"Alhamdulillah ... akhirnya bisa juga keluar dari tempat menyeramkan ini," ujar Laila, setelah keluar dan kakinya menginjak halaman kantor polisi.
Ia lega pelaku provokasi sudah ditahan, walau begitu, penyidik meminta dirinya masih harus melapor, jika ada serangan lagi nantinya.
Perempuan itu bernama Rara, ia mengaku salah sasaran. Dia pikir, Laila adalah perempuan yang selingkuh dengan suaminya, ia meminta ma'af dan bersedia membayar ganti rugi.
Tapi, Laila merasa ada keganjalan dari kejadian itu, apa mungkin salah orang? Mengapa Rara seperti tahu seluk beluk dirinya bahkan kosannya, bahkan membawa preman segala, apa jangan-jangan ia hanya suruhan orang? batin Laila.
Hatinya sedikit lega, karena pemilik outlet cireng tidak menyalahkannya, karena owner-nya sudah mendapat ganti rugi, intinya permasalahan yang katanya —salah paham— ini, sudah diselesaikan secara kekeluargaan.
<
"Ma, Pa tolong hargai keputusan Arsen. Insya Allah dalam waktu dekat akan melamar Laila dan secepatnya menikah," kata Arsen pada kedua orang tuanya."Ma'af, Mama gak bisa! Permisi!" jawab Safira lalu beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Arsen dan Malik, yang terbengong dengan sikap kekanakan Safira."Papa tahu, kamu sudah dewasa dan berhak menentukan jalan hidupmu sendiri, tapi pikirkan baik-baik, konsekuensi yang akan kamu hadapi, jika tetap memaksa menikahi gadis kampung itu." Malik mencoba bersikap bijaksana, walau tetap saja ia pun sama menolaknya seperti Safira."Dia punya nama, Pa. Laila." Arsen tak senang dengan sikap orang tuanya yang kerap menghina dan merendahkan Laila."Terserah kamu, lah! Papa masuk dulu," pungkas Malik, hendak meninggalkan ruang keluarga tempat mereka berdiskusi."Tunggu, Pa. Aku belum selesai. Aku sudah memikirkan masak-masak, bahkan aku suda
Soraya sudah berada di kampung, rumah Dirman, tepatnya. Ia telah menghubungi Grandong dan Joni untuk melancarkan aksinya, menculik Rosma.Setelah menyelidiki aktivitas Ardi dan keluarga juragan Sudibyo, diketahui jika Rosma akan keluar seminggu sekali saat ke pasar induk untuk membeli kebutuhan dapur selama satu minggu.Hari itu Rosma pergi ke pasar ditemani Ardi, satu ART dan Rusdi si supir yang juga seorang pengawal.Mereka membawa mobil pick up, Rosma dan Ardi duduk di kursi penumpang, Rusdi yang mengemudi. ART yang membantu Rosma duduk di belakang, di bak terbuka.Mereka berangkat pukul lima ba'da subuh, agar dapat bahan makanan yang segar. Rosma agak terlambat bangun, karena semalam ia bergadang menyelesaikan tugas menyetrika hingga larut."Rosma! kamu tahu ini jam berapa? Dasar pemalas!" omel Ardi menunggu Rosma yang belum siap. Masih di kamar mandi."I
Pagi ini sangat istimewa bagi Laila, pagi yang penuh cahaya kebahagiaan. Penantian, kesabaran dan perjuangannya menghafal Al-Qur'an mencapai titik penghujung. Ia telah selesai merampungkan 30 juz secara mutqin. Walau merangkak setapak demi setapak, di tengah guncangan badai dan penderitaan, ia pantang menyerah, tetap berjuang menghafal huruf demi huruf dan ayat demi ayat, penuh kesungguhan dan disiplin. Keyakinannya pada keajaiban do'a dan kesungguhan, akhirnya menuai keberhasilan. Kucuran air mata mengiringi prosesi sakral khataman, di masjid Al-Hidayah. Laila dengan percaya diri mengikuti pengukuhan sebagai seorang hafidzah, pertanyaan demi pertanyaan ia jawab dengan lancar, rasa syukur ia panjatkan karena telah diberi rizqi dan diamanahi menyimpan firman-firman Allah dalam jiwanya. Pelukan haru dari para ustadzah yang membimbingnya, membuat air mata Laila mengucur semakin deras. Kenikmatan paling besar di dunia ini adalah iman, sebanyak apapun harta jika tak beriman maka sia-sia
Assalamualaikum ... Mas. Apa kamu percaya akan takdir? Terkadang apa yang kita inginkan tak sesuai kenyataan.Terkadang kenyataan memaksa kita mengalahkan keinginanSaat ini aku terperangkap dalam takdir ini, ingin memaksa memeluk gunung namun apalah daya, tangan tak sampai.Jika boleh, aku tak akan melihat apa pun untuk bisa bersamamu, aku takkan peduli pada duri yang melintang, pada tebing yang menjulang terjal, pada jurang dalam yang curam, asal aku bisa bersamamu.Tapi rupanya, semesta belumlah mendukung, lagi-lagi takdir belum berpihak padaku, aku harus pergi meninggalkanmu.Ma'afkan aku, kelak kamu akan mengerti, mengapa aku melakukan ini.Menikahlah dengan Heralin, ajak ia berhijrah bersamamu, aku yakin kalian akan bahagia.
