"Kamu mengirimi Wulan uang, Ris?" tanya Ibu. "Nggak, Bu! Arum hanya mengada-ada saja. Mana mungkin Haris mengirimi dia uang?" "Mas!" teriakku, hingga jahitan di perut terasa sedikit perih. "Apa, sih, Dek?" "Kalau kamu mau begini terus, aku nyesal udah nikah lagi sama kamu. Mending pisah!" ucapku. Bapak mengelus pundakku, sementara Ibu langsung memeluk. Sementara Mas Haris masih terdiam. "Jangan begini, Nduk. Haris, beritahu kami apa alasanmu mengirimi uang untuk Wulan?" tanya Bapak, yang sedari tadi diam. Mas Haris terlihat frustasi. Ia mengacak rambutnya dan akhirnya duduk di sebelah Lina. Kepalanya menunduk, seolah ia menyesali perbuatannya. "Maaf, Rum. Aku cuma kasihan sama dia. Aku yang membuat dia keluar kerja." "Kok kamu? Andai dia gak jahat sama aku, dia pasti nggak akn berhenti kerja dengan terpaksa begitu, Mas. Jangan menyalahkan dirimu. Aku benci itu." "Apa yang diucapkan oleh Arum itu benar, Ris. Andai, Wulan bisa bersikap lebih dewasa, pasti dia takkan mengalami
"Kinos?" Mas Haris berdiri di hadapanku, membuatku jadi menoleh padanya. "Mau apa kamu ke sini?" "Aku ingin bertemu dengan Arumi." "Mau apa bertemu dengan istriku?""Maksud aku, mau bertemu dengan Rumi. Yang pake kursi roda. Aku, kangen sama dia."Mataku seketika membeliak, begitupun dengan Mas Haris yang langsung minggir dan menatapku. Kinos, kangen Rumi? Tunggu, sebenarnya apa yang terjadi? "Duduk dulu, Kin," ucapku mempersilakannya duduk. Kinos mengangguk dan duduk di kursi satu lagi. Mas Haris duduk di depannya, sementara aku masuk untuk membuatkan minuman. Dalam hati bertanya-tanya, ada urusan apa Kinos sampai ingin menemui Rumi? Kangen? Apa mereka memiliki hubungan?Aku menggelengkan kepala. Tak mungkin. Bukankah Rumi mencintai Mas Haris? Lagi pula, sudah delapan bulan sejak wanita itu masuk ke pesantren. Bagaimana mereka bisa memiliki hubungan?"Silakan diminum," ucapku sambil menaruh cangkir berisi teh susu kesukaannya. "Makasih, Rum. Jadi, kedatanganku ke sini, ingin m
"Duh, yang cemburu," ucapku. "Dih, siapa juga yang cemburu?!" Mas Haris pun masuk ke dalam rumah, meninggalkanku yang terbengong sendiri dengan sikapnya. Allah, kenapa pula dia cemburuan? --Sesuai kesepakatan, hari ini Kinos datang lagi dengan dua orang anggota keluarganya pada pukul satu siang. Aku kenal mereka, om dan tante dari pihak Mamanya Kinos. Rumi juga sudah pulang dijemput oleh Mas Haris dan Hana kemarin. "Rumi? Ya Allah, lama sekali, Nak? Baru sekarang kita ketemu," ucap Tante Viola. "Iya, Tante. Alhamdulillah, baik. Tante sama Om gimana kabarnya?" "Alhamdulillah baik juga." Kami pun memulai acara. Om Stevan megutarakan kedatangan mereka untuk melamar Rumi. Tante Viola terus menggenggam tanganku, karena dulu kami memang cukup dekat. Jarinya mengelus pipi Renda yang tertidur di pangkuanku. "Kedatangan kami ke sini, ingin melamar Rumi untuk keponakan saya, Kinos. Bahkan, dia mengajak untuk nikah sekalian. Demi menghindari dosa." Kami cukup terkejut mendengar ucapan
Season 2 ( Arumi-Kinos)"Saya terima nikah dan kawinnya, Arumi Putri Nadir bintu Nadirun dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai!""Bagaimana saksi? Sah?" "Sah!" Suasana mengharu biru itu, masih terekam jelas dalam ingatanku satu tahun yang lalu. Saat Mas Kinos melamarku dan menjadikanku seorang istri. "Kita langsung pindah setelah sebulan kita di sini, ya?" pinta Mas Kinos, karena saat ini kami sedang di rumah orang tua Mas Haris. Mas Haris sendiri adalah lelaki yang dulu pernah berniat menikahiku, namun nyatanya, takdir tak berpihak pada kami. Entah karena cinta itu semakin memudar, atau memang sejak awal memang tak ada. "Iya, Mas. Aku ikut saja apa katamu," ucapku. Setelah sebulan di sana, kami memutuskan untuk pindah dari rumah Ibu ke rumah yang sudah dibeli oleh Mas Kinos. Awal rumah tangga, merupakan saat-saat bahagia yang tak pernah ingin kulewati begitu saja. Aku hidup bahagia di rumah ini. Memiliki Mas Kinos dan Kak Karin sebagai kakak iparku. Namun nyata
