"Bakar aja, bakar aja!" teriak seorang pria bersarung dan berkaos oblong, di tangannya terdapat sebuah balok kayu sebesar kepalan tangan, seakan tak puas setelah menghajar tubuh ringkih lelaki yang dianggap maling itu.
"Biar mampus sekalian! Sampah masyarakat memang pantas mati." Seorang lelaki bertubuh tambun menyahuti perkataan lelaki bersarung. Ia juga berhasil menjejakkan kakinya di kepala lelaki yang sudah berlumuran darah, karena dipukuli bertubi-tubi tiada henti.
"Woi, jangan main hakim sendiri! Kita serahkan saja pada yang berwajib," teriak seorang pria berpakaian petugas keamanan menyeruak kerumunan, ia membawa pentungan untuk menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalannya.
Tapi suaranya tenggelam dalam teriakan kemarahan, tak ada yang menghiraukannya, ia kalah jumlah, ia hanya sendirian sedangkan massa yang ngamuk berjumlah puluhan orang.
Beberapa orang berharap-harap cemas, menunggu polisi yang tak kunjung tiba, sedangkan suasana semakin genting, lelaki itu hampir mati, kehabisan darah.
Pukulan demi pukulan masih menghantam tubuh pria kurus yang dituduh mencuri sepeda itu, usianya ditaksir berkisar awal empat puluhan. Tapi wajahnya terlihat tua, dengan uban yang memenuhi hampir setengah kepalanya. Kulit yang legam tak terawat, akibat terjemur matahari setiap harinya, ia terlihat lusuh, walau menyisakan sedikit ketampanan di masa mudanya dulu.
Darah segar mengalir deras dari pelipisnya, membasahi mata yang sorotnya sudah redup karena putus asa, darah itu menetes, menyatu dengan butiran bening yang terus saja keluar dari kelopak matanya yang membengkak dan berwarna biru, kepalanya bocor kena pukulan balok, giginya rontok dan bibirnya sobek. Menyisakan rasa sakit yang tak terperi.
Ulu hatinya terasa berdenyut, rasa mual membuncah, muntah berhamburan dari perutnya yang terasa melilit, lambungnya seakan pecah, karena bogem mentah yang bertubi-tubi mendarat di tubuh yang sudah melemah.
Sudah berpuluh kali ia memohon dan meminta belas kasihan, namun orang-orang yang sudah merasa menjadi 'Tuhan' itu tak mempedulikannya, mereka merasa pantas menghakimi lelaki yang menurut mereka seorang pendosa itu.
"Saya bersumpah! Saya tidak mencuri, tolong ampuni saya, tolong jangan bunuh saya ..." tangisnya menyayat hati, ia sudah pasrah jika pada akhirnya ia harus mati berkalang tanah.
"Tolong, Pak, Mas, kasihan anak istri saya yang sedang menunggu di rumah. Istri saya sakit, butuh obat." Usaha terakhir kalinya yang ia lakukan, pria itu memohon, kepalanya sampai bersujud meminta pengampunan.
Namun, jangankan merasa iba. Orang-orang itu malah semakin beringas memukuli orang yang tak bersalah, yang diam pasrah tanpa bisa melawan. Kakinya sudah tak mampu menopang tubuhnya yang sudah sangat lemah. Kepalanya berkunang-kunang, yang akhirnya ambruk menimpa bumi.
"Alaaahh ... mana ada maling ngaku!"
"Kelamaan! bakar aja langsung ...."
"Bakar, bakar, bakar!"
"Ya Allah, bapak-bapak tolong hentikan! jangan main hakim sendiri," kata seorang ibu pemilik toko kelontong yang sedari tadi melihat kejadian itu mencoba melerai. Tapi tak ada satupun yang menghiraukannya.
"Ayo bubar, bubar!" Akhirnya satpam yang kini sudah memanggil kedua temannya itu kembali melerai, dengan gigih mereka mencoba menghalangi tindakan anarkis sejumlah oknum yang bersumbu pendek, yang tak berpikir akan akibat yang telah mereka buat dan merugikan orang lain.
