Aku mengangguk. Kupikir, sekarang tak ada tempat yang paling bagus selain yang disarankan oleh Ibu. Masuk panti, adalah pilihan pertama. Namun hari ini, Mas Haris datang lagi dengan membawa pilihan ke dua, yaitu pesantren. Aku memang ingin lebih membenahi diri. Sudah sekian lama aku berdosa, aku bahkan sudah jarang melaksanakan salat wajib. Ya Allah, betapa berdosanya hamba. "Mana yang kamu pilih?" tanya Mas Haris. ---Seminggu kemudian. Mas Haris dan keluarga mengantarkanku ke panti, minus Arum tentunya. Wanita yang baru saja melahirkan secara caesar itu tak diperbolehkan untuk berjalan jauh lebih dulu oleh bundanya. "Maafkan Ibu ya, Rum? Ibu melakukan ini bukan karena nggak sayang sama kamu. Kamu anak yang baik, rajin, hanya saja caramu salah. Andai tak ada ilmu hitam di antara kalian, sudah pasti Ibu juga bahagia memiliki menantu sepertimu," ucap Ibu yang membuatku terharu. "Bu, Ibu lupa sama menantu Ibu yang di rumah?" tanya Mas Haris, yang membuatku terkekeh. "Aku tak akan
Aku pun masuk ke kamar, setelah mendekat, ternyata bukan ponselku yang berdering, melainkan ponsel milik Mas Haris. Aku termenung saat melihat nama si pemanggil di layar ponsel itu. Wulan? Mau apa dia menelepon Mas Haris? Teringat lagi kejadian sebelum aku melahirkan. Mas Haris malah melepaskan Wulan begitu saja karena tak tega pada Tantenya. Aku sempat protes, tapi setelah melihat langsung Tante Marini saat ke sini, aku jadi terenyuh. Anaknya hanya wulan saja, beliau sudah tua, dan bahkan sudah duduk di kursi roda untuk menjalani aktivitasnya. Namun, saat akan kuangkat teleponnya, malah keburu dimatikan. Aku jadi penasaran, kenapa di menelepon Mas Haris? Haruskah kubuka ponselnya? Tapi, apa Mas Haris takkan marah?"Kenapa, Rum?" Aku tersentak saat mendengar suara Mas Haris yang memasuki kamar. "Nggak papa, Mas. Mau ambil baju. Gerah, mau mandi dulu." "Oh, kirain Mas kamu kenapa-napa? Ya sudah, sana mandi. Biar nanti Mas belikan makan. Mau makan apa?" "Pengen yang seger-seger, Ma
Sebulan kemudian. Acara empat puluh hari kelahiran Renda diselenggarakan di rumah Bunda, serta aqiqahnya. Mas Haris sudah membeli kambing dengan ukuran besar serta sehat. Bapak-bapak sudah mulai membantu mengurus kambing, sementara ibu-ibu membantu memasak. Lina, Hana, dan juga Gina pun ikut datang bersama kedua mertuaku. Aku hanya bisa membantu sesekali saat Renda digendong oleh Om, Tante, Bunda, ataupun Ibu. "Rum, Renda nangis nih!" ucap Gina saat aku tengah memotong wortel untuk acar. "Oh, iya, sebentar aku cuci tangan dulu."Setelah cuci tangan, aku pun mengambil Renda dan menyusuinya di kamar. Kebetulan ini hari minggu, sehingga Mas Haris bisa ikut membantu yang lain. Di kamar setelah menyusui Renda, ngantuk tiba-tiba menyerang, hingga akhirnya aku pun ikut tertidur dan tak sadar ada yang masuk ke dalam kamar. Ada suara pintu tertutup, namun aku tak sanggup untuk membuka mata. Apakah tadi Mas Haris yang masuk lalu keluar lagi? Ah, terserah lah! Entah berapa lama aku tertidu
"Tenang, tarik napas dulu. Tadi, kamarnya kamu kunci, nggak?" tanya Mas Haris. Aku menggeleng, karena tadi aku ngantuk sekali, sehingga tak terpikirkan untuk mengunci pintu. "Kenapa?" "Lupa, Mas. Aku ngantuk tadi."Mas Haris mengusap pundakku. Bukan apa-apa, perhiasan itu pemberian Bunda sewaktu aku hendak menikah, dan itu merupakan kalung warisan turun temurun dari almarhumah Nenek. Bagaimana aku menceritakannya pada Bunda nanti? "Sudah, nanti kita pikirkan bagaimana caranya. Sekarang, kita keluar. Kamu belum makan, kan?" Aku mengangguk, kemudian mengambil hijab dan berjalan keluar bersama Mas Haris. Meski sedang tak selera, namun Bunda sedari tadi memperhatikanku karena aku tak kunjung memakan sayur katuk yang sudah beliau buat. "Jangan tampakkan kita ada masalah, Rum. Nanti kita cari sama-sama, siapa tahu nyelip," ucap Mas Haris. "Iya, Mas. Jangan sampai hilang. Kata Bunda, itu kalung dari Nenek ketika Bunda menikah," ucapku. "Hampir tiga puluh tahunan dong, ya?" "Iya." R
