Aku terengah-engah. Seperti habis berjalan di padang pasir yang luas. Ingatan apa itu? Aku benar-benar lupa akan kejadian tiga tahun lalu. Yang kuingat hanyalah aku izin untuk tidur setelah capek membantu kakaknya Kinos. "Jadi, ingatan apa itu?" Tiba-tiba saja, sebuah kejadian melintas di otakku, bersamaan dengan rasa nyeri. Tanpa sadar, aku berteriak, hingga membuat Ibu dan Mas Haris terbangun. Rasa sakit ini, terus terasa menghimpit hingga aku kesusahan bernapas. Allahu Rabbi ... Kenapa ini? Lalu setelahnya, gelap! --Aku terbangun saat sudah berada di atas ranjang, sebelah Mas Haris. Lelaki itu menatapku cemas. Juga sudah ada Bunda dan Ayah yang menampilkan wajah serupa dengan Mas Haris. "Kenapa?" tanyaku pada Mas Haris. "Kamu sudah sadar? Alhamdulillah," ucap Mas Haris. Bunda mendekat, lalu menangis tersedu. Allah, kenapa Bunda berlebihan seperti ini? "Bun, Arum nggak kenapa-napa. Nggak usah berlebihan seperti ini." "Bunda takut, Nak." "Nggak papa, Bun." Kini, aku ingat
"Kinos. Dia membohongiku. Saat itu aku tidak sedang tertidur. Dia ... Dia hendak melecehkanku." Semua orang beristighfar. Aku sendiri memegangi kepala yang terasa berdenyut. Sungguh, ini seperti mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang menggumpal di hati. "Benar-benar kurang aj*r si Kinos itu. Bunda pikir, dia benar-benar baik dan tulus," ucap Bunda. "Bunda, tahu dari siapa kalau waktu itu aku terbangun dari tidur dan keluar dari mobil?" tanyaku. "Dari keluarganya Kinos. Pas itu, mereka bilang kalau rekaman kamera dashboard sudah mereka lihat." "Bunda nggak ikut melihat?" tanyaku. Bunda menggeleng. Aku menghela napas panjang. Namun, aku bersyukur. Karena sudah bisa mengingat semua dan mengetahui cerita aslinya. "Kamu sudah nggak apa-apa, Nak?" tanya Bunda. "Nggak papa, Bu." "Ya sudah, kalau gitu istirahat dulu. Ibu sudah izin sama perawat untuk memakai ranjang satu lagi." Aku mengangguk, kemudian merebahkan tubuh. Mas Haris sudah sudah kembali ke ranjangnya. Bunda mengambil
"Apa kamu tahu siapa perempuan itu, Rum?" tanya Lisa. "Sepertinya aku memang tahu." "Siapa?" "Rumi." "Maksudnya, Rumi mantan pacarnya Haris?" tanya Kalisa. Aku mengangguk, meski masih bingung dengan hubungan antara Kinos dan Rumi. Apakah Rumi baik-baik saja? Atau, mereka tengah merencanakan sesuatu?"Ya sudah lah, makan aja. Nggak usah pikirin itu lagi. Toh, kamu nggak ada hubungan lagi dengan mereka berdua, kan?" tanya Kalisa. "Iya." Kami pun melanjutkan makan, lalu Lisa mengantarkanku sampai rumah. Ah iya, aku lupa memberitahu kalau Lisa sekarang tinggal di dekat sini. Ia membeli rumah di sebelahku. Tepatnya, rumah bekas aku mengontrak dulu. Aku sempat menanyakan alasannya. Jawabannya, ia sudah bosan tinggal di kota, jadi ia kembali ke kampung. Suaminya pun tak keberatan. Sebenarnya, poin utamanya adalah, karena rumah ini dijual murah. Hihi. "Mau mampir?" tawarku. "Eleeh, kaya rumah jauh aja," jawab Lisa yang membuat kami tergelak. "Makasih, ya." Lisa mengangguk, lalu ak