"Apa, Mas?" "Aku mau menikah lagi, Rum," ucap Mas Kinos sambil menundukkan kepalanya. "Me-menikah lagi? Tapi aku bagaimana? Bukankah kata kamu, akan setia sama aku, bagaimana pun keadaanku? Tapi sekarang ... Apa kamu malu mempunyai istri sepertiku, Mas?" tanyaku. "Bukan begitu. Aku tak pernah malu dan tetap menyayangimu. Aku ... Ingin punya anak, Rum. Anak yang mewarnai hari-hariku, dan juga merawatku di masa tua nanti," jelasnya yang seketika mematahkan hatiku. "Tapi kita bisa adopsi anak," jawabku, tak mau mengalah." Mas Kinos menggeleng. Hancur sudah harapanku, akan menjadi istri satu-satunya baginya. Kini, aku harus bagaimana? Haruskah aku berakhir di sini? "Dengan siapa, Mas?" "Ada. Dia anak ustadz di belakang rumah Kak Karina. Maafkan aku, Rum."Allahu Rabbi... Ternyata, dia datang ke sini bukan untuk meminta izinku, tapi untuk memberitahu bahwa ia akan menikah lagi. Jika begini, kenapa tak langsung ia selenggarakan pernikahan itu? Untuk apa ke sini? "Maafkan aku, Rum.
Mas Kinos menghela napas, sementara Ayu terlihat salah tingkah. Aku tak peduli andai dianggap tak pengertian. Kurang pengertian apa aku, sudah mau berbagi suami dengannya? Akhirnya, malam itu Mas Kinos tidur dengan Ayu. Dan untuk pertama kalinya aku tidur sendiri setelah menikah. Hatiku begitu sakit dan panas mendengar suara mereka berdua. Canda dan tawa dari Mas Kinos serta Ayu, membuat hatiku bagai ditusuk belati. Mas, apakah kamu tak ingat aku? Tak lama kemudian, lampu sebelah mati, bagaimana aku bisa tahu? Tentu, karena ac kamar ini dan kamar sebelah menyatu. Jadi separuh-an. Hal itu otomatis bisa membuatku melihat apakah lampu sebelah mati atau menyala. Tak lama, aku mendengar suara itu. Suara yang tak ingin kudengar dari mulut Mas Kinos ketika bersama wanita lain. Allahu Rabbi! Aku tak kuat! --Pagi hari. YaAku tak bisa tidur semalaman. Itu sebabnya, pagi ini aku keluar kamar lebih awal dari biasanya. Mbok Minah membantuku memetik sayuran. Tak ada obrolan di antara kami s
"Jadi, ini masakan siapa? Kamu atau Rumi?" tanya Mas Kinos pada Ayu. "Mbak Rumi, Mas. Ayu cuma bantu menggorengkan perkedel," jawab Ayu. Aku tersenyum menang. Jangan kira, kalau fisikku tak sempurna, maka kamu akan seenaknya menindasku, Yu. Aku mengantarkan Mas Kinos sampai ke depan, sementara Ayu mengikutiku di belakang. Aku sudah menduga, wanita itu pasti tengah kesal saat ini. Tapi, apa peduliku? Dia saja tak peduli pada hatiku dan seenaknya mengambil Mas Kinos. "Aku berangkat dulu. Kalian yang akur, ya." "Kamu nggak ambil libur, Mas? Kita kan harus honeymoon," pinta Ayu. "Nggak bisa, Yu." "Kantornya Mas Kinos itu nggak memperbolehkan orang beristri dua. Kamu mau, kalau pernikahan kalian ketahuan dan Mas Kinos dipecat? Mau makan batu, kamu?" tanyaku pada Ayu yang langsung dijawab dengan gelengan kepala. Mas Kinos mengulurkan tangannya padaku dan berpamitan. Tak lupa, ia pun mencium pipi kanan dan kiriku, serta kening. Hal yang sama, dilakukannya pada Ayu. Meski sudah memper