"Tapi, Bu-" "Haris, bisa antar kami?" tanya Ibu yang membuat keningku berkerut. Kenapa meminta antar? Bukankah Bapak membawa mobil sendiri ke sini? "Antar, Bu?" "Iya." Mas Haris pun mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci. Aku segera mengikutinya, dan menjelaskan tentang sikapku tadi. "Mas, aku nggak bermaksud untuk melakukan itu semua. Aku nggak mencurigai keluargamu. Aku cuma nanya aja, sesuai kesepakatan kita, kan?" tanyaku pada Mas Haris yang tengah memakai jaket. "Iya, Rum. Mas ngerti, kok. Ya sudah, Mas antar mereka dulu, ya? Mungkin Bapak kecapekan, jadi malas nyetir. Nantj biar mobil Bapak, dibawa sama Lina." Aku mengangguk kemudian mengantar mereka sampai ke teras, meski sikap Ibu padaku berubah seratus delapan puluh derajat. "Hati-hati di jalan, Bu," ucapku. Ibu hanya mengangguk, kemudian masuk ke daam mobil. Aku melambaikan tangan saat Lina membunyikan klakson mobil dan melesat pergi. "Bagaimana bisa kalung dari nenekmu hilang, Rum? Itu sud
"Ha-hana," ucapku, sungguh tak kusangka jika adik bungsu suamiku itu tega sekali melakukan hal itu. Aku mendekat pada mereka, hingga aku sadari, ada dua ekspresi di sini. Hana seakan tertekan, dan Wulan yang demikian senangnya.Aku semakin mendekat, membuat jarak di antara kami kian mengikis. Adik bungsu suamiku itu menunduk, sementara Wulan mengangguk-anggukan kepala. "Hana," ucapku. Hana mendongak, kedua matanya membeliak lebar. Sementara Wulan, yang tengah meniti inci demi inci kalung itu, langsung menyembunyikan di sakunya. Tapi telat, karena aku sudah melihatnya sedari tadi. B*d*h sekali mereka yang bahkan tak menyadari ada aku di sini. Minimal, mereka harus melihat situasi, jika memang hal ini adalah sesuatu yang mereka sembunyikan. "Kak Arum." "Rum, ngapain di sini?" tanya Wulan. Aku tebak, wanita itu tengah gelisah bukan main. Aku jadi tahu mental asli perempuan ular di hadapanku ini. Ia akan menjelma menjadi singa, di tempat yang dia kira bahwa dia lah penguasanya. Namu
Kumasukkan kalung ke tempat yang lebih rahasia lagi, lalu mengambil baju dan masuk ke dalam kamar mandi. Kami memang menerapkan kebersihan, sebelum akhirnya memegang anak terlebih itu adalah bayi. "Aduh, anak Mama, main sama Kakek tadi, ya?" Renda tersenyum sambil memperlihatkan lidahnya, membuatku semakin gemas dengan bayi berusia empat puluh satu hari itu. "Nggak nyangka ya, Sayang? Kamu sudah lahir. Jadi lah penguat bagi Mama, ya? Hanya kamu, yang akan menjadi tujuan akhir Mama. Kamu, yang akan terus mendampingi Mama." Kupeluk tubuh mungil itu, hingga ia bergerak seakan tak nyaman. Buru-buru aku membenarkan posisinya. "Kamu kenapa, Nak?" tanya Bunda. "Nggak papa, Bun,' jawabku. Rasanya, belum tepat jika aku mengobrolkan ini semua dengan Bunda, kan? "Setiap orang tua pasti akan tahu, jika anaknya sedang baik-baik saja, atau tidak baik-baik saja. Cerita lah, Bunda akan dengarkan. Atau, mau cerita sama Haris saja nanti?" tanya Bunda. Aku menggigit bibir bawahku. Cerita dengan M