Tapi, seseorang menyiramkan bensin ke tubuh lelaki yang belakangan diketahui bernama Rusmin itu, seorang lagi melempar ban karet bekas ke arahnya. Seperti kilatan petir, kejadian itu begitu cepat, entah siapa yang menyulut bensin dengan korek, hingga api dengan begitu cepat melahap benda yang ada di depannya.
Lidah api yang membara itu menjulur menyambar tubuh Rusmin yang tak berdaya, karena ia sudah kehilangan setengah nyawanya.
Jerit tangis dari para wanita yang menyaksikan tragedi yang sangat mengerikan itu menggema. Semua terpaku, tercekat dalam diam. Kengerian menghiasi wajah-wajah pucat yang dilanda rasa bersalah. Nasi sudah menjadi bubur, api sudah terlanjur melahap tubuh Rusmin.
Tak ada yang berusaha memadamkan api, semua orang merasa takut, waktu seperti ter-pause, bumi berhenti pada porosnya, angin tak lagi berhembus, mereka berduka akan kekejaman yang terjadi.
Satu nyawa anak Adam melayang, oleh tangan-tangan durjana, jika alam menangis pilu, karena tumpahnya darah manusia. Tidak dengan iblis, mereka bertepuk tangan dengan riuh, terbahak penuh kemenangan.
"Benarkan, manusia itu tak pantas menjadi khalifah? Yang dikhawatirkan malaikat terbukti benar, kalau mahluk keturunan Adam itu suka menumpahkan darah." Mungkin setan akan berkata seperti itu, mereka berpesta pora melihat pertumpahan darah diantara sesama manusia. Sehingga mereka berhasil mengumpulkan sebanyak mungkin manusia sesat yang akan membersamainya dalam panasnya api neraka.
Dalam waktu singkat, tubuh Rusmin sudah menghitam, hangus. Tubuhnya berhenti menggelepar, tubuhnya tak bergerak, ia telah meregang nyawa. Kini tubuh anak Adam itu terbujur kaku. Bau hangus daging yang terbakar menyeruak merasuki penciuman.
Asap pekat membumbung tinggi, masa yang sedang diamuk murka itu telah menjadi pembunuh. Sirine mobil polisi meraung-raung memecah suara tangis dan teriakan ngeri, sebagian dari mereka pergi, lari tunggang langgang, mencoba bersembunyi dan berlari dari amukan rasa bersalah dan penyesalan. Berlari dari hukum dan tanggung jawab.
Langit mendadak kelabu, awan kumulo nimbus bergulung menutupi cahaya matahari, kilat dan petir bersahutan membuat ciut nyali manusia-manusia perampas kehidupan Rusmin, perampas kebahagian anak dan istrinya yang harap-harap cemas menunggu sang kepala keluarga kembali.
Hujan deras ditumpahkan Tuhan dari bejana-bejana langit, butirannya menyapu debu dan kotoran, tapi tak mampu menyapu manusia-manusia berhati kotor yang terus dengan angkaranya membuat kerusakan dimuka bumi. Rusmin tak bersalah, alam pun mengetahuinya, burung gereja yang bertengger di dahan pohon mangga, tahu persis kejadian sebenarnya.
Rusmin hanya mengagumi sepeda itu, menyentuhnya dan berandai-andai bisa membelikannya satu saja untuk putrinya.
Masih terngiang di lubang telinganya, suara putrinya yang merengek meminta sepeda, agar bisa berangkat sekolah tak berjalan kaki lagi. Rusmin paham keinginan putrinya yang ingin memiliki sepeda seperti teman-temannya.
Namun sang empunya yang sedang membeli nasi di sebuah warteg, salah paham. Ia pikir Rusmin ingin mencuri sepeda anaknya, tak ayal ia meneriaki Rusmin sebagai pencuri.
Orang-orang yang sedang makan di warteg bu Cici berhamburan keluar, para pengemudi ojek ikut berlari menuju warung, pejalan kaki berhenti, puluhan pasang mata bertanya-tanya, apa yang terjadi? Yang sudah mengerti duduk persoalannya menatap tajam ke arah Rusmin.
