Kurasakan tubuhku terantuk ke dashboard mobil. Aku meringis, terasa ada yang mengalir di dahi, saat melihat darah, aku sungguh terkejut. Kucoba menoleh pada Mas Haris, namun sulit. Kenapa dengan leherku? Ya Tuhan! Jangan sampai Kau tambah penderitaanku. Apa tak cukup dengan kehilangan tangan dan kaki?Kepalaku berdenyut, hingga terasa seperti otot ditarik lalu semuanya, gelap. --Pov Arum.Aku akhirnya memutuskan untuk jujur pada Mas Haris, bahwa aku memang hamil anaknya. Toh sampai kapan aku akan menyembunyikan semua ini darinya? Ibu dan adik-adik iparku pun pada senang, kalau Bapak belum tahu karena kemarin memang tak ada di rumah. Aku menghela napas, mengingat raut wajah Rumi yang sama sekali tak menyiratkan kesenangan. Tentu, siapa yang bakal senang dengan kabar kehamilan dari mantan istri calon suaminya? Seandainya bisa, mungkin ia akan mengatakan itu di hadapan Mas Haris atau Ibu. "Keputusan Arum sudah benar kan ya, Bun?" tanyaku pada Bunda saat tengah minum teh bersama di
Malam hari. Aku mengerutkan kening karena mendapati pesan dari Rumi. Kupikir, wanita itu sudah mengganti nomor ponselnya karena tak pernah terlihat status yang ia buat. Apa aku disembunyikan? Yah, gak rugi juga, sih. Aku pun segera membukanya, namun semenit kemudian aku menyesal karena telah membuka pesan itu. Isinya berupa sumpah serapah. Bahkan yang membuatku terkejut, ia menyumpahi anakku! Sengaja tak kubalas pesannya, malah kuteruskan pesan itu pada Mas Helmi, supaya ia bisa membacanya. Selama ini aku diamkan, kupikir ia akan bertambah dewasa. Nyatanya, ia malah semakin seperti anak kecil dan kini malah keterlaluan. [Ajari calon istri tersayangmu itu. Jika memang dia takut kamu aku rebut, maka aku tak akan pernah mengganggumu lagi, Mas. Anggap tadi pertemuan kita yang terakhir!] Setelahnya kumatikan ponsel, lalu mencoba untuk memejamkan mata meski terasa susah. --Esok hari. Aku dikejutkan dengan kedatangan kedua orang tua Kinos. Kami sudah lama tak bertemu, dan kini terasa
"Mas!" Aku bernapas lega saat melihatnya tengah makan jeruk. Astaghfirullah, Mas Haris! Ibu, di sebelahnya hanya senyam-senyum menatap kami. "Ibu, bikin kaget saja," ucapku sambil meletakkan tas di sofa. "Hehehe, Ibu cuma ngetest aja, ternyata kamu masih peduli dengan mantan suamimu," ucap Ibu dengan tatapan yang membuatku salah tingkah. Bunda datang terakhir karena tadi sempat ke toilet dulu. Beliau menghampiri Mas Haris dan memukul lengannya. Yang dipukul malah terkekeh. "Kok bisa kecelakaan, sih?" tanyaku. "Rumi bikin ulah." Ngomong-ngomong rumi, ke mana dia? Kok gak kelihatan? Ingin bertanya, tapi ragu. "Ruminya gimana?" tanya Bunda. "Ada luka di kepalanya, tapi ga parah. Ada di ruangan sebelah. Tadinya minta disatukan aja ruangannya. Gimana pun, Ibu juga khawatir kalau dia sendirian. Tapi gak lama kemian, keuarga datang dan bilang mau di ruangan sebelah aja. Jadi ya udah." Aku hanya manggut-manggut saja. Mas Haris terus memperhatikanku hingga membuatku salah tingkah. "
"Ya seperti ucapanku tempo hari. Aku mendengar semuanya, Rum." "Iya, tapi kamu nggak mendengar semuanya." "Kamu bilang iya, kok." "Iya, aku minta maaf, tapi aku butuh waktu untuk berpikir," jawabku. "Kamu jawab begitu?" tanyanya. Aku mengangguk, ya memang begifu. Memangnya apa lagi? "Jadi, masih ada kesempatan buat aku?" Aku terdiam. Kesempatan? Menurutku, setelah kami bercerai, kesempatan itu tidak ada. Entah, aku tak berpikir untuk menjalin hubungan dengan seseorang akhir-akhir ini. "Aku mau fokus lahirin anak dan membesarkannya, Mas. Kalau untuk menjalin hubungan lagi, kayaknya aku belum siap." "Meski sama aku?""Di samping aku masih dalam masa iddah, aku juga masih kepikiran dengan pernikahan kita yang lalu." "Kamu belum memaafkanku?" "Bukan begitu. Aku sudah memaafkanmu dari jauh hari.""Apa aku sudah tidak ada di hatimu?" Aku menggeleng. Bukan, bukan itu. Ada alasan yang susah untuk aku jelaskan. "Kenapa kamu tidak bisa memberi kesempatan buat aku, Rum? Untuk menebu