"Jawab, Han! Karena apa?" bentak Mas Haris. "Sabar toh Ris! Hana ini adikmu. Jangan kasar-kasar!" "Tapi dia salah, Bu. Nggak seharusnya dilindungi seperti ini," ucap Mas Haris. Kupegang tangannya seraya menggeleng. Jika diteruskan, yang ada malah jadi panjang. Kugenggam tangan Hana, gadis yang masih duduk di bangku SMa itu mendongak, matanya sudah berkaca-kaca. "Cerita lah, Han. Kakak nggak marah seandainya alasanmu masuk akal," ucapku. "Be-benar, Kak?" tanya Hana dengan suara bergetar. "Iya. Jujur lah, biar masalah ini cepat selesai. Kasihan Renda di rumah sama Bunda, kalau masalah ini masih berlarut-larut," ucapku seraya tersenyum. Hana memelukku erat, isak tangisnya semakin kencang terdengar. Tubuhnya bergetar. Ada apa gerangan, Han? Kenapa seperti ya kamu malah berat untuk mengungkapkannya? "Maafkan Hana, Kak. Hana terpaksa melakukannya karena diancam oleh Mbak Wulan.""Diancam?" tanyaku seraya melepas pelukan. "Iya." "Memang apa yang dia gunakan untuk mengancammu sehing
“Kenapa, Neng? Kok bengong gitu” tanya Mbok Nah. “Itu tadi si Arum kupanggil, tapi nggak nyaut. Mana jalannya cepat banget. Terus nggak lama, dia keluar lagi naik motor.” “Ya sudah, Neng, ayo kita susul!” ajak Mbok Nah. Aku mengangguk saja, lalu Mbok Nah membantu mendorong kursi rodaku menuju rumah Ibu yang terdengar berisik. “Ada apa ini, Bu?” tanyaku pada Ibu yang tengah menimang Renda.” “Ayahnya Arum, masuk rumah sakit lagi. Sekarang katanya gagal jantung.” Aku menutup mulut mendengar ucapan Ibu. Gagal jantung? Apakah ayahnya Arum memiliki riwayat penyakit itu? “Mas Haris ke mana, Bu?” “Dari kantornya, langsung ke rumah sakit. Kita saling mendo’akan saja, ya,” ucap Ibu. “Aamiin.” -- Setelah tengah malam, baru kami mendapat kabar kalau ayanya Arum meninggal dunia. Mendengar kabar itu, membuatku antara percaya dan tak percaya. Orang sebaik ayahnya Arum, kenapa cepat sekali meninggalnya? Keesokan hari. Kami sudah stand by di rumah Arum setelah Bapak meminta kunci rumah pad
“Untuk apa datang ke sini, Kak?” tanyaku pada Kak Karina yang sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan.“Kakak ingin bicara denganmu, Rum,” ucap Kak Karina.Aku melengos. Bagiku, tak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kami. Sudah cukup penghinaan mereka atas diriku.“Aku sibuk, Kak. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan juga. Aku dan Mas Kinos sudahh bercerai. Pun aku tak pernah mencoba menghubunginya lagi. Jadi, baik Kak Karina ataupun Ayu tak perlu takut dan khawatir karena aku takkan mengganggu rumah tangga orang lain. Beda dengan Ayu ataupun seseorang,” ucapku ambil mengangkat nampan kosong dan menyerahkannya pada Mbok Minah.“Kamu nyindir aku, Rum?” tanya Kak Karina.Hampir saja aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Ya dipikir saja, memangnya kalau bukan dia, lantas siapa? Siapa orang yang dengan sengaja memasukkan Ayu dalam rumah tangga yang adem, ayem, dan tentram?“Maaf, Kak, tokonya mau aku tutup,” ucapku sambil meninggalkannya ke dalam.“Aku tak menyangka jika
NAMA PEREMPUAN LAIN DI BUKU HARIAN SUAMIKU“Apa Bapak nggak salah bicara?” tanyaku.“Nggak, Rum. Nak Rhman datang ke sini memnag untuk melamarmu.”Aku terdiam mendengar ucapan Bapak. Bukan Lina yang hendak dilamarnya, namun aku? Aku, seorang janda yang bahkan tak memiliki rahim ini, hendak dinikahi oleh juragan beras seperti Mas Rohman?“Bagaimana, Nduk?” tanya Bapak.Aku menatap Lina yang seakan kehilangan semangat, pun terlihat jelas bahwa ia kecewa dengan kenyatan yang diucapkan oleh Bapak tadi. Aku menggeleng, bukan karena Lina sebenarnya, tapi aku sendiri belum mau memulai suatu hubungan lagi. Bagiku sudah cukup hidup begini. Menekuni bidang usaha yang baru saja kurintis.“Maaf, Pak, Rumi belum bersedia. Lagipula, baru kemarin Rumi bercerai. Rasanya tak elok jika langsung menjalin hubungan dengan orang lain lagi,” ucapku.“Ya sudah. Bapak pun setuju denganmu. Tadi sebenarnya sudah Bapak tolak. Tapi, Nak Rohman malah maksa. Jadi, sudah pasti ya kamu menolaknya?”
