"Kenapa dia semarah itu, sih, cuma gara-gara tehnya diminum sama kamu, Han?" tanyaku pada Hana. "Misinya gak berjalan lancar," gumam Hana, namun aku bisa mendengarnya dengan jelas. "Hah? Misi apa?""Eh? Enggak, kok. Mas salah denger. Udah ah, aku mau ke kamar, mau belajar. Besok ada ulangan." "Belajar yang rajin ya, adikku," ucapku sambil nsngacak rambutnya. "Ish! Kebisaan," ucap Hana sambil membenarkan rambutnya.Hana sikapnya berubah padaku sejak tahu kalau aku menikahi Arum hanya untuk balas dendam. Ya wajar, sih. Ia pasti kecewa. Karena ia paling dekat dengan Arum. Yang mengetahui tujuan pernikahanku adalah Ibu dan Lina saja. Aku pun masuk ke dalam kamar, menatap langit-langit kamar sambil merebahkan diri. Ucapan Kinos tadi terngiang di kepala. - Flashback, On-"Bunda, sebenarnya, Kinos ingin menikahi Arum." Terdengae ucapan Kinos pada Bunda sewaktu aku datang kembali ingin memberikan buah dan kue. "Menikah?" "Iya, Bunda. Apakah Bunda setuju?" "Tapi, Arum belum selesai
"Apa, Bu? Menikah?" "Iya. Kamu dan Rumi kan sudah lama menjalin hubungan. Sudah saling tahu satu sama lain," ucap Ibu yang membuat senyumku mengembang. "Haris pikirkan nanti, Bu." Saat mendengar suara langkah kaki dari dalam, aku segera memutar kursi rodaku menuju dapur dan berpura-pura mengambil minum. Saat menoleh, Mas Haris tengah memprerhatikanku. "Kenapa, Mas?" tanyaku. "Oh, nggak. Aku mau beli sarapan, kamu mau nitip?" tanyanya. "Boleh, apa aku boleh ikut, Mas?" tanyaku. Kami dulu sering sekali jalan-jalan bersama. "Nggak usah, Rum, biar aku saja." Aku mengangguk, meski kecewa. Sepertinya Mas Haris memang malu jalan denganku. Yah, siapa yang tak malu jika memiliki pasangan yang hanya punya sebelah kaki dan sebelah pergelangan tangan? Tak lama kemudian, Lina keluar sambil memakai jaket, ia tersenyum menatapku. "Mbak, mau ikut jalan-jalan pagi?" tawarnya. "Apa kamu nggak malu, Lin?" tanyaku. "Ngapain malu? Mau, nggak?" Aku mengangguk. Setelah beberapa hari tinggal di
"Ha-Hana?" "Lagi bikin apa, Mbak? Kenapa ga panggil Hana? Kan nanti dibantuin," ucapnya. "O-oh, ini mau bikin teh buat Mas Haris," jawabku. "Oh, dia ngelamun lagi, ya? Kayaknya memang cinta banget sama Mbak Arum, makanya sampe ngelamun terus," ucap Hana sambil berlalu ke kamarnya. Meski kesal karena dia membawa-bawa Arum, tapi setidaknya aku bisa bernapas lega karena dia tak curiga. Andai tadi ketahuan, bisa-bisa aku langsung diusir dari sini. "Membayangkannya saja aku udah merinding," ucapku sambil menatap botol kecil yang sempat kumasukan ke dalam saku. "Kamu harapanku satu-satunya. Semoga setelah ini Mas Haris akan berpaling dari Arum dan kembali padaku," Kupegang teh itu dengan tangan normalku, sementara untuk memutar roda, aku menggunakan lengan sebelah kiri. Meski terasa kaku, namun aku seperti sudah terbiasa sekarang. Aku mendekat pada Mas Haris, dan menyerahkan air minum itu di setelahnya. Setelahnya aku tersenyum, dan memanggil Mas Haris yang seperti tengah melamun.