"Papa!" teriakku. Aku menoleh pada orang yang telah menyelamatkanku. "A-Arum?" Aku terkejut saat ia malah membuat Papa tergeletak di bawah. "Rum, gimana ini? Aku cuma mau membantumu saja. Aku cuma menggeser badannya, tapi kenapa papamu malah begini?"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku. "Itu bukan pertanyaan yang tepat untuk sekarang. Ini bagaimana?" tanya Arum. Aku hanya mengedikkan bahu. Aku sungguh tak peduli pada lelaki yang tengah pingsan itu. Bagus kalau dia mati sekalian. Tapi mana ada orang yang langsung mati dengan sekali dorong? "Aku cari bantuan dulu," ucap Arum. Aku hanya diam saja. Memandanginya yang keluar untuk mencari pertolongan, lalu kembali lagi beberapa saat kemudian. Aku sendiri hanya melihatnya tanpa mau membantu. Beberapa perawat lelaki masuk dan menggotong Papa serta meletakkannya di ranjang sebelahku. Tak lama kemudian, Dokter datang dan memeriksanya. Saat kuperhatikan, raut wajah lelaki itu justru sedikit terkejut. Mama kembali setelah membeli sesutu di l
Sampai di kamar, ternyata sudah ada Arum. Wanita itu, sejak aku masuk ke rumah sakit, tak pernah absen mendatangi kamarku. Meski sudah kularang untuk datang. "Sini, Rum. Kita makan bareng." "Nggak usah sok baik," ujarku sambil melengos, lalu memutar roda ke dekat ranjang, dan berusahan keras untuk pindah karena ranjang tinggi, sehingga menyusahknku untuk naik. "Siapa yang sok baik, sih? Aku cuma mau nemenin kamu makan siang. Tadi suster sudah datang bawakan makan siangmu. Aku juga sudah beli di bawah. Ayo, makan bareng," ucapnya. "Rum, ini aku Rumi, loh.""Loh, yang bilang kamu Rumono itu siapa? Sudah, ayo makan." Aku menerima sendok pemberiannya, sambil terus menatapinya. Ia tulus, atau ada niatan yang terselubung?"Enak juga makanan di kantin." "Rum," ucapku setelah menelan nasi. "Hem?" "Kamu, kenapa baik sama aku?" tanyaku."Maksudnya?""Aku ini sudah jahat sama kamu, loh. Kenapa kamu baik? Apa kamu punya niat terselubung sama aku?" tanyaku yang membuat Arum mendelik. "Aku
Aku terengah-engah. Seperti habis berjalan di padang pasir yang luas. Ingatan apa itu? Aku benar-benar lupa akan kejadian tiga tahun lalu. Yang kuingat hanyalah aku izin untuk tidur setelah capek membantu kakaknya Kinos. "Jadi, ingatan apa itu?" Tiba-tiba saja, sebuah kejadian melintas di otakku, bersamaan dengan rasa nyeri. Tanpa sadar, aku berteriak, hingga membuat Ibu dan Mas Haris terbangun. Rasa sakit ini, terus terasa menghimpit hingga aku kesusahan bernapas. Allahu Rabbi ... Kenapa ini? Lalu setelahnya, gelap! --Aku terbangun saat sudah berada di atas ranjang, sebelah Mas Haris. Lelaki itu menatapku cemas. Juga sudah ada Bunda dan Ayah yang menampilkan wajah serupa dengan Mas Haris. "Kenapa?" tanyaku pada Mas Haris. "Kamu sudah sadar? Alhamdulillah," ucap Mas Haris. Bunda mendekat, lalu menangis tersedu. Allah, kenapa Bunda berlebihan seperti ini? "Bun, Arum nggak kenapa-napa. Nggak usah berlebihan seperti ini." "Bunda takut, Nak." "Nggak papa, Bun." Kini, aku ingat