[Bisa kita ketemu?] Aku mengerutkan kening saat Kak Karina mengajak bertemu. Hendak apa? Apa mau membahas hal yang kemarin? Astaga! Apa tak ada hal yang lebih penting? [Maaf, Kak, aku sibuk.] [Ini yang terakhir kali.] Aku akhirnya menyetujui bertemu dengannya, dengan syarat dia tak boleh membawa Ayu maupun Mas Kinos, dan Kak Karina langsung menyetujuinya. "Mbok, nanti temani aku ketemu Kak Karina dulu, ya?" "Oke, Neng." Aku mengangguk. Beruntung punya Mbok Minah, yang siap menemaniku ke mana saja dan ngapain saja. Sehingga aku tak merasa sendiri. Arum datang membawa Renda, ia menangis sesenggukan. Aku yang bingung kenapa, langsung mendekatinya. "Kenapa, Rum?" tanyaku. "Ayah masuk rumah sakit. Kecelakaan, Rum. Gimana ini," ucapnya sambil menangis. "Ya Allah! Sini, biar aku jagain Renda. Kamu kalau mau ke rumah sakit, pergi lah. Biar nanti aku yang jaga Renda dan kasih tahu Ibu kalau sudah pulang dari antar makan siang." "Nggak papa, Rum?" tanyanya. "Ya nggak papa, lah. Mem
“Masa iya, sepupu kelakuannya begini, Pak?” tanya Mbok Minah pada Mas Kinos. Sementara Ayu wajahnya begitu pias.“Bisa kamu jelaskan maksud dari semua ini, Yu?” tanya Mas Kinos.“Mas, kamu jangan langsung percaya sama Mbok Minah. Dia itu pasti berpihak sama Mbak Rumi, Mas.”“Kamu benar-benar keterlaluan, Yu. Mas sama sekali tak menyangka, sudah membela dan memilih orang sepertimu.”Setelahnya Mas Kinos pergi, disusul dengan Ayu yang gelagapan dan mengejarnya. Sementara Kak Karina, menatapku dengan tatapan entah, sebelum akhirnya pergi menyusul adik dan iparnya itu menuju mobil. Apakah ia juga mengira kalau aku dan Mbok Minah kerjasama demi membuat pasangan itu tercerai berai?Aku pergi masuk terlebih dahulu, setelah memastikan tamu tak diundang itu melajukan mobilnya. Kuteguk air putih satu gelas penuh. Benar-benar tak habis pikir. Kenapa Ayu selalu saja membuatku dan Mas Kinos salah paham?apakah memberi tahu fakta pada suamiku itu salah? Ah, aku lupa. Kami bahkan suda bercerai bebera
"Apa sih, Mas? Kalau datang itu salam, bukan main nyemprot aja!" tanyaku padanya begitu kami bertatapan. "Aku benar-benar tak menyangka, kalau kamu bisa berbuat sejahat ini pada Ayu, Rum. Kupikir, kamu adik ipar yang baik. Ternyata aku salah. Sudah cacat, jahat pula!" Aku mengepalkan tangan, merasa sakit hati sekali atas penghinaan darinya. Memangnya, tangan dan kakiku menghilang sebelah, akibat perbuatan siapa kalau bukan perbuatan adiknya tersayang itu?Ternyata, bukan cuma Mas Kinos saja yang datang, Kak Karina dan Ayu juga. Herannya, maduku itu diperban pipi kanannya diperban. Aku jadi was-was, kenapa perasaanku sangat tak tenang?"Kamu tanya kenapa? Lihat! Kamu menampar Ayu dengan kencang, kan?" tanya Mas Kinos sambil menarik Ayu dan memperlihatkan perban di pipinya itu. Wajahnya pura-pura mengaduh, kesakitan.Aku mengerutkan kening, kapan aku melakukannya? Ah, jangan bilang, ini hanyalah tipu daya Ayu supaya Mas Kinos semakin membenciku dan tak membuatku melaporkannya pada Mas