Lelaki beranak tiga itu mematung. Hatinya menyuruhnya segera kabur, tanpa pikir panjang, secepat mungkin ia berlari. Nahas, tangannya masih memegangi sepeda, tanpa ia sadari ia membawa lari sepeda itu, yang membuat semua orang yakin, jika Rusmin berniat mencuri.
Rusmin panik, ia lari pontang-panting menuju kantor pos satpam di sudut pasar. Hatinya merapal do'a, agar ada seseorang yang menolongnya keluar terbebas dari kesalahpahaman ini.
Sayangnya, sebelum ia mencapai pos satpam, masa keburu meraihnya. Tanpa ampun mereka menghujaninya dengan pukulan. Hantaman yang bertubi-tubi membuat Rusmin terkapar dan tersungkur tak berdaya. Begitulah yang sebenarnya terjadi.
Hujan seakan tahu, ia diutus untuk menyejukkan bumi, juga memadamkan api. Langit menangis pilu melihat jasad Rusmin, air matanya mengalir membasahi jasad hitam yang kaku. Bumi pun seakan mengerti kesedihan langit, air yang deras tercurah meresap ke dalam tubuhnya, membawa masuk kegetiran dan darah yang masih mengalir dari tubuh yang terbakar itu.
Pergilah, Rusmin ... kelak para pembunuh itu akan menemuimu untuk memohon ampun. Mereka akan terjerat penderitaan selama hidupnya, karena hukuman terbesar bagi seorang manusia adalah penyesalan, seandainya waktu bisa terulang atau waktu bisa dikembalikan, mereka tak akan mampu melakukan perbuatan keji seperti ini, dan jika hati nurani mereka masih hidup, maka kematian Rusmin yang mengerikan tidak akan pernah terjadi.
*****
Hujan yang sama, turun di sebuah perkampungan kumuh di pinggiran kota, di sebuah rumah berdinding triplek dan beralas semen yang terletak di ujung gang. Tiga orang gadis remaja, sibuk menadahi air yang mengalir dari celah-celah seng yang bolong di mana-mana.Sang ibu yang terbaring lemah, mengerang menahan sakit karena tumor di rahimnya. Disamping menahan sakit, perutnya pun keroncongan menahan lapar, suami yang pergi mencari nafkah tak kunjung kembali. Padahal suaminya berjanji akan membawakannya obat."Bu, bapak kok, belum pulang? Anisa lapar," keluh gadis berusia dua belas tahun itu, sambil memegangi perutnya."Sabar Nisa, biar Kakak lihat ke dapur dulu, semoga ada makanan." Laila sulung di rumah itu mencoba menenangkan, usianya delapan belas tahun, tapi cara berpikirnya melampaui usianya, ia dipaksa untuk berpikir dewasa, kesulitan menempanya menjadi pribadi yang tangguh.Laila segera beranjak me
Paginya kampung Cibodas geger, berita pembakaran Rusmin menyebar begitu cepat, bagai kapas yang berhamburan, diterbangkan angin ke seluruh penjuru kampung. Kasak-kusuk diantara warga terjadi di setiap tempat, di warung kopi, pangkalan ojek, tukang sayur, dimana-mana membicarakan Rusmin. "Gak nyangka, orang yang kukira paling baik di kampung ini, ternyata seorang maling." Bi Warsih yang sedang memilah-milah sayuran mengawali gosip pagi ini. "Gak heran, Bi, orang yang rajin shalat, rajin ibadah ke masjid, bisa saja berbuat nekad, kalau sudah terpepet ekonomi, malaikat pun bisa berubah menjadi setan," timpal Astri. "Gak usah ngadi-ngadi lah, kalian ini gak tahu pasti kebenarannya, bisa saja itu fitnah." Mak Yati, yang terkanal galak di kampung Cibodas berusaha membungkam biang gosip itu. "Faktanya gitu ko, Mak! pokoknya ya, aku gak sudi, mayat maling itu di makamkan di kam
"Pengumuman, pengumuman, teman-teman! Jaga barang-barang kalian! Anak maling sudah berkeliaran," teriak Soraya anak Dirman.Laila beserta kedua adiknya sedang berjalan menuju masjid, untuk mengikuti sekolah diniyah, langkahnya terhenti, mendengar teriakan Soraya yang menyindirnya. Tangannya mengepal, tubuhnya gemetar diiringi gemeletuk gigi yang beradu, karena menahan amarah.Soraya sepupunya, masih ada pertalian darah dengannya, tega-teganya mengatai mereka dengan perkataan yang menyakitkan."Jangan begitu Soraya, mereka 'kan saudara kamu. Ini masjid, lho! Laila dan adik-adiknya datang ke sini mau mengaji." Puput, teman ngaji Laila, mencoba menegur Soraya."Aku cuma mengingatkan, lho, Put. Siapa tahu barang-barang kalian hilang," jawab Soraya acuh, ia melenggang masuk ke dalam kelas.Laila tak menghiraukan Soraya, namun kedua adiknya tak bisa menyembunyikan kesedihan, kedua mata