"Bu, sepertinya memang Arum sudah bahagia." Terdengar suara Mas Haris di kamar ibunya."Iyakah? Sabar, Nak, mungkin kalian memang tak berjodoh." Mas Haris, sampai kapan kamu akan memikirkan Arum terus? Kenapa kamu tak bisa melihatku? --Pov Haris Kini setiap pulang kerja, kegiatanku bertambah dengan melihat Arum. Wanita itu, kini terlihat semakin bahagia. Setiap hari, selalu ada Kinos di setiap sorenya. Apakah mereka benar-benar akan bahagia? "Sepertinya Arum memang sudah bahagia, Bu," ucapku kala aku berada di kamar Ibu. Aku memang lebih dekat dengan Ibu dari pada Bapak. Dan lagi, Ibu lebih bisa diajak curhat. Bapak sedari awal memang menyayangkan kami yang bercerai, karena beliau memang sudah menyukai Arum. Bahkan dulu, beliau tak menyakai Rumi sebanyak menyukai Arum. Dari sini aku sadar, Arum juga telah banyak memberikan hal positif bagi keluargaku. Meski umur pernikahan kami hanya sampai di empat bulan. "Iyakah? Sabar, Nak, mungkin kalian memang tak berjodoh."Ucapan Ibu b
Arum dan Kinos menoleh. Wajah wanita yang sangat kucintai itu terkejut. Ah, padahal setiap hari aku melihatnya, namun kenapa aku seperti lama tak melihatnya? Kenapa ia bertambah cantik? "Mas Haris?""Ngapain kamu di sini?" tanya Kinos, sok ikut campur. "Lebih baik kamu diam, karena ini urusanku dengan Arumi." "Tak bisa begitu, lah. Arumi kan-""Calon istrimu?" "Eh?" Aku menoleh pada Arumi yang terlihat terkejut. "Waktu itu, kamu bukannya sudah ke mobil, Mas?" tanya Arum. Aku hanya diam saja. "Jadi kamu mendengar semuanya?" Aku berjalan mendekat padanya, terlihat mata Arumi berkaca-kaca. "Jadi kapan, kamu mau ngasih tahu sama aku kalau kamu hamil? Kalau ada anakku di dalam perutmu?" tanyaku, berusaha menahan tangis. "Rum, sebaiknya kita pulang," ajak Kinos."Sebaiknya kamu pulang, dan kalau kamu tahu diri, sebaiknya kamu pergi. Karena ini tak ada sangkut pautmya denganmu," ucapku. "Iya, Mas, aku hamil anakmu." Air mata itu lolos begitu saja. Bahagia, sedih, dan kecewa, bercam
Arum hanya diam saja, tapi aku bisa melihat mendung di wajahnya. Ini semua gara-gara Rumi. Aku mendorong kursi rodanya sampai ke teras. Ia terlihat senang, mungkin mengira aku ingin berduaan dengannya. "Kenapa, Mas?" tanyanya dengan senyum lebar. "Kenapa kamu ngomong kaya gitu di depan Arum tadi?" tanyaku pada Rumi. "Memang kenapa, Mas? Aku hanya berusaha mengundangnya ke acara pernikahan kita nanti." "Nggak, ada niat lain pada dirimu. Iya, kan?" Rumi terlihat kegalagapan. Nah, panik kan dia? "Ngga kok, Mas. Kenapa kamu mikirnya jelek gitu ke aku, sih?" "Arum lagi hamil, anakku. Jadi, jangan sampai kamu mempengaruhi kehamilannya, Rum." "Ha-hamil?" tanyanya."Ya," jawabku sambil berlalu meninggalkannya. -Pov Rumi Aku terkejut melihat kedatangan Arum ke sini. Mau apa wanita itu? Kenapa ia bisa datang dengan Mas Haris? Apa mereka datang bersama? Jadi, Mas Haris habis dari rumahnya? Perlakuan Ibu dan adik-adik Mas Haris pada wanita itu sungguh berlebihan. Bahkan Hana, yang pad
"Apa-apaan ini?" tanya Bunda. Aku gemetar bukan main. Apalagi dihakimi oleh lima orang yang ada di sini. Bagaimana ini? Apa yang harus kulatakan? Ayo, Rumi! Berpikir, laah!"I-itu air biasa kok," ucapku, sambil mengalihkan pandangan. "Air apa, Rum?" tanya Mas Haris. Nada suaranya tegas, tak seperti Mas Haris biasanya. Namun, itu membuatku merinding. Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku pun beralasan ingin ke kamar mandi, lalu menutup rapat pintunya. Di dalam kamar mandi, aku berusaha berpikir keras. Alasan apa yang bisa kukeluarkan? Lagi pula, kenapa Hana bisa mendapatkan itu semua? Apa ia merekamku kemarin? Saat aku membuatkan teh manis untuk Mas Haris dan hampir saja dipergokinya? Atau, jangan-jangan dia sudah tahu lebih awal? Dari saat pertama kali dia meminum teh buatanku itu.Setelah mendapatkan jawaban, aku keluar. Kepercayaan diriku yang kubangun di dalam kamar mandi tadi, tiba-tiba menurun begitu saja karena tatapan dari lima orang di hadapanku. Setelah berdehem, aku pun kembali