"Ayu?" "M-Mbak Rumi." Pak Hengki bolak-balik memperhatikanku dan Ayu bergantian. Sepertinya, ia tak menyangka jika aku dan pacarnya itu saling kenal. Apa Pak Hengki nggak tahu, kalau Ayu sudah menikah dan bahkan sekarang sedang hamil anak Mas Kinos? "Sayang, kamu kenal dia?" tanya Pak Hengki. "Anu, Mas..." "Mas Kinos mana, Yu? Kok kamu jalan sama Mas Hengki," ucapku, sambil memegang ponsel kuat-kuat. Susah payah kurelakan Mas Kinos untuknya, rupanya dia buaya betina. Astaga, Mas! Wanita modelan begini, kamu sampai bela segitunya? "Kinos, siapa itu?" "Oh, itu-" "Teman kampungku, Mas. Iya, teman kampungku. Ya sudah, Mbak Rumi, kami permisi dulu. Ayo, Sayang," ucap Ayu pada Pak Hengki.bHampir saja aku tertawa dibuatnya. Ayu, apakah dia benar sudah gila? Bahkan ia memanggil Pak Hengki dengan panggilan Sayang di depanku? Astaga! "Jadi, Ayu selingkuh ya, Neng?" "Sepertinya, Mbok. Benar-benar zaman sudah gila. Untuk apa dia menikah dengan Mas Kinos, kalau ujung-ujungnya masih ber
"Mama?" Mama berdiri dan menghampiriku. Entah apa yang membawa beliau ke sini? Aku pun penasaran, karena tak kulihat adanya Papa yang ikut. "Nak, pulang ya?" pinta Mama setelah aku duduk. Aku terkejut mendengar permintaan mama angkatku ini. Atas dasar apa dia memintaku untuk pulang? Bukankah dulu, mereka malah mengusirku? "Nggak, Ma, Rumi minta maaf," ucapku seraya melepaskan genggaman tangan Mama. "Kenapa, Nak? Kasihan Papamu. Sekarang sakit dan sudah didiagnosa takkan sembuh. Mama mohon, Nak." Aku melengos. Biarkan saja laki-laki itu mati. Apa urusannya denganku? Apakah Mama lupa, kalau suaminya itu dulu bahkan mencoba untuk memperkosaku? "Maaf, Ma, tapi Rumi benar-benar tak bisa. Masih teringat kejadian waktu itu, dan Mama malah menuduh Rumi yang tidak-tidak. Beruntung ada Arum yang membela," ucapku. Ibu membelai punggungku, dan menguatkan. Berbeda sekali dengan Mama yang justru membuang muka. Jika begitu, apa yang membuatnya justru kembali ke sini dan memintaku untuk pulan
Aku meminta Arum membalikkan kursi rodaku agar bisa menghadap ke arah dua sejoli yang tengah bertengkar itu. "Ayu, kamu nggak usah khawatir. Aku ini cacat, kenapa Mas Kinos akan memilihku? Tentu tidak. Dia akan memilihmu, Ayu. Kamu cantik, sempurna. Dan bahkan katanya, kamu lagi hamil anaknya Mas Kinos, kan? Jadi, apa yang kamu cemburuin dari wanita cacat dan tak bisa hamil seperti aku ini? Yah, meskipun itu semua juga karena perbuatannya, sehingga aku merasakan ini semua. Tapi tak apa, aku ikhlas. Berbahagia lah kalian. Kamu, Mas, jangan pernah menyesal sudah seperti ini," ucapku. "Rum, rumah tangga kita baik-baik saja. Kenapa kamu mau pergi? Tetap di sini, ya?" pinta Mas Kinos, sepertinya ia tak menghiraukan ucapan istri muda yang tengah mengandung anaknya itu. "Mas!" teriak Ayu. "Tidak, Mas. Rumah tangga kita tidak sedang baik-baik saja. Apalagi, sejak kedatangan wanita lain di tengah kebahagiaan kita. Sejak saat itu, tak pernah ada kebahagiaan di hidupku. Kalau begitu, aku perm