"Kenapa gitu?""Dia kan pelakor.""Lalu, apa hubungannya dengan Kakak." "Ish! Bisa jadi Mas Haris nanti direbut sama dia." "Nad, Kakak dan Mas Haris itu sudah cerai. Sudah lah nggak usah bawa-bawa dia lagi. Kapan move on-nya kalau selalu bawa nama Mas Haris? Sudah enam bulan lebih kami berpisah.""Eleh. Aku berani taruhan, Kakak masih ada rasa kok sama dia." "Dih, nggak usah sok tahu!" jawabku sambil mengganti saluran televisi. "Dih, salting." "Apa, sih?" ucapku, kemudian berlalu menuju kamar. Tak ingin terus membahas Mas Haris. Hidup itu perlu berjalan maju, jadi kalau menengok ke belakang terus, kapan majunya? Iya, kan? --Esok hari. Aku menemani Nadia pergi ke sebuah mall untuk mencari buku. Sesuai keputusan bersama, demi kebaikan Nadia juga, kami menolak rencana pertukaran pelajar itu meski Nadia sangat menginginkannya. Meski dengan hati sedih, tapi anak itu tetap saja bangkit jiwa berbelanjanya. Apalagi, jika aku yang membayari, mantan lewat saja nggak lihat kayaknya. Se
Setelah kepulangan keluarga Haris, ayah dan Bunda menasehati. Berbagai macam wejangan beliau katakan seolah baru pertama kali aku akan menikah, hihi. "Kami meminta pernikahannya nanti supaya kamu fokus pada kelahiranmu saja, Nak. Bukan apa-apa, ya, tapi demi kebaikan juga." "Iya, Ayah, Arum ngerti kok. Lagi pula minggu depan sudah mau tujuh bulan, dua bulan lagi lahirannya. Arumi lagi ngumpulin mental dulu. Nanya-nanya ke orang yang sudah melahirkan, katanya sakit," ucapku sambil meringis kala mengingat ucapan teman-temanku. "Lagian ngapain nanya? Kalau sakit, mana mungkin orang mempunyai anak lebih dari dua. Bahkan eyangmu saja anaknya enam, kok." Iya juga, sih. Apa mereka hanya mencoba membuatku takut dan berakhir overthinking. Aku pun mengembuskan napas panjang. Mengusap perut yang semakin membesar. "Jika begini, maka nazab anakku nanti sama siapa, Yah?" tanyaku. "Ya sama papanya. Kan kamu hamil waktu masih sama Haris. Kamu cuma terlambat menyadari aja."Aku mengangguk. Samb
"Hehehe, sebenarnya aku datang, cuma telat jadi nunggu di luar. Pas aku baru balik dari mobil ngambil hp, kalian sudah keluar. Terus aku lihat adegan pelukan sambil nangis," ucap Kalisa. "Adegan pelukan itu, sebenernya dia yang narik. Setelah di mobil juga Nadia marahin karena kami bukan mahram lagi." "Bisa-bisanya kalah sama yang muda." "Ya maap." Kami pun melanjutkan obrolan. Dari masalah dia, masalah aku. Hingga wedding dream aku nanti. Tapi, emang masih cocok? Mengingat ini bukan lah pernikahan pertamaku. "Aku cuma mau akad nikah aja. Lagian malu." "Kamu mau nikah, Rum?" tanya Mpok Siti, tetangga Kalisa yang tiba-tiba saja keluar dari balik tembok. "Ya Allah, Mpok, ngagetin aja," ucapku. "Hehe, ya maaf. Kamu mau nikah lagi?" tanyanya yang membuatku malu. Aku pun mengangguk, lalu pertanyaan kedua pun meluncur dari mulutnya. "Sama siapa? Kan kamu hamil." "Sama bapaknya anak ini lah," ucapku. "Maksudnya, mau rujuk?" tanyanya. Aku mengangguk lagi, dia sempat terkejut, lal
"Wu-wulan!" ucapku terbata saat melihat wanita itu datang sambil berjalan menenteng tas kerjanya. Sepertinya ia baru saja pulang dari bekerja. "Iya, ini aku. Bagaimana kbarmu, Arumi?" "Cih! Untuk apa menanyakan kabarku? Sekarang, bukakan ini!" ucapku sambil meronta. Namun, bukannya melepaskan ikatan yang ada di tubuh, Wulan malah terbahak-bahak bersama anak buahnya. S*nting memang! "Coba saja kamu lepaskan kalau bisa. Awas, nanti malah tergesek kulit mulusmu itu." Cih! Aku membuang ludah tepat di sepatunya yang membuat ia bergidik jijik. Melihatnya begitu, aku tertawa. Plak! Kurasakan panas menjalar di area pipiku. Wulan, menamparku. "Berani kamu sama aku, hah?" "Kamu minta aku buat lepasin Mas Haris kan?" "Pintar!" "Tapi aku takkan melepaskannya." "Atau, kamu ingin menukarnya dengan anakmu?" Jantungku serasa berhenti berdetak saat Wulan mengeluarkan sebuah pisau lipat dari tasnya, dan menaruhnya di atas perutku. Meski pisau itu bukan terbuka, tapi aku ngeri melihatnya.
