Ini gila, batin Laura meneriaki dirinya yang malah justru sangat menginginkan dan membalas Ivan dengan perlakuan yang sama. Nalurinya bekerja dengan baik walau ia belum pernah sama sekali melakukannya.Ada gelenyar aneh yang tidak pernah Laura rasakan sebelumnya. Untuk sejenak, mereka melepaskan pertautan bibir mereka untuk mengatur napas yang terengah-engah, tak beraturan.Walau sebenarnya, ada rasa tak rela dalam hati Laura untuk melepas. Dalam pikirannya yang berkabut, tentu saja dia menginginkan lebih.Dalam posisi yang sebegitu dekat, Ivan berkata dengan lirih, “Kenapa dengan bibir saya?” tanyanya lantaran Laura seperti enggan berpaling menatap bibirnya.“Mau lagi?” tanpa menunggu persetujuan, Ivan kembali menyatukan bibir mereka dan membuat Laura semakin melayang, mabuk kepayang.Oh, jadi begini rasanya berciuman? Batin Laura bertanya-tanya. Ternyata sangat indah sekali dan pantas bila sebagian orang mengatakan, sentuhan lawan jenis adalah candu.Semakin kita menjelajah, akan se
“Nama saya Nia. Saya baru di sini, Pak,” jawab perempuan tersebut.“Siapa yang memasukkanmu ke sini?” tanya Ivan dengan suara dinginnya seperti biasa. Bukan hal yang mudah baginya bersikap lebih lembut kepada orang yang belum dia kenal.“Mbak Mira, Pak.”“Tolong panggilkan Mbak Mira ke sini,” titahnya seraya menggerakkan tangan.“Mbak Miranya sedang menemani Bu Laura pergi, Pak. Karena kakinya masih sakit.” “Katanya masih sakit, kenapa masih pergi-pergi juga?” Bukan hanya itu saja yang membuat Ivan kesal, tetapi juga kecerobohan mereka yang meninggalkan orang baru sendiri di rumah ini.Bagaimana kalau dia bukan orang baik-baik? Lantas menyelakai mereka atau membuat jebakan di rumah ini tanpa mereka ketahui?Kecurigaannya juga semakin bertambah manakala Ivan melihat baju kurung berwarna gelap yang dia kenakan.Rapat sekali seperti seorang ter0ris. Demikian Ivan berpikir. Astaga, seburuk itu prasangkanya!“Dari mana kamu berasal?”“Saya tetangga Mbak Mira. Tidak jauh dari rumahnya.”“
“Cepat, Ra!” panggil Ivan tak sabaran.“Iya ... iya sebentar, ya ampun laki-laki nggak sabaran banget, orang cuman mau ke Hotel juga ngapain buru-buru. Lagian acaranya juga besok,” jawab Laura menggerutu.Sementara matanya tak lepas dari cermin kecil, tampak fokus dan berhati-hati agar dirinya tidak salah dalam mengaplikasikan lipstik berwarna merah menyala tersebut di bibirnya.Tanpa Laura sadari, gadis itu memang cenderung lebih menyukai lipstik yang berwarna agak bold daripada berwarna soft.Sangat mencerminkan kepribadian yang tegas dan berani. Namun walau begitu, Laura masih berada dalam batas wajarnya, menyesuaikan tempat yang akan dia datangi.“Laki-laki mah enak, nggak ngapa-ngapain. Kalau mau pergi ya pergi aja nggak mikir apa-apa. Sementara aku, harus beresin itu, harus beresin ini, bawa itu, bawa ini. Belum lagi mikirin kebutuhan dia,” Laura melirik ke kepala anak kecil di sampingnya, “jadi cewek kan memang banyak ribetnya.”“Sabar,” hanya itu yang dapat Ivan katakan lantar