"Kinos. Dia membohongiku. Saat itu aku tidak sedang tertidur. Dia ... Dia hendak melecehkanku." Semua orang beristighfar. Aku sendiri memegangi kepala yang terasa berdenyut. Sungguh, ini seperti mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang menggumpal di hati. "Benar-benar kurang aj*r si Kinos itu. Bunda pikir, dia benar-benar baik dan tulus," ucap Bunda. "Bunda, tahu dari siapa kalau waktu itu aku terbangun dari tidur dan keluar dari mobil?" tanyaku. "Dari keluarganya Kinos. Pas itu, mereka bilang kalau rekaman kamera dashboard sudah mereka lihat." "Bunda nggak ikut melihat?" tanyaku. Bunda menggeleng. Aku menghela napas panjang. Namun, aku bersyukur. Karena sudah bisa mengingat semua dan mengetahui cerita aslinya. "Kamu sudah nggak apa-apa, Nak?" tanya Bunda. "Nggak papa, Bu." "Ya sudah, kalau gitu istirahat dulu. Ibu sudah izin sama perawat untuk memakai ranjang satu lagi." Aku mengangguk, kemudian merebahkan tubuh. Mas Haris sudah sudah kembali ke ranjangnya. Bunda mengambil
“Kenapa, Neng? Kok bengong gitu” tanya Mbok Nah. “Itu tadi si Arum kupanggil, tapi nggak nyaut. Mana jalannya cepat banget. Terus nggak lama, dia keluar lagi naik motor.” “Ya sudah, Neng, ayo kita susul!” ajak Mbok Nah. Aku mengangguk saja, lalu Mbok Nah membantu mendorong kursi rodaku menuju rumah Ibu yang terdengar berisik. “Ada apa ini, Bu?” tanyaku pada Ibu yang tengah menimang Renda.” “Ayahnya Arum, masuk rumah sakit lagi. Sekarang katanya gagal jantung.” Aku menutup mulut mendengar ucapan Ibu. Gagal jantung? Apakah ayahnya Arum memiliki riwayat penyakit itu? “Mas Haris ke mana, Bu?” “Dari kantornya, langsung ke rumah sakit. Kita saling mendo’akan saja, ya,” ucap Ibu. “Aamiin.” -- Setelah tengah malam, baru kami mendapat kabar kalau ayanya Arum meninggal dunia. Mendengar kabar itu, membuatku antara percaya dan tak percaya. Orang sebaik ayahnya Arum, kenapa cepat sekali meninggalnya? Keesokan hari. Kami sudah stand by di rumah Arum setelah Bapak meminta kunci rumah pad
“Untuk apa datang ke sini, Kak?” tanyaku pada Kak Karina yang sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan.“Kakak ingin bicara denganmu, Rum,” ucap Kak Karina.Aku melengos. Bagiku, tak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kami. Sudah cukup penghinaan mereka atas diriku.“Aku sibuk, Kak. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan juga. Aku dan Mas Kinos sudahh bercerai. Pun aku tak pernah mencoba menghubunginya lagi. Jadi, baik Kak Karina ataupun Ayu tak perlu takut dan khawatir karena aku takkan mengganggu rumah tangga orang lain. Beda dengan Ayu ataupun seseorang,” ucapku ambil mengangkat nampan kosong dan menyerahkannya pada Mbok Minah.“Kamu nyindir aku, Rum?” tanya Kak Karina.Hampir saja aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Ya dipikir saja, memangnya kalau bukan dia, lantas siapa? Siapa orang yang dengan sengaja memasukkan Ayu dalam rumah tangga yang adem, ayem, dan tentram?“Maaf, Kak, tokonya mau aku tutup,” ucapku sambil meninggalkannya ke dalam.“Aku tak menyangka jika
NAMA PEREMPUAN LAIN DI BUKU HARIAN SUAMIKU“Apa Bapak nggak salah bicara?” tanyaku.“Nggak, Rum. Nak Rhman datang ke sini memnag untuk melamarmu.”Aku terdiam mendengar ucapan Bapak. Bukan Lina yang hendak dilamarnya, namun aku? Aku, seorang janda yang bahkan tak memiliki rahim ini, hendak dinikahi oleh juragan beras seperti Mas Rohman?“Bagaimana, Nduk?” tanya Bapak.Aku menatap Lina yang seakan kehilangan semangat, pun terlihat jelas bahwa ia kecewa dengan kenyatan yang diucapkan oleh Bapak tadi. Aku menggeleng, bukan karena Lina sebenarnya, tapi aku sendiri belum mau memulai suatu hubungan lagi. Bagiku sudah cukup hidup begini. Menekuni bidang usaha yang baru saja kurintis.“Maaf, Pak, Rumi belum bersedia. Lagipula, baru kemarin Rumi bercerai. Rasanya tak elok jika langsung menjalin hubungan dengan orang lain lagi,” ucapku.“Ya sudah. Bapak pun setuju denganmu. Tadi sebenarnya sudah Bapak tolak. Tapi, Nak Rohman malah maksa. Jadi, sudah pasti ya kamu menolaknya?”