"Hahaha, becanda, Yu." "O-oh, iya, Mbak. Aku pikir apa," ucapnya lagi. Mulai kutuang telur, gula, dan pengembang ke dalam baskom mixer lalu membiarkan adonan dikocok hingga putih kental berjejak. setelahnya kutuang adonan kering dan juga cokelat bubuk, karena pemesan menginginkan blackforest untuk base kue-nya. "Mbok, mau ke mana?" tanyaku. "Itu, kayaknya sudah selesai, mau jemur dulu bentar," ucapku. "Eeh, nggak usah. Mbok kan lagi bantuin saya. Yu, tolong jemurin baju, ya?" pintaku. "Eh? Aku, Mbak?" tanyanya. "Yaiya, masa aku?" Ayu segera mengangguk dan berlalu ke belakang. Aku tersenyum, jangan harap kamu bisa menindasku, Yu. Kamu nggak tahu aja, perbuatanku di masa lalu. Bisa-bisa kukirim santet buat kamu! "Bu, apa nggak papa? Nanti kalau dia ngadu sama Bapak gimana?" tanya Mbok Minah. "Ah, sudah, Mbok. Itu urusan saya. Itu tolong masukin adonannya ke oven ya, Mbok. Saya mau bikin adonan krimnya dulu." "Siap, Bu. Sekalian Mbok mau lipetin kardus."Awalnya, pekerjaan ini
“Kenapa, Neng? Kok bengong gitu” tanya Mbok Nah. “Itu tadi si Arum kupanggil, tapi nggak nyaut. Mana jalannya cepat banget. Terus nggak lama, dia keluar lagi naik motor.” “Ya sudah, Neng, ayo kita susul!” ajak Mbok Nah. Aku mengangguk saja, lalu Mbok Nah membantu mendorong kursi rodaku menuju rumah Ibu yang terdengar berisik. “Ada apa ini, Bu?” tanyaku pada Ibu yang tengah menimang Renda.” “Ayahnya Arum, masuk rumah sakit lagi. Sekarang katanya gagal jantung.” Aku menutup mulut mendengar ucapan Ibu. Gagal jantung? Apakah ayahnya Arum memiliki riwayat penyakit itu? “Mas Haris ke mana, Bu?” “Dari kantornya, langsung ke rumah sakit. Kita saling mendo’akan saja, ya,” ucap Ibu. “Aamiin.” -- Setelah tengah malam, baru kami mendapat kabar kalau ayanya Arum meninggal dunia. Mendengar kabar itu, membuatku antara percaya dan tak percaya. Orang sebaik ayahnya Arum, kenapa cepat sekali meninggalnya? Keesokan hari. Kami sudah stand by di rumah Arum setelah Bapak meminta kunci rumah pad
“Untuk apa datang ke sini, Kak?” tanyaku pada Kak Karina yang sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan.“Kakak ingin bicara denganmu, Rum,” ucap Kak Karina.Aku melengos. Bagiku, tak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kami. Sudah cukup penghinaan mereka atas diriku.“Aku sibuk, Kak. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan juga. Aku dan Mas Kinos sudahh bercerai. Pun aku tak pernah mencoba menghubunginya lagi. Jadi, baik Kak Karina ataupun Ayu tak perlu takut dan khawatir karena aku takkan mengganggu rumah tangga orang lain. Beda dengan Ayu ataupun seseorang,” ucapku ambil mengangkat nampan kosong dan menyerahkannya pada Mbok Minah.“Kamu nyindir aku, Rum?” tanya Kak Karina.Hampir saja aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Ya dipikir saja, memangnya kalau bukan dia, lantas siapa? Siapa orang yang dengan sengaja memasukkan Ayu dalam rumah tangga yang adem, ayem, dan tentram?“Maaf, Kak, tokonya mau aku tutup,” ucapku sambil meninggalkannya ke dalam.“Aku tak menyangka jika
NAMA PEREMPUAN LAIN DI BUKU HARIAN SUAMIKU“Apa Bapak nggak salah bicara?” tanyaku.“Nggak, Rum. Nak Rhman datang ke sini memnag untuk melamarmu.”Aku terdiam mendengar ucapan Bapak. Bukan Lina yang hendak dilamarnya, namun aku? Aku, seorang janda yang bahkan tak memiliki rahim ini, hendak dinikahi oleh juragan beras seperti Mas Rohman?“Bagaimana, Nduk?” tanya Bapak.Aku menatap Lina yang seakan kehilangan semangat, pun terlihat jelas bahwa ia kecewa dengan kenyatan yang diucapkan oleh Bapak tadi. Aku menggeleng, bukan karena Lina sebenarnya, tapi aku sendiri belum mau memulai suatu hubungan lagi. Bagiku sudah cukup hidup begini. Menekuni bidang usaha yang baru saja kurintis.“Maaf, Pak, Rumi belum bersedia. Lagipula, baru kemarin Rumi bercerai. Rasanya tak elok jika langsung menjalin hubungan dengan orang lain lagi,” ucapku.“Ya sudah. Bapak pun setuju denganmu. Tadi sebenarnya sudah Bapak tolak. Tapi, Nak Rohman malah maksa. Jadi, sudah pasti ya kamu menolaknya?”