Tengah malam, saat manusia sedang terlelap dalam buaian mimpi, samar-samar dalam keremangan, Laila melihat ibunya sedang terduduk.Ibu yang telah melahirkan dan merawatnya itu seperti tengah menangis. Suaranya lirih, dengan rintihan yang menyayat hatinya."Ya Allah, sakit sekali perut ini. Aku bukan nabi Ayyub, yang mampu bersabar menahan derita sakit selama puluhan tahun, aku hanya wanita lemah yang tak tahan akan cobaan ini, jika kematian lebih baik bagiku aku ikhlas ya Allah, aku ridha," isak Narti tertahan.Ia menangis menikmati sakitnya dalam kesendirian. Lima tahun, tak pernah sedikitpun terdengar keluhan dari lisannya, tapi malam ini, ia sepertinya tak tahan lagi. Seseorang yang selalu menguatkannya, yang selalu menghiburnya, pergi mendahuluinya. Meninggalkan ia sendirian dalam kesakitan dan keputusasaan."Bang, seharusnya aku yang mati, bukan kamu. Kenapa harus kamu, bang? Aku tak sanggup mel
Akhirnya panggilan wawancara pun datang, setelah puluhan lamaran Laila kirimkan ke pabrik-pabrik dan kantor-kantor di pusat kota provinsi yang jaraknya sekitar 100 kilometer dari kampung tempat tinggalnya."Bu, Alhamdulillah ... Laila mendapat panggilan wawancara. Ibu tak apa, Laila tinggalkan bersama Rosma dan Nisa, di rumah?" tanya Laila suatu malam."Pergilah, Nak. Ma'afkan Ibu, jika kondisi ini malah membuat kamu harus memikul tanggung jawab yang berat. Seharusnya Ibu yang bekerja dan mengurus kalian dan kamu tetap kuliah," jawab Narti, ia merasa bersalah karena sudah menjadi beban Laila, anak kemarin sore yang harusnya melanjutkan pendidikan dan memikirkan masa depannya.Laila menggeleng, ia tak merasa dibebani, ia bahagia masih bisa berguna untuk keluarganya. Ia akan melakukan apa pun, demi kebahagiaan keluarga kecil mereka.Laila sedikit merasa lega, karena kondisi kesehatan ibunya membaik. Na
Cahaya mentari berpendar menghangatkan mayapada, menembus celah-celah dedaunan, memaksa burung yang terlelap, agar segera berkicau. Menyanyikan sebuah kidung tentang perjuangan. Menghibur seorang gadis untuk mengais rezeki.Pukul enam tiga puluh, Laila sudah berada di tempat kerjanya, dia terus berdo'a agar hari pertamanya bekerja, berjalan lancar.Gedung tempatnya bekerja, terlihat megah. Laila berdecak kagum memandangi bangunan yang berbentuk persegi panjang berwarna biru.Laila bertemu dengan team leader-nya, seorang laki-laki sedikit tambun berusia sekitar 25-an, ia memberikan pengarahan pada sekitar tiga puluh cleaner. Sebagai anggota baru Laila mendapat penjelasan dari pria bernama Teguh itu. Teguh, dengan percaya dirinya menjelaskan job desk yang tak jauh dari dusting (ngelap), glasscleaning (bersihin kaca), sweeping (nyapu) dan moping (ngepel) pada Laila .Laila mendapat tug
Peristiwa terpelesetnya Arsen menjadi buah bibir para karyawan, ada beberapa pasang mata yang menyaksikan bagaimana Arsen terpeleset. Wajah mereka memerah karena menahan tawa. Bahkan ada yang lari cekikikan ke kamar mandi.Arsen terkenal sebagai sosok yang dingin dan kejam, tak segan ia menghukum atau memecat karyawan yang membuatnya murka.Sebagian ada yang bersorak gembira melihat bos sombong dan menyebalkan itu mendapat karma, akibat sering membentak dan memecat anak buahnya sesuka hatinya.Sebagian ada yang berterima kasih pada Laila, karena sudah membuat orang nomer satu di kantor mereka itu malu.Teguh bukannya menegur Laila, ia malah berniat mentraktirnya dengan semangkuk bakso.Bukan tanpa alasan kenapa Teguh melakukan hal itu, dulu saat ia pertama kali bekerja menjadi cleaning service, ia pernah sakit hati oleh Arsen, ia dihukum mengepel lima lantai gedung ini sendirian.