[Bisa kita ketemu?] Aku mengerutkan kening saat Kak Karina mengajak bertemu. Hendak apa? Apa mau membahas hal yang kemarin? Astaga! Apa tak ada hal yang lebih penting? [Maaf, Kak, aku sibuk.] [Ini yang terakhir kali.] Aku akhirnya menyetujui bertemu dengannya, dengan syarat dia tak boleh membawa Ayu maupun Mas Kinos, dan Kak Karina langsung menyetujuinya. "Mbok, nanti temani aku ketemu Kak Karina dulu, ya?" "Oke, Neng." Aku mengangguk. Beruntung punya Mbok Minah, yang siap menemaniku ke mana saja dan ngapain saja. Sehingga aku tak merasa sendiri. Arum datang membawa Renda, ia menangis sesenggukan. Aku yang bingung kenapa, langsung mendekatinya. "Kenapa, Rum?" tanyaku. "Ayah masuk rumah sakit. Kecelakaan, Rum. Gimana ini," ucapnya sambil menangis. "Ya Allah! Sini, biar aku jagain Renda. Kamu kalau mau ke rumah sakit, pergi lah. Biar nanti aku yang jaga Renda dan kasih tahu Ibu kalau sudah pulang dari antar makan siang." "Nggak papa, Rum?" tanyanya. "Ya nggak papa, lah. Mem
“Masa iya, sepupu kelakuannya begini, Pak?” tanya Mbok Minah pada Mas Kinos. Sementara Ayu wajahnya begitu pias.“Bisa kamu jelaskan maksud dari semua ini, Yu?” tanya Mas Kinos.“Mas, kamu jangan langsung percaya sama Mbok Minah. Dia itu pasti berpihak sama Mbak Rumi, Mas.”“Kamu benar-benar keterlaluan, Yu. Mas sama sekali tak menyangka, sudah membela dan memilih orang sepertimu.”Setelahnya Mas Kinos pergi, disusul dengan Ayu yang gelagapan dan mengejarnya. Sementara Kak Karina, menatapku dengan tatapan entah, sebelum akhirnya pergi menyusul adik dan iparnya itu menuju mobil. Apakah ia juga mengira kalau aku dan Mbok Minah kerjasama demi membuat pasangan itu tercerai berai?Aku pergi masuk terlebih dahulu, setelah memastikan tamu tak diundang itu melajukan mobilnya. Kuteguk air putih satu gelas penuh. Benar-benar tak habis pikir. Kenapa Ayu selalu saja membuatku dan Mas Kinos salah paham?apakah memberi tahu fakta pada suamiku itu salah? Ah, aku lupa. Kami bahkan suda bercerai bebera
"Apa sih, Mas? Kalau datang itu salam, bukan main nyemprot aja!" tanyaku padanya begitu kami bertatapan. "Aku benar-benar tak menyangka, kalau kamu bisa berbuat sejahat ini pada Ayu, Rum. Kupikir, kamu adik ipar yang baik. Ternyata aku salah. Sudah cacat, jahat pula!" Aku mengepalkan tangan, merasa sakit hati sekali atas penghinaan darinya. Memangnya, tangan dan kakiku menghilang sebelah, akibat perbuatan siapa kalau bukan perbuatan adiknya tersayang itu?Ternyata, bukan cuma Mas Kinos saja yang datang, Kak Karina dan Ayu juga. Herannya, maduku itu diperban pipi kanannya diperban. Aku jadi was-was, kenapa perasaanku sangat tak tenang?"Kamu tanya kenapa? Lihat! Kamu menampar Ayu dengan kencang, kan?" tanya Mas Kinos sambil menarik Ayu dan memperlihatkan perban di pipinya itu. Wajahnya pura-pura mengaduh, kesakitan.Aku mengerutkan kening, kapan aku melakukannya? Ah, jangan bilang, ini hanyalah tipu daya Ayu supaya Mas Kinos semakin membenciku dan tak membuatku melaporkannya pada Mas