Kurasakan nyeri di perut saat pertama kali bangun. Saat melihat ke sekeliling, semuanya putih. Kuraba perut, tapi sudah tak ada lagi perut buncitku.Allah, bagaimana dengan anakku? "Alhamdulillah ya Allah, kamu sudah bangun?" Suara Mas Haris terdengar dari arah pintu. Aku tersenyum, lalu berusaha duduk namun tak bisa. "Bayi kita gimana, Mas?" tanyaku. "Alhamdulillah, sudah baik-baik saja. Tapi sekarang ada di ruangan bayi. Meski lahir di kurang bulan, tapi nampaknya dia sehat, Rum. Terima kasih, ya," ucap Mas Haris sambil menitikkan air mata. "Alhamdulillah, ya Allah. Mas, aku sudah takut anak kita akan tak selamat. Terima kasih sudah cepat datang, ya?" "Sama-sama, Rum. Mas memang sudah feeling kalau kamu sedang tidak baik-baik saja. Suaramu terdengar gemetar pas angkat telepon dari aku. Ternyata benar, kan? Kamu bahkan sedang disiksa oleh Wulan. Aku tak menyangka jika wanita itu begitu tega. Maafkan aku, Rum," ucap Mas Haris. "Nggak papa, Mas. Ini semua salahku yang tak menany
“Kenapa, Neng? Kok bengong gitu” tanya Mbok Nah. “Itu tadi si Arum kupanggil, tapi nggak nyaut. Mana jalannya cepat banget. Terus nggak lama, dia keluar lagi naik motor.” “Ya sudah, Neng, ayo kita susul!” ajak Mbok Nah. Aku mengangguk saja, lalu Mbok Nah membantu mendorong kursi rodaku menuju rumah Ibu yang terdengar berisik. “Ada apa ini, Bu?” tanyaku pada Ibu yang tengah menimang Renda.” “Ayahnya Arum, masuk rumah sakit lagi. Sekarang katanya gagal jantung.” Aku menutup mulut mendengar ucapan Ibu. Gagal jantung? Apakah ayahnya Arum memiliki riwayat penyakit itu? “Mas Haris ke mana, Bu?” “Dari kantornya, langsung ke rumah sakit. Kita saling mendo’akan saja, ya,” ucap Ibu. “Aamiin.” -- Setelah tengah malam, baru kami mendapat kabar kalau ayanya Arum meninggal dunia. Mendengar kabar itu, membuatku antara percaya dan tak percaya. Orang sebaik ayahnya Arum, kenapa cepat sekali meninggalnya? Keesokan hari. Kami sudah stand by di rumah Arum setelah Bapak meminta kunci rumah pad
“Untuk apa datang ke sini, Kak?” tanyaku pada Kak Karina yang sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan.“Kakak ingin bicara denganmu, Rum,” ucap Kak Karina.Aku melengos. Bagiku, tak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kami. Sudah cukup penghinaan mereka atas diriku.“Aku sibuk, Kak. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan juga. Aku dan Mas Kinos sudahh bercerai. Pun aku tak pernah mencoba menghubunginya lagi. Jadi, baik Kak Karina ataupun Ayu tak perlu takut dan khawatir karena aku takkan mengganggu rumah tangga orang lain. Beda dengan Ayu ataupun seseorang,” ucapku ambil mengangkat nampan kosong dan menyerahkannya pada Mbok Minah.“Kamu nyindir aku, Rum?” tanya Kak Karina.Hampir saja aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Ya dipikir saja, memangnya kalau bukan dia, lantas siapa? Siapa orang yang dengan sengaja memasukkan Ayu dalam rumah tangga yang adem, ayem, dan tentram?“Maaf, Kak, tokonya mau aku tutup,” ucapku sambil meninggalkannya ke dalam.“Aku tak menyangka jika
NAMA PEREMPUAN LAIN DI BUKU HARIAN SUAMIKU“Apa Bapak nggak salah bicara?” tanyaku.“Nggak, Rum. Nak Rhman datang ke sini memnag untuk melamarmu.”Aku terdiam mendengar ucapan Bapak. Bukan Lina yang hendak dilamarnya, namun aku? Aku, seorang janda yang bahkan tak memiliki rahim ini, hendak dinikahi oleh juragan beras seperti Mas Rohman?“Bagaimana, Nduk?” tanya Bapak.Aku menatap Lina yang seakan kehilangan semangat, pun terlihat jelas bahwa ia kecewa dengan kenyatan yang diucapkan oleh Bapak tadi. Aku menggeleng, bukan karena Lina sebenarnya, tapi aku sendiri belum mau memulai suatu hubungan lagi. Bagiku sudah cukup hidup begini. Menekuni bidang usaha yang baru saja kurintis.“Maaf, Pak, Rumi belum bersedia. Lagipula, baru kemarin Rumi bercerai. Rasanya tak elok jika langsung menjalin hubungan dengan orang lain lagi,” ucapku.“Ya sudah. Bapak pun setuju denganmu. Tadi sebenarnya sudah Bapak tolak. Tapi, Nak Rohman malah maksa. Jadi, sudah pasti ya kamu menolaknya?”