Hiruk pikuk terjadi di kamar yang Laura dan Ivan tempati. Kedatangan MUA di kamar itu mengobrak-abrik isi dalam kamar yang memang sebelumnya masih berantakan karena belum dibereskan.Lah, bagaimana mau dibereskan wong Laura dan Ivan saja bangun jam tujuh, sedangkan Kenzo bangun jam delapan. Beruntung MUA datang lebih pagi. Kalau tidak, sudah dijamin pasti mereka akan telat segala-galanya.Tetapi anehnya, kenapa justru Laura merasa senang? Oh, jadi begini, ya. Rasanya tidur bersama pasangan? Kenapa rasanya nyaman sekali, membuat tidurnya benar-benar nyenyak sampai kesiangan.Setelah mandi pagi, wajah Laura langsung ditimpa make up oleh tangan dingin seorang MUA kondang langganan para artis.Dengan lihainya MUA itu menyulap wajahnya menjadi sangat cantik dan flawles. Tetapi masih terlihat natural, tidak menor dan tidak berlebihan.Sedangkan Ivan, pria itu mengaku sedang ketiban sial lantaran harus mengurus anaknya sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Semua orang sudah sibuk dengan urusann
Meski sama-sama terkejut, tetapi keduanya mempunyai batin yang berbeda. Jika Laura berulang kali mempertanyakan hal ini--Ivan justru tidak.Pria itu rasanya malah ingin melompat ke atas meja karena terlalu exited, sehingga hampir tidak bisa menahan dirinya untuk ber-selebrasi.Menang tender ratusan juta atau miliaran tidak ada apa-apanya baginya dibandingkan dapat hadiah seorang istri.“Astaga, Papa, Om. Kenapa bisa begini? Rencana kita cuma mau tunangan, ya kan?” Laura menoleh kepada Ivan yang sedang mati-matian menahan senyum bahagianya.“Kok kamu senyum-senyum?” tanya gadis itu curiga.“Siapa yang senyum-senyum?” elaknya begitu kentara, “tidak.”“Bohong. Ini rencanamu, ya?” tanya Laura lagi.Ivan menggeleng. Dia memang tidak merencanakannya sama sekali. Dia hanya mensyukuri apa yang Tuhan berikan padanya. Itu saja.“Papa melakukan yang terbaik untuk kalian berdua. Kalian tinggal satu rumah. Siapa yang dapat menjamin kalau kalian tidak berbuat apa-apa,” tegas Adinata.“Papa!” protes
“Dasar Om tua!” maki Laura sedikit menoyor mulut Ivan yang maju meminta dicium, tanpa memedulikan sedikit pun orang yang berlalu lalang di sekitar mereka. Ivan tersenyum menggoda, “Kiss saja, Rara sayang. Biar dapat pahala.”“Pahala, pahala modus,” ujarnya seraya berjalan menuju ke lift. Hendak masuk ke dalam kamar hotel, dibuntuti oleh Ivan di belakangnya.“Pelan-pelan saja jalannya. Tujuan kita kan sama.”Laura menoleh melihat suaminya yang hari ini sangat tampan itu. Style rambut dan setelan jasnya yang kekinian membuat Ivan terlihat lima tahun lebih muda.“Sama-sama ke surga,” lanjut Ivan lagi.“Oh, iya, kartu kita mana?” Laura meraba-raba tasnya untuk mencari kartu akses masuk.“Punya saya juga ketinggalan. Tapi Deni masih ada di sana. Kamu tidak perlu khawatir.”“Ya sudah,” kata Laura sedikit tenang.Beruntung di dalam lift itu sudah terisi banyak orang, jadi mereka tidak perlu menggesekkan kartu lagi.Memang seperti ini kalau menyewa tempat di penginapan-penginapan berbintang l
Seperti inilah malam pertama yang dilakukan oleh Ivan dan juga Laura. Setelah mereka puas tertawa karena kekonyolannya, keduanya lantas kembali mencari tujuannya dengan lebih sungguh-sungguh.Bertepatan dengan itu, Deni pun juga mencarinya sehingga membuat mereka bertemu di pertengahan.Ketiganya berjalan menuju ke arah yang sama sembari berbincang sebentar. Ivan mengucapkan rasa terima kasihnya karena Deni sudah banyak sekali membantunya hari ini.Dan sebagai gantinya, dengan suka rela Ivan memberinya reward, untuk liburan ke luar daerah seperti yang Deni minta.“Labuan Bajo ya, Pak.”“Ya, silakan. Pakai dana yang biasa kamu pegang saja dulu,” jawab Ivan.“Ini kamu nikah atau kami, sih?” protes Laura.“Hihi. Ya, kalau ibu mau tinggal minta sama Pak Ivan, Bu,” jawab Deni.“Ah, minta sama dia mah harus ada timbal baliknya.” Laura melirik ke samping. Sedang yang dilirik hanya datar-datar saja walau dalam hati merasa dongkol karena tidak bisa mendalami perannya sebagai seorang suami di m