[Bisa kita ketemu?] Aku mengerutkan kening saat Kak Karina mengajak bertemu. Hendak apa? Apa mau membahas hal yang kemarin? Astaga! Apa tak ada hal yang lebih penting? [Maaf, Kak, aku sibuk.] [Ini yang terakhir kali.] Aku akhirnya menyetujui bertemu dengannya, dengan syarat dia tak boleh membawa Ayu maupun Mas Kinos, dan Kak Karina langsung menyetujuinya. "Mbok, nanti temani aku ketemu Kak Karina dulu, ya?" "Oke, Neng." Aku mengangguk. Beruntung punya Mbok Minah, yang siap menemaniku ke mana saja dan ngapain saja. Sehingga aku tak merasa sendiri. Arum datang membawa Renda, ia menangis sesenggukan. Aku yang bingung kenapa, langsung mendekatinya. "Kenapa, Rum?" tanyaku. "Ayah masuk rumah sakit. Kecelakaan, Rum. Gimana ini," ucapnya sambil menangis. "Ya Allah! Sini, biar aku jagain Renda. Kamu kalau mau ke rumah sakit, pergi lah. Biar nanti aku yang jaga Renda dan kasih tahu Ibu kalau sudah pulang dari antar makan siang." "Nggak papa, Rum?" tanyanya. "Ya nggak papa, lah. Mem
“Masa iya, sepupu kelakuannya begini, Pak?” tanya Mbok Minah pada Mas Kinos. Sementara Ayu wajahnya begitu pias.“Bisa kamu jelaskan maksud dari semua ini, Yu?” tanya Mas Kinos.“Mas, kamu jangan langsung percaya sama Mbok Minah. Dia itu pasti berpihak sama Mbak Rumi, Mas.”“Kamu benar-benar keterlaluan, Yu. Mas sama sekali tak menyangka, sudah membela dan memilih orang sepertimu.”Setelahnya Mas Kinos pergi, disusul dengan Ayu yang gelagapan dan mengejarnya. Sementara Kak Karina, menatapku dengan tatapan entah, sebelum akhirnya pergi menyusul adik dan iparnya itu menuju mobil. Apakah ia juga mengira kalau aku dan Mbok Minah kerjasama demi membuat pasangan itu tercerai berai?Aku pergi masuk terlebih dahulu, setelah memastikan tamu tak diundang itu melajukan mobilnya. Kuteguk air putih satu gelas penuh. Benar-benar tak habis pikir. Kenapa Ayu selalu saja membuatku dan Mas Kinos salah paham?apakah memberi tahu fakta pada suamiku itu salah? Ah, aku lupa. Kami bahkan suda bercerai bebera
"Apa sih, Mas? Kalau datang itu salam, bukan main nyemprot aja!" tanyaku padanya begitu kami bertatapan. "Aku benar-benar tak menyangka, kalau kamu bisa berbuat sejahat ini pada Ayu, Rum. Kupikir, kamu adik ipar yang baik. Ternyata aku salah. Sudah cacat, jahat pula!" Aku mengepalkan tangan, merasa sakit hati sekali atas penghinaan darinya. Memangnya, tangan dan kakiku menghilang sebelah, akibat perbuatan siapa kalau bukan perbuatan adiknya tersayang itu?Ternyata, bukan cuma Mas Kinos saja yang datang, Kak Karina dan Ayu juga. Herannya, maduku itu diperban pipi kanannya diperban. Aku jadi was-was, kenapa perasaanku sangat tak tenang?"Kamu tanya kenapa? Lihat! Kamu menampar Ayu dengan kencang, kan?" tanya Mas Kinos sambil menarik Ayu dan memperlihatkan perban di pipinya itu. Wajahnya pura-pura mengaduh, kesakitan.Aku mengerutkan kening, kapan aku melakukannya? Ah, jangan bilang, ini hanyalah tipu daya Ayu supaya Mas Kinos semakin membenciku dan tak membuatku melaporkannya pada Mas
