bu Tut.""Terus kenapa kalau kamu lihat dia? Kayak nggak pernah lihat aja sampai heboh begitu!" Sambil berjalan, sesekali Irwan bercanda dengan anaknya. "Tadi itu dia sama seorang laki-laki, Mas! Om-om gitu! Gandengan pula! Mesra banget.""Kamu yakin kalau itu dia? Jangan asal tuduh loh, Yank!""Iya, Mas! Aku yakin! Aku nggak bakalan lupa sama wajah wanita yang sudah mencoba menggoda suami aku.""Kemarin, Bu Tut bilang kalau Ratih itu kerja sebagai asisten bos. Apa iya, ya Mas? Kok, lebih kayak sugar baby gitu?""Sugar baby? Apa itu, Yank?""Itu loh, Mas! Simpanan om-om!""Astaghfirullah! Hush, udah! Kami nggak usah kepo! Dosa tau mencari aib orang!""Astaghfirullah! Maaf, Mas! Habisnya aku kepo!" ujar Rani sambil nyengir meski suaminya tidak melihat karena tertutup masker."Biarkan saja dia! Kamu nggak usah ikut campur. Meski ibu dan dia pernah membuat kita kesal dan pernah memfitnah k
"Ah, iya nih, Bu! Bagus nggak?""Wah, bagus Bu Tut. Kayaknya habis dapat rejeki nomplok nih sampai bisa beli cincin.""Iya, Bu! Saya habis dikasih sama Ratih. Kemarin dia habis gajian dan ngasih saya satu juta. Makanya saya bisa beli cincin sebagus ini," ujar Bu Tut."Beruntung banget ya, Bu Tut. Coba saja anak saya bisa ngasih saya uang banyak kayak gitu.""Iya, Bu! Akhirnya Ratih bisa berbakti juga sama orang tua. Semenjak dia cerai bahkan masih sama suaminya saja, kami orang tuanya yang ngasih makan.""Hah, yang bener, Bu?""Iya! Makanya, waktu si Jono terkena kasus, saya suruh cerai aja sekalian. Punya suami nggak bisa diandelin, buat apa?""Bener, Bu! Zaman sekarang makan cinta mah, nggak bakalan kenyang.""Nah, makanya itu. Laki zaman sekarang pengennya punya istri cantik. Padahal dia sendirinya cuma laki-laki kere. Nggak bisa memenuhi keperluan istrinya. Dia kira makan tampang aja kenyang?""Bener tuh, Bu Tut!""Ya, sudah! Saya pulang dulu ya, Bu-ibu!""Iya, Bu!""Enak ya, Bu T
"Ma-maksud, Om! Melayani apa? Menyediakan makan minum untuk Om, gitu?""Jangan pura-pura nggak tau, Ratih! Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu ngerti apa yang saya maksud!" Om Heri menyesap rok*k yang terjepit di jarinya. "Tapi... Saya..." Ratih seakan ragu. Namun, tak dipungkiri dia sangat tergiur dengan uang itu. "Kalau kamu mau, uang sebesar sepuluh juta yang ada di amplop itu akan menjadi milikmu! Tetapi... Kalau kamu nggak mau, tidak apa-apa! Saya tidak keberatan tapi uang ini saya ambil kembali."Ratih menelan salivanya. Dia bingung dan juga bimbang, antara menerima atau menolak tawaran itu. "Saya tidak akan memberikan tawaran ini dia kali. Dan kalau kamu menolak uang ini, saya rasa kamu akan menjadi orang yang paling rugi." Om Heri mencoba menggoyahkan pertahanan Ratih. "Kamu tau? Sekarang susah untuk mendapatkan pekerjaan mudah dalam waktu yang singkat. Tidak mudah pula mendapatkan uang sebesar ini dalam satu hari. Apa kamu yakin mau menolak tawaran ini?" Lagi, Om Heri semak