Setelah panggilannya dimatikan. Laura bergerak cepat untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tak sabar ingin segera memberitahukan hal penting ini kepada suaminya.Karena belum tentu dia tahu mengenai kabar pernikahan tersebut. Sebab tadi siang, dia mengatakan sedang terjun langsung ke lokasi proyek karena ada kendala yang mengharuskannya datang ke sana.Jangankan dihubungi, dikirim pesan pun tidak dibaca.“Ken sekarang udah bersih, udah wangi. Jadi nggak boleh main kotor-kotoran lagi, ya. Mommy setelin kartun yang seru, oke?” ucap Laura setelah memakaikan baju kepada anak tirinya.Membalutkan pakaian hangat untuknya agar tidak masuk angin setelah lama bermain di kolam renang. “Iya, Mommy,” jawab anak itu menurut. Tak lupa Laura juga memberikannya dot susu agar Kenzo minum sendiri sambil menonton.Sudah menjadi semacam kebiasaan—sembari menonton, susu itu akan terus menempel di mulut kecilnya tanpa menyadari bahwa isinya sudah benar-benar habis.Setelah merasa semua aman terkendali, Laura l
Perempuan itu membuka cadarnya dan terlihatlah wajah yang setengahnya rusak yang tidak diketahui apa sebabnya. Entah karena kecelakaan, atau memang berasal dari kalbu.“Aku Nadia,” katanya dengan lirih dan bersamaan dengan air mata yang mencuat keluar tanpa bisa dikendalikan, “seharusnya kau mengenaliku.”Ivan tertegun. Matanya menyorot dalam perempuan yang sedang menggarap dia mengenalinya. Bibirnya kelu untuk berucap. Tubuhnya memaku karena keterkejutannya.Kini pikirannya membayang kenangan beberapa tahun silam. Tepatnya di sebuah hotel dalam keadaan sangat tersiksa karena jebakan obat perangsang uang ditaruh ke dalam minumannya.Di sanalah ia menyeret seorang wanita tak bersalah untuk menjadi sasarannya dan menyebabkan Kenzo terlahir di dunia. Namun ia tak menyangka, seperti inilah bentuk wanita yang telah ia lukai.“Kamu ....” Ivan berdecak dan menggeleng, “kenapa kamu harus bersembunyi? Aku mencarimu selama ini.”“Karena sebab inilah aku selalu bersembunyi dari kalian,” jawab Na
Ivan tidak bisa menahan amarahnya tatkala pria itu mendengar Mira mengatakan, bahwa Nia membawa anaknya pergi kira-kira semenjak dua jam yang lalu tanpa izinnya dan tanpa ia melihat sama sekali kepergiannya.Rasa panik, cemas, gelisah, sakit bercampur menjadi satu. Entah bagaimana cara membuatdirinya menjadi lebih baik. Dia hampir saja tidak bisa menguasai dirinya lagi.“Memangnya dari tadi kamu ada di mana?” tanya Ivan dengan nada meninggi.“Saya tadi ada di atas. Saya pikir mereka hanya main bersama di halaman rumah. Tapi tahu-tahu sudah nggak ada suara apa-apa lagi. Sudah saya cari ke sekeliling, sudah saya telepon dia juga. Tapi ponselnya memang nggak aktif lagi.”“Ceroboh kamu!”“Maafkan saya, Pak. Saya janji akan bertanggung jawab mencari Nia.”“Melalui apa?”“Saya akan berusaha menghubungi keluarga-keluarganya, Pak.”“Ivan!” seru Laura menghentikan suaminya yang sedang kalap, “kamu nggak boleh bersikap seperti itu sama orang yang lebih tua. Nggak ada gunanya juga kamu marah-mar