"Ayu?" "M-Mbak Rumi." Pak Hengki bolak-balik memperhatikanku dan Ayu bergantian. Sepertinya, ia tak menyangka jika aku dan pacarnya itu saling kenal. Apa Pak Hengki nggak tahu, kalau Ayu sudah menikah dan bahkan sekarang sedang hamil anak Mas Kinos? "Sayang, kamu kenal dia?" tanya Pak Hengki. "Anu, Mas..." "Mas Kinos mana, Yu? Kok kamu jalan sama Mas Hengki," ucapku, sambil memegang ponsel kuat-kuat. Susah payah kurelakan Mas Kinos untuknya, rupanya dia buaya betina. Astaga, Mas! Wanita modelan begini, kamu sampai bela segitunya? "Kinos, siapa itu?" "Oh, itu-" "Teman kampungku, Mas. Iya, teman kampungku. Ya sudah, Mbak Rumi, kami permisi dulu. Ayo, Sayang," ucap Ayu pada Pak Hengki.bHampir saja aku tertawa dibuatnya. Ayu, apakah dia benar sudah gila? Bahkan ia memanggil Pak Hengki dengan panggilan Sayang di depanku? Astaga! "Jadi, Ayu selingkuh ya, Neng?" "Sepertinya, Mbok. Benar-benar zaman sudah gila. Untuk apa dia menikah dengan Mas Kinos, kalau ujung-ujungnya masih ber
"Mama?" Mama berdiri dan menghampiriku. Entah apa yang membawa beliau ke sini? Aku pun penasaran, karena tak kulihat adanya Papa yang ikut. "Nak, pulang ya?" pinta Mama setelah aku duduk. Aku terkejut mendengar permintaan mama angkatku ini. Atas dasar apa dia memintaku untuk pulang? Bukankah dulu, mereka malah mengusirku? "Nggak, Ma, Rumi minta maaf," ucapku seraya melepaskan genggaman tangan Mama. "Kenapa, Nak? Kasihan Papamu. Sekarang sakit dan sudah didiagnosa takkan sembuh. Mama mohon, Nak." Aku melengos. Biarkan saja laki-laki itu mati. Apa urusannya denganku? Apakah Mama lupa, kalau suaminya itu dulu bahkan mencoba untuk memperkosaku? "Maaf, Ma, tapi Rumi benar-benar tak bisa. Masih teringat kejadian waktu itu, dan Mama malah menuduh Rumi yang tidak-tidak. Beruntung ada Arum yang membela," ucapku. Ibu membelai punggungku, dan menguatkan. Berbeda sekali dengan Mama yang justru membuang muka. Jika begitu, apa yang membuatnya justru kembali ke sini dan memintaku untuk pulan
Aku meminta Arum membalikkan kursi rodaku agar bisa menghadap ke arah dua sejoli yang tengah bertengkar itu. "Ayu, kamu nggak usah khawatir. Aku ini cacat, kenapa Mas Kinos akan memilihku? Tentu tidak. Dia akan memilihmu, Ayu. Kamu cantik, sempurna. Dan bahkan katanya, kamu lagi hamil anaknya Mas Kinos, kan? Jadi, apa yang kamu cemburuin dari wanita cacat dan tak bisa hamil seperti aku ini? Yah, meskipun itu semua juga karena perbuatannya, sehingga aku merasakan ini semua. Tapi tak apa, aku ikhlas. Berbahagia lah kalian. Kamu, Mas, jangan pernah menyesal sudah seperti ini," ucapku. "Rum, rumah tangga kita baik-baik saja. Kenapa kamu mau pergi? Tetap di sini, ya?" pinta Mas Kinos, sepertinya ia tak menghiraukan ucapan istri muda yang tengah mengandung anaknya itu. "Mas!" teriak Ayu. "Tidak, Mas. Rumah tangga kita tidak sedang baik-baik saja. Apalagi, sejak kedatangan wanita lain di tengah kebahagiaan kita. Sejak saat itu, tak pernah ada kebahagiaan di hidupku. Kalau begitu, aku perm