Aku segera menggeleng. "Nggak, aku gak pernah melakukan itu. Kamu jangan menuduhku sembarangan, Han." "Ya siapa tahu, kan? Mbak Rumi saja tega kok melakukan hal keji seperti memasukan air pelet dalam minuman Mas Haris. Itu sebabnya, tempo hari aku meminum teh yang dibuatnya untukmu, Mas. Karena menurut laki-laki itu, jika air itu diminum selain oleh Mas Haris, maka akan mental dan berbalik menjadi kebencian untuknya," jawab Hana. Mati sudah aku! "Itu sebabnya, makin hari aku makin enggan melihatmu, Rum." Semua orang meninggalkanku di meja makan. Apalagi Bapak, lelaki itu menatapku penuh dengan sorot kebencian. Tuhan, semoga saja mereka tak mengusirku. Aku mengetuk kamar Mas Haris. Memanggilmya sampai tengah malam, namun tak ada tanda-tandanya ia akan keluar dan menemuiku. "Maafkan aku, Mas. Aku janji, nggak akan melakukan hal begitu lagi. Di dunia ini, aku cuma punya kalian, Mas. Cuma kamu dan keluargamu yang mengerti aku. Tolong, Mas. Maafkan aku." Aku akhirnya masuk ke dalam k
“Kenapa, Neng? Kok bengong gitu” tanya Mbok Nah. “Itu tadi si Arum kupanggil, tapi nggak nyaut. Mana jalannya cepat banget. Terus nggak lama, dia keluar lagi naik motor.” “Ya sudah, Neng, ayo kita susul!” ajak Mbok Nah. Aku mengangguk saja, lalu Mbok Nah membantu mendorong kursi rodaku menuju rumah Ibu yang terdengar berisik. “Ada apa ini, Bu?” tanyaku pada Ibu yang tengah menimang Renda.” “Ayahnya Arum, masuk rumah sakit lagi. Sekarang katanya gagal jantung.” Aku menutup mulut mendengar ucapan Ibu. Gagal jantung? Apakah ayahnya Arum memiliki riwayat penyakit itu? “Mas Haris ke mana, Bu?” “Dari kantornya, langsung ke rumah sakit. Kita saling mendo’akan saja, ya,” ucap Ibu. “Aamiin.” -- Setelah tengah malam, baru kami mendapat kabar kalau ayanya Arum meninggal dunia. Mendengar kabar itu, membuatku antara percaya dan tak percaya. Orang sebaik ayahnya Arum, kenapa cepat sekali meninggalnya? Keesokan hari. Kami sudah stand by di rumah Arum setelah Bapak meminta kunci rumah pad
“Untuk apa datang ke sini, Kak?” tanyaku pada Kak Karina yang sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan.“Kakak ingin bicara denganmu, Rum,” ucap Kak Karina.Aku melengos. Bagiku, tak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kami. Sudah cukup penghinaan mereka atas diriku.“Aku sibuk, Kak. Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan juga. Aku dan Mas Kinos sudahh bercerai. Pun aku tak pernah mencoba menghubunginya lagi. Jadi, baik Kak Karina ataupun Ayu tak perlu takut dan khawatir karena aku takkan mengganggu rumah tangga orang lain. Beda dengan Ayu ataupun seseorang,” ucapku ambil mengangkat nampan kosong dan menyerahkannya pada Mbok Minah.“Kamu nyindir aku, Rum?” tanya Kak Karina.Hampir saja aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Ya dipikir saja, memangnya kalau bukan dia, lantas siapa? Siapa orang yang dengan sengaja memasukkan Ayu dalam rumah tangga yang adem, ayem, dan tentram?“Maaf, Kak, tokonya mau aku tutup,” ucapku sambil meninggalkannya ke dalam.“Aku tak menyangka jika
NAMA PEREMPUAN LAIN DI BUKU HARIAN SUAMIKU“Apa Bapak nggak salah bicara?” tanyaku.“Nggak, Rum. Nak Rhman datang ke sini memnag untuk melamarmu.”Aku terdiam mendengar ucapan Bapak. Bukan Lina yang hendak dilamarnya, namun aku? Aku, seorang janda yang bahkan tak memiliki rahim ini, hendak dinikahi oleh juragan beras seperti Mas Rohman?“Bagaimana, Nduk?” tanya Bapak.Aku menatap Lina yang seakan kehilangan semangat, pun terlihat jelas bahwa ia kecewa dengan kenyatan yang diucapkan oleh Bapak tadi. Aku menggeleng, bukan karena Lina sebenarnya, tapi aku sendiri belum mau memulai suatu hubungan lagi. Bagiku sudah cukup hidup begini. Menekuni bidang usaha yang baru saja kurintis.“Maaf, Pak, Rumi belum bersedia. Lagipula, baru kemarin Rumi bercerai. Rasanya tak elok jika langsung menjalin hubungan dengan orang lain lagi,” ucapku.“Ya sudah. Bapak pun setuju denganmu. Tadi sebenarnya sudah Bapak tolak. Tapi, Nak Rohman malah maksa. Jadi, sudah pasti ya kamu menolaknya?”