"Ayu?" "M-Mbak Rumi." Pak Hengki bolak-balik memperhatikanku dan Ayu bergantian. Sepertinya, ia tak menyangka jika aku dan pacarnya itu saling kenal. Apa Pak Hengki nggak tahu, kalau Ayu sudah menikah dan bahkan sekarang sedang hamil anak Mas Kinos? "Sayang, kamu kenal dia?" tanya Pak Hengki. "Anu, Mas..." "Mas Kinos mana, Yu? Kok kamu jalan sama Mas Hengki," ucapku, sambil memegang ponsel kuat-kuat. Susah payah kurelakan Mas Kinos untuknya, rupanya dia buaya betina. Astaga, Mas! Wanita modelan begini, kamu sampai bela segitunya? "Kinos, siapa itu?" "Oh, itu-" "Teman kampungku, Mas. Iya, teman kampungku. Ya sudah, Mbak Rumi, kami permisi dulu. Ayo, Sayang," ucap Ayu pada Pak Hengki.bHampir saja aku tertawa dibuatnya. Ayu, apakah dia benar sudah gila? Bahkan ia memanggil Pak Hengki dengan panggilan Sayang di depanku? Astaga! "Jadi, Ayu selingkuh ya, Neng?" "Sepertinya, Mbok. Benar-benar zaman sudah gila. Untuk apa dia menikah dengan Mas Kinos, kalau ujung-ujungnya masih ber
"Mama?" Mama berdiri dan menghampiriku. Entah apa yang membawa beliau ke sini? Aku pun penasaran, karena tak kulihat adanya Papa yang ikut. "Nak, pulang ya?" pinta Mama setelah aku duduk. Aku terkejut mendengar permintaan mama angkatku ini. Atas dasar apa dia memintaku untuk pulang? Bukankah dulu, mereka malah mengusirku? "Nggak, Ma, Rumi minta maaf," ucapku seraya melepaskan genggaman tangan Mama. "Kenapa, Nak? Kasihan Papamu. Sekarang sakit dan sudah didiagnosa takkan sembuh. Mama mohon, Nak." Aku melengos. Biarkan saja laki-laki itu mati. Apa urusannya denganku? Apakah Mama lupa, kalau suaminya itu dulu bahkan mencoba untuk memperkosaku? "Maaf, Ma, tapi Rumi benar-benar tak bisa. Masih teringat kejadian waktu itu, dan Mama malah menuduh Rumi yang tidak-tidak. Beruntung ada Arum yang membela," ucapku. Ibu membelai punggungku, dan menguatkan. Berbeda sekali dengan Mama yang justru membuang muka. Jika begitu, apa yang membuatnya justru kembali ke sini dan memintaku untuk pulan
Aku meminta Arum membalikkan kursi rodaku agar bisa menghadap ke arah dua sejoli yang tengah bertengkar itu. "Ayu, kamu nggak usah khawatir. Aku ini cacat, kenapa Mas Kinos akan memilihku? Tentu tidak. Dia akan memilihmu, Ayu. Kamu cantik, sempurna. Dan bahkan katanya, kamu lagi hamil anaknya Mas Kinos, kan? Jadi, apa yang kamu cemburuin dari wanita cacat dan tak bisa hamil seperti aku ini? Yah, meskipun itu semua juga karena perbuatannya, sehingga aku merasakan ini semua. Tapi tak apa, aku ikhlas. Berbahagia lah kalian. Kamu, Mas, jangan pernah menyesal sudah seperti ini," ucapku. "Rum, rumah tangga kita baik-baik saja. Kenapa kamu mau pergi? Tetap di sini, ya?" pinta Mas Kinos, sepertinya ia tak menghiraukan ucapan istri muda yang tengah mengandung anaknya itu. "Mas!" teriak Ayu. "Tidak, Mas. Rumah tangga kita tidak sedang baik-baik saja. Apalagi, sejak kedatangan wanita lain di tengah kebahagiaan kita. Sejak saat itu, tak pernah ada kebahagiaan di hidupku. Kalau begitu, aku perm