“Ini bener?” tanya Laura memastikan. Dia mengambil stick itu dari tangan Ivan untuk ia pastikan sendiri hasil tes ulang tersebut. “Kok di aku nggak nampak tadi?”“Penggunaannya kurang benar.”“Masa, sih? Aku sesuai petunjuk, kok.” Mata Laura berkaca-kaca saat ini, hingga satu kedipan saja buliran itu langsung menetes. “Aku nggak tahu harus ngomong apa.”“Harus bersyukur, itu saja,” jawab Ivan kemudian. Lagi-lagi pria itu mencium keningnya dengan begitu lembut dan dalam.Rasa sayangnya berkali-kali lipat bertambah besar untuk istrinya. Tidak ada yang kurang lagi dalam hidup Ivan.Dia sudah mapan, punya anak laki-laki yang tampan, punya istri cantik, kaya, dan muda, dan sekarang akan di anugerahi lagi buah cinta dari pernikahan mereka.“Kita ke kamar,” kata Ivan menggendong tubuh Laura yang masih dalam keadaan lemas karena perutnya wara-wiri terkuras.“Aku bisa jalan sendiri. Aku nggak selemah itu kali, Om tua,” ucap Laura merasa keberatan diperlakukan seposesif ini.“Saya akan menjagam
Setelah menduga kemungkinan besar bahwa Laura sedang mengandung, pria itu langsung mengeluarkan motor dari garasinya, berniat untuk menuju ke apotek terdekat.Ivan bukanlah orang yang suka menunggu. Percuma saja dia menyuruh seseorang untuk membelikan alat tes kehamilan kepada Deni atau siapa pun jika ujung-ujungnya mendapat jawaban mengecewakan, misal: ‘nanti kalau sempat’ atau ‘sebentar lagi’ tapi lama, begitulah kiranya dan alasan macam-macam lainnya.Pun jika ia memesan online, pasti akan membutuhkan waktu yang lama juga. Tidak ada yang lebih cepat daripada itu selain harus berangkat sendiri. Toh, tidak terlalu jauh juga, pikirnya.Deru kendaraan motor besar itu mulai berbunyi setelah dinyalakan. Namun baru ia akan menarik gasnya, Laura berlari-lari kecil untuk mendekatinya. Ivan mendadak ngeri melihat Laura berlarian seperti itu. Takut dia sampai terjatuh.“Jangan lari-lari, Laura,” ucap Ivan memperingatinya.“Aku mau ikut,” rengeknya sudah seperti anak kecil saja. Dia mendekati m
Ivan memejamkan matanya merasakan sebuah kenikmatan yang tiada duanya. Lepas sudah semua beban yang menyiksanya selama Laura sakit.Mengatur nafasnya yang memburu, Ivan kembali mengecup bibir Laura dan melumatnya penuh perasaan. Bagian atas mau pun bawah secara bergantian. Setelah itu, ia memberi jeda sesaat sebelum melepaskan diri.Pria itu membiarkan semua benihnya masuk terlebih dahulu ke dalam rahim istrinya agar kelak dapat tumbuh menjadi zuriat di sana.Sembari menunggu beberapa menit lamanya, Ivan meletakkan kepalanya di atas dada Laura, kemudian perempuan itu menyambutnya dengan usapan-usapan lembut di kepalanya dengan sangat sayang.“Thank you, Sayang. Kamu yang terbaik,” ucap Ivan dengan napas yang masih terengah-engah.Laura tak menjawab dia hanya mengangguk dan dapat Ivan rasakan karena dagu wanita itu menempel di kepalanya.Lima menit setelah berkata demikian, Ivan menjatuhkan diri ke samping sang istri.“Aku harus membersihkan diri lebih dulu. Takut kalau ada seseorang y
Begitu terlihat mobil mewah berhenti di depan rumah Laura, satu security penjaga rumah Laura membukakan pintu gerbang.Beliau Pak Raman, tersenyum menyambut Laura dan menyapa keduanya.“Ya Allah, Non. Akhirnya saya bisa ketemu sama Non Laura lagi. Makin cantik lagi,” katanya dengan raut wajah yang begitu bahagia.“Pak Raman ... gimana kabarnya Pak, Raman?” tanya balik Laura dari dalam mobil. Wanita itu tersenyum ramah, masih dengan memangku Kenzo yang tidur nyenyak di pangkuannya.“Alhamdulillah baik, Non. Selamat untuk Non Laura dan Pak Ivan, atas pernikahannya semoga langgeng, akur terus dan cepat diberi momongan.”“Terima kasih Pak Raman,” jawab Laura. Sedangkan Ivan menanggapinya dengan kepala yang agak ditundukkan.Pembicaraan dicukupkan sementara, Ivan kembali melanjutkan laju mobilnya agar segera dapat terparkir di halaman rumah itu.Lagi pula tidak nyaman juga mengobrol dengan mobil di tengah-tengah jalan begini.Terbayar sudah rasa rindu Laura terhadap rumah ini. Matanya mena