[Bisa kita ketemu?] Aku mengerutkan kening saat Kak Karina mengajak bertemu. Hendak apa? Apa mau membahas hal yang kemarin? Astaga! Apa tak ada hal yang lebih penting? [Maaf, Kak, aku sibuk.] [Ini yang terakhir kali.] Aku akhirnya menyetujui bertemu dengannya, dengan syarat dia tak boleh membawa Ayu maupun Mas Kinos, dan Kak Karina langsung menyetujuinya. "Mbok, nanti temani aku ketemu Kak Karina dulu, ya?" "Oke, Neng." Aku mengangguk. Beruntung punya Mbok Minah, yang siap menemaniku ke mana saja dan ngapain saja. Sehingga aku tak merasa sendiri. Arum datang membawa Renda, ia menangis sesenggukan. Aku yang bingung kenapa, langsung mendekatinya. "Kenapa, Rum?" tanyaku. "Ayah masuk rumah sakit. Kecelakaan, Rum. Gimana ini," ucapnya sambil menangis. "Ya Allah! Sini, biar aku jagain Renda. Kamu kalau mau ke rumah sakit, pergi lah. Biar nanti aku yang jaga Renda dan kasih tahu Ibu kalau sudah pulang dari antar makan siang." "Nggak papa, Rum?" tanyanya. "Ya nggak papa, lah. Mem
“Masa iya, sepupu kelakuannya begini, Pak?” tanya Mbok Minah pada Mas Kinos. Sementara Ayu wajahnya begitu pias.“Bisa kamu jelaskan maksud dari semua ini, Yu?” tanya Mas Kinos.“Mas, kamu jangan langsung percaya sama Mbok Minah. Dia itu pasti berpihak sama Mbak Rumi, Mas.”“Kamu benar-benar keterlaluan, Yu. Mas sama sekali tak menyangka, sudah membela dan memilih orang sepertimu.”Setelahnya Mas Kinos pergi, disusul dengan Ayu yang gelagapan dan mengejarnya. Sementara Kak Karina, menatapku dengan tatapan entah, sebelum akhirnya pergi menyusul adik dan iparnya itu menuju mobil. Apakah ia juga mengira kalau aku dan Mbok Minah kerjasama demi membuat pasangan itu tercerai berai?Aku pergi masuk terlebih dahulu, setelah memastikan tamu tak diundang itu melajukan mobilnya. Kuteguk air putih satu gelas penuh. Benar-benar tak habis pikir. Kenapa Ayu selalu saja membuatku dan Mas Kinos salah paham?apakah memberi tahu fakta pada suamiku itu salah? Ah, aku lupa. Kami bahkan suda bercerai bebera
"Apa sih, Mas? Kalau datang itu salam, bukan main nyemprot aja!" tanyaku padanya begitu kami bertatapan. "Aku benar-benar tak menyangka, kalau kamu bisa berbuat sejahat ini pada Ayu, Rum. Kupikir, kamu adik ipar yang baik. Ternyata aku salah. Sudah cacat, jahat pula!" Aku mengepalkan tangan, merasa sakit hati sekali atas penghinaan darinya. Memangnya, tangan dan kakiku menghilang sebelah, akibat perbuatan siapa kalau bukan perbuatan adiknya tersayang itu?Ternyata, bukan cuma Mas Kinos saja yang datang, Kak Karina dan Ayu juga. Herannya, maduku itu diperban pipi kanannya diperban. Aku jadi was-was, kenapa perasaanku sangat tak tenang?"Kamu tanya kenapa? Lihat! Kamu menampar Ayu dengan kencang, kan?" tanya Mas Kinos sambil menarik Ayu dan memperlihatkan perban di pipinya itu. Wajahnya pura-pura mengaduh, kesakitan.Aku mengerutkan kening, kapan aku melakukannya? Ah, jangan bilang, ini hanyalah tipu daya Ayu supaya Mas Kinos semakin membenciku dan tak membuatku melaporkannya pada Mas