[Bisa kita ketemu?] Aku mengerutkan kening saat Kak Karina mengajak bertemu. Hendak apa? Apa mau membahas hal yang kemarin? Astaga! Apa tak ada hal yang lebih penting? [Maaf, Kak, aku sibuk.] [Ini yang terakhir kali.] Aku akhirnya menyetujui bertemu dengannya, dengan syarat dia tak boleh membawa Ayu maupun Mas Kinos, dan Kak Karina langsung menyetujuinya. "Mbok, nanti temani aku ketemu Kak Karina dulu, ya?" "Oke, Neng." Aku mengangguk. Beruntung punya Mbok Minah, yang siap menemaniku ke mana saja dan ngapain saja. Sehingga aku tak merasa sendiri. Arum datang membawa Renda, ia menangis sesenggukan. Aku yang bingung kenapa, langsung mendekatinya. "Kenapa, Rum?" tanyaku. "Ayah masuk rumah sakit. Kecelakaan, Rum. Gimana ini," ucapnya sambil menangis. "Ya Allah! Sini, biar aku jagain Renda. Kamu kalau mau ke rumah sakit, pergi lah. Biar nanti aku yang jaga Renda dan kasih tahu Ibu kalau sudah pulang dari antar makan siang." "Nggak papa, Rum?" tanyanya. "Ya nggak papa, lah. Mem
“Masa iya, sepupu kelakuannya begini, Pak?” tanya Mbok Minah pada Mas Kinos. Sementara Ayu wajahnya begitu pias.“Bisa kamu jelaskan maksud dari semua ini, Yu?” tanya Mas Kinos.“Mas, kamu jangan langsung percaya sama Mbok Minah. Dia itu pasti berpihak sama Mbak Rumi, Mas.”“Kamu benar-benar keterlaluan, Yu. Mas sama sekali tak menyangka, sudah membela dan memilih orang sepertimu.”Setelahnya Mas Kinos pergi, disusul dengan Ayu yang gelagapan dan mengejarnya. Sementara Kak Karina, menatapku dengan tatapan entah, sebelum akhirnya pergi menyusul adik dan iparnya itu menuju mobil. Apakah ia juga mengira kalau aku dan Mbok Minah kerjasama demi membuat pasangan itu tercerai berai?Aku pergi masuk terlebih dahulu, setelah memastikan tamu tak diundang itu melajukan mobilnya. Kuteguk air putih satu gelas penuh. Benar-benar tak habis pikir. Kenapa Ayu selalu saja membuatku dan Mas Kinos salah paham?apakah memberi tahu fakta pada suamiku itu salah? Ah, aku lupa. Kami bahkan suda bercerai bebera
"Apa sih, Mas? Kalau datang itu salam, bukan main nyemprot aja!" tanyaku padanya begitu kami bertatapan. "Aku benar-benar tak menyangka, kalau kamu bisa berbuat sejahat ini pada Ayu, Rum. Kupikir, kamu adik ipar yang baik. Ternyata aku salah. Sudah cacat, jahat pula!" Aku mengepalkan tangan, merasa sakit hati sekali atas penghinaan darinya. Memangnya, tangan dan kakiku menghilang sebelah, akibat perbuatan siapa kalau bukan perbuatan adiknya tersayang itu?Ternyata, bukan cuma Mas Kinos saja yang datang, Kak Karina dan Ayu juga. Herannya, maduku itu diperban pipi kanannya diperban. Aku jadi was-was, kenapa perasaanku sangat tak tenang?"Kamu tanya kenapa? Lihat! Kamu menampar Ayu dengan kencang, kan?" tanya Mas Kinos sambil menarik Ayu dan memperlihatkan perban di pipinya itu. Wajahnya pura-pura mengaduh, kesakitan.Aku mengerutkan kening, kapan aku melakukannya? Ah, jangan bilang, ini hanyalah tipu daya Ayu supaya Mas Kinos semakin membenciku dan tak membuatku melaporkannya pada Mas