"Abi, undangan sudah siap semuanya?" tanya ustadzah Mutia pada Abizar yang sedang mendata nama teman-temannya."Kalau teman Abi belum semua, Mi. Ini mau ngasih juga buat teman di masjid Al-Hidayah dan beberapa jama'ah.”"Sekalian nanti tamu undangan Umi ya, tolong kasih daftar namanya ke percetakan.""Siap, Bos! Beres.""Saat sedang mengingat-ingat beberapa teman di Al-Hidayah, satu nama terlintas, Arsen. Jama'ah yang lumayan dekat dengannya.‘Laila? Abizar bingung, apa harus mengundangnya? Tapi dimana dia, sekarang?’"Ck ... kenapa malah nama dia yang melintas, sih!" sungut Abizar kesal."Kenapa sih, Bang. Malah ngomel?" Adzkia sang adik mengomentari sikap Abizar yang aneh. Ngomong sendiri, ngomel sendiri.Abizar nyengir, ia mengusap kepala adik kecilnya itu dengan sayang."Gapa
"Kamu kemana, sih!" Arsen menghenyakkan tubuhnya ke atas kasur berukuran king size, hatinya tampak tak tenang, memikirkan Laila yang tak bisa dihubungi. Ia tak menyadari jika nomornya telah diblokir Laila.Arsen berada di sebuah hotel mewah, Marina Bay Sands. Kamar presidential suite yang ia tempati tak membuatnya merasa nyaman, pikirannya menjelajah ke tempat dimana Laila berada.Selain memikirkan Laila, tekanan bisnis yang sedang ia hadapi sekarang, menguras sebagian besar pikirannya. Ternyata selama ini Arsen pergi ke Singapura untuk mengurus perusahaannya sendiri yang ia dirikan secara diam-diam dan bermitra dengan pengusaha dari negeri Singa itu.Untuk membuat tubuhnya rileks ia berendam dalam jacuzzi, ia berharap air hangat dapat membuat otot-ototnya sedikit longgar.Arsen memejamkan matanya, menikmati setiap sentuhan air hangat dalam jazzuci, aerator yang menghasilkan gelembung-gelembung juga
"Saya tak tahu lagi harus bilang apa. Hanya ucapan terima kasih yang bisa saya katakan. Alhamdulillah Allah menolong saya lewat tangan ustadz Hisyam," ucap Laila seraya menangkupkan kedua tangannya di depan dada."Jangan panggil ustadz, ah. Panggil Hisyam aja," ucap Hisyam. "kamu gak perlu sungkan sama saya, kalau butuh apa-apa bilang saja, insya Allah saya di Tasik akan lama, karena merawat bapak saya yang lagi sakit," tambahnya lagi."Alhamdulillah ... jazakallah, ustadz." Laila mengucapkan terima kasih."Laa syukro Lil wajib," jawab ustadz Hisyam.[Tak perlu berterima kasih untuk sebuah kewajiban]Hisyam berpamitan, mobil berwarna merah produksi Jepang itu melaju kencang, membelah jalan raya Tasikmalaya yang ramai dan padat.Kepak sayap burung menghiasi langit biru, sebagian bertengger diatas pepohonan, menyambar remahan makanan dari atas rumput yang ditin
"Neng, nasi udukna lima bungkus, nya," kata seorang ibu setengah baya pada Laila."Muhun, Bi. Mangga antosan sakedap," kata Laila dengan bahasa Sunda yang lumayan lancar. Karena sering diajak bicara bapaknya dulu semasa masih hidup. Ia meminta pembelinya itu menunggu sebentar.Tangannya cekatan memasukan nasi berbumbu santan yang gurih itu beserta lauknya berupa irisan telur, perkedel, sambel goreng tempe dan irisan timun."Tilu puluh rebu, Bi sadayana." Laila menyodorkan plastik berisi nasi uduk tadi."Neng, aslina teh, urang mana?" tanya si ibu yang diketahui bernama Jojoh."Bapak asli Garut, Bi. Upami ibu asli Jawa Tengah," jawab Laila"Kirain teh urang Jakarta, soalna si Eneng geulis pisan jiga urang kota." Bi Jojoh terus saja berceloteh."Sanes, Bi. Tapi kamari kantos cicing di Tangerang." Laila menyangkal, kalau dirinya bukan orang