"Awas kamu, Rani!" Bu Tut menggerutu setelah mendapatkan vonis hukuman dari Pak RT. "Sialan banget. Ini semua salah kamu, Winda!" ketus Bu Irma. "Loh, kok, Bu Irma nyalahin saya sih?" Winda tentu saja tidak terima dengan tuduhan itu. "Kan, yang ngajakin ke rumah Rani, kalian bertiga, kok, malah salah saya?""Iya! Salah kamu! Seandainya saja kamu memberikan informasi yang benar tidak akan seperti ini kejadiannya," bentak Bu Tut. "Kamu sengaja 'kan? Kamu hanya ingin memanfaatkan kami supaya bisa menuluskan niat jahatmu untuk merebut Irwan dari Rani," cetus Bu Tut. Mata Winda terbelalak karena tebakan Bu Tut memang benar. Namun, dia berusaha mengelak. "Enak saja! Memangnya selama ini saya pernah ngajakin ibu-ibu untuk membenci Rani? Bukannya kebalik? Kan, kalian yang ngajakin saya untuk membenci dia. Saya baru datang lagi kemari, malah kalian yang ngomongin dia yang jelek-jelek.""Tetap saja! Ini semua salah kamu! Kalau saja, kami tidak terhasut oleh omonganmu barusan tidak akan kam
"Aaaakkkhhh!" pekik ke empat orang itu. "Heh...! Kenapa kamu menyiram kami?" pekik Winda. "Apa lagi? Saya menyiram supaya jin dan roh jahat yang melekat di tubuh kalian semua pada kabur!" ketus Rani. "Apa kamu bilang?" Bu Tut dan Winda maju, ingin menjambak Rani, namun segera di tepis oleh Irwan. Dia mendorong Bu Tut yang berada di depan dan menumbruk tubuh Winda yang ada di belakang. "Aakkhh..." pekik Bu Tut, yang terduduk menimpa tubuh Winda. "Auwww!" Winda merintih karena ditindih oleh badan Bu Tut yang dua kali lebih besar darinya. "Hei, kurang ajar ya kamu, Irwan!" teriak Bu Tut. "Mas, kok, kamu malah mendorong kami sih?" Winda berkata manja. "Tolongin, dong!""Cih, buat apa? Kalian memang pantas menerima hal itu.""Kok, kamu jahat gini sih, Mas, sama aku?""Memangnya saya wajib gitu baik sama kamu?" sinisnya. "Pak RT, tolong usir saja mereka ini! Terutama wanita ini! Dia selalu mengganggu istri saya!" tunjuk Irwan kepada Winda. "Sudah! Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Mbak
"Kamu berani mengancam? Apa kamu takut kelakuan busukmu itu terbongkar, ha?""Yang busuk itu bukan kelakuan saya! Tapi, pikiran kalian yang busuk!" cetus Rani. "Sudahlah, Rani! Kamu tidak usah mengelak. Kamu begitu tega mempermainkan Mas Irwan. Sampai hati kamu berbuat begitu. Sudah jelas-jelas kalau kamu selingkuh, bahkan pria ini berani mendatangi rumah kamu," ujarnya seolah prihatin dengan Irwan. "Lihat? Anakmu ini sangat mirip dengan lelaki ini? Ini sudah ada buktinya 'kan?" Winda kembali menimpali. "Dia tidak mirip denganmu atau pun Mas Irwan.""Hahaha...." Rani dan Andra tertawa berbarengan. Membuat Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Winda bingung. "Kamu lihat 'kan, Mas! Dia pasti tak bisa mengelak lagi makanya tertawa. Mas Irwan bisa kok, dapetin yang lebih baik lagi dari Mbak Rani. Masih banyak wanita yang ingin menjadi istri kamu, jadi tidak perlu menutupi kelakuan buruk Mbak Rani.""Termasuk kamu gitu? Yang mau jadi istri Mas Irwan? Kamu 'lah wanita baik itu, begitu 'kan?" cibi