Puluhan hari sudah terlewati, waktu berlalu menyisakan rindu, betapa keindahan dunia fana ini menyilaukan mata, tak ingin para pecintanya meninggalkan kesenangan ini.Apakah begitu kiranya? Tak merasakan berlalunya hari dan waktu, karena terlalu menikmati hidup di atas bumi ini. Dunia semakin tua. Perputaran waktu semakin cepat. Perasaan masih pagi, tahunya sudah malam. Begitu pula sebaliknya.Namun tidak bagi Laila, ia merasa waktu hanya berjalan seperti jarum pendek pada jam dinding di dalam kosannya, atau seperti lansia yang sedang meniti anak tangga, lambat!Itu tak lain, karena ia memendam rindu. Serasa ingin segera merengkuh wanita yang sudah melahirkannya, ingin bersimpuh di pangkuannya, ingin dibelai, ingin dipeluk karena sentuhannya adalah kekuatan. Sosok wajah sendu, bersahaja dan penuh kerutan itu tak lekang dari ingatannya. Ia sungguh merindu.Laila patut bersyukur bisa berhasil melalui h
BAB 67"Mas, kenapa harus ada resepsi lagi, sih?" tanya Laila, karena malam nanti akan ada acara resepsi pernikahan mereka."Ini acara khusus untuk rekan bisnis kita sayang ... karyawan juga, kan harus tahu kalau aku udah nikah, udah punya istri, ntar kalau pada ngira aku masih singel gimana?” goda Arsen."Ih ... Mas, jangan buat aku takut napa?""Takut ya, kalau suamimu yang ganteng ini di godain cewek-cewek yang ...""Maaaass ..." Laila mengejar Arsen dan mencubit pinggangnya.Arsen manarik tubuh Laila ke dalam pelukannya."Hidup yang akan kita hadapi nanti tak akan mudah, sayang ... kamu harus kuat dan tangguh. Aku hanya minta satu hal sama kamu, apapun yang terjadi kamu harus percaya sama aku, tetaplah di sisiku, jangan hiraukan apa kata orang ..." ucap Arsen, ia memeluk Laila begitu erat, seperti tak ingin melepasnya.&n
Kaki milik gadis cantik itu melangkah menapaki setapak demi setapak lantai bandara internasional Soekarno Hatta, setahun yang lalu dirinya berada di sini. Kini ia kembali lagi, dengan membawa seseorang yang istimewa yang kelak akan menghiasi hari-hari indahnya.Udara pengap Jakarta kembali menguar menusuk penciuman, mengucurkan keringat yang membuat tubuhnya tak nyaman. Jakarta penuh sesak dengan para urban, mereka berbondong-bondong mencoba mancari peruntungan di kota Metropolitan ini, mulai dari penjual jalanan hingga buruh, musisi jalanan atau pengamen, tak sedikit yang menjadi pengemis. Beruntung bagi yang memiliki keahlian, ada yang menjadi montir, pekerja kantoran bahkan tak sedikit yang menjadi pesohor.Jalanan Jakarta seperti biasa, sangat macet. Apalagi di jam-jam pulang kantor seperti sore ini, klakson dari kendaraan angkot memekakkan telinga, kesabaran para pengendara dan pengemudi sangat diuji dalam situasi seperti ini.&n