"Ayu?" "M-Mbak Rumi." Pak Hengki bolak-balik memperhatikanku dan Ayu bergantian. Sepertinya, ia tak menyangka jika aku dan pacarnya itu saling kenal. Apa Pak Hengki nggak tahu, kalau Ayu sudah menikah dan bahkan sekarang sedang hamil anak Mas Kinos? "Sayang, kamu kenal dia?" tanya Pak Hengki. "Anu, Mas..." "Mas Kinos mana, Yu? Kok kamu jalan sama Mas Hengki," ucapku, sambil memegang ponsel kuat-kuat. Susah payah kurelakan Mas Kinos untuknya, rupanya dia buaya betina. Astaga, Mas! Wanita modelan begini, kamu sampai bela segitunya? "Kinos, siapa itu?" "Oh, itu-" "Teman kampungku, Mas. Iya, teman kampungku. Ya sudah, Mbak Rumi, kami permisi dulu. Ayo, Sayang," ucap Ayu pada Pak Hengki.bHampir saja aku tertawa dibuatnya. Ayu, apakah dia benar sudah gila? Bahkan ia memanggil Pak Hengki dengan panggilan Sayang di depanku? Astaga! "Jadi, Ayu selingkuh ya, Neng?" "Sepertinya, Mbok. Benar-benar zaman sudah gila. Untuk apa dia menikah dengan Mas Kinos, kalau ujung-ujungnya masih ber
"Mama?" Mama berdiri dan menghampiriku. Entah apa yang membawa beliau ke sini? Aku pun penasaran, karena tak kulihat adanya Papa yang ikut. "Nak, pulang ya?" pinta Mama setelah aku duduk. Aku terkejut mendengar permintaan mama angkatku ini. Atas dasar apa dia memintaku untuk pulang? Bukankah dulu, mereka malah mengusirku? "Nggak, Ma, Rumi minta maaf," ucapku seraya melepaskan genggaman tangan Mama. "Kenapa, Nak? Kasihan Papamu. Sekarang sakit dan sudah didiagnosa takkan sembuh. Mama mohon, Nak." Aku melengos. Biarkan saja laki-laki itu mati. Apa urusannya denganku? Apakah Mama lupa, kalau suaminya itu dulu bahkan mencoba untuk memperkosaku? "Maaf, Ma, tapi Rumi benar-benar tak bisa. Masih teringat kejadian waktu itu, dan Mama malah menuduh Rumi yang tidak-tidak. Beruntung ada Arum yang membela," ucapku. Ibu membelai punggungku, dan menguatkan. Berbeda sekali dengan Mama yang justru membuang muka. Jika begitu, apa yang membuatnya justru kembali ke sini dan memintaku untuk pulan
Aku meminta Arum membalikkan kursi rodaku agar bisa menghadap ke arah dua sejoli yang tengah bertengkar itu. "Ayu, kamu nggak usah khawatir. Aku ini cacat, kenapa Mas Kinos akan memilihku? Tentu tidak. Dia akan memilihmu, Ayu. Kamu cantik, sempurna. Dan bahkan katanya, kamu lagi hamil anaknya Mas Kinos, kan? Jadi, apa yang kamu cemburuin dari wanita cacat dan tak bisa hamil seperti aku ini? Yah, meskipun itu semua juga karena perbuatannya, sehingga aku merasakan ini semua. Tapi tak apa, aku ikhlas. Berbahagia lah kalian. Kamu, Mas, jangan pernah menyesal sudah seperti ini," ucapku. "Rum, rumah tangga kita baik-baik saja. Kenapa kamu mau pergi? Tetap di sini, ya?" pinta Mas Kinos, sepertinya ia tak menghiraukan ucapan istri muda yang tengah mengandung anaknya itu. "Mas!" teriak Ayu. "Tidak, Mas. Rumah tangga kita tidak sedang baik-baik saja. Apalagi, sejak kedatangan wanita lain di tengah kebahagiaan kita. Sejak saat itu, tak pernah ada kebahagiaan di hidupku. Kalau begitu, aku perm