"Ayu?" "M-Mbak Rumi." Pak Hengki bolak-balik memperhatikanku dan Ayu bergantian. Sepertinya, ia tak menyangka jika aku dan pacarnya itu saling kenal. Apa Pak Hengki nggak tahu, kalau Ayu sudah menikah dan bahkan sekarang sedang hamil anak Mas Kinos? "Sayang, kamu kenal dia?" tanya Pak Hengki. "Anu, Mas..." "Mas Kinos mana, Yu? Kok kamu jalan sama Mas Hengki," ucapku, sambil memegang ponsel kuat-kuat. Susah payah kurelakan Mas Kinos untuknya, rupanya dia buaya betina. Astaga, Mas! Wanita modelan begini, kamu sampai bela segitunya? "Kinos, siapa itu?" "Oh, itu-" "Teman kampungku, Mas. Iya, teman kampungku. Ya sudah, Mbak Rumi, kami permisi dulu. Ayo, Sayang," ucap Ayu pada Pak Hengki.bHampir saja aku tertawa dibuatnya. Ayu, apakah dia benar sudah gila? Bahkan ia memanggil Pak Hengki dengan panggilan Sayang di depanku? Astaga! "Jadi, Ayu selingkuh ya, Neng?" "Sepertinya, Mbok. Benar-benar zaman sudah gila. Untuk apa dia menikah dengan Mas Kinos, kalau ujung-ujungnya masih ber
"Mama?" Mama berdiri dan menghampiriku. Entah apa yang membawa beliau ke sini? Aku pun penasaran, karena tak kulihat adanya Papa yang ikut. "Nak, pulang ya?" pinta Mama setelah aku duduk. Aku terkejut mendengar permintaan mama angkatku ini. Atas dasar apa dia memintaku untuk pulang? Bukankah dulu, mereka malah mengusirku? "Nggak, Ma, Rumi minta maaf," ucapku seraya melepaskan genggaman tangan Mama. "Kenapa, Nak? Kasihan Papamu. Sekarang sakit dan sudah didiagnosa takkan sembuh. Mama mohon, Nak." Aku melengos. Biarkan saja laki-laki itu mati. Apa urusannya denganku? Apakah Mama lupa, kalau suaminya itu dulu bahkan mencoba untuk memperkosaku? "Maaf, Ma, tapi Rumi benar-benar tak bisa. Masih teringat kejadian waktu itu, dan Mama malah menuduh Rumi yang tidak-tidak. Beruntung ada Arum yang membela," ucapku. Ibu membelai punggungku, dan menguatkan. Berbeda sekali dengan Mama yang justru membuang muka. Jika begitu, apa yang membuatnya justru kembali ke sini dan memintaku untuk pulan
Aku meminta Arum membalikkan kursi rodaku agar bisa menghadap ke arah dua sejoli yang tengah bertengkar itu. "Ayu, kamu nggak usah khawatir. Aku ini cacat, kenapa Mas Kinos akan memilihku? Tentu tidak. Dia akan memilihmu, Ayu. Kamu cantik, sempurna. Dan bahkan katanya, kamu lagi hamil anaknya Mas Kinos, kan? Jadi, apa yang kamu cemburuin dari wanita cacat dan tak bisa hamil seperti aku ini? Yah, meskipun itu semua juga karena perbuatannya, sehingga aku merasakan ini semua. Tapi tak apa, aku ikhlas. Berbahagia lah kalian. Kamu, Mas, jangan pernah menyesal sudah seperti ini," ucapku. "Rum, rumah tangga kita baik-baik saja. Kenapa kamu mau pergi? Tetap di sini, ya?" pinta Mas Kinos, sepertinya ia tak menghiraukan ucapan istri muda yang tengah mengandung anaknya itu. "Mas!" teriak Ayu. "Tidak, Mas. Rumah tangga kita tidak sedang baik-baik saja. Apalagi, sejak kedatangan wanita lain di tengah kebahagiaan kita. Sejak saat itu, tak pernah ada kebahagiaan di hidupku. Kalau begitu, aku perm