“Kamu sudah benar-benar sembuh ‘kan Ra?” tanya Ivan entah yang ke berapa kalinya, “tidak apa-apa dibawa keluar?”“Sudaaaah ...” jawab Laura dengan nada malas, “nanya diulang-ulang. nanya di ulang-ulang,” dumelnya dengan bibir mengerucut.Setelah menempuh beberapa puluh menit perjalanan, akhirnya mereka sudah sampai di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.Ketiganya masuk setelah membeli tiket di loket pembelian. Suasana tidak ramai seperti yang Laura bayangkan dalam pikirannya, mungkin karena ini hari biasa, bukan hari libur.Laura dapat melihat, betapa bahagianya raut wajah Kenzo melihat alam terbuka. Anak berusia tiga tahun itu berlari serampangan seperti anak yang sedang kalap begitu memasuki area wisata ini.Seperti orang yang baru saja keluar dari narapidana.“Ini tidak salah?” tanya Ivan heran melihat harga karcis masuk, “kenapa murah sekali?”“Lalu maumu berapa? Sejuta?”Ivan tersenyum, “Ternyata gaya hidupku terlalu mahal selama ini,” gumamnya merenungi diri.“Masih banyak tahu, oran
Laura tersenyum melihat dua laki-laki kesayangannya sedang tidur sangat nyenyak di sofa. Keduanya tidur dalam keadaan tak terpisahkan. Karena posisinya sedang saling memeluk satu sama lain.“So sweet banget Bapak sama anak.”Padahal beberapa menit yang lalu, masih terdengar candaan mereka berdua. Namun baru beberapa menit lamanya, mereka sudah terlelap bersamaan. “Mana yang suka bilang aku cepet banget tidur?” gumam Laura sambil mencebikkan bibir, “ternyata dia sendiri lebih parah,” katanya lagi disertai dengan lidah yang menjulur seperti sedang mengejeknya.Laura cekikikan sendiri melihat mulut Ivan yang terbuka. Ingin mengerjainya, namun malas sekali bangun. Dia hanya khawatir mulut Ivan bisa kemasukan nyamuk, itu saja.Jahil, Laura meraih ponsel, lalu menangkap potretnya, “Sekali-sekali kamu itu harus ditunjukkin beginian. Supaya kamu tahu, gayamu ketika tidur itu kayak apa, hihihi.”Sampai saat ini. Laura masih tidak percaya, dia sudah menjadi seorang istri Ivan. Lelaki yang s
Hari masih sangat pagi pada saat itu. Azan pun belum terdengar. Namun Laura merasa dirinya sudah harus bangun untuk bersih-bersih atau yang biasa dinamakan mandi wajib, sebagaimana yang harus dilakukan oleh istri setelah bersenggama dengan suami mereka.“Sakit …” rintihan itu terdengar membuat Ivan sontak terbangun dan membantunya masuk ke dalam kamar mandi.“Maaf ya, Ra,” kata Ivan penuh rasa bersalah.Laura mengangguk dengan getir.Meski Laura berulang kali memintanya untuk keluar, namun Ivan tetap berdiri di sana, memutuskan untuk menemaninya hingga Laura selesai melakukan aktivitasnya. Pria itu menatap istrinya khawatir. Bibirnya pucat menahan perih saat air itu mengenai bagian intinya.“Sudah kubilang, aku ingin sendiri. Kenapa masih di sini juga,” protesnya dengan suara lemah.Ivan tidak mengindahkan kata-kata itu. Dia tetap berdiri tanpa memedulikan protes apa pun.Bergantian dengan Laura, kini giliran Ivan membersihkan tubuhnya dengan sangat cepat. Begitu selesai, ia segera