Jum'at adalah 'Sayyidul Ayyam' atau penghulunya hari-hari, pada hari ini banyak terjadi peristiwa besar, diantaranya seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Jum'at adalah sebaik-baik hari kala mentari terbit. Nabi Adam diciptakan pada hari Jum'at. Demikian pula ketika dimasukkan dan dikeluarkan dari surga. Dan tidak akan terjadi hari kiamat, kecuali pada hari Jum'at.Waktu mustajab dikabulkannya do'a, apabila seorang muslim berdo'a pada hari Jum'at, maka atas kehendak Allah, akan dikabulkan.Amal ibadah akan dilipatgandakan pahalanya pada hari Jum'at. Betapa istimewanya hari ini, hingga Arsen dan Laila sepakat menikah pada hari Jum'at.Masjid Al-Hidayah, masjid yang menjadi saksi menyatunya dua hati dalam ikatan yang agung. Sebuah ikatan yang di sebut 'Mistaqon Ghalidza' perjanjian agung.Mengapa Allah menamakan pernikahan dengan sebutan perjanjian agung? Karena mengandung konsekuensi yang
Oktober. Balai pertemuan milik provinsi Jawa Barat di kawasan Distrik sepuluh, Laila masih ingat, pertama kalinya ia bertemu dengan Abizar, bahkan dirinya belum genap satu bulan, berada di Cairo.Kala itu ... Laila berkenalan dengan Zahra, seorang ibu beranak satu yang melanjutkan kuliah magister-nya di Cairo university. Sedangkan dirinya di Al-Azhar university. Mereka bertemu dalam forum kajian ilmiah yang pembicaranya membuat Laila terkejut setengah mati, rasanya seperti terkena ratusan sengatan lebah yang menyakitkan hatinya. Dia Abizar Al-Ghifari.Satu lagi kejutan, yang sukses membuatnya mematung kaku, ternyata Zahra adalah istrinya.Bukan. bukan karena ... ia masih menyimpan cinta di hatinya, ia lebih tak menyangka saja, takdir mempertemukan mereka berada di negeri yang sama. Laila pikir Abizar sudah kembali ke Indonesia, karena gelar dokter sudah disandangnya, tapi ternyata ... ia memilih lebih lama lagi tinggal d
Januari, bulan bersejarah bagi kedua insan yang bersabar, menahan cinta dalam diam, melangitkan do'a dalam munajat panjang di sepertiga malam, menggantungkan asa dan harap di langit penantian.Cinta itu berlabuh dalam muara penantian yang panjang, membawa kehangatan di musim dingin yang suhunya mencapai sepuluh derajat celsius.Angin laut Mediterania berhembus, meniup syal rajut yang melilit leher berlapis kerudung biru milik Alfu Laila Walaila, ia berjalan sepanjang corniche lalu berhenti di depan benteng Qaitbay. Seperti ada suara yang menariknya untuk melihat para pemancing di sepanjang benteng.Ia berjalan dengan Kamila, sahabatnya yang berasal dari negeri gajah, Pattani, Thailand. Kamila tinggal di Alexandria dan kuliah di kampus putri Al-Azhar cabang Alexandria.Perkenalan mereka berawal saat Kamila berkunjung ke Cairo, Kamila bersama temannya mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari penduduk
Alexandria, tempat dimana Arsen menetap. Ia menyewa sebuah apartemen yang cukup sederhana bagi orang kaya raya sepertinya. Ia tak sendirian, ada dua orang mahasiswa Al-Azhar yang sedang liburan musim panas bersamanya.Di sana, Arsen belajar di sebuah markaz littahfidz Al-Qur'an wa Al-qira’at, atau lembaga yang khusus mengajarkan Al-Qur'an dan ilmu qira’at, pemiliknya adalah seorang Syeikh Al Azhar yang pakar dalam bidang Al-Qur'an."Mas Tara, jadi ke Cairo, gak?" tanya Miftah, seorang mahasiswa tingkat tiga fakultas Ushuluddin di Al-Azhar cabang Zagazig. Sebuah provinsi di Mesir.Arsen Guntara, ia tak ingin ada orang yang mengenalinya, bahkan ia berdo'a agar selama di Mesir tidak dipertemukan dengan Abizar dan istrinya. Dirinya mengenalkan namanya pada orang lain dengan nama Tara, nama kecilnya. Penampilannya ia rubah seratus delapan puluh derajat, celana water flood di atas mata kaki, baju koko atau kemeja d
Keyakinan. Itu yang Laila miliki, mimpinya kini menjadi kenyataan. Kakinya akan menjejakkan langkah di bumi Nabi Musa alaihi salam. Hatinya membuncah menggelorakan haru, kristal bening berdesakan di pelupuk mata, lalu berjatuhan di pipinya. Sebuah tangisan kebahagiaan.Nasi bungkus yang ia jual, mampu menghantarkannya meraih impian, ia dapat menyelesaikan kuliahnya dengan keringat dan air mata, hanya dalam jangka tiga tahun, dengan nilai sangat sempurna, summa cumlaude.Ustadz Amir pernah mengatakan, "Tanamlah padi, rumput pun akan ikut tumbuh di sela-selanya. Tapi jika rumput yang kamu tanam, maka mustahil, padi akan ikut tumbuh di antara rerumputan itu." Pepatah ajaib yang sangat melekat dalam ingatan Laila. Terbukti apa yang dikatakan ustadz Amir benar adanya.Jika di dunia ini yang kita tanam, adalah kebaikan dan urusan akhirat, maka urusan duniawi akan mengikuti.Namun sebaliknya, jika selama hi
Jum'at adalah 'Sayyidul Ayyam' atau penghulunya hari-hari, pada hari ini banyak terjadi peristiwa besar, diantaranya seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Jum'at adalah sebaik-baik hari kala mentari terbit. Nabi Adam diciptakan pada hari Jum'at. Demikian pula ketika dimasukkan dan dikeluarkan dari surga. Dan tidak akan terjadi hari kiamat, kecuali pada hari Jum'at. Waktu mustajab dikabulkannya do'a, apabila seorang muslim berdo'a pada hari Jum'at, maka atas kehendak Allah, akan dikabulkan. Amal ibadah akan dilipatgandakan pahalanya pada hari Jum'at. Betapa istimewanya hari ini, hingga Arsen dan Laila sepakat menikah pada hari Jum'at. Masjid Al-Hidayah, masjid yang menjadi saksi menyatunya dua hati dalam ikatan yang agung. Sebuah ikatan yang di sebut 'Mistaqon Ghalidza' perjanjian agung. Mengapa Allah menamakan pernikahan dengan sebutan perjanjian agung? Karena mengandung konsekuensi yang berat di dalamnya, ada kewajiban dan hak yang harus ditunaikan. Kata 'mitsaqan gh
Dunia ini penuh keindahan, gemerlap kenikmatan dijanjikan tersaji dalam balutan nafsu dan syahwat. Sebagian manusia terlena dan jatuh melesak dalam tipu dayanya.Terkadang lupa, jika masa kejayaan tak pernah ada yang abadi, dunia ini pun fana. Kesombongan, kezaliman, kelicikan, harta yang berlimpah, jasad yang sehat dan prima, wajah yang rupawan, isi kepala yang cemerlang semuanya akan berganti dan sirna.Tubuh yang dulu sehat, bisa jadi kini terbaring lemah dan sakit, wajah yang rupawan, tubuh yang perkasa kini keriput dan layu dimakan usia. Dulu, kejayaan membuat anak Adam merasa pongah dan jumawa, kini harus runtuh dan porak poranda. Semuanya tak bersisa oleh bilangan waktu, tinggalah buku-buku jari membilang detik kepunahannya, saatnya Tuhan memanggil. Pulanglah, waktumu telah usai. Atau berhentilah, kezaliman sudah mencapai titik batasnya, rasakanlah balasan yang setimpal untuk setiap kezaliman yang pernah kamu lakukan.